Wira kini sudah bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Energinya sudah terasa terisi ulang. Anehnya melihat Mamak muda tidak menguras energinya. Beda dengan tiga penglihatannya terakhir yang menguras habis energi dalam tubuhnya. Wira meraih gawainya di atas meja, tadi ia minta Mamak untuk mengisi ulang baterainya. Jemari tangan kanannya berusaha untuk melepaskan charger dari port-nya di bagian bawah gawai. Tangan kirinya hendak membantu tapi tak sampai karena infus masih terpasang.
Gawai itu tak bisa ia lepaskan dari charger. Sedang kabelnya tak cukup panjang sampai ke tempat Wira berbaring. Tiba-tiba Wira teringat Melati. Perempuan dengan tampilan jadul yang memberinya hadiah dalam kotak kecil warna hitam. Kotak itu ia simpan dalam sling bag yang kini ia tak tahu ada dimana. Mamak sedang keluar membeli makan siang, tak ada yang bisa ia minta tolong mencari sling bag-nya.
“Selamat siang....”
Seorang perempuan meminta ijin masuk ke dalam bilik Wira, kamar kelas dua yang berisi tiga orang pasien. Wira taksir perempuan ini berusia tak jauh dari dirinya. Niken namanya, tampak dari badge nama di dada sebelah kanan. Perawat itu kemudian mendorong troli dan melakukan pekerjaannya. Menginjeksikan obat di selang infus, yang lagi-lagi membuat Wira merasakan nyeri. Lalu menaruh beberapa obat dalam bentuk tablet di atas meja untuk diminum nanti.
“Mbak Niken.”
“Ya, kok tau nama saya, Mas?”
“Kan kelihatan tu di badge-nya.”
“Ooh, ada yang bisa dibantu, Mas?” tanya Niken ramah.
“Bisa tolong carikan tas kecil saya, selempang gitu. Kayanya di bawah atau dalam lemari kecil itu deh,” pinta Wira.
Niken tak menjawab, ia mencoba mencarikan barang yang dimaksud Wira. Di bawah tempat tidur dan di lemari. Wira memperhatikannya dari ekor mata. Pakaian serba putih itu tampak begitu serasi membungkus tubuh Niken yang cukup tinggi. Rambutnya diikat ke atas seperti menyatu dengan suster cap-nya. Ia sedikit membungkuk mencari tas Wira di dalam lemari kecil.
“Ini, Mas?” Niken memperlihatkan sling bag hitam milik Wira.
“Betul, Mbak.” Niken menyerahkan tas itu pada Wira.
“Ada lagi yang bisa dibantu, Mas ... Wira?” tanya Niken ramah.
Wira menatap wajah Niken dari tempatnya berbaring. Senyum manis yang selalu mengembang di bibir Niken kini sedang Wira nikmati. Wira mengedipkan matanya, seketika pandangannya menjadi tak berwarna. Senyum di bibir Niken kini hilang. Wajahnya tampak murung, ada butir air mata yang meleleh di pipinya. Dia menoleh ke belakang. Seorang anak perempuan memegangi tangan kirinya, menangis dan merajuk. Wira tak bisa mendengar apa yang dikatakannya.
“Mas?”
“Eh, ini ... Mbak, bisa tolong tegakkan sandarannya. Saya mau duduk,” pinta Wira.
“Oh, tunggu sebentar, Mas.”
Niken berjalan ke ujung tempat tidur. Ia menunduk dan memutar tuas yang menggerakkan tempat tidur bagian atas. Perlahan sandaran yang menyangga tubuh Wira terangkat.
“Cukup, Mas?” tanya Niken.
“Cukup, Mbak. Terima kasih,” jawab Wira.
“Ada lagi yang bisa dibantu?”
Sebenarnya Wira ingin menanyakan perihal anak perempuan yang dilihatnya tadi memegangi tangan Niken sambil menangis. Sekaligus ia ingin membuktikan bahwa penglihatan tak berwarnanya tadi adalah masa lalu Niken. Wira ingin mengkonfirmasinya. Tapi ia ragu, hal itu terlalu pribadi untuk ditanyakan orang yang baru saja bertemu.
“Mbak, sudah berkeluarga?” tanya Wira. Ia pikir tak ada salahnya berbasa-basi, bersikap ramah tak ada salahnya apa lagi Niken sudah membantunya tadi.
“Hah? Oh, sudah, Mas.”
“Anaknya satu? Perempuan?” tanya Wira. Niken tampak terkejut, namun terus berusaha untuk tersenyum.
“Kok Masnya tau?”
“Sekarang dimana anaknya? Ikut Papanya ya?” Wira justru terus bertanya. Niken terdiam, ia merasa tak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan Wira. Wira sendiri kemudian menyadari kelancangannya setelah menemukan perubahan raut wajah Niken. “Maaf, Mbak. Itu terlalu pribadi ya? Maaf sudah lancang,” pinta Wira tulus.
“Baik, Mas. Kalo nggak ada lagi yang bisa dibantu, saya pamit melanjutkan pekerjaan saya. Permisi....”
Niken terlihat rikuh, ia masih berusaha tersenyum meski hanya di ujung bibir. Ia berbalik dan mendorong trolinya keluar dari tirai hijau pembatas Wira dengan pasien sebelah. Wira memaki dirinya sendiri. Padahal ia sudah berpikir jika itu tak pantas untuk ditanyakan. Entah apa yang ada dipikiran Niken sekarang. Ia pasti tak nyaman, keramahannya pasti akan berkurang nanti.
Satu hal yang kini Wira mulai pahami, ia benar-benar bisa melihat hal yang sudah dilalui seseorang atau suatu tempat. Melihat raut muka Niken yang tadi berubah, besar kemungkinan yang tadi dilihatnya adalah benar. Lalu pertanyaan baru mulai muncul. Darimana kemampuan ini berasal? Apa penyebabnya? Mengapa tempo hari ia merasa kehilangan tenaga sedang hari ini tidak?
Wira kembali teringat dengan Melati, kotak hitam yang diberikan padanya. Ia buka sling bag yang kini sudah ada di pangkuannya. Hanya ada dompet dan kunci sepeda motornya. Wira kembali memeriksa tasnya. Tak mungkin benda seukuran itu bisa terselip dalam tas kecil. Apakah Mamak sudah mengambil atau memindahkannya? Atau orang lain yang menolongnya?
Wira meletakkan tas di sisi kanan tubuhnya. Sekarang ia merasa gerah di area kaki. AC di ruangan ini memang ada, tapi ia tak bisa mengontrol suhu karena digunakan oleh banyak orang. Lagi pula ia tak tahu dimana letak remote AC-nya. Wira menyingkirkan selimut putih yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Kotak hitam yang tadi ia cari ada disana, diantara dua kakinya sejajar dengan lutut.
Susah payah ia menggerakkan kaki untuk mendorong kotak hitam itu agar mendekat ke tubuhnya. Tubuhnya masih begitu berat untuk ditegakkan apalagi dicondongkan ke depan. Ia meraih kotak itu dengan tangan kiri yang terpasang infus. Perlahan ia raih dan perhatikan kotak hitam itu. Ia guncangkan mencoba menerka ada apa di dalam. Cukup berat, Wira tak bisa menerkanya.
“Loh, siapa yang negakin ini, Wir?” tanya Mamak mengagetkan.
“Ah, Mamak ... ngagetin aja!” keluh Wira. “Itu, tadi ada perawat ngasih obat. Aku mintain tolong aja buat negakin ini, mulai bosen rebahan.”
“Ooh ... lah itu kotak apa? Dari perawat juga?” tanya Mamak sembari meletakkan nasi bungkus di atas meja.
“Ini mah dari orang yang aku anterin paketnya, Mak.”
“Tumben, baik banget tu orang.” Mamak mulai mengunyah suapan pertamanya.
Wira membuka kotak itu perlahan-lahan. Sebuah benda bulat berukir tersambung dengan rantai seperti kalung. Keseluruhan benda itu berwarna keemasan. Wira mengeluarkan benda itu dari kotaknya. Ia perhatikan benda bulat dengan diameter tak lebih dari lima centimeter itu. Ia dekatkan di telinga. Ada suara seperti detak jarum jam. Wira menekan semacam benjolan di sisi kiri, benda itu terbuka, dan memang itu adalah sebuah jam kuno.
“Mak, ini jam kan ya?” Wira menunjukkan benda itu pada ibunya.
“Lah, ada jarumnya kan? Angkanya juga ada?” seru Mamak sekilas lihat.
“Jarumnya ada, angkanya tapi romawi. Aku nggak paham,” jawab Wira.
Mamak bangkit dari kursinya. Mendekat ke Wira, masih memegang nasi bungkus di telapak tangan kiri dan mengunyah makan siangnya. Ia perhatikan benda arloji di tangan Wira.
“Ini mah Arloji jadul, Wir. Keren nih,” ujar Mamak. “Kelihatannya mahal, dulu Bapakmu pernah punya juga. Hadiah dari koleganya di luar negeri,” sambung Mamak.
“Beneran, Mak? Barang mahal dong ini.” Wira sibuk membolak-balik arloji kuno itu.
“Eh, bentar-bentar. Kok kaya punya Bapakmu ini?”
Mamak merebut arloji dari tangan anaknya. Wira menatap ibunya dengan penuh penasaran. Mamak kemudian memeriksa bagian belakang arloji. Matanya terbelalak, kunyahannya terhenti.
“Ini memang punya Bapakmu, Wir!” tandas Mamak.
“Hah? Kok Bisa?”
Mamak menarik kursi plastik dan ia dekatkan pada tempat tidur Wira. Ia tinggalkan makan siang nasi padang lauk rendang yang baru ia kunyah beberapa suap. Matanya nanar memandang arloji dalam genggaman tangannya. Wanita paruh baya itu duduk, beberapa kali bolak balik bola matanya beralih dari arloji ke anak semata wayangnya itu. Ada banyak hal yang tampaknya sudah seharusnya Wira tahu.“Ini beneran punya Bapak, Mak?” tanya Wira. Ia meraih rantai arloji namun Mamak menahan Arloji dalam genggamannya.“Benar, Wir. Kamu dapat dari mana?” tanya Mamak datar. Wira menyadari ada yang tak beres dengan ibunya.“Dari orang yang aku anter paketnya, Mak. Namanya Melati, dia seneng banget katanya paketnya udah lama nggak sampe. Makanya begitu aku anterin, dia kasih aku hadiah arloji ini,” tutur Wira.“Melati katamu?”“Iya, Mak. Kenapa ya?”Mamak mengusap keningnya, beberapa anak rambut yang menjun
Jaka keluar dari ruang Officer sambil menggerutu. Ia remas-remas selembar kertas di tangannya dan ia lemparkan ke sudut kantor tempat biasa ada kotak sampah. Ia berjalan cepat keluar menghampiri sepeda motornya yang belum selesai memuat paket-paket yang harus diantarkan hari ini. Ario memperhatikannya dari sisi pagar sambil berjongkong menghisap sebatang rokok. “Kenapa Lu, Bro?” Ario setengah berteriak. Jaka menoleh sekilas, ia meletakkan begitu saja paket tanggung jawabnya di tanah. “Ada lagi nggak?” tanya Jaka menempelkan dua jarinya di bibir. Ario membuka resleting jaket dan meraih sebungkus rokok. Melihat gelagat dan mimik muka Jaka, ia pasti tengah menjalani hari yang tak menyenangkan. Jaka lelaki periang, ia baru saja dikaruniai seorang anak laki-laki dari istrinya yang seorang janda. Dari pernikahan pertama ia punya satu anak perempuan. Belakangan mungkin itu yang membebani pikiran Jaka, karena tentu kebutuhan keluarganya bertambah. “Satu aja .
Bilik pojok yang Wira huni mendadak sepi setelah Jaka dan Ario pamit pulang. Pasien sebelah mungkin sudah bernapas lega sekarang. Beberapa kali Wira mengucapkan permintaan maaf namun tak ada jawaban. Mungkin pasien beliau sudah beristirahat. Atau justru meminta pindah bilik agar tidak terlalu berisik.Kehadirian dua sahabatnya tadi cukup mengusir sejenak kejenuhan Wira. Ia merasa sudah lama rebah di tempat tidur ini. Kini tenaganya sudah mulai pulih. Ia sudah tak bersandar, punggungnya sudah dapat ditegakkan. Beberapa kebutuhannya sudah dapat ia lakukan sendiri.“Udah pulang temanmu, Wir?” Mamak muncul dari balik tirai hijau.“Udah, Mak. Kasian tuh pasien sebelah kebrisikan. Becanda mulu tu Jaka Ario,” ujar Wira.“Pasien sebelah mana?”“Ya ini sebelah kita. Kenapa, Mak?” Wira penasaran, ekspresi Mamak seketika berubah.“Kosong sebelah kita, Wir. Dia meninggal sebelum kamu sadar!”
“Apa maksud Mbak Niken?” Wira menegakkan kepalanya.“Ayolah, Mas. Saya butuh pertolongan Mas Wira. Tolong lihat dimana anak saya sekarang!” Niken mulai memohon.“Kenapa Mbak Niken yakin saya bisa menolong?” tanya Wira. Ia ingin mengetahui dari mana Niken tahu tentang kemampuannya.“Melati bilang begitu.”“Melati? Mbak kenal Melati?” tanya Wira setengah histeris.“Nggak. Tapi jauh sebelum Mas Wira dirawat disini, perempuan itu datang beberapa kali di mimpi saya. Dia bilang akan datang orang yang bisa membantu saya menemukan Yura, anak saya.” Mata Niken mulai berkaca-kaca.“Terus kenapa Mbak yakin kalo orang itu saya?”“Mas sendiri tadi yang tanya soal anak saya kan? Tolong saya, Mas....” Niken mulai terisak. Kedua telapak tangannya terkatup di depan dada. Ia mendekat ke arah Wira.Kurang ajar sekali Melati. Memupuk harapan pada seoran
Wajah Niken memerah, kedua pipi yang basah semakin meranumkan wajahnya. Ia lepaskan pelukan di leher Wira. Tak ada yang dilakukannya, hanya mundur satu langkah yang justru semakin memperlihatkan wajah yang dirundung malu itu. Kini ia tak berani menatap wajah Wira. Ia takut melihat reaksinya, terlebih kalau pasien yang ia rawat ini dapat lebih banyak mendapatkan bayangan masa lalunya.Wira tak kalah salah tingkahnya. Tentu sebuah hal yang tak disangka-sangka Niken memeluknya seperti itu. Setengah hatinya merasa begitu malu, namun setengahnya lagi merasa beruntung. Untung saja hanya sebentar. Kalau tidak memang ia tak kehilangan tenaga mendeteksi Yura, tapi justru kehabisan napas karna dipeluk perawat cantik ini.“Mbak, semoga segera bertemu Yura ya?” ujar Wira mencairkan suasana.“Iya, Mas. Sekali lagi terima kasih. Saya nggak tau gimana cara bales pertolongan Mas Wira.”“Duh, Mbak. Jangan gitu dong ngomongnya, saya ini ikhlas
“Nih,” Mamak menyerahkan kacamata hitam pesanan Wira.“Wih, keren juga, Mak. Berapaan ini?” tanya Wira.Wira memperhatikan kacamata hitam itu. Ia berharap bisa sedikit menurunkan penglihatan masa lalu orang-orang yang beradu pandang dengannya. Ia takut tak bisa fokus dengan real time karena terlalu terpaku pada masa lalu orang lain. Jika sekali lagi bertemu Melati, ia akan menanyakan banyak hal terkait kemampuannya ini. Dan tentu saja hubungannya dengan Bapaknya, juga dengan Niken.“Lima belas ribu, kaya pesenanmu lah,” jawab Mamak sambil mengenakan tas ransel di punggungnya. “Yakin mau bawa motor, Wir?” tanya Mamak tak yakin.“Iya, Mak. Aku udah sehat kok,” jawab Wira.Ia kenakan kacamata hitam tadi. Tas ransel berisi pakaian selama dirawat ia kenakan di depan. Sedang barang-barang lain dalam beberapa kantung plastik ia gantung di depan sepeda motor maticnya. Ia lalu naik dan men
Wira melemparkan ransel yang ia gendong di depan tubuh ke lantai kamarnya. Ia sudah tak kuasa lagi melepas jaket atau mengganti pakaian yang lebih ringan. Ia rebahkan tubuhnya di tempat tidur. Wira merasa begitu lelah, ia pejamkan mata berkemampuan khusus ini. Bau debu begitu tercium, kamar ini sudah beberapa hari tak berpenghuni.“Kamu nggak apa, Wir? Ini minum dulu,” ujar Mamak membawakan segelas air.“Makasih, Mak. Aku nggak apa kok, cuma pengen tidur aja. Capek banget rasanya,” keluh Wira. Ia meraih dan meneguk segelas air yang diberikan Mamak.“Ya, abis ini istirahat yang banyak, Wir. Nggak usah kemana-mana dulu biar kamu nggak lihat macem-macem. Kamu kan lagi pemulihan,” ujar Mamak lagi.“Iya, Mak.”Wira mengembalikan gelas kosong kepada Mamak. Perempuan paruh baya itu memastikan anaknya kembali rebah dan baru meninggalkannya. Sama seperti suaminya dulu, Wira masih butuh banyak penyesuaian denga
Wira bangkit dari tempat tidurnya. Ia buka jaket dan juga kausnya. Arloji itu benar-benar hilang seperti meresap ke dalam dadanya. Tak ada bekas, kulit dadanya tidak ada tanda-tanda kekerasan atau efek karena suatu kejadian. Padahal rasa sakitnya sungguh luar biasa. Tak puas, Wira melihat bayangannya di cermin. Sama sekali tak berbekas, sungguh aneh.Lelaki bertubuh kurus itu mengenakan kembali kausnya. Segera setelah arloji itu lenyap, ia merasa begitu sehat dan bugar. Ia sudah tak sabar untuk mencoba apakah benar apa kata Melati, ia bisa mengendalikan waktu. Apa yang dimaksud dengan pengendalian di sini? Apakah Wira dapat menghentikan atau mempercepat waktu? Wira tersenyum, sepertinya akan seru jika itu benar-benar terjadi.“Mau kemana, Wir? Memangnya udah sehat?” tanya Mamak melihat Wira keluar dari kamarnya.“Keluar sebentar, Mak. Bosen tiduran melulu,” jawab Wira.Mamak memandang Wira perlahan dari ujung kaki hingga kepala. Ia
“Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya
Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S
“Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada
Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I
Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“
Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati
Wira tentu saja terkejut. Orang yang tadi ia hindari adalah calon mertuanya dan juga aktor dibalik kehidupan baru dan segala fasilitas yang ia dapat dua bulan ini. Pemuda itu merendahkan tubuhnya dan berjalan menyongsong pria yang bangkit dari duduknya.“Oh, ini yang namanya Wira? Saya Aziz, Abdul Aziz,” ucap pria itu sembari meggenggam tangan Wira dengan kuat.“Saya Wira, Om. Maaf, saya menghindar tadi. Soalnya....”“Aisya sudah cerita banyak ke saya. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Kebetulan ada yang sedang saya urus di sini. Sekalian mampir dan bertemu kamu dan Bu Ayu,” terang Pak Aziz sembari tersenyum. Mata di balik kacamata itu menatap dalam wajah Wira yang datar.Wira diam. Ia memang tengah memandang mata Pak Aziz, namun yang ia lihat adalah masa lalu pria 50 tahun itu. Pak Aziz tampak heran, namun segera tersenyum setelah melihat senyum putrinya. Seolah memberi isyarat bahwa pemuda di hadapannya sedang berkelana ke masa lalu.“Wira?” sapa Pak Aziz. Namun Wira tetap diam.
Penglihatan masa lalu itu terus berlanjut dan berganti. Semuanya berupa potongan-potongan peristiwa yang bertentangan dengan anggapan dan asumsi yang Firman dan ibunya yakini terkait Barata dan keluarganya selama ini. Hal yang membuat alasan-alasan dibalik kesanggupan Firman bekerja sama dengan Suryo untuk membunuh Barata menjadi bias.Bukan seperti yang disangkakan oleh ibunya. Barata rupanya lebih dulu melamar Ayu sebelum mendapatkan pekerjaan. Juga bukan Barata yang membuatnya disangka sebagai penggelap uang perusahaan. Bahkan Barata pula yang membantunya mendapatkan pekerjaan di PT. Franz Williams Indonesia. Mulanya sebagai Staff General Affair, lalu dimutasi menjadi asisten sekaligus driver Suryo.Barata juga tidak merebut Ayu darinya. Ayu sendiri yang meminta Barata untuk melamarnya. Semua karena omongan sinis Bu Lasmi. Ibunya itu yang sudah membakar amarah dan api cemburu. Bahkan mungkin saja mengarang cerita terkait pemilihan pewaris kerajaan kuno yang jatuh ke kakeknya Barata
Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen