Hari ini aku sengaja berangkat pagi-pagi, padahal biasanya telat bahkan aku tidak memandikan Dika dan tidak mengambil uang saku. Aku ingin lihat dia, ya, dia hanya demi lihat cowok sinis nan sombong itu.
Dari lantai 4 gedung Farmasi kulihat dia berjalan melangkahkan kaki masuk lingkungan sekolah, ku lihat dia, sejak dia mulai memarkirkan sepeda putihnya, dengan cool dia berjalan menuju kelasnya. Dia memakai jaket hitam dan memakai penutup kepalanya sehingga wajahnya tidak begitu terlihat, biasa orang seperti ini ingin tampil sok misterius, dan dia berhasil. Bola mataku mengikuti kemana Adit berjalan, deg, tiba-tiba dia berhenti dan memutar badannya, beberapa saat kemudian seperti di film-film horor, ah, bukan, film romantis, dunia serasa milik kita berdua bang, hah? Bang? sejak kapan aku manggil dia abang? Slow motion, dunia serasa berhenti, hanya terdengar suara nafasku yang terengah-engah seperti habis lari maraton, dia mendongakkan kepalanya, bola matanya persis menatap tajam kearahku, tatapan yang belum pernah ku lihat dan belum pernah ku rasakan sebelumnya, namun mataku serasa tertahan dan tak bisa berpaling darinya.
Detik-detik yang menegangkan, sampai dia memutar badannya lagi dan melanjutkan perjalanannya. Aku masuk ke dalam kelas, untung kelas masih kosong jadi aku bebas mau ngapain aja tanpa ada yang mengetahui.
“Apa ini? Kok, rasanya aneh?” tanyaku dalam hati sambil memegang dada yang masih berdegup kencang “Tidak mungkin ini serangan jantung kan?” lanjutku.
Sekarang aku sudah tidak bisa lagi bicara atau sms Adit dengan kata-kata kasar, justru itu tidak membuat dia berubah, malah semakin menjadi, aku berpikirr, kemudian lagu I’ll be waiting for you milik Seo Hyun SNSD terdengar dari hpku, ada sms, dari teman SMPku:
Jika aku terjatuh, bangunkanlah aku, obati lukaku Jika aku lemah, kuatkanlah aku Jika aku bersedih, tersenyumlah untukku Jika aku buta, tuntunlah dan terangilah jalanku TapiJika aku mati, janganlah menangis, bersedih ataupun kecewa karena aku tak akan mampu bangun untuk hapus air matamuAku sejenak diam, lalu mendapat ide, ku kirimkan kata-kata itu ke beberapa teman termasuk Adit (Adit pengecualian, meskipun dia bukan teman)Orang pertama yang merespon smsku adalah Adit, layar hpku menyala dan tertulis 1 pesan baru, Adit, tak sabar aku membaca responnya, dan ini responnya yang membuatku setengah gila, hampir aku mengumpat di dalam kelas, yang sudah terisi oleh sebagian siswa lainnya.
Jika kamu terjatuh akan ku tendang mukamu!
Jika kamu lemah, akan ku hina kamu sampai tahu diri Jika kamu buta, sungguh bahagianya aku Jika kamu bersedih, kenapa gak mati saja sekalian? Tetapi Jika kamu mati akan kusediakan uang receh dan aku akan bahagia selamanya.Tuhan, apakah ini manusia? Jahat banget, akhirnya gak tanggung-tanggung lagi emosiku ku balas pula smsnya itu dengan penuuhhh, penuh kasihan.Jika kamu terjatuh akan ku tendang mukamu
(Ku tendang mukamu juga, emang aku tidak bisa balas!!)Jika kamu lemah, akan ku hina kamu sampai tahu diri
(Aku berdoa kepada Tuhan, semoga Tuhan mau mengampunimu, ya, kalau Dia berkenan mengampunimu karena dosamu terlalu besar )Jika kamu buta, sungguh bahagianya aku
(Untung aku gak buta ya)Jika kamu bersedih, kenapa gak mati saja sekalian?
(huahhaahahha mengharukan, tersungging aku) Tetapi Jika kamu mati akan ku sediakan uang receh dan aku akan bahagia selamanya.(Pelit banget kamu kasih uang receh, gak ada gunanya. Nih ya, kalau kamu mati. Ya, aku kasih sumbangan, peti mati, bendera kuning, dan lubang kuburan yang sempit karena kamu pelit plus batu nisan bertuliskan wafat Aditian S 19-02-2014)Kata-kata balasanku benar-benar mantaapp, ahh, biar dia gila juga. Aku hanya dapat membayangkan reaksinya saat membaca pesan dariku, bukankah kita sama-sama kejam dalam hal ini? Apakah dia pikir aku perempuan yang akan tinggal diam saat dia hina? Tentu Tidak!
★★★★★★★★★★★★★★★★★★★
Farmasi adalah kelas tersibuk dan terumit, berbeda dari yang bayanganku. Sederetan hafalan nama-nama obat dengan fungsinya atau nama-nama simplisia kering dengan bahasa latin yang terdengar cantik itu misal Orthosiphonis Folium, ku rasa passion ku memang ada dalam farmasi. Apalagi kalau praktek di laboratorium resep, bagiku itu sebuah tantangan tersendiri. Segala kesibukan itu membuatku sedikit lupa akan masalah jantung tadi pagi.
Setelah pesan itu terkirim kepada Adit, tidak ada lagi balasan. Bunyi bel sekolah memenuhi seluruh kelas, semua siswa berhamburan masuk ke dalam kelas, kemudian menempati kursi masing-masing. Pelajaran pertama lumayan berat, metematika Pak Kris yang penuh dengan rumus dan logika. Dia adalah guru yang tak pernah terlambat masuk kelas, namun ini sudah 15 menit sejak bel berbunyi dan dia belum muncul menyapa kami. Kemudian kami mendapat kabar bahwa dia absen karena anaknya sakit.
“Jan, kamu lapar gak?” Ida yang sedari tadi mondar-mandir mencari contekan untuk tugas matematika dari Pak Kris menghampiriku yang duduk termenung dan memutar-mutar hp di atas meja.
“Kenapa?” jawabku.
“Beli jajan ke kantin yuk!” Ida menjawab dengan seringainya, “aku lapar nih, tidak sempat sarapan tadi, gara-gara ‘anak setan’ itu”
Aku pun tertawa mendengar keluhannya, sekaligus kasihan sebab aku mengerti keadaannya, karena aku pun demikian. “Okelah, ajak Irine juga.”
Kamipun jajan bertiga ke kantin di lantai 1, tidak ada siswa sama sekali, karena ini memang masih jam pelajaran, sehingga kami leluasa jajan tanpa mengaantri.
“Gila ya, tugasnya Pak Kris, soalnya cuma 2 tapi jawabannya bisa berlembaar-lembar,” keluh irine, yang notabene paling jago matematika.
“Kamu kerjakan baik-baik ya Rin, nanti kita nyontek punyamu,” kata Ida lalu merangkul Irine dengan muka bahagia.
“Enak ya, punya teman sepintar Irine, kamu memang terbaik!” kataku sambil mengacungkan jempol dihadapannya. Kami pun tertawa.Blakk, terdengar suara pintu yang ditutup dengan keras. Tanpa menghiraukan hal itu Ida dan Irine tetap berjalan dengan santai dan masih banyak bicara. Sedangkan aku berdiri mematung, rasanya ingin menghilang dari dunia ini, berdiri dengan posisi mangap mau masukkan makanan kedalam mulut tapi berhenti menoleh ke arah kamar mandi cowok yang ada di sebelah kananku. Orang yang menutup pintu itu juga berhenti dengan posisi tangannya yang masih memegang knop pintu sedangkan kepalanya menengok ke arahku. Krikk…krikkk.....krikk, sunyi, sepi, kemanakah orang-orang didunia ini? Naik Haji berjamaah? Ida dan Irine yang merasa aneh dengan ketidakberadanku menoleh kebelakang, kemudian berbalik menghampiriku.
“Woy, melamun kamu?” tegur Ida mengagetkanku, seakan ada guntur menyambar, baru aku dan cowok itu sadar dan bergerak, aku masukkan makanan ke dalam mulut dan jalan lagi, cowok itu tetap dengan posisi semula, hanya saja dia tidak menoleh lagi. Sedangkan kini giliran Ida dan Irine yang mematung.
“Oh Adiittt,” Ucap Irine dengan tampang polos sambil manggut manggut “hah, Adit?” katanya lagi seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Semenjak hari itu segalanya tentang dia berbeda, sepertinya aku dan Adit selalu bertemu, namun aku masih belum tahu, apakah dia sudah tahu kalau aku adalah Rena yang suka neror dia selama ini atau tidak?
Adit ternyata satu kelas dengan Dito, mereka jurusan patiseri atau pembuat kue yang terdengar seperti “segerombolan orang dengan celemek warna pink dan suka masak” Dari hal itu kupikir patiseri hanya ada cewek dan kalaupun ada cowok pasti cowoknya kecewek-cewekan (mengerti?), yah, semacam cowok tapi feminin gitu (loh??), tapi itu ga sepenuhnya bener, nyatanya cowok-cowok di patisserie ku akui lebih ganteng daripada yang ada di 3 prodi lain dan gaya mereka keren.★★★★★★★★★★★★★★★★★★★
UTS pertamaku di SMK ini, kami para adik kelas duduknya diacak dengan jarak kursi yang berjauhan (kursi aja LDR-an) dan disandingkan dengan kakak kelas, dengan pengawas yang killer. Membayangkan hal itu membuatku harus belajar jika tidak ingin tewas dengan sukses dalam segala mata pelajaran.
Setiap malam aku ngeronda atau lembur malam sampai lupa cara tidur gara-gara indeks prestasi jeblok. Untung selama satu minggu UTS ku persiapkan dengan baik, jadi aku tidak perlu remidial alias mengulang segalanya dari awal.“Eh, Jan, lihat tuh, Adit!!!” kata Irine sambil menunjuk ke arah Adit dan Andy yang hendak pulang, karena Adit menuntun sepeda kesayangannya ke arah gerbang.
“Aduh Rin, semenjak salah paham “anjing” itu aku merasa bersalah sama dia, gimana nih, aku takut sekali kalau identitasku sampai terbongkar, sini pinjam novelmu dulu,” pintaku mau menggunakan novel itu untuk menutupi mukaku yang ketakutan.
Mereka berjalan ke arah gerbang dan kebetulan kami duduk di kursi samping gerbang, sudah sangat terlambat bagi kami, terkhusus bagiku untuk kabur, karena mereka sudah melihat kami dan akan semakin mencurigakan jika aku terang-terangan “menghindar” dari dia.
“Rin, sudah pergi belum si Aditnya?” tanyaku setengah berbisik.
Namun Irine tidak menjawab pertanyaanku, dia diam, aku masih menyembunyikan wajahku dibalik novel berjudul “The Mint” dan tak berani memantau Adit.
“Rin, dia sudah pergi belum?” tanyaku dengan volume yang lebih keras dari sebelumnya, mungkin Irine tidak mendengarku.
Bukannya jawab setiap pertanyaanku, Irine justru menginjak kakiku.
“Aduh, kamu kenapa sih, Rin?” aku menoleh ke arah Irine dengan tatapan tajam.
“Itu” katanya dengan suara yang setan pun tidak sanggup mendengar kata-katanya.
“Apa? Itu apa?” suaraku meninggi dengan tatapan tajam yang tak lepas dari Irine.
“Itu, Adit didepanmu!!!” katanya dengan nada sebal pula.
Ku lihat ke bawah, menunduk, tampaklah ada sepasang kaki disitu, waduh, aku bahkan tidak berani mendongak ke atas, apakah penyamaranku akan terbongkar secepat ini?
“Ayo, Dit, buruan bicara, mumpung orangnya di depanmu, tunggu apa lagi?” teriak Andy dengan senyum lebar dibibirnya, entah apa maksud dia berkata seperti itu. Tunggu dulu, “orangnya didepanmu?” batinku, bukankah, aku orang yang berada didepannya? Astaga! Mampus!
“Rin, ayo pergi dari sini, penyamaranku sudah terbongkar” kataku dengan gemetar menggenggam tangan Irine, suara setengah gila, sedangkan satu tangan lainnya masih berusaha menutupi muka dengan novel.
“Dengar dulu dia mau bicara apa sama kamu, jangan memperlihatkan ketakutanmu” bisik Irine tanpa menghiraukanku yang sudah setengah mati menahan degupan jantung, tangan yang gemetar dan keringat dingin yang bercucuran. Suasana sekolah juga sepi lagi, kebanyakan masih mengikuti remidial di kelas, bahkan yang ada di sekitar lapangan basket, voly sampai ke gerbang hanya ada kami berempat.
“Oke, jujur aku takut, please bawa aku pergi dari sini, rasanya gak karuan banget nih,” suaraku mulai memelas.
Tidak ada respon sama sekali dari Irine, malah dia mengambil novel dari depan mukaku dan dengan santai dia mulai membacanya. Kampret! Daripada gak jelas begini, Adit juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun bahkan kakinya tidak bergerak seinchi pun, maka ku putuskan untuk berdiri dan kabur, ketika aku berdiri aku tersentak, Adit tampak terkejut, pula diriku, wajah kami berdekatan, sangat dekat bahkan, mungkin dia bisa merasakan hembusan napasku dan mendengar detak jantungku. Tak lama kemudian dengan gaya cool-nya dia tersenyum tipis.Dengan muka malu aku berlari dan pergi, sumpah, aku berlari begitu cepat, seperti dikejar kereta, aku harus menghindar, aku harus menghilang dari hadapannya, sebelum kewarasanku yang sirna.
Sayup-sayup ku dengar Irine berteriak dibelakangku “ Jana, tunggu aku!” serta suara tawa dari Adit dan Andy. Aku langsung terduduk lemas dibangku kantin, lututku terasa terlepas dari tulang-tulangnya, kupandangi kedua lututku yang masih gemetar.
“Terimakasih telah menyelamatkan aku” ucapku lalu mengusap kedua lututku, sekilas terbayang senyum tipis Adit dibenakku, tanpa sadar aku tertawa.
"Hahaha, Sial!"
Bab V Pagi harinya, seperti biasa aku berangkat sekolah, tidak ada yang istimewa, segalanya berjalan sesuai rutinitas, hanya saja, aku tidak dapat pergi lebih pagi, karena si ‘anak setan’bangun lebih pagi daripada biasanya. Sesampainya disekolah, Ida dan Irine duduk mengelilingi bangku ku. Irine sudah cerita ke Ida tentang kejadian Adit yang menghampiriku kemarin. “Apa? Kamu suka Aditian?” Ida hampir saja membuat teman sekelas salah paham dengan pertanyaannya itu. “Aku gak bilang suka ya, Da, aku Cuma bilang, ada perasaan aneh yang menjalariku setiap kali aku bertemu dengan dia” aku berusaha menjelaskan pada kedua sohibku itu tentang apa yang aku rasakan ketika aku berhadapan dengan sosok yang bernama Aditian itu, ada berbagai macam rasa, manis, asem, gurih, nano-nano. “Menurutku kamu suka, bukan, memang kamu cinta Aditian, kenapa aku bisa bilang begitu? Biasanya di drama korea begitu to, kalau kamu be
Enam bulan sudah kami lalui di sekolah ini, setelah ujian semester usai kami libur selama beberapa minggu, menghabiskan libur semester sekaligus natal dan tahun baru. Aku memutuskan untuk pulang, menikmati waktu libur bersama keluarga di rumah. Tak banyak yang aku lakukan, hanya di rumah dan sesekali jalan-jalan. Rumahku berada diluar kota Semarang, disebuah desa kecil nan permai, aku sangat menikmati liburan semester ini, terbebas dari setiap beban tugas di sekolah, bebas dari si ‘anak setan’, tapi ada terselip rindu untuk sahabat-sahabatku, Irine dan Ida. Komunikasi di desaku tidak lancar, sebab keterbatasan jaringan internet. Oleh karena itu aku jarang telpon atau sms Ida dan Irine, aku tak tahu kabar mereka. Begitu liburan usai, aku senang karena dapat berkumpul dengan mereka, hanya mereka yang mengerti diriku, selain orangtua. Beberapa hari kami masuk sekolah, masih belum ada mata pelajaran yang diajarkan, hanya regristasi dan penetapan jadwal
Pagi ini aku bangun dengan perasaan was-was, karena hari ini adalah hari penting, yakni pembagian rapot. Aku mencemaskan nilaiku di semester pertamaku disini, orangtuaku tidak bisa datang untuk pengambilan raport, jadi yang mewakili mereka adalah tante Anna. Tante Anna adalah orang yang tegas, bisa kena marah kalau ternyata nilaiku dibawah standar. Tante Anna membawa Dika, karena tidak ada orang dirumah, kami berangkat pukul 8.00 WIB karena acara dimulai pukul 09.00, kami menaiki motor menuju sekolah. Setibanya kami disekolah, parkiran diluar sudah penuh, jadi kami masuk ke parkiran dalam. Suasana sekolah saat itu sudah penuh sesak dengan para wali murid bersama dengan siswa. Ada satu panggung besar ditengah lapangan basket, dan ada kursi yang sudah disediakan didepan panggung itu agar para tamu dapat menikmati penampilan siswa berbakat, tentu bukan diriku, mereka adalah orang dengan suara yang bagus, bisa dance bahkan ada yang lihai menari tarian tradisional. Pang
Aku menyimpan cupcake pemberian Adit didalam kulkas paling atas, dengan tulisan “Jangan dimakan”, karena itu merupakan kenangan pertama, pemberian pertama dari Adit, aku tidak tega menggigit lalu menelan cupcake yang lucu itu. Mungkinkah Adit sudah mengetahui perasaanku? Identitasku sebagai Rena belum terbongkar kan?Entahlah! Semua kacau karena Dika, si anak setan itu.Tak lama setelah kejadian cupcake beserta pengakuan tidak langsung yang terucapkan oleh si anak setan itu, aku mendengar bahwa Adit putus dengan pacarnya, yang ku tahu bernama Tania. Aku tidak tahu perasaanku setelah mendengar kabar itu dari Irine, antara bersalah dan bahagia karena hubungan mereka berakhir. Namun setelah mereka putus, aku juga merasa kalau sikap Adit tambah dingin terhadap siapa pun terutama kepadaku. 🍁🍁🍁Tahun pertamaku disini be
21 April 2014, hari kartini, pihak OSIS membuat acara setelah apel pagi dan perayaan hari Kartini, semua siswa harus memakai pakaian adat, akan diadakan berbagai lomba, tapi aku tidak berminat ikut lomba-lomba seperti itu, sebenarnya bukan tidak berminat sih, tapi tidak ada bakat, hahahak, dasar aku. Aku janjian sama Ida dan Irine untuk dandan bareng dikosku, karena letak kosku dekat sekolah juga. Sehari sebelum hari H, Irine membawa seperangkat alat tempur, yang sebagian besar aku tidak mengerti namanya, yang kutahu hanya catok, alas bedak, lisptik. Ida datang terlebih dahulu, jam 5 dia sudah buat huru-hara dirumah orang, “Jana, Jana!” Teriaknya sambil menggedor-gedor pintu luar dan jendela kamarku. “Iya, iya,” dengan mata setengah terpejam aku susah payah menemukan knop pintu kamar. “Kamu datangnya kepagian, kenapa gak jam 2 subuh aja kamu datang,” aku masih mengucek-ngucek mata yang membiasakan dengan cahaya sekitar. “Iya dong, kan mau dandan
Aku baru selesai memandikan si anak setan, aku bergegas meraih sepedaku dan meluncur ke sekolah, aku tidak ingin terlambat lalu dihukum berlari keliling lapangan. Aku memasuki lingkungan sekolah bertepatan dengan bunyi bel tanda masuk. Aku berlari melewati lapangan, menyusuri tangga hingga lantai 4, berlarian di lorong membuat langkah kakiku menggema ke seluruh penjuru. “Huh, hampir aja”. Seruku ketika menggenggam gagang pintu kelas, ku dapati belum ada guru yang masuk. Aku langsung duduk di bangku, disamping Ida. “Napas Jan, napassss”, katanya melihatku kehabisan napas. Tak lama Bu Valentina masuk, kamipun belajar tentang perjalanan obat di dalam tubuh, dari mulai masuknya sampai dikeluarkan. “Jan, bener gak sih berita kalau kamu naksir Adit?” Anggita, teman yang duduk di depanku tiba-tiba bertanya, aku tak bisa menyembunyikan eskpresi terkejut dari wajahku. “Darimana kamu dengar berita itu?”, aku mencoba mencari info
Aku melemparkan diriku ke atas kasur, “hari yang sangat melelahkan,” batinku. Setelah melalui hari tanpa Adit, dan menyadari kenaifanku tak berani memasuki ruangan itu, meskipun aku tepat didepannya. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan gema tawa yang terngiang di telingaku. Matahari bersinar begitu terik, walaupun begitu anak-anak Benedictus menikmati penampilan tari dalam acara open house SMK bergengsi ini. “Woaaaaa,” teriakan para buaya dan sepupunya, biawak pun ikut memanas mengiringi beat dance. “ Jan, turun ke ba
Siang ini matahari bersinar begitu terik, aku ingin segera pulang ke rumah, mandi dan istirahat. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan laju untuk menghemat waktu mencapai rumah, karena aku suda lelah. "Cin-cot-ciiitttt." Ban sepedaku yang bagian depan berderit, bunyi derit itu memekakkan telingaku. Aku menepikan sepeda dan mengeceknya, ban depanku kempes. Sial! Aku menuntun sepedaku, mencari bengkel. Setelah berjalan selama 15 menit, aku menemukan bengkel. "Bang, tolong, ban sepeda saya kempes." Abang-abang yang daritadi sibuk otak-atik motor pun, beralih ke sepedaku. Aku mengecek uang di kantong seragam, hah? tersisa 5000. Aku menunggu 5 menit, si Abang memompa sepedaku. "Ini annti kalau kempes lagi, berarti ban sepeda kamu bocor ya." "Oke bang, terimakasih." Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah itu kepadanya. Habis duitku. Akupun me
Aku menyeka air mataku, ini momen terakhir, ujung perjalanan masa remajaku. Aku kembali berjalan menyusuri lorong indah itu, tak hentinya menatap pajangan foto sebagai saksi kebersamaan kami selama 3 tahun. Aku menyusuri lorong itu bersama Ida dan Irine. Ida memakai mini dress berwarna hitam, dengan make up tipis ala remaja, dan sepatu kets dengan warna senada. Irine memakai dress brokat berwarna merah cabe dengan berbagai hiasan bunga dibagian depannya, ia menawan dengan tambahan high heels hitamnya. Malam ini, semua tampak berbeda, meskipun ukurannya kami masih 17 tahun, tapi malam ini penampilan kami layaknya wanita dewasa. "Jan, ada apa dengan kakimu?" Ida menghentikan langkahku, kini kami semua tertuju pada kaki ku. Ada memar biru dibagian lutut sebelah kiri. Ah, aku tidak menyadarinya, pantas saja rasanya sakit dari tadi, ternyata sudah berbekas. " Apa karena kecelakaan tadi?" Ida mengernyitkan keningnya, tatapannya tulus sekali, dia benar-benar khawatir.
Setelah menghadapi berbagai ujian dan pencobaan hidup, kini saatnya pesta perpisahan. Memang, saat awal masuk sekolah ini, rasanya ingin cepat lulus, tapi saat momen kelulusan di depan mata, rasanya masih belum rela bahwa semuanya sudah terlewati begitu saja. "Jan, kamu sudah menemukan baju yang akan kamu pakai untuk acara kelulusan?" Irine duduk di sampingku, diikuti oleh Ida. Kami bertiga duduk di tepi lapangan basket, duduk santai, melihat klub basket sedang latihan. "Belum, kamu?" Tanyaku balik kepada Irine, aku belum sempat mencari baju yang akan ku pakai untuk acara Minggu depan, saat pengumuman kelulusan disampaikan sekaligus acara perpisahan. Semua akan diadakan di sekolah. " Bagaimana dengan perasaanmu Jan," tanya Ida membuyarkan konsentrasi ku dari klub basket, Adit berhasil memasukkan bola ke ring, rasanya ingin berteriak, tapi aku harus mengendalikan diri. "Perasaan? Perasaan apa?" Aku masih belum bisa sepenuhnya mengalihkan fokus&nb
Ketika aku berbalik untuk pergi meninggalkan aku melihat Ida dan Irine, sekilas Dito berdiri dilantai 2 sedang memperhatikan kami, dia entah kapan, mungkin dia hanya menikmati drama persahabatan ini. Aku berlari dengan air mata, diikuti oleh sumpah serapah Ida yang begitu jelas dan terngiang-ngiang ditelingaku. Sesampainya di kos, aku menangis sesenggukan, kami sudah bersahabat bertahun-tahun, sekarang tanpa hanya karena hal-hal sepele. Ku benamkan menangis dalam-dalam di bantal, menangis sekencang mungkin, suara tangisku teredam oleh busa bantal. Tok tok.
Hari ini adalah hari yang menguras energi ku, Ida marah padaku lantaran saat ulangan kimia aku tidak memberi contekan kepadanya."Da, sudahlah, aku kan sudah memberikan catatan ku padamu, bukannya dipelajari, kamu malah minta contekan," aku mempercepat jalanku berusaha menyamai kecepatan Ida yang ada beberapa meter didepan. Dia sama sekali tidak menoleh, aku sendiri sadar kemarahannya memuncak ketika Bu Risa tahu dia akan mencontek dan kertas ulangannya langsung diambil, tanpa ampun, dia mendapat nilai 30 plus dipermalukan didepan kelas karena sikapnya itu."Hei! Dengarkan aku!" Aku meraih tangan Ida sebelum dia mencapai gerbang sekolah. Dengan kasar dia hempaskan genggamanku dan langsung berjalan menjauh, aku mematung, apakah tidak ada sedikit saja kesadaran dalam dirinya, bahwa yang dia lakukan juga salah. 🍁🍁🍁Aku
Pelajaran sejarah sungguh membosankan, sudah siang, jam terakhir, pelajaran sejarah, ditambah suara Bu Endang yang mendayu merdu, meja di kelas menjadi tempat ternyaman untuk tidur rupanya. Mataku sudah tertutup beberapa kali, aku tidak boleh tidur, karena aku duduk di bangku depan, tapi ...aku tertidur. Aku terbangun ketika mendengar riuhnya gelak tawa anak-anak dikelas, "Oh, ternyata dia dengar, sekarang dia sudah sadar," Bu Endang tersenyum lembut ke arahku. Aku yang masih belum "ngeh" menatap linglung sekitarku, semua mata menatap ke arahku, beberapa dengan bisik-bisik, beberapa lagi dengan tangan menutupi mulut menahan tawa. "Jan, malu-maluin lu ah," Ida menepuk punggung ku , dai duduk di sampingku. Tega-teganya dia tidak membangunkan ku. "Kamu sih, kenapa gak bangunin aku, bukannya tadi kamu juga tidur," bisikku dengan mata melotot. " Iya, aku tadi tidur, tapi tidur ayam, jadi bangun lagi, kamu? Enak banget tidurnya, be
Semester demi semester ku lalui di sekolah ini. Tempat sederhana yang begitu berharga, dengan segala kejadian, tangis, kenangan, tawa, dan dia. Hari ini pemngambilan rapor di tahun keduaku. Seperti sebelumnya, orangtuaku tidak dapat menghadiri acara pengambilan rapot karena jarak. Tante Anna satu-satunya pilihanku, meski hubungan kami tidak sebaik sebelum kejadian menyedihkan yang berlangsung beberapa Minggu sebelumnya, setidaknya di depan umum, kami "baik-baik saja." " Nilaimu turun, Jana. Tante pikir itu karena kamu belum bisa membagi waktu belajar, apalagi sekarang kamu kos," nada bicara Tante Anna sangat sarkastik. "Iya, Tante, di tahun berikutnya aku akan berusaha lebih baik lagi, mengatur waktu lebih baik lagi," aku berusaha untuk tetap menghormatinya sebagai adik ibuku, dan orang yang lebih tua tentunya. Kami berjalan melewati lorong menuju lapangan, tempat stand-stand berada, meninggalkan Ida dan Irine masih di lantai 4 menunggu oran
Aku tidak bisa tidur malam ini. Terus terjaga dalam lemari gelap dan sesak itu, ingin keluar, namun bayangan om Adi membuatku mengurungkan niat. Pukul 5 pagi, aku keluar dari lemari pakaian. Aku mandi, dan bergegas pergi ke sekolah. Aku tidak memiliki tempat tujuan selain sekolah sekarang. Masih terlalu awal, aku sampai di sekolah saat masi sangat sepi. Aku masuk ke dalam kelas, duduk di bangku pohon belakang, mencari tempat aman untuk menutupi kesedihan dan ketakutan ku. Kedua mataku kini telah membengkak karena semalaman menangis. Aku telungkup di meja, berusaha untuk tidak mengingat kejadian mengerikan itu, dan menahan tangis. Sepanjang pelajaran aku hanya menunduk, untungnya beberapa guru tidak masuk dan hanya meninggalkan tugas. Kriiing...kringgg. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan ke kantin. Aku masih terduduk di bangku ku, memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. "Wo
Siang ini matahari bersinar begitu terik, aku ingin segera pulang ke rumah, mandi dan istirahat. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan laju untuk menghemat waktu mencapai rumah, karena aku suda lelah. "Cin-cot-ciiitttt." Ban sepedaku yang bagian depan berderit, bunyi derit itu memekakkan telingaku. Aku menepikan sepeda dan mengeceknya, ban depanku kempes. Sial! Aku menuntun sepedaku, mencari bengkel. Setelah berjalan selama 15 menit, aku menemukan bengkel. "Bang, tolong, ban sepeda saya kempes." Abang-abang yang daritadi sibuk otak-atik motor pun, beralih ke sepedaku. Aku mengecek uang di kantong seragam, hah? tersisa 5000. Aku menunggu 5 menit, si Abang memompa sepedaku. "Ini annti kalau kempes lagi, berarti ban sepeda kamu bocor ya." "Oke bang, terimakasih." Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah itu kepadanya. Habis duitku. Akupun me
Aku melemparkan diriku ke atas kasur, “hari yang sangat melelahkan,” batinku. Setelah melalui hari tanpa Adit, dan menyadari kenaifanku tak berani memasuki ruangan itu, meskipun aku tepat didepannya. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan gema tawa yang terngiang di telingaku. Matahari bersinar begitu terik, walaupun begitu anak-anak Benedictus menikmati penampilan tari dalam acara open house SMK bergengsi ini. “Woaaaaa,” teriakan para buaya dan sepupunya, biawak pun ikut memanas mengiringi beat dance. “ Jan, turun ke ba