Pagi harinya, seperti biasa aku berangkat sekolah, tidak ada yang istimewa, segalanya berjalan sesuai rutinitas, hanya saja, aku tidak dapat pergi lebih pagi, karena si ‘anak setan’bangun lebih pagi daripada biasanya.
Sesampainya disekolah, Ida dan Irine duduk mengelilingi bangku ku. Irine sudah cerita ke Ida tentang kejadian Adit yang menghampiriku kemarin.
“Apa? Kamu suka Aditian?” Ida hampir saja membuat teman sekelas salah paham dengan pertanyaannya itu.
“Aku gak bilang suka ya, Da, aku Cuma bilang, ada perasaan aneh yang menjalariku setiap kali aku bertemu dengan dia” aku berusaha menjelaskan pada kedua sohibku itu tentang apa yang aku rasakan ketika aku berhadapan dengan sosok yang bernama Aditian itu, ada berbagai macam rasa, manis, asem, gurih, nano-nano.
“Menurutku kamu suka, bukan, memang kamu cinta Aditian, kenapa aku bisa bilang begitu? Biasanya di drama korea begitu to, kalau kamu benci orang sehingga kamu memikirkan dia dari matahari terbit sampai tenggelam lama-kelamaan pasti kamu suka dia” Irine mulai angkat suara.
“Ah, terlalu banyak nonton drakor lu Rin! Kenapa gak sekalian saja kamu bilang kalau Aditian itu alien yang nyasar ke bumi, yang usianya sudah ribuan tahun” imajinasiku mulai tidak terkendali.
“Kamu bilang bahwa kamu merasa bersalah setelah kejadian “anjing” itu, kamu sering mikirin dia, kamu deg-degan waktu dekat dia, kamu merasa bahagia juga kan akhir-akhir ini” jiwa analisis Ida mulai bangkit.
“Iya sih, tapi kamu jangan langsung menyimpulkan itu cinta dong, mudah sekali bicaramu, aku yang merasakan saja harus berpikir lama akhirnya malah jatuh bertanya sama kalian, aku butuh jawaban” timpalku lagi, menyangkal perasaan yang tak berdasar itu.
“Nah, terus kamu tanya, sudah ku jawab, salahnya dimana?” kata Ida dengan suara tinggi, membuat beberapa teman menoleh ke arah kami.
“Eh, sudah, malu, diperhatikan yang lain” lerai Irine berusaha menenangkanku dan Ida.
“Oke, kalau masalah merasa bersalah ya, wajarlah memang aku salah memilah kata-kata sehingga dia salah paham, kalau perasaan bahagia itu karena aku lagi good mood, kalau masalah deg-degan, mungkinkah, aku sakit jantung?” tebakku.
“Yaelah, mana ada deg-degan itu penyakit jantung, penyakit cinta kali, kamu sudah kena virus cintanya Adit” timpal Ida tak menerima tebakkanku mentah-mentah.
“Tidak mungkin, membayangkan saja tidak pernah. Cinta? Kata orang, cinta itu indah dan ini pertama kalinya ada orang bilang aku jatuh cinta, tapi kenapa jatuhnya sama orang yang salah sih, mana ada cinta rasa musuh begini?” keluhku.★★★★★★★★★★★★★★★★★★ “Main ke kosku saja yukk, daripada kalian menunggu jam eskul disini, bosan, lebih baik istirahat dulu, lagian kos ku dekat kok” ajak Lia, teman sekelasku yang sama-sama ambil ekstrakulikuler english club yang diselanggarakan di sekolah setiap hari Senin jam 3 sore.“ Iya daripada menunggu disini, ini kan masih jam 1, bisa jamuran kita,” sahut Irma ikut nimbrung.
Akhirnya, kami berjalan menuju kos Lia yang ada dibelakang sekolah, kami ada enam orang, aku, Lia yang tomboy itu kelihatan dari cara jalannya yang mirip cowok, Rahma, cewek tinggi yang melebihi tinggiku dengan kulit putih dan tubuh berisi (dia teman sesama penggemar korea), Ida sohibku, kemana-mana ada dia, yang paling mengerti aku, cewek berpotongan rambut bob, tinggi hampir sama denganku, tapi kulitnya lebih gelap, Irine, dia teman yang paling pintar dan logis diantara kami tentunya, Julia, posturnya pendek, namun pandai bicara alias cerewet, tak heran jika dia menjuarai lomba debat.
“Siapa?” tanya seorang wanita separuh baya setelah kami sampai dihalaman kos Lia, wanita itu kurus, pendek, dengan rambut yang setengah botak, wajahnya sudah mulai keriput, yang baru ku tahu bahwa itu adalah ibu kos Lia.
“Teman sekolah, Bu, mau main,” kata Lia sopan pada ibu kosnya.
“Oh, kalau masuk sepatunya dilepas ya, jangan berisik, jangan bikin kotor,” pinta ibu kos itu dengan UUK, Undang Undang Kosnya.
“Ya, Buuuu.” Jawab kami kompak.
“Ibu kos ku itu sedikit gila,” Lia membuka pembicaraan, lebih tepatnya membuka gosip dengan telunjuknya menyilang di dahi.
Setelah masuk ke kos Lia, kami berpencar membentuk gerombolan, Irine dan Rahma membahas album terbaru Suju dan film atau drama yang upcoming. Sedangkan dipojok ada Julia dan Ida yang sibuk menyanyi sambil bermain gitar, sedangkan aku dan Lia yang tidak ada kerjaan lebih memilih nge-gosip di samping pintu kamar Lia, kami ada diruang tamu dengan TV yang menyala agar ibu kos mengira bahwa kami nonton Tv, ibu kos lagi cuci piring dibelakang.
“Masa’ sih, maksudmu gila gimana? Teriak-teriak? Ketawa-ketiwi sendiri atau kumat kalau hari jumat doang alias gila kehabisan obat?” tanyaku meminta penjelasan pada Lia karena penasaran.
“Tidak sampai begitu juga sih, tapi dia aneh, setiap pagi dia hitung cabe yang ada diteras, terus kalau hilang meski satu saja, semua anak kos kena marah, dia kira kami yang ambil, kenapa juga kita petik cabe cuma satu buah, yang paling parah pasti aku yang jadi tersangka utamanya karna kamarku paling deket dengan teras,” Lia bercerita sambil melirik kanan-kiri, meyakinkan dirinya bahwa ibu Kos tidak mendengar pembicaran kami. “ Kalau dia ngomel begini: ‘duh cabeku tadi sore lima sekarang kok tinggal empat ya, yang satu hilang kemana nih, punya anak kos kok, suka mencuri cabe!! Ini pasti Lia. Lia, Lia?’ begitu” Lia berdiri memperagakan gaya Ibu kos yang sedang marah-marah.
“Hah? Huahahahahahuahahahahaha” aku tak sanggup menahan tawa.
“Jangan ribut, saya mau tidur!!!!” teriak ibu kos dari belakang.
Kami semua otomatis mematung, mereka menatapku dengan tatapan membunuh, sedangkan aku hanya bisa mengacungkan jari telunjuk dan jari tengaku sambil cengengesan.
★★★★★★★★★★★★★★★★★★ Aku berdiri di depan kelas sambil melihat kebawah, akhir-akhir ini aku berangkat sekolah lebih awal agar bisa bertemu Aditian di jalan, namun dia selalu berangkat siang, rumah kami sepertinya searah karena beberapa kali aku bertemu dia di jalan menuju sekolah, meskipun rute yang kami ambil berbeda. Aku mulai berpikir, apa benar aku jatuh cinta sama dia? Padahal kami bermusuhan, disaat aku mulai bersalah dan ingin berdamai malah keblabasan jatuh cinta.Kemudian aku melihat dia berjalan dengan tangan yang ia masukkan di saku celananya, jaket hitam, dan kepalanya yang tertutup oleh tudung jaket itu membuat wajahnya tak begitu terlihat. Biasanya, dia sadar jika ku tatap dia dari jauh, namun kali ini berbeda dia terus saja berjalan sampai ia tiba di kelas. Aku sedikit kecewa dengan hal itu, kenapa dia tak melihatku, padahal aku berdiri disini.
Semarang mulai panas, apalagi ditambah dengan kemacetan, udara yang panas menjadi semakin panas. Untung, hari ini hari Sabtu, jadi besok bisa tidur dengan puas, pikirku dijalan. Sesampainya dirumah, tante sudah pergi, sedangkan om bekerja dan biasa pulang sore, Dika main ke rumah temennya, Gaby, anak umur 5 tahun dengan rambut kribo yang mengembang melebihi kepalanya. Setelah puas bermain, Dika pulang, mungkin dia sudah bosan main sama Gaby.
“Kak, kamu pernah suka gak sama orang?” tanya Dika tiba-tiba, sontak aku kaget, anak umur 5 tahun tahu apa soal rasa?
“Memang kenapa, Dik?” tanyaku ingin menggali informasi mendalam.
“Aku suka sama temanku, aku bingung mau kasih apa buat ulang tahunnya besok,” Dika blushing ketika mengatakan hal itu. Idih.
“ Kalau kakak boleh tahu, kamu suka dia karena apa?” tanyaku nge-tes Dika, apakah anak ini tahu apa itu cinta? Kalau dia tahu, berarti aku kalah sama anak TK.
“Aku suka dia karena dia itu cantik, baik sama aku, dia sering belikan aku makanan, dia sering kasih pinjam pensil, setiap hari bermain sama aku,” katanya sambil mesam-mesem memalukan.
“Oh, kakak tahu, pasti Gaby ya,” jawabku penuh dengan keyakinan.
“Bukan, bukan dia!” jawabnya tegas, menolak bahwa dia memiliki rasa pada sahabatnya itu.
“Lah, terus sama siapa dong, kalau bukan sama Gabby, dia kan baik sama kamu,” sahutku tak mau kalah, secara logika yang mau berteman sama si ‘anak setan’ itu ya cuma Gaby.
“Namanya Bella, dia teman sekelasku, aku suka dia, itu dia!” katanya berlari sebelum melanjutkan ceritanya karena dia mengejar Bella yang kebetulan sedang berjalan di depan rumah “Bell, Bella tunggu aku!” pangil Dika ke seorang anak perempuan dengan kulit putih, badan gempal dan rambut dikucir dua, yang menyambutnya dengan senyum manis.
“Huh, jaman sekarang anak TK saja sudah mengerti cinta-cintaan,” aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Dika saja tahu kalau dia suka sama seseorang dan dengan alasan yang jelas pula, aku? Entah apa ini? Kalau cinta, aku gak punya alasan untuk mencintai cowok itu, apa aku sebegini bodohnya ya?” Kataku dalam hati.
“Kamu kenapa, Dik?” tanyaku pada Dika, dia kembali tak lama setelah mengejar pujaan hatinya itu.
“Aku tadi bilang suka sama Bella,” kata Dika pelan.
“Terus, terus gimana?” kataku penasaran dengan kisah anak-anak ini.
“Tapi dia bilang begini, ‘kita kan temen, suka itu apa?’ begitu” katanya, “ terus aku bilang ya, suka, suka bermain bersama kamu, suka duduk sama kamu,” tambah Dika dengan raut muka sedih, duh, kasihan benar nasib sejoli ini.
“Terus?” aku semakin penasaran.
“Terus aku bilang, aku mau nikah sama kamu,” katanya dengan tampang polos bin bloon.
“Wuahahahwuahaha kamu ajak dia nikah? Hahahah 1+1 aja kamu masih belum bisa, tulisan ayam saja kamu baca pitik (pitik adalah bahasa jawa dari ayam), hancurlah kalau kamu nikah, Dikaaa Dika, sadar kamu! Masih ingusan juga,” aku tidak bisa menahan tawa, hingga air mataku berjatuhan dan perutku kram, aku masih tertawa.
“Bella pulang, katanya dia gak mau main sama aku lagi, katanya aku jahat sudah ajak dia nikah,” tutur Dika, dengan bibir manyun dan mata berkaca-kaca, ciri khas anak kecil yang mau menangis.
“Kakak pernah suka sama orang?” tanyanya, sambil mengusap-usap kedua matanya yang hampir saja menitikkan air.
“Pernah, emang kenapa?” ada urusan apa dia tanya, demi reputasiku aku harus terlihat sangat meyakinkan, “Ahahaha, kamu saja pernah, masa’ kakak yang sudah setua ini belum,” aku tertawa, garing.
“Sama siapa?” kini Dika yang penasaran dengan kisahku, kisah yang mana yang harus ku ceritakan sama “anak setan” ini, sebelumnya aku belum pernah dekat dan menyukai atau disukai siapapun.
“Namanya Aditian, kakak ketemu dia di sekolah …” begitu aku menceritakan semuanya kepada bocah itu, entah dia tahu, paham atau tidak, tapi dia manggut-manggut seolah mengerti semua kisah itu.
“Demikian kisah kami ya, sekarang kamu mandi sebelum mama marah sama kakak kalau ketahuan gak suruh kamu mandi” aku teringat akan tugas dan amanat dari baginda Ratu untuk terus menjaga dan mengurus ‘anak setan’ ini.
“Adit itu ganteng ya?” tanyanya lagi, dia penasaran berat rupanya.
“Sudah, besok-besok kalau kamu ke sekolah kakak, kakak tunjukkan orangnya,” ucapku mengakhiri cerita, lalu ku dorong dia menuju kamar mandi.
Akhirnya aku mengakui bahwa aku memiliki rasa terhadap Adit, aku sering memandangnya dalam diam, senyum sendiri kalau ingat pertengakaran dan perdebatan sepele diantara kami. Entah kenapa, saat aku mengakui itu, semua sekan berubah, dulu yang kalau ketemu dia hawanya emosi terus, sekarang kalau ketemu dia hal-hal aneh terjadi, kok bisa? Hal-hal aneh yang disebabkan karena aku grogi setiap dekat dengan dia yang berujung mempermalukan diriku sendiri, misalnya saat mau ke kantin, Adit sudah duduk dimeja kantin bersama Dito dan Andy, mereka makan kecuali Adit, apalagi Adit pas banget duduk menghadap ke arahku, waktu aku lewat dia menatapku dan aku menatapnya, karena grogi aku nabrak kursi yang ada diatas meja sampa kursi itu jatuh, gubbrakkk, dia ketawa, seakan-akan dia sudah tahu hal itu akan menimpaku, semua melihat dan menertawakanku, termasuk Ida dan Irine, menyebalkan.
“Kamu kenapa sih Jan, gak ada angin, gak ada Lee Minho, kamu nabrak kursi yang anteng disitu?” Irine membawa nama aktor kesukaannya itu setiap kali melihat tingkah anehku, entah apalah maksudnya.
“A..aku juga enggak tahu ken..kenapa aku seperti ini Rin, tiba-tiba saja kalau aku lihat mata itu, tubuhku serasa bergetar dan lututku lemas,” kata-kataku terputus-putus, masih mengendalikan kegrogian yang datang tanpa permisi.
“ Mata? Siapa?” tanya Irine seolah-olah aku ini baru dikenalnya, padahal setiap waktu kita bersama-sama.
“Kamu gak tahu, apa pura-pura gak tahu sih Rin, itu tuh pangerannya ada di samping situ,” tanpa muka bersalah, ida menunjuk Adit dan gerombolannya dengan egg roll yang sudah dia gigit seperempat.
“ Aditian?” Irine menambah kekacauan hatiku saat dia bertanya dengan suara lantang.
“Gak pakai toa sekalian, biar semua pada tahu?” aku melotot kepada kedua sahabatku yang terkadang memperburuk keadaan, bukan terkadang, selalu.
Untuk lebih mengetahui situasi dan kondisi ngepetan baru, eh maksudnya gebetan baru, aku menjalin suatu relasi yang disebut “berteman”. Aku berteman dengan salah dua anak patiseri agar mendapat informasi aktual, tajam dan terpercaya tentang Aditian.
“Dia itu sudah punya cewek, doi dia masih SMP kelas 3,” ungkap mata-mata pertama kami, Nindy, yang satu kelas dengan Aditian.
“Halah, masih bocah, gampang dong, menyingkirkan dia,” timpal Ida menepuk bahuku dan tersenyum dengan segala rencana jahatnya.
“Dia dari SMP mana? Cantik kah anaknya?” Irine melanjutkan dengan pertanyaan guna mendapatkan detail yang lengkap.
“Cantik, putih, tinggi juga, langsing apalagi dia cina,” ungkap Nindy, sang mata-mata terpercaya.
Mereka pun melihatku lalu mereka tertawa “Hahahahhaa” mereka melihatku lagi dan tertawa lagi, begitu seterusnya sampai mereka puas dan lelah, aku hanya bisa mengernyitkan kening.
“Kamu harus merubah penampilanmu, biar kamu tidak kalah sama dia!!!”
Nindy memberikan solusi sekaligus menjawab pertanyaan dalam benakku tentang alasan mereka tertawa.
Kamipun tertawa bersama.Enam bulan sudah kami lalui di sekolah ini, setelah ujian semester usai kami libur selama beberapa minggu, menghabiskan libur semester sekaligus natal dan tahun baru. Aku memutuskan untuk pulang, menikmati waktu libur bersama keluarga di rumah. Tak banyak yang aku lakukan, hanya di rumah dan sesekali jalan-jalan. Rumahku berada diluar kota Semarang, disebuah desa kecil nan permai, aku sangat menikmati liburan semester ini, terbebas dari setiap beban tugas di sekolah, bebas dari si ‘anak setan’, tapi ada terselip rindu untuk sahabat-sahabatku, Irine dan Ida. Komunikasi di desaku tidak lancar, sebab keterbatasan jaringan internet. Oleh karena itu aku jarang telpon atau sms Ida dan Irine, aku tak tahu kabar mereka. Begitu liburan usai, aku senang karena dapat berkumpul dengan mereka, hanya mereka yang mengerti diriku, selain orangtua. Beberapa hari kami masuk sekolah, masih belum ada mata pelajaran yang diajarkan, hanya regristasi dan penetapan jadwal
Pagi ini aku bangun dengan perasaan was-was, karena hari ini adalah hari penting, yakni pembagian rapot. Aku mencemaskan nilaiku di semester pertamaku disini, orangtuaku tidak bisa datang untuk pengambilan raport, jadi yang mewakili mereka adalah tante Anna. Tante Anna adalah orang yang tegas, bisa kena marah kalau ternyata nilaiku dibawah standar. Tante Anna membawa Dika, karena tidak ada orang dirumah, kami berangkat pukul 8.00 WIB karena acara dimulai pukul 09.00, kami menaiki motor menuju sekolah. Setibanya kami disekolah, parkiran diluar sudah penuh, jadi kami masuk ke parkiran dalam. Suasana sekolah saat itu sudah penuh sesak dengan para wali murid bersama dengan siswa. Ada satu panggung besar ditengah lapangan basket, dan ada kursi yang sudah disediakan didepan panggung itu agar para tamu dapat menikmati penampilan siswa berbakat, tentu bukan diriku, mereka adalah orang dengan suara yang bagus, bisa dance bahkan ada yang lihai menari tarian tradisional. Pang
Aku menyimpan cupcake pemberian Adit didalam kulkas paling atas, dengan tulisan “Jangan dimakan”, karena itu merupakan kenangan pertama, pemberian pertama dari Adit, aku tidak tega menggigit lalu menelan cupcake yang lucu itu. Mungkinkah Adit sudah mengetahui perasaanku? Identitasku sebagai Rena belum terbongkar kan?Entahlah! Semua kacau karena Dika, si anak setan itu.Tak lama setelah kejadian cupcake beserta pengakuan tidak langsung yang terucapkan oleh si anak setan itu, aku mendengar bahwa Adit putus dengan pacarnya, yang ku tahu bernama Tania. Aku tidak tahu perasaanku setelah mendengar kabar itu dari Irine, antara bersalah dan bahagia karena hubungan mereka berakhir. Namun setelah mereka putus, aku juga merasa kalau sikap Adit tambah dingin terhadap siapa pun terutama kepadaku. 🍁🍁🍁Tahun pertamaku disini be
21 April 2014, hari kartini, pihak OSIS membuat acara setelah apel pagi dan perayaan hari Kartini, semua siswa harus memakai pakaian adat, akan diadakan berbagai lomba, tapi aku tidak berminat ikut lomba-lomba seperti itu, sebenarnya bukan tidak berminat sih, tapi tidak ada bakat, hahahak, dasar aku. Aku janjian sama Ida dan Irine untuk dandan bareng dikosku, karena letak kosku dekat sekolah juga. Sehari sebelum hari H, Irine membawa seperangkat alat tempur, yang sebagian besar aku tidak mengerti namanya, yang kutahu hanya catok, alas bedak, lisptik. Ida datang terlebih dahulu, jam 5 dia sudah buat huru-hara dirumah orang, “Jana, Jana!” Teriaknya sambil menggedor-gedor pintu luar dan jendela kamarku. “Iya, iya,” dengan mata setengah terpejam aku susah payah menemukan knop pintu kamar. “Kamu datangnya kepagian, kenapa gak jam 2 subuh aja kamu datang,” aku masih mengucek-ngucek mata yang membiasakan dengan cahaya sekitar. “Iya dong, kan mau dandan
Aku baru selesai memandikan si anak setan, aku bergegas meraih sepedaku dan meluncur ke sekolah, aku tidak ingin terlambat lalu dihukum berlari keliling lapangan. Aku memasuki lingkungan sekolah bertepatan dengan bunyi bel tanda masuk. Aku berlari melewati lapangan, menyusuri tangga hingga lantai 4, berlarian di lorong membuat langkah kakiku menggema ke seluruh penjuru. “Huh, hampir aja”. Seruku ketika menggenggam gagang pintu kelas, ku dapati belum ada guru yang masuk. Aku langsung duduk di bangku, disamping Ida. “Napas Jan, napassss”, katanya melihatku kehabisan napas. Tak lama Bu Valentina masuk, kamipun belajar tentang perjalanan obat di dalam tubuh, dari mulai masuknya sampai dikeluarkan. “Jan, bener gak sih berita kalau kamu naksir Adit?” Anggita, teman yang duduk di depanku tiba-tiba bertanya, aku tak bisa menyembunyikan eskpresi terkejut dari wajahku. “Darimana kamu dengar berita itu?”, aku mencoba mencari info
Aku melemparkan diriku ke atas kasur, “hari yang sangat melelahkan,” batinku. Setelah melalui hari tanpa Adit, dan menyadari kenaifanku tak berani memasuki ruangan itu, meskipun aku tepat didepannya. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan gema tawa yang terngiang di telingaku. Matahari bersinar begitu terik, walaupun begitu anak-anak Benedictus menikmati penampilan tari dalam acara open house SMK bergengsi ini. “Woaaaaa,” teriakan para buaya dan sepupunya, biawak pun ikut memanas mengiringi beat dance. “ Jan, turun ke ba
Siang ini matahari bersinar begitu terik, aku ingin segera pulang ke rumah, mandi dan istirahat. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan laju untuk menghemat waktu mencapai rumah, karena aku suda lelah. "Cin-cot-ciiitttt." Ban sepedaku yang bagian depan berderit, bunyi derit itu memekakkan telingaku. Aku menepikan sepeda dan mengeceknya, ban depanku kempes. Sial! Aku menuntun sepedaku, mencari bengkel. Setelah berjalan selama 15 menit, aku menemukan bengkel. "Bang, tolong, ban sepeda saya kempes." Abang-abang yang daritadi sibuk otak-atik motor pun, beralih ke sepedaku. Aku mengecek uang di kantong seragam, hah? tersisa 5000. Aku menunggu 5 menit, si Abang memompa sepedaku. "Ini annti kalau kempes lagi, berarti ban sepeda kamu bocor ya." "Oke bang, terimakasih." Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah itu kepadanya. Habis duitku. Akupun me
Aku tidak bisa tidur malam ini. Terus terjaga dalam lemari gelap dan sesak itu, ingin keluar, namun bayangan om Adi membuatku mengurungkan niat. Pukul 5 pagi, aku keluar dari lemari pakaian. Aku mandi, dan bergegas pergi ke sekolah. Aku tidak memiliki tempat tujuan selain sekolah sekarang. Masih terlalu awal, aku sampai di sekolah saat masi sangat sepi. Aku masuk ke dalam kelas, duduk di bangku pohon belakang, mencari tempat aman untuk menutupi kesedihan dan ketakutan ku. Kedua mataku kini telah membengkak karena semalaman menangis. Aku telungkup di meja, berusaha untuk tidak mengingat kejadian mengerikan itu, dan menahan tangis. Sepanjang pelajaran aku hanya menunduk, untungnya beberapa guru tidak masuk dan hanya meninggalkan tugas. Kriiing...kringgg. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan ke kantin. Aku masih terduduk di bangku ku, memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. "Wo
Aku menyeka air mataku, ini momen terakhir, ujung perjalanan masa remajaku. Aku kembali berjalan menyusuri lorong indah itu, tak hentinya menatap pajangan foto sebagai saksi kebersamaan kami selama 3 tahun. Aku menyusuri lorong itu bersama Ida dan Irine. Ida memakai mini dress berwarna hitam, dengan make up tipis ala remaja, dan sepatu kets dengan warna senada. Irine memakai dress brokat berwarna merah cabe dengan berbagai hiasan bunga dibagian depannya, ia menawan dengan tambahan high heels hitamnya. Malam ini, semua tampak berbeda, meskipun ukurannya kami masih 17 tahun, tapi malam ini penampilan kami layaknya wanita dewasa. "Jan, ada apa dengan kakimu?" Ida menghentikan langkahku, kini kami semua tertuju pada kaki ku. Ada memar biru dibagian lutut sebelah kiri. Ah, aku tidak menyadarinya, pantas saja rasanya sakit dari tadi, ternyata sudah berbekas. " Apa karena kecelakaan tadi?" Ida mengernyitkan keningnya, tatapannya tulus sekali, dia benar-benar khawatir.
Setelah menghadapi berbagai ujian dan pencobaan hidup, kini saatnya pesta perpisahan. Memang, saat awal masuk sekolah ini, rasanya ingin cepat lulus, tapi saat momen kelulusan di depan mata, rasanya masih belum rela bahwa semuanya sudah terlewati begitu saja. "Jan, kamu sudah menemukan baju yang akan kamu pakai untuk acara kelulusan?" Irine duduk di sampingku, diikuti oleh Ida. Kami bertiga duduk di tepi lapangan basket, duduk santai, melihat klub basket sedang latihan. "Belum, kamu?" Tanyaku balik kepada Irine, aku belum sempat mencari baju yang akan ku pakai untuk acara Minggu depan, saat pengumuman kelulusan disampaikan sekaligus acara perpisahan. Semua akan diadakan di sekolah. " Bagaimana dengan perasaanmu Jan," tanya Ida membuyarkan konsentrasi ku dari klub basket, Adit berhasil memasukkan bola ke ring, rasanya ingin berteriak, tapi aku harus mengendalikan diri. "Perasaan? Perasaan apa?" Aku masih belum bisa sepenuhnya mengalihkan fokus&nb
Ketika aku berbalik untuk pergi meninggalkan aku melihat Ida dan Irine, sekilas Dito berdiri dilantai 2 sedang memperhatikan kami, dia entah kapan, mungkin dia hanya menikmati drama persahabatan ini. Aku berlari dengan air mata, diikuti oleh sumpah serapah Ida yang begitu jelas dan terngiang-ngiang ditelingaku. Sesampainya di kos, aku menangis sesenggukan, kami sudah bersahabat bertahun-tahun, sekarang tanpa hanya karena hal-hal sepele. Ku benamkan menangis dalam-dalam di bantal, menangis sekencang mungkin, suara tangisku teredam oleh busa bantal. Tok tok.
Hari ini adalah hari yang menguras energi ku, Ida marah padaku lantaran saat ulangan kimia aku tidak memberi contekan kepadanya."Da, sudahlah, aku kan sudah memberikan catatan ku padamu, bukannya dipelajari, kamu malah minta contekan," aku mempercepat jalanku berusaha menyamai kecepatan Ida yang ada beberapa meter didepan. Dia sama sekali tidak menoleh, aku sendiri sadar kemarahannya memuncak ketika Bu Risa tahu dia akan mencontek dan kertas ulangannya langsung diambil, tanpa ampun, dia mendapat nilai 30 plus dipermalukan didepan kelas karena sikapnya itu."Hei! Dengarkan aku!" Aku meraih tangan Ida sebelum dia mencapai gerbang sekolah. Dengan kasar dia hempaskan genggamanku dan langsung berjalan menjauh, aku mematung, apakah tidak ada sedikit saja kesadaran dalam dirinya, bahwa yang dia lakukan juga salah. 🍁🍁🍁Aku
Pelajaran sejarah sungguh membosankan, sudah siang, jam terakhir, pelajaran sejarah, ditambah suara Bu Endang yang mendayu merdu, meja di kelas menjadi tempat ternyaman untuk tidur rupanya. Mataku sudah tertutup beberapa kali, aku tidak boleh tidur, karena aku duduk di bangku depan, tapi ...aku tertidur. Aku terbangun ketika mendengar riuhnya gelak tawa anak-anak dikelas, "Oh, ternyata dia dengar, sekarang dia sudah sadar," Bu Endang tersenyum lembut ke arahku. Aku yang masih belum "ngeh" menatap linglung sekitarku, semua mata menatap ke arahku, beberapa dengan bisik-bisik, beberapa lagi dengan tangan menutupi mulut menahan tawa. "Jan, malu-maluin lu ah," Ida menepuk punggung ku , dai duduk di sampingku. Tega-teganya dia tidak membangunkan ku. "Kamu sih, kenapa gak bangunin aku, bukannya tadi kamu juga tidur," bisikku dengan mata melotot. " Iya, aku tadi tidur, tapi tidur ayam, jadi bangun lagi, kamu? Enak banget tidurnya, be
Semester demi semester ku lalui di sekolah ini. Tempat sederhana yang begitu berharga, dengan segala kejadian, tangis, kenangan, tawa, dan dia. Hari ini pemngambilan rapor di tahun keduaku. Seperti sebelumnya, orangtuaku tidak dapat menghadiri acara pengambilan rapot karena jarak. Tante Anna satu-satunya pilihanku, meski hubungan kami tidak sebaik sebelum kejadian menyedihkan yang berlangsung beberapa Minggu sebelumnya, setidaknya di depan umum, kami "baik-baik saja." " Nilaimu turun, Jana. Tante pikir itu karena kamu belum bisa membagi waktu belajar, apalagi sekarang kamu kos," nada bicara Tante Anna sangat sarkastik. "Iya, Tante, di tahun berikutnya aku akan berusaha lebih baik lagi, mengatur waktu lebih baik lagi," aku berusaha untuk tetap menghormatinya sebagai adik ibuku, dan orang yang lebih tua tentunya. Kami berjalan melewati lorong menuju lapangan, tempat stand-stand berada, meninggalkan Ida dan Irine masih di lantai 4 menunggu oran
Aku tidak bisa tidur malam ini. Terus terjaga dalam lemari gelap dan sesak itu, ingin keluar, namun bayangan om Adi membuatku mengurungkan niat. Pukul 5 pagi, aku keluar dari lemari pakaian. Aku mandi, dan bergegas pergi ke sekolah. Aku tidak memiliki tempat tujuan selain sekolah sekarang. Masih terlalu awal, aku sampai di sekolah saat masi sangat sepi. Aku masuk ke dalam kelas, duduk di bangku pohon belakang, mencari tempat aman untuk menutupi kesedihan dan ketakutan ku. Kedua mataku kini telah membengkak karena semalaman menangis. Aku telungkup di meja, berusaha untuk tidak mengingat kejadian mengerikan itu, dan menahan tangis. Sepanjang pelajaran aku hanya menunduk, untungnya beberapa guru tidak masuk dan hanya meninggalkan tugas. Kriiing...kringgg. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan ke kantin. Aku masih terduduk di bangku ku, memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. "Wo
Siang ini matahari bersinar begitu terik, aku ingin segera pulang ke rumah, mandi dan istirahat. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan laju untuk menghemat waktu mencapai rumah, karena aku suda lelah. "Cin-cot-ciiitttt." Ban sepedaku yang bagian depan berderit, bunyi derit itu memekakkan telingaku. Aku menepikan sepeda dan mengeceknya, ban depanku kempes. Sial! Aku menuntun sepedaku, mencari bengkel. Setelah berjalan selama 15 menit, aku menemukan bengkel. "Bang, tolong, ban sepeda saya kempes." Abang-abang yang daritadi sibuk otak-atik motor pun, beralih ke sepedaku. Aku mengecek uang di kantong seragam, hah? tersisa 5000. Aku menunggu 5 menit, si Abang memompa sepedaku. "Ini annti kalau kempes lagi, berarti ban sepeda kamu bocor ya." "Oke bang, terimakasih." Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah itu kepadanya. Habis duitku. Akupun me
Aku melemparkan diriku ke atas kasur, “hari yang sangat melelahkan,” batinku. Setelah melalui hari tanpa Adit, dan menyadari kenaifanku tak berani memasuki ruangan itu, meskipun aku tepat didepannya. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan gema tawa yang terngiang di telingaku. Matahari bersinar begitu terik, walaupun begitu anak-anak Benedictus menikmati penampilan tari dalam acara open house SMK bergengsi ini. “Woaaaaa,” teriakan para buaya dan sepupunya, biawak pun ikut memanas mengiringi beat dance. “ Jan, turun ke ba