“Apa kamu lebih mempercayai orang lain daripada aku suami kamu sendiri?” bisikku kemudian.
“Setidaknya apa yang Mas Virgo katakan di pemakaman sudah menjawab semua pertanyaan Mas sendiri.”Aku mengepal tangan, melayangkannya di udara dan meninju kasur tepat di sisi kepala istri, meluapkan emosi yang mulai meninggi.Segera beranjak dari atas tubuh wanita itu kemudian kembali mengenakan pakaian dan segera menutup badan istri dengan selimut lalu meninggalkannya sendiri di dalam bilik.“Mau ke mana, Bang?” tanya Alisa saat kami bertemu di ruang tamu.“Ke rumah temen!” Aku menjawab dengan sedikit ketus, kemudian segera menyambar kunci mobil dan lekas menyalakan mesin kendaraan roda empat milikku serta membawanya melaju meninggalkan rumah.Arghh!Memukul setir beberapa kali, meluapkan emosi yang semakin meninggi juga sulit terkendali.“Apa kamu tahu, Sayang. Betapa aku mencintai kamu dengan sepenuh ha“Jangan liatin aku seperti itu. Insya Allah aku udah nggak marah. Bukankah dalam Islam diterangkan kalau kita tidak boleh marah lebih dari tiga hari? Aku masih kesal, tapi karena kejadiannya sudah lebih dari tiga hari aku sudahi aja ngambek aku. Takut dosa juga diemin suami terus!” Spontan kedua sudut bibirku terangkat. Kuusap lembut rambutnya yang masih tergerai, mengecup puncak kepalanya seraya berdoa agar Tuhan senantiasa menjaga keharmonisan rumah tangga kami. Aku juga berjanji tidak akan lagi bertindak bodoh serta gegabah, yang membuat orang yang teramat dicinta menjaga jarak kepadaku.“Kamu mau makan pakai apa?”“Apa saja aku doyan. Tapi disuapi sama kamu ya? Aku kangen dimanja!”Lagi, Nirmala mencebik bibir membuatku merasa gemas dan langsung melahapnya tanpa permisi.“Mas Virgo apa-apaan, sih? Jangan maen nyosor aja. Kita lagi di dapur. Takut Alisa atau Si Mbak lewat!” protesnya seraya mengusap bibirnya yang memerah kar
“Kamu berani memuji istri saya, Robby?” tanyaku seraya menatap wajah pria yang sedang tersenyum sendiri sambil menatap lurus ke depan.“Wanita cantik berhak mendapatkan pujian. Hanya memuji lho, Pak!” jawabnya tanpa menoleh.Aku terus menatap wajahnya yang sok polos itu. Kedua alisku bertaut sambil menahan rasa panas dalam dada.“Yang boleh memuji Nirmala hanya saya. Karena dia istri saya. Kamu tidak bisa sembarang memuji istri orang. Makanya nikah, biar nggak lirak-lirik milik orang lain. Berani macam-macam, saya pecat kamu!” ancamku geram.Robby terkekeh. Ekor matanya melirikku yang sedang duduk di sebelahnya, seolah tahu kalau aku sedang menahan rasa cemburu dan sengaja memanas-manasi. Nggak ada akhlak memang.Pria berperawakan hampir mirip denganku itu menepikan mobil milikku di halaman kantor. Buru-buru membuka pintu, keluar dari kendaraan lalu segera mengayunkan kaki masuk.“Kamu tidak usah pulang ke rumah. Standby saja di sini sampai saya pulang!” perintahku lagi sambil memutar
“Tidak perlu. Yang butuh ketemu Victor hanya saya dan Alisa!”“Baik, Bos. Saya jalan. Kunci mobilnya saya titip di resepsionis!”“Ya.” Aku segera memutuskan sambungan telepon dan lekas kembali mengangkat bokong dari kursi, keluar dari ruanganku mencari Melvi, mengabari dia kalau hari ini harus kembali absen dan digantikan oleh tangan kananku.Aku menepikan mobil di parkiran rumah sakit, menunggu Robby serta Alisa datang, karena merasa malas jika menemui Ayah sendirian.Tidak lama kemudian, terlihat mobil hitam milikku memasuki gerbang rumah sakit. Alisa turun dari kendaraan tersebut, dan segera kuhampiri mengajaknya segera menemui orang tua kami yang sedang berbaring tidak berdaya di atas ranjang rumah sakit.Kami berjalan bersisian menuju resepsionis dan menanyakan di mana Ayah dirawat, kemudian lekas menuju lantai tiga mencari kamar rawat inapnya.Aku menggenggam tangan Alisa ketika sudah sampai di depan ruang Inten
#NirmalaDuduk di teras rumah, menemani Alexa yang sedang asyik bermain boneka Barbie sambil sesekali tersenyum melihat gadis kecil itu tidak henti-hentinya berbicara. Dia begitu cantik. Wajahnya mirip Virgo, dan kata orang mirip denganku juga. Bahkan saat mengantar Alexa ke sekolah, para ibu-ibu wali murid mengira kalau aku ini ibu kandung Alexa, bukan ibu sambungnya. Apalagi anak bawaan suamiku itu begitu dekat denganku, dan kami juga memiliki banyak sekali kesamaan baik dari segi fisik maupun sifat."Makan dulu, yuk! Sudah malam. Bunda juga udah lapar!" ajakku seraya mengulurkan tangan dan langsung disambut oleh gadis berusia lima tahun itu."Eca maunya disuapin sama Bunda!" rengeknya manja."Siap, Bos!""Ih, Bunda kaya Om Robby!"Aku tertawa mendengarnya. Masa aku disamakan dengan anak buah ayahnya yang slengean itu?Menarik kursi meja makan, mengambil piring lalu menyendok nasi beserta sayu
"Duh, semalam ujan ya, Bos?" sapa Robby ketika melihat suami keluar dengan rambut basah serta beberapa tanda merah di leher."Iya. Sudah tau malah nanya. Mau cari perhatian?" Lelaki berkemeja hijau telur asin itu menatap tajam wajah sopir yang sudah seperti temannya itu."Nggak, sih! Pagi, Bu Bos!" Robby lalu tersenyum kepadaku."Sayang, masuk ke dalam!" titah suami dengan ekspresi aneh. Sepertinya dia cemburu kepada Robby. Lucu rasanya melihat wajah Virgo saat sedang cemburu.Aku memutar badan dan segera mengayunkan kaki menghampiri Alexa yang sudah siap dengan seragam sekolahnya, duduk di sebelah gadis kecil itu lalu mengikat rambutnya."Kak Lala sakit? Kok wajahnya pucat banget?" tanya Alisa seraya memindai wajahku."Kurang darah, Sa. Makanya badan aku lemes terus dari kemarin. Sensitif bau-bauan juga!" jawabku sembari menahan mual di perut, karena wangi parfum Alisa yang terasa begitu menusuk hidung."K
Rasanya bagaikan mimpi. Akhirnya apa yang aku inginkan terkabul juga. Menjadi seorang ibu, akan melahirkan bayi mungil dari rahimku sendiri.Virgo kembali membantu berjalan menuju ranjang, membaringkan tubuh ini perlahan lalu mencium mata, hidung, pipi, dan setiap inci wajah tanpa ada yang terlewatkan.“Aku berjanji akan menjadi suami dan ayah siaga. Kamu ngidam apa sekarang? Biar aku minta si onoh belikan!” ucapnya kemudian.Dahiku berkerut-kerut, menatap suami dengan mimik aneh. “Si Onoh?” “Gosah dibahas. Kamu mau apa? Biar aku belikan sekarang?” “Kalau aku mau helikopter?”“Akan aku belikan. Sekarang?”“Nggak! Aku hanya bercanda. Memangnya mau buat apaan?” Aku terkekeh, Virgo menarik hidungku gemas.“Terima kasih karena sudah mau menjadi ibu dari anak-anakku. Aku mencintai kamu, Nirmala Wulan,” bisiknya sambil mengecup daun telingaku.Bayangan ketika suami mengatakan cinta di maka
Aku menutup mulut sambil menguap, karena rasa kantuk sudah mulai menyapa. Kuelus perut datarku yang kembali terasa mual, beranjak dari kursi balkon karena dinginnya angin malam mulai terasa menusuki tulang. Takut malah zalim kepada calon anakku jika terlalu lama berada di luar, sementara malam kian merangkak larut. Duduk di bibir ranjang sambil menyambar ponsel, menekan sebelas digit angka menghubungi suami karena rasa khawatir kian melanda. Benar-benar takut terjadi sesuatu terhadap dia. [Mas Virgo di mana? Tolong jangan buat aku khawatir.] Mengirimkan pesan karena nomor pria itu selalu saja berada di luar jangkauan. Karena sudah semakin larut, kuputuskan untuk segera merebahkan bobot di atas kasur, memejamkan mata menjemput lelap hingga merasa ada sebuah tangan kekar bertengger di pinggang. Bibir melekuk senyum menatap wajah suami yang terlelap di sisi, mengulurkan tangan perlahan mengusap wajahnya tampannya yang membuat diri
Taksi daring yang kutumpangi menepi di depan sebuah rumah sakit ibu dan anak. Pelan-pelan menarik tuas pintu, membukanya perlahan kemudian lekas turun setelah membayar ongkosnya.Suasana terlihat sudah ramai saat aku masuk, dan banyak sekali ibu-ibu hamil yang sedang mengantre menunggu panggilan.“Selamat sore Ibu, ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang perempuan berhijab biru dengan ramah, sambil melekuk senyum manis kepadaku.“Saya Nirmala Wulan, Mbak. Istrinya Pak Aliando. Saya sudah ada janji dengan dokter Fatihah tadi pagi!” jawabku.“Oh, iya, Bu. Silakan duduk, biar saya periksa tekanan darah dan berat badannya!”Aku mengangguk dan lekas duduk, mengulurkan tangan ketika bidan hendak memasang manset tensimeter, seraya menjawabi semua pertanyaan yang diajukan. Setelah selesai menimbang berat badan, wanita yang memperkenalkan diri bernama Sovia itu mempersilakan untuk duduk di kursi tunggu, karena aku mendapat an