Beranda / Romansa / Renjana / Bab VI: "Kau menatapku seolah tiada jarak diantara kita, seakan tiada yang lain selain kita"

Share

Bab VI: "Kau menatapku seolah tiada jarak diantara kita, seakan tiada yang lain selain kita"

Penulis: Priscilla
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-29 15:05:45

      Enam bulan sudah kami lalui di sekolah ini, setelah ujian semester usai kami libur selama beberapa minggu, menghabiskan libur semester sekaligus natal dan tahun baru. Aku memutuskan untuk pulang, menikmati waktu libur bersama keluarga di rumah. Tak banyak yang aku lakukan, hanya di rumah dan sesekali jalan-jalan. Rumahku berada diluar kota Semarang, disebuah desa kecil nan permai, aku sangat menikmati liburan semester ini, terbebas dari setiap beban tugas di sekolah, bebas dari si ‘anak setan’, tapi ada terselip rindu untuk sahabat-sahabatku, Irine dan Ida.

 Komunikasi di desaku tidak lancar, sebab keterbatasan jaringan internet. Oleh karena itu aku jarang telpon atau sms Ida dan Irine, aku tak tahu kabar mereka. Begitu liburan usai, aku senang karena dapat berkumpul dengan mereka, hanya mereka yang mengerti diriku, selain orangtua. Beberapa hari kami masuk sekolah, masih belum ada mata pelajaran yang diajarkan, hanya regristasi dan penetapan jadwal pelajaran. Kemudian di Minggu berikutnya diumumkan bahwa akan ada perayaan natal dan tahun baru untuk semua siswa, ini merupakan tradisi sekolah, yang katanya menjadi momen yang tak terlewatkan untuk ujuk kecantikan. 

 “Kamu punya dress?” tanya Irine padaku, kami bertiga nongkrong di Ciputra setelah pulang sekolah.

“Memangnya harus pakai dress?” aku bertanya balik pada kedua sahabatku yang sedang menikmati Ice Cream.

“Iya lah, ini kan momen penting, kamu gak mau terlihat berbeda didepan Adit?” Ida menimpaliku, sambil memasukan satu sendok besar Ice Cream ke dalam mulutnya.

“Berbeda? Ah, aku tidak suka jadi pusat perhatian, aku lebih suka membaur,” ungkapku secara jujur meletakkan tangan didadaku untuk mendramatisir suasana.

“Dasar! Justru kamu harus tampil beda, harus jadi pusat perhatian, siapa tahu kan, Adit jatuh hati sama kamu.” Irine kekeuh supaya aku tampil beda.

“Ih, sudahlah, apapun yang aku pakai itu urusanku, kalian pikirkan diri kalian sendiri aja,” kataku kepada Ida dan Irine yang keras kepala itu.

“Terserah anda ya beb, yang penting kita sudah kasih saran sama kamu,” kata Ida menyendok Ice Cream terakhir ke dalam mulutnya, “Aku harus tampil mempesona, demi mendapatkan hatinya Ditoku sayang, hihihihi,” lanjut Ida.

                             🍁🍁🍁

 Acara natal bersama diadakan lapangan sekolah, acara dimulai jam 5 sore, tetapi kelas kami harus kumpul sebelum itu karena sesuai kesepakatan, kami akan tukar kado, sebagai acara tambahan khusus kelas kami. Aku datang lebih awal karean tante Ana tidak bisa mengantarku selain jam 3. Aku masuk kemudain mendaftarkan namaku, lalu naik kelantai 4, belum ada tanda-tanda Irine, Ida atau teman sekelasku yang lain. Aku berdiri menatap langit sore itu dari ketinggian, imajinasiku sudah berputar-putar memenuhi kepala.

“Hei.” Aku terlonjak, Ida sudah datang ternyata, dia tampak anggun dengan dress merah menyalanya, yang begitu pas dengan tubuhnya.

“Wah, kamu beda banget sih, keren!” Pujiku padanya, ia hanya senyum menunjukkan deretan giginya.

“Iya dong, harus tampil cantik, demi dia,” bola mata Ida berbinar ketika menyebut kata ”dia”.

“Hello guys, kalian datangnya awal banget sih,” Ima, teman sekelasku datang, ia mengenakan dress hitam selutut yang kontras dengan kulitnya yang putih, membuatnya bersinar dengan balutan dress cantik itu. “Kalian tidak lupa membawa kado kan?” tanya Ima sambil menyisir anak rambut yang jatuh ke wajah ayunya. Aku dan Ida serempak mengangkat bungkusan yang sudah kami persiapkan. 

“Oke, aku masuk kelas duluan ya,” Ima memutuskan untuk menunggu yang lain didalam kelas, sedangkan aku dan Ida masih berdiri dilorong. Kami sama-sama menikmati senja sore itu, matahari yang hampir terbenam membiaskan semburat jingganya yang indah. Hiruk pikuk dibawah bertambah seiring dengan bertambahnya siswa yang datang. Mereka semua cantik dengan setelan dress indah yang membalut tubuh mereka yang proporsional dan putih. Aku hanya datang dengan blouse polkadot, celana jeans hitam, rambutku hanya ku kucir kuda, dengan make up tipis. Yeah, apalah aku ini jika dibandingkan mereka, yang memiliki selera dan standar kecantikan yang tinggi.

“Astaga!” Ida menatapku sambil menutup mulut dengan kedua tangannya.

“Kamu kenapa?” Tanyaku memastikan bahwa dia baik-baik saja.

“Lihat ke arah jam 12,” ucapnya lagi. Aku menoleh ke arah jam 12, pada gedung tepat diseberang kami, 4 lantai.

“Apa? Aku tidak melihat apapun selain lorong kosong diseberang sana,” kataku dengan mata yang masih menyapu lorong tanpa penghuni di gedung seberang.

“Maaf, bukan dilantai 4, arah jam 12 dilantai 3,” koreksi Ida, aku menurunkan pandangan dengan arah yang sama. Aku mematung, tak bisa berkutik, dia mengenakan kemeja merah maroon dengan dasi hitam terpasang rapi, bukan penampilannya yang mengejutkanku, namun sosok yang menatap tepat kearahku. Jarak kami hanya lapangan basket dibawah, gedung tempatku berdiri tepat ada dihadapannya. Dia berdiri mematung, dia mendekatkan dirinya ke arah pembatas, menopangkan kedua tangannya pada pembatas itu dengan terus menatap ke arahku, seolah tidak ada jarak diantara kita, seolah tidak ada oranglain selain kita. Aku berdiri dengan Ida disampingku, dan Adit berdiri dengan Dito disampingnya. 

“Dito ganteng banget dengan kemeja merahnya, pasti akan serasi denganku,” Ida membenarkan poni kotaknya yang menutupi sebagian dahinya. 

Aku tak kuasa menahan desiran hati yang meluap dibalik dada, aku tak kuasa menahan senyum bahagia ketika dia menatap seperti itu. Aku langsung menyembunyikan diri dibalik tembok yang ada didekatku. Aku memegang dadaku, detak jantungku tak karuan, aku tersenyum, bahkan tertawa. Aku bisa gila jika terus-terusan begini!

Acara dimulai tepat jam 5, dibuka dengan doa yang dipanjatkan oleh Romo. Aku mengambil tempat duduk baris ketiga dari depan, tapi tiba-tiba panitia menyuruhku untuk mengisi bangku paling depan yang masih kosong. Aku, Ida dan Irine duduk dibangku paling depan dengan canggung. Tempat duduk kami sangat strategis, tepat disamping panggung. Tak segaja aku melihat sepasang mata yang mungkin sudah sedari tadi menatapku dengan cara yang misterius, dia duduk dibangku paling depan di seberang, Aditian. Aku semakin canggung dan salah tingkah malam ini, karena sepanjang acara ku pergoki beberapa kali dia menatapku. Ia duduk dengan teman satu gengnya, Dito dan Andy, ku lihat Ida juga salah tingkah karena Dito ada tepat diseberangnya, hanya panggung acara ini yang memisahkan kami. Aku tidak mengerti kenapa dia terus menatapku, apakah penampilanku norak? Ataukah ada yang aneh denganku? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar dikepalaku, apakah Dia sudah mengetahui bahwa aku Rena? Atau Dia hanya penasaran terhadapku? Entahlah! Apapun yang ada dalam benaknya, aku tidak tahu, aku hanya ingin menikmati malam ini, malam yang cerah, dengan sinar rembulan yang indah, ditambah matanya yang selalu terarah padaku. Malam ini, malam natal oertama di sekolah ini, malam dengan waktu yang berjalan lebih lambat dari biasanya, suatu saat aku akan selalu terkenang akan malam ini.

Bab terkait

  • Renjana   Bab VII: Pengakuan

    Pagi ini aku bangun dengan perasaan was-was, karena hari ini adalah hari penting, yakni pembagian rapot. Aku mencemaskan nilaiku di semester pertamaku disini, orangtuaku tidak bisa datang untuk pengambilan raport, jadi yang mewakili mereka adalah tante Anna. Tante Anna adalah orang yang tegas, bisa kena marah kalau ternyata nilaiku dibawah standar. Tante Anna membawa Dika, karena tidak ada orang dirumah, kami berangkat pukul 8.00 WIB karena acara dimulai pukul 09.00, kami menaiki motor menuju sekolah. Setibanya kami disekolah, parkiran diluar sudah penuh, jadi kami masuk ke parkiran dalam. Suasana sekolah saat itu sudah penuh sesak dengan para wali murid bersama dengan siswa. Ada satu panggung besar ditengah lapangan basket, dan ada kursi yang sudah disediakan didepan panggung itu agar para tamu dapat menikmati penampilan siswa berbakat, tentu bukan diriku, mereka adalah orang dengan suara yang bagus, bisa dance bahkan ada yang lihai menari tarian tradisional. Pang

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-29
  • Renjana   Bab VIII: " Surat Valentine untuk Adit"

    Aku menyimpan cupcake pemberian Adit didalam kulkas paling atas, dengan tulisan “Jangan dimakan”, karena itu merupakan kenangan pertama, pemberian pertama dari Adit, aku tidak tega menggigit lalu menelan cupcake yang lucu itu. Mungkinkah Adit sudah mengetahui perasaanku? Identitasku sebagai Rena belum terbongkar kan?Entahlah! Semua kacau karena Dika, si anak setan itu.Tak lama setelah kejadian cupcake beserta pengakuan tidak langsung yang terucapkan oleh si anak setan itu, aku mendengar bahwa Adit putus dengan pacarnya, yang ku tahu bernama Tania. Aku tidak tahu perasaanku setelah mendengar kabar itu dari Irine, antara bersalah dan bahagia karena hubungan mereka berakhir. Namun setelah mereka putus, aku juga merasa kalau sikap Adit tambah dingin terhadap siapa pun terutama kepadaku. 🍁🍁🍁Tahun pertamaku disini be

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Renjana   Bab IX: Tarik Ulur

    21 April 2014, hari kartini, pihak OSIS membuat acara setelah apel pagi dan perayaan hari Kartini, semua siswa harus memakai pakaian adat, akan diadakan berbagai lomba, tapi aku tidak berminat ikut lomba-lomba seperti itu, sebenarnya bukan tidak berminat sih, tapi tidak ada bakat, hahahak, dasar aku. Aku janjian sama Ida dan Irine untuk dandan bareng dikosku, karena letak kosku dekat sekolah juga. Sehari sebelum hari H, Irine membawa seperangkat alat tempur, yang sebagian besar aku tidak mengerti namanya, yang kutahu hanya catok, alas bedak, lisptik. Ida datang terlebih dahulu, jam 5 dia sudah buat huru-hara dirumah orang, “Jana, Jana!” Teriaknya sambil menggedor-gedor pintu luar dan jendela kamarku. “Iya, iya,” dengan mata setengah terpejam aku susah payah menemukan knop pintu kamar. “Kamu datangnya kepagian, kenapa gak jam 2 subuh aja kamu datang,” aku masih mengucek-ngucek mata yang membiasakan dengan cahaya sekitar. “Iya dong, kan mau dandan

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Renjana   Bab X:" Perlahan tapi pasti, ku melangkah menjauhi kebahagiaan"

    Aku baru selesai memandikan si anak setan, aku bergegas meraih sepedaku dan meluncur ke sekolah, aku tidak ingin terlambat lalu dihukum berlari keliling lapangan. Aku memasuki lingkungan sekolah bertepatan dengan bunyi bel tanda masuk. Aku berlari melewati lapangan, menyusuri tangga hingga lantai 4, berlarian di lorong membuat langkah kakiku menggema ke seluruh penjuru. “Huh, hampir aja”. Seruku ketika menggenggam gagang pintu kelas, ku dapati belum ada guru yang masuk. Aku langsung duduk di bangku, disamping Ida. “Napas Jan, napassss”, katanya melihatku kehabisan napas. Tak lama Bu Valentina masuk, kamipun belajar tentang perjalanan obat di dalam tubuh, dari mulai masuknya sampai dikeluarkan. “Jan, bener gak sih berita kalau kamu naksir Adit?” Anggita, teman yang duduk di depanku tiba-tiba bertanya, aku tak bisa menyembunyikan eskpresi terkejut dari wajahku. “Darimana kamu dengar berita itu?”, aku mencoba mencari info

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Renjana   Bab XI: Sepasang Mata

    Aku melemparkan diriku ke atas kasur, “hari yang sangat melelahkan,” batinku. Setelah melalui hari tanpa Adit, dan menyadari kenaifanku tak berani memasuki ruangan itu, meskipun aku tepat didepannya. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan gema tawa yang terngiang di telingaku. Matahari bersinar begitu terik, walaupun begitu anak-anak Benedictus menikmati penampilan tari dalam acara open house SMK bergengsi ini. “Woaaaaa,” teriakan para buaya dan sepupunya, biawak pun ikut memanas mengiringi beat dance. “ Jan, turun ke ba

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-05
  • Renjana   Bab XII: Pengalaman Menyedihkan

    Siang ini matahari bersinar begitu terik, aku ingin segera pulang ke rumah, mandi dan istirahat. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan laju untuk menghemat waktu mencapai rumah, karena aku suda lelah. "Cin-cot-ciiitttt." Ban sepedaku yang bagian depan berderit, bunyi derit itu memekakkan telingaku. Aku menepikan sepeda dan mengeceknya, ban depanku kempes. Sial! Aku menuntun sepedaku, mencari bengkel. Setelah berjalan selama 15 menit, aku menemukan bengkel. "Bang, tolong, ban sepeda saya kempes." Abang-abang yang daritadi sibuk otak-atik motor pun, beralih ke sepedaku. Aku mengecek uang di kantong seragam, hah? tersisa 5000. Aku menunggu 5 menit, si Abang memompa sepedaku. "Ini annti kalau kempes lagi, berarti ban sepeda kamu bocor ya." "Oke bang, terimakasih." Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah itu kepadanya. Habis duitku. Akupun me

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-08
  • Renjana   Bab XIII: Pergi

    Aku tidak bisa tidur malam ini. Terus terjaga dalam lemari gelap dan sesak itu, ingin keluar, namun bayangan om Adi membuatku mengurungkan niat. Pukul 5 pagi, aku keluar dari lemari pakaian. Aku mandi, dan bergegas pergi ke sekolah. Aku tidak memiliki tempat tujuan selain sekolah sekarang. Masih terlalu awal, aku sampai di sekolah saat masi sangat sepi. Aku masuk ke dalam kelas, duduk di bangku pohon belakang, mencari tempat aman untuk menutupi kesedihan dan ketakutan ku. Kedua mataku kini telah membengkak karena semalaman menangis. Aku telungkup di meja, berusaha untuk tidak mengingat kejadian mengerikan itu, dan menahan tangis. Sepanjang pelajaran aku hanya menunduk, untungnya beberapa guru tidak masuk dan hanya meninggalkan tugas. Kriiing...kringgg. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan ke kantin. Aku masih terduduk di bangku ku, memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. "Wo

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-08
  • Renjana   Bab XIV: Phobia

    Semester demi semester ku lalui di sekolah ini. Tempat sederhana yang begitu berharga, dengan segala kejadian, tangis, kenangan, tawa, dan dia. Hari ini pemngambilan rapor di tahun keduaku. Seperti sebelumnya, orangtuaku tidak dapat menghadiri acara pengambilan rapot karena jarak. Tante Anna satu-satunya pilihanku, meski hubungan kami tidak sebaik sebelum kejadian menyedihkan yang berlangsung beberapa Minggu sebelumnya, setidaknya di depan umum, kami "baik-baik saja." " Nilaimu turun, Jana. Tante pikir itu karena kamu belum bisa membagi waktu belajar, apalagi sekarang kamu kos," nada bicara Tante Anna sangat sarkastik. "Iya, Tante, di tahun berikutnya aku akan berusaha lebih baik lagi, mengatur waktu lebih baik lagi," aku berusaha untuk tetap menghormatinya sebagai adik ibuku, dan orang yang lebih tua tentunya. Kami berjalan melewati lorong menuju lapangan, tempat stand-stand berada, meninggalkan Ida dan Irine masih di lantai 4 menunggu oran

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-12

Bab terbaru

  • Renjana   Bab XIX: "A Night To Remember"

    Aku menyeka air mataku, ini momen terakhir, ujung perjalanan masa remajaku. Aku kembali berjalan menyusuri lorong indah itu, tak hentinya menatap pajangan foto sebagai saksi kebersamaan kami selama 3 tahun. Aku menyusuri lorong itu bersama Ida dan Irine. Ida memakai mini dress berwarna hitam, dengan make up tipis ala remaja, dan sepatu kets dengan warna senada. Irine memakai dress brokat berwarna merah cabe dengan berbagai hiasan bunga dibagian depannya, ia menawan dengan tambahan high heels hitamnya. Malam ini, semua tampak berbeda, meskipun ukurannya kami masih 17 tahun, tapi malam ini penampilan kami layaknya wanita dewasa. "Jan, ada apa dengan kakimu?" Ida menghentikan langkahku, kini kami semua tertuju pada kaki ku. Ada memar biru dibagian lutut sebelah kiri. Ah, aku tidak menyadarinya, pantas saja rasanya sakit dari tadi, ternyata sudah berbekas. " Apa karena kecelakaan tadi?" Ida mengernyitkan keningnya, tatapannya tulus sekali, dia benar-benar khawatir.

  • Renjana   Bab XViii: Promnight

    Setelah menghadapi berbagai ujian dan pencobaan hidup, kini saatnya pesta perpisahan. Memang, saat awal masuk sekolah ini, rasanya ingin cepat lulus, tapi saat momen kelulusan di depan mata, rasanya masih belum rela bahwa semuanya sudah terlewati begitu saja. "Jan, kamu sudah menemukan baju yang akan kamu pakai untuk acara kelulusan?" Irine duduk di sampingku, diikuti oleh Ida. Kami bertiga duduk di tepi lapangan basket, duduk santai, melihat klub basket sedang latihan. "Belum, kamu?" Tanyaku balik kepada Irine, aku belum sempat mencari baju yang akan ku pakai untuk acara Minggu depan, saat pengumuman kelulusan disampaikan sekaligus acara perpisahan. Semua akan diadakan di sekolah. " Bagaimana dengan perasaanmu Jan," tanya Ida membuyarkan konsentrasi ku dari klub basket, Adit berhasil memasukkan bola ke ring, rasanya ingin berteriak, tapi aku harus mengendalikan diri. "Perasaan? Perasaan apa?" Aku masih belum bisa sepenuhnya mengalihkan fokus&nb

  • Renjana   Bab XVII: " Arti Sahabat"

    Ketika aku berbalik untuk pergi meninggalkan aku melihat Ida dan Irine, sekilas Dito berdiri dilantai 2 sedang memperhatikan kami, dia entah kapan, mungkin dia hanya menikmati drama persahabatan ini. Aku berlari dengan air mata, diikuti oleh sumpah serapah Ida yang begitu jelas dan terngiang-ngiang ditelingaku. Sesampainya di kos, aku menangis sesenggukan, kami sudah bersahabat bertahun-tahun, sekarang tanpa hanya karena hal-hal sepele. Ku benamkan menangis dalam-dalam di bantal, menangis sekencang mungkin, suara tangisku teredam oleh busa bantal. Tok tok.

  • Renjana   Bab XVI: Drama Persahabatan

    Hari ini adalah hari yang menguras energi ku, Ida marah padaku lantaran saat ulangan kimia aku tidak memberi contekan kepadanya."Da, sudahlah, aku kan sudah memberikan catatan ku padamu, bukannya dipelajari, kamu malah minta contekan," aku mempercepat jalanku berusaha menyamai kecepatan Ida yang ada beberapa meter didepan. Dia sama sekali tidak menoleh, aku sendiri sadar kemarahannya memuncak ketika Bu Risa tahu dia akan mencontek dan kertas ulangannya langsung diambil, tanpa ampun, dia mendapat nilai 30 plus dipermalukan didepan kelas karena sikapnya itu."Hei! Dengarkan aku!" Aku meraih tangan Ida sebelum dia mencapai gerbang sekolah. Dengan kasar dia hempaskan genggamanku dan langsung berjalan menjauh, aku mematung, apakah tidak ada sedikit saja kesadaran dalam dirinya, bahwa yang dia lakukan juga salah. 🍁🍁🍁Aku

  • Renjana   Bab XV: Malu Tapi Mau

    Pelajaran sejarah sungguh membosankan, sudah siang, jam terakhir, pelajaran sejarah, ditambah suara Bu Endang yang mendayu merdu, meja di kelas menjadi tempat ternyaman untuk tidur rupanya. Mataku sudah tertutup beberapa kali, aku tidak boleh tidur, karena aku duduk di bangku depan, tapi ...aku tertidur. Aku terbangun ketika mendengar riuhnya gelak tawa anak-anak dikelas, "Oh, ternyata dia dengar, sekarang dia sudah sadar," Bu Endang tersenyum lembut ke arahku. Aku yang masih belum "ngeh" menatap linglung sekitarku, semua mata menatap ke arahku, beberapa dengan bisik-bisik, beberapa lagi dengan tangan menutupi mulut menahan tawa. "Jan, malu-maluin lu ah," Ida menepuk punggung ku , dai duduk di sampingku. Tega-teganya dia tidak membangunkan ku. "Kamu sih, kenapa gak bangunin aku, bukannya tadi kamu juga tidur," bisikku dengan mata melotot. " Iya, aku tadi tidur, tapi tidur ayam, jadi bangun lagi, kamu? Enak banget tidurnya, be

  • Renjana   Bab XIV: Phobia

    Semester demi semester ku lalui di sekolah ini. Tempat sederhana yang begitu berharga, dengan segala kejadian, tangis, kenangan, tawa, dan dia. Hari ini pemngambilan rapor di tahun keduaku. Seperti sebelumnya, orangtuaku tidak dapat menghadiri acara pengambilan rapot karena jarak. Tante Anna satu-satunya pilihanku, meski hubungan kami tidak sebaik sebelum kejadian menyedihkan yang berlangsung beberapa Minggu sebelumnya, setidaknya di depan umum, kami "baik-baik saja." " Nilaimu turun, Jana. Tante pikir itu karena kamu belum bisa membagi waktu belajar, apalagi sekarang kamu kos," nada bicara Tante Anna sangat sarkastik. "Iya, Tante, di tahun berikutnya aku akan berusaha lebih baik lagi, mengatur waktu lebih baik lagi," aku berusaha untuk tetap menghormatinya sebagai adik ibuku, dan orang yang lebih tua tentunya. Kami berjalan melewati lorong menuju lapangan, tempat stand-stand berada, meninggalkan Ida dan Irine masih di lantai 4 menunggu oran

  • Renjana   Bab XIII: Pergi

    Aku tidak bisa tidur malam ini. Terus terjaga dalam lemari gelap dan sesak itu, ingin keluar, namun bayangan om Adi membuatku mengurungkan niat. Pukul 5 pagi, aku keluar dari lemari pakaian. Aku mandi, dan bergegas pergi ke sekolah. Aku tidak memiliki tempat tujuan selain sekolah sekarang. Masih terlalu awal, aku sampai di sekolah saat masi sangat sepi. Aku masuk ke dalam kelas, duduk di bangku pohon belakang, mencari tempat aman untuk menutupi kesedihan dan ketakutan ku. Kedua mataku kini telah membengkak karena semalaman menangis. Aku telungkup di meja, berusaha untuk tidak mengingat kejadian mengerikan itu, dan menahan tangis. Sepanjang pelajaran aku hanya menunduk, untungnya beberapa guru tidak masuk dan hanya meninggalkan tugas. Kriiing...kringgg. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan ke kantin. Aku masih terduduk di bangku ku, memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. "Wo

  • Renjana   Bab XII: Pengalaman Menyedihkan

    Siang ini matahari bersinar begitu terik, aku ingin segera pulang ke rumah, mandi dan istirahat. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan laju untuk menghemat waktu mencapai rumah, karena aku suda lelah. "Cin-cot-ciiitttt." Ban sepedaku yang bagian depan berderit, bunyi derit itu memekakkan telingaku. Aku menepikan sepeda dan mengeceknya, ban depanku kempes. Sial! Aku menuntun sepedaku, mencari bengkel. Setelah berjalan selama 15 menit, aku menemukan bengkel. "Bang, tolong, ban sepeda saya kempes." Abang-abang yang daritadi sibuk otak-atik motor pun, beralih ke sepedaku. Aku mengecek uang di kantong seragam, hah? tersisa 5000. Aku menunggu 5 menit, si Abang memompa sepedaku. "Ini annti kalau kempes lagi, berarti ban sepeda kamu bocor ya." "Oke bang, terimakasih." Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah itu kepadanya. Habis duitku. Akupun me

  • Renjana   Bab XI: Sepasang Mata

    Aku melemparkan diriku ke atas kasur, “hari yang sangat melelahkan,” batinku. Setelah melalui hari tanpa Adit, dan menyadari kenaifanku tak berani memasuki ruangan itu, meskipun aku tepat didepannya. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan gema tawa yang terngiang di telingaku. Matahari bersinar begitu terik, walaupun begitu anak-anak Benedictus menikmati penampilan tari dalam acara open house SMK bergengsi ini. “Woaaaaa,” teriakan para buaya dan sepupunya, biawak pun ikut memanas mengiringi beat dance. “ Jan, turun ke ba

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status