#Nirmala
Duduk di teras rumah, menemani Alexa yang sedang asyik bermain boneka Barbie sambil sesekali tersenyum melihat gadis kecil itu tidak henti-hentinya berbicara. Dia begitu cantik. Wajahnya mirip Virgo, dan kata orang mirip denganku juga.Bahkan saat mengantar Alexa ke sekolah, para ibu-ibu wali murid mengira kalau aku ini ibu kandung Alexa, bukan ibu sambungnya. Apalagi anak bawaan suamiku itu begitu dekat denganku, dan kami juga memiliki banyak sekali kesamaan baik dari segi fisik maupun sifat."Makan dulu, yuk! Sudah malam. Bunda juga udah lapar!" ajakku seraya mengulurkan tangan dan langsung disambut oleh gadis berusia lima tahun itu."Eca maunya disuapin sama Bunda!" rengeknya manja."Siap, Bos!""Ih, Bunda kaya Om Robby!"Aku tertawa mendengarnya. Masa aku disamakan dengan anak buah ayahnya yang slengean itu?Menarik kursi meja makan, mengambil piring lalu menyendok nasi beserta sayu"Duh, semalam ujan ya, Bos?" sapa Robby ketika melihat suami keluar dengan rambut basah serta beberapa tanda merah di leher."Iya. Sudah tau malah nanya. Mau cari perhatian?" Lelaki berkemeja hijau telur asin itu menatap tajam wajah sopir yang sudah seperti temannya itu."Nggak, sih! Pagi, Bu Bos!" Robby lalu tersenyum kepadaku."Sayang, masuk ke dalam!" titah suami dengan ekspresi aneh. Sepertinya dia cemburu kepada Robby. Lucu rasanya melihat wajah Virgo saat sedang cemburu.Aku memutar badan dan segera mengayunkan kaki menghampiri Alexa yang sudah siap dengan seragam sekolahnya, duduk di sebelah gadis kecil itu lalu mengikat rambutnya."Kak Lala sakit? Kok wajahnya pucat banget?" tanya Alisa seraya memindai wajahku."Kurang darah, Sa. Makanya badan aku lemes terus dari kemarin. Sensitif bau-bauan juga!" jawabku sembari menahan mual di perut, karena wangi parfum Alisa yang terasa begitu menusuk hidung."K
Rasanya bagaikan mimpi. Akhirnya apa yang aku inginkan terkabul juga. Menjadi seorang ibu, akan melahirkan bayi mungil dari rahimku sendiri.Virgo kembali membantu berjalan menuju ranjang, membaringkan tubuh ini perlahan lalu mencium mata, hidung, pipi, dan setiap inci wajah tanpa ada yang terlewatkan.“Aku berjanji akan menjadi suami dan ayah siaga. Kamu ngidam apa sekarang? Biar aku minta si onoh belikan!” ucapnya kemudian.Dahiku berkerut-kerut, menatap suami dengan mimik aneh. “Si Onoh?” “Gosah dibahas. Kamu mau apa? Biar aku belikan sekarang?” “Kalau aku mau helikopter?”“Akan aku belikan. Sekarang?”“Nggak! Aku hanya bercanda. Memangnya mau buat apaan?” Aku terkekeh, Virgo menarik hidungku gemas.“Terima kasih karena sudah mau menjadi ibu dari anak-anakku. Aku mencintai kamu, Nirmala Wulan,” bisiknya sambil mengecup daun telingaku.Bayangan ketika suami mengatakan cinta di maka
Aku menutup mulut sambil menguap, karena rasa kantuk sudah mulai menyapa. Kuelus perut datarku yang kembali terasa mual, beranjak dari kursi balkon karena dinginnya angin malam mulai terasa menusuki tulang. Takut malah zalim kepada calon anakku jika terlalu lama berada di luar, sementara malam kian merangkak larut. Duduk di bibir ranjang sambil menyambar ponsel, menekan sebelas digit angka menghubungi suami karena rasa khawatir kian melanda. Benar-benar takut terjadi sesuatu terhadap dia. [Mas Virgo di mana? Tolong jangan buat aku khawatir.] Mengirimkan pesan karena nomor pria itu selalu saja berada di luar jangkauan. Karena sudah semakin larut, kuputuskan untuk segera merebahkan bobot di atas kasur, memejamkan mata menjemput lelap hingga merasa ada sebuah tangan kekar bertengger di pinggang. Bibir melekuk senyum menatap wajah suami yang terlelap di sisi, mengulurkan tangan perlahan mengusap wajahnya tampannya yang membuat diri
Taksi daring yang kutumpangi menepi di depan sebuah rumah sakit ibu dan anak. Pelan-pelan menarik tuas pintu, membukanya perlahan kemudian lekas turun setelah membayar ongkosnya.Suasana terlihat sudah ramai saat aku masuk, dan banyak sekali ibu-ibu hamil yang sedang mengantre menunggu panggilan.“Selamat sore Ibu, ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang perempuan berhijab biru dengan ramah, sambil melekuk senyum manis kepadaku.“Saya Nirmala Wulan, Mbak. Istrinya Pak Aliando. Saya sudah ada janji dengan dokter Fatihah tadi pagi!” jawabku.“Oh, iya, Bu. Silakan duduk, biar saya periksa tekanan darah dan berat badannya!”Aku mengangguk dan lekas duduk, mengulurkan tangan ketika bidan hendak memasang manset tensimeter, seraya menjawabi semua pertanyaan yang diajukan. Setelah selesai menimbang berat badan, wanita yang memperkenalkan diri bernama Sovia itu mempersilakan untuk duduk di kursi tunggu, karena aku mendapat an
Aku segera menyandarkan kepala di dada suami, melingkarkan tangan di pinggangnya, menumpahkan segala yang luka tengah bertakhta dalam dada dengan air mata.Ada kelegaan yang kurasa saat dalam dekapan suami. Ganjalan dalam hati seakan langsung sirna, berganti dengan rasa nyaman yang menyelimuti jiwa.“Dah, jangan nangis lagi. Nanti cantiknya luntur kalau kena air mata!” Virgo mengangkat tubuhku dari dekapan, mengusap lelehan air bening di pipi menggunakan ujung jemari seraya melekuk senyum termanis seperti biasa.“Memangnya kalau aku jelek kenapa?” Memonyongkan bibir manja.“Mas Virgo nggak mau punya istri jelek!”Aku mencubit pinggang suami sambil berpura-pura merajuk.“Nggak, Sayang. Mas bercanda doang. Apa pun keadaan kamu, kamu tetap istri Mas. Wanita yang Mas cintai, juga ibu dari anak-anaknya Mas. Bunda Alexa dan dedek bayi dalam perut!” Laki-laki berhidung bangir itu membungkukkan badan, mengusap perut datarku l
Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan
“Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.
"Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang
"Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"
“Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.
Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan