Pagi ini aku bangun dengan perasaan was-was, karena hari ini adalah hari penting, yakni pembagian rapot. Aku mencemaskan nilaiku di semester pertamaku disini, orangtuaku tidak bisa datang untuk pengambilan raport, jadi yang mewakili mereka adalah tante Anna. Tante Anna adalah orang yang tegas, bisa kena marah kalau ternyata nilaiku dibawah standar. Tante Anna membawa Dika, karena tidak ada orang dirumah, kami berangkat pukul 8.00 WIB karena acara dimulai pukul 09.00, kami menaiki motor menuju sekolah.
Setibanya kami disekolah, parkiran diluar sudah penuh, jadi kami masuk ke parkiran dalam. Suasana sekolah saat itu sudah penuh sesak dengan para wali murid bersama dengan siswa. Ada satu panggung besar ditengah lapangan basket, dan ada kursi yang sudah disediakan didepan panggung itu agar para tamu dapat menikmati penampilan siswa berbakat, tentu bukan diriku, mereka adalah orang dengan suara yang bagus, bisa dance bahkan ada yang lihai menari tarian tradisional. Panggung itu dikelilingi berbagai stand sesuai dengan segala jurusan yang ada di sekolah kami, mulai dari patiseri dengan dua calon chef gantengnya, Dito dan Adit, mereka memamerkan keahlian mereka dalam memasak, aku tidak tahu persis apa yang mereka masak, hanya saja ada api yang keluar dari penggorengan dan itu menjadi daya tarik orang untuk mengunjungi stand mereka, dari siswa-siswi sampai pada emak-emak mereka, bahkan ada yang histeris. “Jan, pengambilan Raportnya nanti dimana?” Tanya tante Anna yang baru menghadiri pengambilan raport.“ Nanti dikelas, Tante, di lantai 4, jam 09.00,” aku menjelaskan kepada tanteku sesuai dengan arahan wali kelas.
“Masih setengah jam lagi, tante mau keliling stand dulu ya, kamu mau ikut?” Tentu saja aku menolaknya, siapa yang mau keliling dengan tante dan Dika, pasti nanti aku yang disuruh jaga Dika.
“Emm, enggak Tan, aku mencari teman-temanku dulu,” pamitku, kemudian berlalu, aku mengedarkan pandangan ke sekeliing mencari Ida dan Irine.
“Jana!” Ida memanggilku, aku pun menghampirinya, ia datang bersama mamanya, mamanya begitu sederhana, namun elegan dengan balutan terusan batik yang melekat ditubuhnya.
“Halo, tante,” sapaku ramah dan mengulurkan tangan.
“Halo, ini Renjana ya?” Tanyanya sambil menjabat uluran tanganku dengan senyum yang hangat.
“Iya, Tan, saya Renjana, temannya Ida,” terangku sedikit menjelaskan.
“Ma, aku jalan sama Jana dulu ya, terserah Mama, mau keliling stand atau duduk menikmati acara, yang penting nanti jam 9.00 kita masuk ke kelas,” Aku dan Ida berjalan keliling stand, menyaksikan masing-masing stand dengan semua yang ditawarkan.
Kami tidak bisa menembus pertahanan emak-emak yang mengerumuni stand patiseri, Adit dan Dito yang sebelumnya ku lihat berdiri dengan atraksi disana tidak lagi terlihat. Kami pun berjalan melewati stand patiseri dan menuju stand lainnya yang lebih sepi daripada stand patiseri itu. Stand farmasi menawarkan berbagai jenis obat, terutama obat-obatan yang di racik oleh siswa, kemudian kami menuju stand farmasi industri, mereka menawarkan berbagai produk buatan mereka, mulai dari tablet, handwash, shampo, sabun untuk cuci piring dan masih banyak lagi. Kedua stand ini tergolong sepi, hanya beberapa saja yang melihat dan sekadar bertanya-tanya lalu pergi.
Sedangkan stand yang tak kalah ramainya dengan stand patiseri adalah stand analis kesehatan, bagaimana tidak? Mereka menawarkan tes kesehatan secara gratis, mulai dari cek tekanan darah, kolesterol, asam urat, gula darah dan lainnya, orangtua mana yang tidak memanfaatkan kesempatan emas ini.“Kak Jana, mama panggil,” entah muncul darimana si ‘anak setan’ ini, tiba-tiba mengampiriku.
“Halo, kamu pasti yang namanya Dika ya,” Ida mengusap puncak kepala si Dika dengan lembut.
“Iya, ayo Kak, mama cari kakak disana,” ucap bocah itu sambil menunjuk stand patiseri, tempat yang ku hindari sedari tadi.
“I-iya, iya,” Dika segera menarik tanganku karena ketidaksabarannya, untung ini ditempat umum, coba saja dia memperlakukanku begini di rumah, bisa ku jitak kepalanya, Ida hanya tersenyum melihat kami, tetapi dia mengikuti kami dari belakang.
Tante Anna kini ada dibarisan terdepan mengalahkan emak-emak yang lain.“Jan, kira-kira pembagian raportnya nanti lama enggak ya?” Tanya tante Ana, sambil memperhatikan cara Adit dan Dito memasak dengan lincahnya. Ku lirik ke arah Adit dan Dito sebentar, mereka masih sibuk dengan bahan masakan mereka, tidak menyadari kehadiranku.
“Kurang tahu ya, Tan, seharusnya sih, tidak lama,” aku hanya bisa memperkirakan tanpa keyakinan apapun, karena ini juga kali pertama untukku. Mata tante Ana beralih ke Adit, dan bertanya, “pembuatan kue sus-nya nanti jam berapa?”
Adit yang sedari tadi sibuk mengutak-atik penggorengannya kini melihat ke arah tante Anna, sekaligus ke arahku, tanpa sadar aku langsung memalingkan wajahku.
“Jam 3 sore, Tante,” ucapnya dengan suara bassnya yang khas, aku memalingkan wajah lagi, kini menatapnya, ini pertama kali aku mendengar suaranya secara dekat, terimakasih tante, love you full deh.
Kami bergegas naik kelantai 4 setelah melihat waktu yang menunjukkan jam 9.00 tepat. Aku menunggu diluar bersama teman-teman lain, sedangkan para orangtua masuk kedalam kelas mendengarkan kata sambutan dari Bu Rahayu, wali kelas tercinta kami. Setengah jam mereka didalam, kemudian satu per-satu orangtua keluar dengan membawa map berwarna hitam ditangannya. Tante Anna keluar dengan si ‘anak setan’.
“Nilaimu sudah bagus Jan, hanya perlu ditingkatkan dibeberapa mata pelajaran,” ungkap tante Ana setelah keluar kelas, aku masuk 20 besar, peringkat 11, yah, tidak begitu mengecewakan.
“Wih, nilaimu sudah bagus itu Jan, kalau aku, mungkin bisa masuk 30 besar sudah bagus banget,” Ida menyela setelah melihat nilaiku, Ida dan Irine belum mendapat nilai mereka karena raport diberikan sesuai absen.
“Ayo, Jana, Tante mau melihat perkembangan kue sus dibawah,” tante Ana langsung berjalan menggandeng Dika.
“Aku duluan ya, nanti aku kabari perkembangannya,” aku mengucapkan kata-kata perpisahan dengan Ida dan Irine.
“Yah, padahal aku pengen ikut, lihat Dito,”sesal Ida karena dia tertahan karena
“Kayak besok tidak ada hari saja,” tegur Irine yang jengkel dengan kebucinan Ida.
🍁🍁🍁
Saat aku, tante dan Dika sampai dibawah, kue sus belum jadi, kami harus menunggu beberapa jam lagi. Satu per satu siswa beserta orangtua meninggalkan sekolah, termasuk Ida dan Irine yang terpaksa pulang terlebih dahulu.
“Oh, iya, Tante, ini ada dua kupon makan soto, kita makan dulu ya?” usulku, karena cacing-cacing diperut ini sudah meronta-ronta.
“Iya, tante juga sudah lapar, ayo, Dika,” kami menuju stand makanan yang letaknya persis berhadapan dengan stand patiseri, hanya ada dua kupon, jadi otomatis si ‘anak setan’ itu tidak bisa makan. Penjaga stand makanan adala ibu Risa, guru kewirausahaan yang memiliki suara sangat lembut dan sangat ramah, tanpa perlu banyak waktu, dia sudah ngobrol seru dengan tante Anna.
“Adik manis, kalau mau makan soto ambil saja, tidak perlu pakai kupon,” dengan kerendahan hati Ibu Risa menawarkan Dika untuk makan soto.
“Ndak ah, aku ndak mau makan soto,” dan dengan sombongnya Dika menolak tawaran emas itu, awas aja kalau nanti dia rewel karena lapar.
“Loh, kenapa, nanti lapar lho, masih lama ini, mama masih tunggu kue mama jadi,” tante Anna berusaha membujuk si’anak setan’ untuk makan, dia tidak tahu, betapa sulitnya membujuk anak satu ini, lebih mudah memindahkan gunung ke laut daripada membujuk anak itu.
Tante Anna lanjut ngobrol dengan Ibu Risa, sampai mereka tertawa, entah apa yang mereka perbincangkan.
“Jan, titip Dika dulu ya, jaga dia, jangan sampai kemana-mana,” pintanya padaku sambil melepaskan genggaman tangannya dari Dika. Sebenarnya aku juga tidak mau menjaga anak ini, tapi tidak ada pilihan lain, aku menggandeng tangannya di kanan kiri, dan tangan kananku meracik soto mulai dari jeruk, sambal, sampai …kecap, ketika aku hendak meraih kecap, ada tangan lain yang juga berusaha menggapainya, otomatis aku mendongak untuk melihat sang empunya tangan itu, Astaga! Itu Adit. Berdiri tepat dihadapanku.
“Dit, tolong bawakan punyaku, Dito dan Alin juga ya,” seseorang meminta tolong padanya lalu pergi meninggalkan kami, aku kurang tahu siapa orang itu, mungkin teman sekelasnya, Adit hanya menjawab dengan anggukan. Sekarang hanya ada aku dan dia di meja yang penuh dengan soto-soto ini, tante Anna dan Ibu Risa pergi ke ujung dan melanjutkan obrolan mereka. Aku benar-benar tidak berani mendongakkan wajah untuk melihat dia, tanganku sudah bergetar, apakah aku segugup itu? Kenapa dengan diriku ini?
“Kak,” aku terkaget mendengar suara Dika, bahkan aku lupa kalau masih ada Dika disampingku.
“I-ya, kenapa?” aduh, aku sudah terbata-bata lagi, sekilas ku lirik dia, dia masih sibuk meracik mangkok-mangkok sotonya.
“Mana yang namanya Adit, katanya kalau Dika ke sekolah kakak, kakak akan tunjukkan kak Adit, katanya kakak suka sama dia, katanya …” buru-buru ku tutup mulut anak setan itu, ku lepaskan genggamanku dan ku suruh ia pergi. Aku mendongak, Adit kini mematung, menatapku, sendok sambal masih ada ditangannya yang tak bergerak, aku harus bagaimana? Dasar anak setan! Aku tidak tahu harus berkata apa atau melakukan apa untuk menghilangkan kecanggungan ini, aku tersenyum, tapi dia tak bergeming, aku menarik lagi sudut bibirku kembali keposisi semula. Aku membawa dua mangkuk soto dan bergegas menyiramnya dengan kuah, menuju ke tempat tanteku berada.
“Loh, Dika mana?” itu kata pertama yang terucap dari tante Ana saat melihat Dika tak ada bersamaku.
“Oh, em, di-di …,” aku juga bingung, anak itu pergi kemana ya.
“Aduh, kamu ini bagaimana to, disuruh jaga Dika saja ndak bisa,” protes tanteku setelah melihat mimik bingung dari wajahku.
“Aku cari dia ya, Tan, tunggu dulu,” aku meletakkan dua mangkuk soto kembali ke meja ditempat Adit berada, aku mencoba untuk tidak menghiraukannya.
“Dika? Dika?” aku mencari dan memanggilnya di segala sudut, anak itu cepat juga perginya. Aku mencarinya di kelas-kelas, sampai dilantai 4, menanyakan kepada siapapun yang masih ku temui, tapi nihil, Dika tidak ada, mampus! Aku gak bisa pulang sebelum dia ketemu. Aku kembali ke bawah, menyelinap ke stand-stand yang sudah sepi.
“Permisi, ini anaknya siapa ya?” tanya seseorang dengan suara lantang, aku langsung menoleh ke arah suara, benar saja, Dika ada disana. Pak Budi yang menemukan anak itu, Dika, dengan penuh percaya diri bergabung dengan para guru yang sedang berfoto di depan panggung.
“Maaf pak, ini adik saya,” aku langsung bergegas menariknya, meskipun dia sudah siap berpose dengan dua jari. Bisa-bisanya ya, hari ini aku sial sekali, semua terjadi karena anak setan ini.
“Ah, kenapa to, aku cuma mau foto,” rengeknya berusaha melepas genggaman tanganku.
“Tidak ada foto! Kamu ini bisa gak sih, sehari saja, gak cari masalah sama kakak,” omelku, Dika langsung terdiam.
Setelah makan, aku tidak punya nyali untuk sekadar ikut tante Ana yang masuk ke laboratorium patiseri melihat proses pembuatan kue sus, aku hanya duduk di termenung di depan laboratorium.Di dalam lab ada Dito, Adit, Andy dan beberapa teman mereka, stand patiseri tidak ada yang jaga, mungkin karena sudah tidak banyak orang. Baguslah, aku bisa datang melihat-lihat kue-kue mereka. Aku berjalan menuju stand patiseri, melihat cupcake yang lucu-lucu, ada tulisan “boleh dimakan” aku mengambil salah satu, cupcake berbentuk doraemon, sayang sekali untuk dimakan, tapi sepertinya juga enak.
“Jangan dimakan!” kata seseorang saat aku membuka mulut hendak melahap cupcake ditanganku, kamvret, Adit lagi, aku mati kutu, aduh, mau bicara apa nih, mau pergi kemana.
“Itu hanya pajangan, nih,” dia mengambil cupcake doraemon itu dari tanganku, aku tak bisa berkata apa-apa, membeku, kemudian ia menggantinya dengan cupcake baru, doraemon diganti dengan stich.
“Te-terimakasih,” kenapa aku gugup sih, mau bilang terimakasih saja. Aku langsung pergi, mencari tempat tersembunyi untuk meredakan semua hal tak normal dalam diriku, mulai dari ingin tersenyum, teriak, loncat-loncat, guling-guling, dan lain sebagainya.
Aku menyimpan cupcake pemberian Adit didalam kulkas paling atas, dengan tulisan “Jangan dimakan”, karena itu merupakan kenangan pertama, pemberian pertama dari Adit, aku tidak tega menggigit lalu menelan cupcake yang lucu itu. Mungkinkah Adit sudah mengetahui perasaanku? Identitasku sebagai Rena belum terbongkar kan?Entahlah! Semua kacau karena Dika, si anak setan itu.Tak lama setelah kejadian cupcake beserta pengakuan tidak langsung yang terucapkan oleh si anak setan itu, aku mendengar bahwa Adit putus dengan pacarnya, yang ku tahu bernama Tania. Aku tidak tahu perasaanku setelah mendengar kabar itu dari Irine, antara bersalah dan bahagia karena hubungan mereka berakhir. Namun setelah mereka putus, aku juga merasa kalau sikap Adit tambah dingin terhadap siapa pun terutama kepadaku. 🍁🍁🍁Tahun pertamaku disini be
21 April 2014, hari kartini, pihak OSIS membuat acara setelah apel pagi dan perayaan hari Kartini, semua siswa harus memakai pakaian adat, akan diadakan berbagai lomba, tapi aku tidak berminat ikut lomba-lomba seperti itu, sebenarnya bukan tidak berminat sih, tapi tidak ada bakat, hahahak, dasar aku. Aku janjian sama Ida dan Irine untuk dandan bareng dikosku, karena letak kosku dekat sekolah juga. Sehari sebelum hari H, Irine membawa seperangkat alat tempur, yang sebagian besar aku tidak mengerti namanya, yang kutahu hanya catok, alas bedak, lisptik. Ida datang terlebih dahulu, jam 5 dia sudah buat huru-hara dirumah orang, “Jana, Jana!” Teriaknya sambil menggedor-gedor pintu luar dan jendela kamarku. “Iya, iya,” dengan mata setengah terpejam aku susah payah menemukan knop pintu kamar. “Kamu datangnya kepagian, kenapa gak jam 2 subuh aja kamu datang,” aku masih mengucek-ngucek mata yang membiasakan dengan cahaya sekitar. “Iya dong, kan mau dandan
Aku baru selesai memandikan si anak setan, aku bergegas meraih sepedaku dan meluncur ke sekolah, aku tidak ingin terlambat lalu dihukum berlari keliling lapangan. Aku memasuki lingkungan sekolah bertepatan dengan bunyi bel tanda masuk. Aku berlari melewati lapangan, menyusuri tangga hingga lantai 4, berlarian di lorong membuat langkah kakiku menggema ke seluruh penjuru. “Huh, hampir aja”. Seruku ketika menggenggam gagang pintu kelas, ku dapati belum ada guru yang masuk. Aku langsung duduk di bangku, disamping Ida. “Napas Jan, napassss”, katanya melihatku kehabisan napas. Tak lama Bu Valentina masuk, kamipun belajar tentang perjalanan obat di dalam tubuh, dari mulai masuknya sampai dikeluarkan. “Jan, bener gak sih berita kalau kamu naksir Adit?” Anggita, teman yang duduk di depanku tiba-tiba bertanya, aku tak bisa menyembunyikan eskpresi terkejut dari wajahku. “Darimana kamu dengar berita itu?”, aku mencoba mencari info
Aku melemparkan diriku ke atas kasur, “hari yang sangat melelahkan,” batinku. Setelah melalui hari tanpa Adit, dan menyadari kenaifanku tak berani memasuki ruangan itu, meskipun aku tepat didepannya. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan gema tawa yang terngiang di telingaku. Matahari bersinar begitu terik, walaupun begitu anak-anak Benedictus menikmati penampilan tari dalam acara open house SMK bergengsi ini. “Woaaaaa,” teriakan para buaya dan sepupunya, biawak pun ikut memanas mengiringi beat dance. “ Jan, turun ke ba
Siang ini matahari bersinar begitu terik, aku ingin segera pulang ke rumah, mandi dan istirahat. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan laju untuk menghemat waktu mencapai rumah, karena aku suda lelah. "Cin-cot-ciiitttt." Ban sepedaku yang bagian depan berderit, bunyi derit itu memekakkan telingaku. Aku menepikan sepeda dan mengeceknya, ban depanku kempes. Sial! Aku menuntun sepedaku, mencari bengkel. Setelah berjalan selama 15 menit, aku menemukan bengkel. "Bang, tolong, ban sepeda saya kempes." Abang-abang yang daritadi sibuk otak-atik motor pun, beralih ke sepedaku. Aku mengecek uang di kantong seragam, hah? tersisa 5000. Aku menunggu 5 menit, si Abang memompa sepedaku. "Ini annti kalau kempes lagi, berarti ban sepeda kamu bocor ya." "Oke bang, terimakasih." Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah itu kepadanya. Habis duitku. Akupun me
Aku tidak bisa tidur malam ini. Terus terjaga dalam lemari gelap dan sesak itu, ingin keluar, namun bayangan om Adi membuatku mengurungkan niat. Pukul 5 pagi, aku keluar dari lemari pakaian. Aku mandi, dan bergegas pergi ke sekolah. Aku tidak memiliki tempat tujuan selain sekolah sekarang. Masih terlalu awal, aku sampai di sekolah saat masi sangat sepi. Aku masuk ke dalam kelas, duduk di bangku pohon belakang, mencari tempat aman untuk menutupi kesedihan dan ketakutan ku. Kedua mataku kini telah membengkak karena semalaman menangis. Aku telungkup di meja, berusaha untuk tidak mengingat kejadian mengerikan itu, dan menahan tangis. Sepanjang pelajaran aku hanya menunduk, untungnya beberapa guru tidak masuk dan hanya meninggalkan tugas. Kriiing...kringgg. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan ke kantin. Aku masih terduduk di bangku ku, memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. "Wo
Semester demi semester ku lalui di sekolah ini. Tempat sederhana yang begitu berharga, dengan segala kejadian, tangis, kenangan, tawa, dan dia. Hari ini pemngambilan rapor di tahun keduaku. Seperti sebelumnya, orangtuaku tidak dapat menghadiri acara pengambilan rapot karena jarak. Tante Anna satu-satunya pilihanku, meski hubungan kami tidak sebaik sebelum kejadian menyedihkan yang berlangsung beberapa Minggu sebelumnya, setidaknya di depan umum, kami "baik-baik saja." " Nilaimu turun, Jana. Tante pikir itu karena kamu belum bisa membagi waktu belajar, apalagi sekarang kamu kos," nada bicara Tante Anna sangat sarkastik. "Iya, Tante, di tahun berikutnya aku akan berusaha lebih baik lagi, mengatur waktu lebih baik lagi," aku berusaha untuk tetap menghormatinya sebagai adik ibuku, dan orang yang lebih tua tentunya. Kami berjalan melewati lorong menuju lapangan, tempat stand-stand berada, meninggalkan Ida dan Irine masih di lantai 4 menunggu oran
Pelajaran sejarah sungguh membosankan, sudah siang, jam terakhir, pelajaran sejarah, ditambah suara Bu Endang yang mendayu merdu, meja di kelas menjadi tempat ternyaman untuk tidur rupanya. Mataku sudah tertutup beberapa kali, aku tidak boleh tidur, karena aku duduk di bangku depan, tapi ...aku tertidur. Aku terbangun ketika mendengar riuhnya gelak tawa anak-anak dikelas, "Oh, ternyata dia dengar, sekarang dia sudah sadar," Bu Endang tersenyum lembut ke arahku. Aku yang masih belum "ngeh" menatap linglung sekitarku, semua mata menatap ke arahku, beberapa dengan bisik-bisik, beberapa lagi dengan tangan menutupi mulut menahan tawa. "Jan, malu-maluin lu ah," Ida menepuk punggung ku , dai duduk di sampingku. Tega-teganya dia tidak membangunkan ku. "Kamu sih, kenapa gak bangunin aku, bukannya tadi kamu juga tidur," bisikku dengan mata melotot. " Iya, aku tadi tidur, tapi tidur ayam, jadi bangun lagi, kamu? Enak banget tidurnya, be
Aku menyeka air mataku, ini momen terakhir, ujung perjalanan masa remajaku. Aku kembali berjalan menyusuri lorong indah itu, tak hentinya menatap pajangan foto sebagai saksi kebersamaan kami selama 3 tahun. Aku menyusuri lorong itu bersama Ida dan Irine. Ida memakai mini dress berwarna hitam, dengan make up tipis ala remaja, dan sepatu kets dengan warna senada. Irine memakai dress brokat berwarna merah cabe dengan berbagai hiasan bunga dibagian depannya, ia menawan dengan tambahan high heels hitamnya. Malam ini, semua tampak berbeda, meskipun ukurannya kami masih 17 tahun, tapi malam ini penampilan kami layaknya wanita dewasa. "Jan, ada apa dengan kakimu?" Ida menghentikan langkahku, kini kami semua tertuju pada kaki ku. Ada memar biru dibagian lutut sebelah kiri. Ah, aku tidak menyadarinya, pantas saja rasanya sakit dari tadi, ternyata sudah berbekas. " Apa karena kecelakaan tadi?" Ida mengernyitkan keningnya, tatapannya tulus sekali, dia benar-benar khawatir.
Setelah menghadapi berbagai ujian dan pencobaan hidup, kini saatnya pesta perpisahan. Memang, saat awal masuk sekolah ini, rasanya ingin cepat lulus, tapi saat momen kelulusan di depan mata, rasanya masih belum rela bahwa semuanya sudah terlewati begitu saja. "Jan, kamu sudah menemukan baju yang akan kamu pakai untuk acara kelulusan?" Irine duduk di sampingku, diikuti oleh Ida. Kami bertiga duduk di tepi lapangan basket, duduk santai, melihat klub basket sedang latihan. "Belum, kamu?" Tanyaku balik kepada Irine, aku belum sempat mencari baju yang akan ku pakai untuk acara Minggu depan, saat pengumuman kelulusan disampaikan sekaligus acara perpisahan. Semua akan diadakan di sekolah. " Bagaimana dengan perasaanmu Jan," tanya Ida membuyarkan konsentrasi ku dari klub basket, Adit berhasil memasukkan bola ke ring, rasanya ingin berteriak, tapi aku harus mengendalikan diri. "Perasaan? Perasaan apa?" Aku masih belum bisa sepenuhnya mengalihkan fokus&nb
Ketika aku berbalik untuk pergi meninggalkan aku melihat Ida dan Irine, sekilas Dito berdiri dilantai 2 sedang memperhatikan kami, dia entah kapan, mungkin dia hanya menikmati drama persahabatan ini. Aku berlari dengan air mata, diikuti oleh sumpah serapah Ida yang begitu jelas dan terngiang-ngiang ditelingaku. Sesampainya di kos, aku menangis sesenggukan, kami sudah bersahabat bertahun-tahun, sekarang tanpa hanya karena hal-hal sepele. Ku benamkan menangis dalam-dalam di bantal, menangis sekencang mungkin, suara tangisku teredam oleh busa bantal. Tok tok.
Hari ini adalah hari yang menguras energi ku, Ida marah padaku lantaran saat ulangan kimia aku tidak memberi contekan kepadanya."Da, sudahlah, aku kan sudah memberikan catatan ku padamu, bukannya dipelajari, kamu malah minta contekan," aku mempercepat jalanku berusaha menyamai kecepatan Ida yang ada beberapa meter didepan. Dia sama sekali tidak menoleh, aku sendiri sadar kemarahannya memuncak ketika Bu Risa tahu dia akan mencontek dan kertas ulangannya langsung diambil, tanpa ampun, dia mendapat nilai 30 plus dipermalukan didepan kelas karena sikapnya itu."Hei! Dengarkan aku!" Aku meraih tangan Ida sebelum dia mencapai gerbang sekolah. Dengan kasar dia hempaskan genggamanku dan langsung berjalan menjauh, aku mematung, apakah tidak ada sedikit saja kesadaran dalam dirinya, bahwa yang dia lakukan juga salah. 🍁🍁🍁Aku
Pelajaran sejarah sungguh membosankan, sudah siang, jam terakhir, pelajaran sejarah, ditambah suara Bu Endang yang mendayu merdu, meja di kelas menjadi tempat ternyaman untuk tidur rupanya. Mataku sudah tertutup beberapa kali, aku tidak boleh tidur, karena aku duduk di bangku depan, tapi ...aku tertidur. Aku terbangun ketika mendengar riuhnya gelak tawa anak-anak dikelas, "Oh, ternyata dia dengar, sekarang dia sudah sadar," Bu Endang tersenyum lembut ke arahku. Aku yang masih belum "ngeh" menatap linglung sekitarku, semua mata menatap ke arahku, beberapa dengan bisik-bisik, beberapa lagi dengan tangan menutupi mulut menahan tawa. "Jan, malu-maluin lu ah," Ida menepuk punggung ku , dai duduk di sampingku. Tega-teganya dia tidak membangunkan ku. "Kamu sih, kenapa gak bangunin aku, bukannya tadi kamu juga tidur," bisikku dengan mata melotot. " Iya, aku tadi tidur, tapi tidur ayam, jadi bangun lagi, kamu? Enak banget tidurnya, be
Semester demi semester ku lalui di sekolah ini. Tempat sederhana yang begitu berharga, dengan segala kejadian, tangis, kenangan, tawa, dan dia. Hari ini pemngambilan rapor di tahun keduaku. Seperti sebelumnya, orangtuaku tidak dapat menghadiri acara pengambilan rapot karena jarak. Tante Anna satu-satunya pilihanku, meski hubungan kami tidak sebaik sebelum kejadian menyedihkan yang berlangsung beberapa Minggu sebelumnya, setidaknya di depan umum, kami "baik-baik saja." " Nilaimu turun, Jana. Tante pikir itu karena kamu belum bisa membagi waktu belajar, apalagi sekarang kamu kos," nada bicara Tante Anna sangat sarkastik. "Iya, Tante, di tahun berikutnya aku akan berusaha lebih baik lagi, mengatur waktu lebih baik lagi," aku berusaha untuk tetap menghormatinya sebagai adik ibuku, dan orang yang lebih tua tentunya. Kami berjalan melewati lorong menuju lapangan, tempat stand-stand berada, meninggalkan Ida dan Irine masih di lantai 4 menunggu oran
Aku tidak bisa tidur malam ini. Terus terjaga dalam lemari gelap dan sesak itu, ingin keluar, namun bayangan om Adi membuatku mengurungkan niat. Pukul 5 pagi, aku keluar dari lemari pakaian. Aku mandi, dan bergegas pergi ke sekolah. Aku tidak memiliki tempat tujuan selain sekolah sekarang. Masih terlalu awal, aku sampai di sekolah saat masi sangat sepi. Aku masuk ke dalam kelas, duduk di bangku pohon belakang, mencari tempat aman untuk menutupi kesedihan dan ketakutan ku. Kedua mataku kini telah membengkak karena semalaman menangis. Aku telungkup di meja, berusaha untuk tidak mengingat kejadian mengerikan itu, dan menahan tangis. Sepanjang pelajaran aku hanya menunduk, untungnya beberapa guru tidak masuk dan hanya meninggalkan tugas. Kriiing...kringgg. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan ke kantin. Aku masih terduduk di bangku ku, memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. "Wo
Siang ini matahari bersinar begitu terik, aku ingin segera pulang ke rumah, mandi dan istirahat. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan laju untuk menghemat waktu mencapai rumah, karena aku suda lelah. "Cin-cot-ciiitttt." Ban sepedaku yang bagian depan berderit, bunyi derit itu memekakkan telingaku. Aku menepikan sepeda dan mengeceknya, ban depanku kempes. Sial! Aku menuntun sepedaku, mencari bengkel. Setelah berjalan selama 15 menit, aku menemukan bengkel. "Bang, tolong, ban sepeda saya kempes." Abang-abang yang daritadi sibuk otak-atik motor pun, beralih ke sepedaku. Aku mengecek uang di kantong seragam, hah? tersisa 5000. Aku menunggu 5 menit, si Abang memompa sepedaku. "Ini annti kalau kempes lagi, berarti ban sepeda kamu bocor ya." "Oke bang, terimakasih." Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah itu kepadanya. Habis duitku. Akupun me
Aku melemparkan diriku ke atas kasur, “hari yang sangat melelahkan,” batinku. Setelah melalui hari tanpa Adit, dan menyadari kenaifanku tak berani memasuki ruangan itu, meskipun aku tepat didepannya. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan gema tawa yang terngiang di telingaku. Matahari bersinar begitu terik, walaupun begitu anak-anak Benedictus menikmati penampilan tari dalam acara open house SMK bergengsi ini. “Woaaaaa,” teriakan para buaya dan sepupunya, biawak pun ikut memanas mengiringi beat dance. “ Jan, turun ke ba