Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima?
“Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah.Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku.Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga.“Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung.Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan.“Maaf, Ayah. Bukannya ...”“Pah, bisa minta tolong ambilin“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
[La, tolong transfer uang lima puluh juta ke nomor rekening Mas sekarang ya.]Aku mengernyitkan dahi membaca pesan singkat dari suami. Untuk apa dia meminta uang dalam jumlah banyak seperti itu?[Untuk apa, Mas?] Send, Mas Arya.[Aku butuh banget. Ibu sakit.][Sakit apa, Mas? Aku ke Jakarta nyusul kamu aja ya? Sekalian pengen liat Ibu.][Nggak usah, La. Kamu juga ‘kan keadaannya sedang kurang sehat. Di rumah saja, nanti uangnya tolong ditransfer. Jangan pake lama, soalnya butuh banget.][Oke.]Aku menatap layar gawai, ada sedikit rasa khawatir karena setahuku Ibu memang memiliki riwayat penyakit gula, dan bisa kambuh kapan saja.Tapi, kok tumben sekali suami meminta uang sebanyak ini kepadaku? Biasanya semua masalah akan dia tangani sendiri dan tidak pernah melibatkan diriku sama sekali. Apa mungkin Mas Arya sedang sangat kesulitan di Jakarta?“Ada apa, Nok?” Aku terkesiap ketika tiba-tiba seseorang mengusap lembut bahuku. Dia adalah Bi Sarni—orang yang membantu merawatku sejak kecil
POV Arya."Mas, liat story-nya Nirmala. Di memosting foto pernikahan Mas Arya sama Mbak Siska!" bisik Irni adikku, membuat mata ini membulat tidak percaya.Dengan tangan gemetar mengambil ponsel dari saku celana, mengecek kebenaran ucapan Irni dan ternyata Nirmala benar-benar mengunggah foto pernikahanku dengan istri baruku.Duh, bisa gawat kalau begini. Mana dia belum transfer uang yang aku minta lagi. "Mas, kamu mau ke mana?" tanya Siska ketika melihat diri ini turun dari pelaminan."E--enggak, Dek. Mas cuma mau liat temen. Tadi katanya dia sudah sampai di depan gang!" dustaku, sebab tidak mau Siska sampai tahu kalau aku sebenarnya sudah punya pendamping hidup."Oh, ya sudah!" Dia tersenyum manis kepadaku.Aku pun segera berlari ke arah parkiran, mencari keberadaan istri ingin memberi penjelasan kepadanya. Kosong. Tidak ada mobil Nirmala di sana.Ya Tuhan...Pasti dia marah sekali dan kecewa karena pengkhianatan ini.Habis mau bagaimana lagi? Aku malu punya istri cacat seperti dia.
“Bagaimana, Mas Arya? Bisa ditransfer hari ini, apa mau bayar kes?” tanya Mbak Naomi sang wedding organizer sambil tersenyum ramah.Lagi, aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Bingung mau menjawab apa, sebab di anjungan tunai mandiri hanya ada saldo tiga ratus ribu saja, ditambah tadi lima puluh ribu dari Nirmala.Ah, sial! Kenapa harus mendapatkan masalah sesulit ini sih?“Emm...Mbak, maaf. Bisa nggak saya minta tenggang waktu tiga atau empat hari. Soalnya kartu ATM saya rusak dan mobile banking saya lagi bermasalah.” Mencoba mencari alasan yang sedikit masuk akal, siapa tahu Mbak Naomi mengerti.“Ya sudah. Tapi beneran ya, Mas. Soalnya saya juga butuh uang untuk membayar orang-orang yang membantu saya mengurus acara pernikahan Mas kemarin. Saya nggak enak karena biasanya sehari setelah resepsi mereka sudah bayar, tapi ini malah belum dapet bayaran dari Mas Arya. Padahal kemarin mereka sudah pada semangat banget karena di sini Mas Arya terkenal orang paling kaya. Ternyata...!” Mbak
Mendadak dadaku bergemuruh tidak karuan membayangkan jika ternyata Nirmala tidak ada. Bisa mati aku. Duh! Lala. Kamu ke mana sih? Merogoh saku celana, mengambil ponsel mencoba menghubungi nomor istri, tetapi tidak aktif. Ya salam... Kepanikan mulai kurasakan ketika sudah hampir setengah jam menekan bel tapi tidak kunjung ada yang membukakan pintu. Jantung ini semakin mengentak kuat, seperti ingin lepas dan terhempas dari raga. Aku menguyar rambut frustrasi. Stres, khawatir, takut malu, itu yang sedang kurasakan saat ini. Sekali lagi menekan bel rumah, berharap Nirmala keluar sambil menerbitkan senyuman lalu mengajakku masuk kemudian memberikan uang setelah kupuaskan. Hening. Hanya angin yang menyapa, membelai kulit seolah sedang menertawakan diriku. S*al! Argh!!! Bisa gila mendadak aku kalau begini. “Cari siapa, Mas? Mbak Lala ya?” tanya seorang tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah. “Iya, Bu. Tapi dari tadi nggak ada yang bukain pintu. Kira-kira pada ke mana ya pen
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang
"Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"
“Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.
Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan