Aku menyimpan cupcake pemberian Adit didalam kulkas paling atas, dengan tulisan “Jangan dimakan”, karena itu merupakan kenangan pertama, pemberian pertama dari Adit, aku tidak tega menggigit lalu menelan cupcake yang lucu itu. Mungkinkah Adit sudah mengetahui perasaanku? Identitasku sebagai Rena belum terbongkar kan?
Entahlah! Semua kacau karena Dika, si anak setan itu.
Tak lama setelah kejadian cupcake beserta pengakuan tidak langsung yang terucapkan oleh si anak setan itu, aku mendengar bahwa Adit putus dengan pacarnya, yang ku tahu bernama Tania. Aku tidak tahu perasaanku setelah mendengar kabar itu dari Irine, antara bersalah dan bahagia karena hubungan mereka berakhir. Namun setelah mereka putus, aku juga merasa kalau sikap Adit tambah dingin terhadap siapa pun terutama kepadaku.🍁🍁🍁
Tahun pertamaku disini berlalu tanpa ragu, tahun kedua ku sambut dengan harapan baru. Sikap dingin Adit buatku semakin hari semakin merasa bersalah, meskipun memang bukan diriku penyebab berakhirnya hubungan mereka, tetap saja, aku merasa bersalah. Valentine tiba, beberapa kisah cinta mulai muncul di bulan penuh kasih sayang ini. Bahkan ada cowok kelas sebelah yang datang menyatakan cinta kepada Nada, teman sekelasku, cowok bermata indah bernama Arnold itu sujud di depan kelas dengan setangkai mawar merah ditangannya.
“terima, terima, terima!” begitu kami bersorak untuk Nada, dan dia menerima mawar itu, sontak suasana menjadi riuh. Berani juga cowok itu, masuk ke kelas orang dan nembak didepan orang banyak, patut diacungi jempol.
“So sweet, aku juga mau diperlakukan seperti itu, sama Dito,” kejadian itu membuat Ida menghayal, Irine hanya mampu menggelengkan kepala melihat kelakuan Ida kemudian tersenyum tipis melihat sejoli yang baru jadi itu, aku ikut rame dengan teriak-teriak, tepuk tangan, histeris, entah apa yang ada dalam benakku, kemudian kami semua mengucapkan selamat untuk pasangan perdana di tahun ajaran baru ini.
“Guys, guys,minta perhatiannya dulu, ayo kembali ke tempat duduk kalian, aku ada pengumuman penting nih,” Theo selaku ketua kelas kami yang kocak tetapi berwibawa itu bertepuk tangan didepan kelas guna mendapatkan perhatian kami dan berusaha mengambil alih kelas dari kisah cinta monyet.
Kami kembali tenang, meskipun sebelumnya aku juga mendengar dengusan-dengusan kesal dari belakang.
“Jadi begini, sebentar lagi valentine, kalian tahu apa artinya?” tanya Theo dengan suara medhok khasnya
“Pasangan baru!” sahut Klara dari bangku belakang, kami mulai rame lagi, riuh, bersahut-sahutan, pantas kelas kami dijuluki kelas terbar-bar.
“Stop! Kalian ini dengarkan aku bicara dulu lah, Klara nih, emang, bikin rusuh ya kamu, setelah ini kamu berurusan sama aku ya,” kata Theo sambil menunjuk ke Klara, Klara bukannya diam, malah tambah bikin rusuh dengan teman-teman satu gengnya jajaran bangku belakang, kemudian Theo mengambil alih lagi.
“Kemarin kami rapat presidium, terus valentine ini kalian tulis surat di kertas yang akan aku bagikan setelah ini, terserah mau tulis apa, mau surat cinta kah, surat ucapan terimakasih atau surat persahabatan, pokoknya terserah kalian, aku bagi per orang 2 kertas, jadi silahkan ungkapkan isi hati kalian kepada orang-orang terkasih,” jelas Theo panjang lebar, ia berdiri di depan kelas, kemudian ia membagikan 2 lembar kertas manila dengan cap presidium dibagian kanan bawah. Satu berwarna merah maroon sedangkan satu lagi berwarna biru langit.
“Theo! Surat ini kita kasih langsung ke orangnya atau kalian yang kasih?” aku mengangkat tangan dan bertanya.“Oh iya, satu lagi yang aku lupa sampaikan, surat ini tidak akan dikasih ke orangnya secara langsung, tapi akan di gantung di pohon harapan di kapel, kemungkinan akan didoakan oleh Romo, jadi tulis yang sejujur-jujurnya ya,” pesan Theo, kemudian ia kembali ke bangkunya dan mulai menulis suratnya.
“Kamu mau tulis untuk siapa, Jan?” Bisik Ida ditelingaku.
“Aku juga belum tahu nih, kamu?” Tanyaku balik.
“Aku mau tulis isi hatiku tentang Dito, biar Romo doakan, siapa tahu setelah itu keberuntungan ada dipihakku dan aku bisa jadian sama Dito,” Ida tersenyum lebar dan ia mulai menulis kata demi kata dengan penuh sukacita dan semangat yang membara.
“Kalau kamu Rin, kamu tulis untuk siapa?” Tanyaku mengusik Irine yang sudah menulis surat hampir setengah halaman.
“Untuk wali kelas dan bu Rani, aku menulis surat ucapan terimakasih atas jasa-jasa mereka yang terus peduli sama kita semua,” Irine kembali menulis, meninggalkanku tercengang, ketika kebanyakan orang berpikir menulis surat cinta atau harapan agar cintanya terwujud di hari valentine ini, dia justru menulis surat ucapan terimakasih. Oke, aku juga akan menulis surat ucapan terimkasih untuk pak Suwandi, selaku wali kelas yang paling perhatian kepada seluruh siswa dan wali kelas terasyik yang pernah ku temui, aku mulai menulis di kertas manila berwarna biru muda, selesai, dibagian kiri atas kutulis namaku, Renjana XI 4 F, dan dibagian kanan bawah kutulis untuk Pak Suwandi. Aku bingung mau tulis untuk siapa lagi, ah, aku teringat, lebih baik aku menulis surat permohonan maaf untuk Adit, atas segala kesalahpahaman yang terjadi.
Tapi, bagaimana memulainya? Apa yang harus kutulis? Aku berpikir keras, dan hanya kata-kata ini yang terlintas dipikiranku dan akhirnya kutulis,To: Aditian S
Happy Valentine’s Day
Di hari yang penuh sukacita ini aku berharap kamu bisa memaafkan dan melupakan semua kesalahanku. Tuhan, kabulkanlah permohonanku ini. Amin 14 Februari 2014 Renjana Semoga permohonan ini didoakan oleh Romo dan dapat dikabulkan. Semoga Adit dapat memaafkan kesalahan itu, dan kami bisa memiliki hubungan yang baik.🍁🍁🍁
Hari itu banyak sekali jam kosong dikelas kami. Satu guru tidak dapat hadir dan hanya meninggalkan tugas, itupun hanya 2 soal, kami cepat-cepat menyelesaikannya kemudian kami bebas mau bikin apa saja, asalkan tidak keluar kelas, ada yang tidur, ada yang nonton film horor, ada yang buka salon, sedangkan aku, Irine dan Ida membahas drakor Lee Minho terbaru. Bel pulang berbuyi, ini yang dinantikan, kami berdoa dipimpin oleh siswa yang piket, kemudian bubar jalan.
Seperti biasa, aku mengayuh sepeda pulang ke rumah tante Anna. Sesampainya disana, aku melihat Dika jongkok didepan toko dan mengangkat-angkat batu dipinggru jalan membelakangiku.
“Woiiii,” aku berteriak dan berhasil mengagetkan dia.
“Aaa, kak Jana, gara-gara kamu laba-labaku hilang to,” rengeknya sambil memukul tanganku, aku masih tertawa karena geli melihat ekspresi kagetnya si’anak setan’.
“Kamu ngapain cari laba-laba, kayak gak ada kerjaan saja,” tukasku terheran-heran.
“Aku mau jadi spidelmen, makanya aku cari laba-laba,” dasar anak-anak, mana bisa jadi spiderman, itu hanya fiksi nak, fiksi!
“Terserah kamu lah, mau kamu jadi laba-laba, kodok, semut atau ikan kek, itu malah lebih baik. Dasar aneh.21 April 2014, hari kartini, pihak OSIS membuat acara setelah apel pagi dan perayaan hari Kartini, semua siswa harus memakai pakaian adat, akan diadakan berbagai lomba, tapi aku tidak berminat ikut lomba-lomba seperti itu, sebenarnya bukan tidak berminat sih, tapi tidak ada bakat, hahahak, dasar aku. Aku janjian sama Ida dan Irine untuk dandan bareng dikosku, karena letak kosku dekat sekolah juga. Sehari sebelum hari H, Irine membawa seperangkat alat tempur, yang sebagian besar aku tidak mengerti namanya, yang kutahu hanya catok, alas bedak, lisptik. Ida datang terlebih dahulu, jam 5 dia sudah buat huru-hara dirumah orang, “Jana, Jana!” Teriaknya sambil menggedor-gedor pintu luar dan jendela kamarku. “Iya, iya,” dengan mata setengah terpejam aku susah payah menemukan knop pintu kamar. “Kamu datangnya kepagian, kenapa gak jam 2 subuh aja kamu datang,” aku masih mengucek-ngucek mata yang membiasakan dengan cahaya sekitar. “Iya dong, kan mau dandan
Aku baru selesai memandikan si anak setan, aku bergegas meraih sepedaku dan meluncur ke sekolah, aku tidak ingin terlambat lalu dihukum berlari keliling lapangan. Aku memasuki lingkungan sekolah bertepatan dengan bunyi bel tanda masuk. Aku berlari melewati lapangan, menyusuri tangga hingga lantai 4, berlarian di lorong membuat langkah kakiku menggema ke seluruh penjuru. “Huh, hampir aja”. Seruku ketika menggenggam gagang pintu kelas, ku dapati belum ada guru yang masuk. Aku langsung duduk di bangku, disamping Ida. “Napas Jan, napassss”, katanya melihatku kehabisan napas. Tak lama Bu Valentina masuk, kamipun belajar tentang perjalanan obat di dalam tubuh, dari mulai masuknya sampai dikeluarkan. “Jan, bener gak sih berita kalau kamu naksir Adit?” Anggita, teman yang duduk di depanku tiba-tiba bertanya, aku tak bisa menyembunyikan eskpresi terkejut dari wajahku. “Darimana kamu dengar berita itu?”, aku mencoba mencari info
Aku melemparkan diriku ke atas kasur, “hari yang sangat melelahkan,” batinku. Setelah melalui hari tanpa Adit, dan menyadari kenaifanku tak berani memasuki ruangan itu, meskipun aku tepat didepannya. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan gema tawa yang terngiang di telingaku. Matahari bersinar begitu terik, walaupun begitu anak-anak Benedictus menikmati penampilan tari dalam acara open house SMK bergengsi ini. “Woaaaaa,” teriakan para buaya dan sepupunya, biawak pun ikut memanas mengiringi beat dance. “ Jan, turun ke ba
Siang ini matahari bersinar begitu terik, aku ingin segera pulang ke rumah, mandi dan istirahat. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan laju untuk menghemat waktu mencapai rumah, karena aku suda lelah. "Cin-cot-ciiitttt." Ban sepedaku yang bagian depan berderit, bunyi derit itu memekakkan telingaku. Aku menepikan sepeda dan mengeceknya, ban depanku kempes. Sial! Aku menuntun sepedaku, mencari bengkel. Setelah berjalan selama 15 menit, aku menemukan bengkel. "Bang, tolong, ban sepeda saya kempes." Abang-abang yang daritadi sibuk otak-atik motor pun, beralih ke sepedaku. Aku mengecek uang di kantong seragam, hah? tersisa 5000. Aku menunggu 5 menit, si Abang memompa sepedaku. "Ini annti kalau kempes lagi, berarti ban sepeda kamu bocor ya." "Oke bang, terimakasih." Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah itu kepadanya. Habis duitku. Akupun me
Aku tidak bisa tidur malam ini. Terus terjaga dalam lemari gelap dan sesak itu, ingin keluar, namun bayangan om Adi membuatku mengurungkan niat. Pukul 5 pagi, aku keluar dari lemari pakaian. Aku mandi, dan bergegas pergi ke sekolah. Aku tidak memiliki tempat tujuan selain sekolah sekarang. Masih terlalu awal, aku sampai di sekolah saat masi sangat sepi. Aku masuk ke dalam kelas, duduk di bangku pohon belakang, mencari tempat aman untuk menutupi kesedihan dan ketakutan ku. Kedua mataku kini telah membengkak karena semalaman menangis. Aku telungkup di meja, berusaha untuk tidak mengingat kejadian mengerikan itu, dan menahan tangis. Sepanjang pelajaran aku hanya menunduk, untungnya beberapa guru tidak masuk dan hanya meninggalkan tugas. Kriiing...kringgg. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan ke kantin. Aku masih terduduk di bangku ku, memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. "Wo
Semester demi semester ku lalui di sekolah ini. Tempat sederhana yang begitu berharga, dengan segala kejadian, tangis, kenangan, tawa, dan dia. Hari ini pemngambilan rapor di tahun keduaku. Seperti sebelumnya, orangtuaku tidak dapat menghadiri acara pengambilan rapot karena jarak. Tante Anna satu-satunya pilihanku, meski hubungan kami tidak sebaik sebelum kejadian menyedihkan yang berlangsung beberapa Minggu sebelumnya, setidaknya di depan umum, kami "baik-baik saja." " Nilaimu turun, Jana. Tante pikir itu karena kamu belum bisa membagi waktu belajar, apalagi sekarang kamu kos," nada bicara Tante Anna sangat sarkastik. "Iya, Tante, di tahun berikutnya aku akan berusaha lebih baik lagi, mengatur waktu lebih baik lagi," aku berusaha untuk tetap menghormatinya sebagai adik ibuku, dan orang yang lebih tua tentunya. Kami berjalan melewati lorong menuju lapangan, tempat stand-stand berada, meninggalkan Ida dan Irine masih di lantai 4 menunggu oran
Pelajaran sejarah sungguh membosankan, sudah siang, jam terakhir, pelajaran sejarah, ditambah suara Bu Endang yang mendayu merdu, meja di kelas menjadi tempat ternyaman untuk tidur rupanya. Mataku sudah tertutup beberapa kali, aku tidak boleh tidur, karena aku duduk di bangku depan, tapi ...aku tertidur. Aku terbangun ketika mendengar riuhnya gelak tawa anak-anak dikelas, "Oh, ternyata dia dengar, sekarang dia sudah sadar," Bu Endang tersenyum lembut ke arahku. Aku yang masih belum "ngeh" menatap linglung sekitarku, semua mata menatap ke arahku, beberapa dengan bisik-bisik, beberapa lagi dengan tangan menutupi mulut menahan tawa. "Jan, malu-maluin lu ah," Ida menepuk punggung ku , dai duduk di sampingku. Tega-teganya dia tidak membangunkan ku. "Kamu sih, kenapa gak bangunin aku, bukannya tadi kamu juga tidur," bisikku dengan mata melotot. " Iya, aku tadi tidur, tapi tidur ayam, jadi bangun lagi, kamu? Enak banget tidurnya, be
Hari ini adalah hari yang menguras energi ku, Ida marah padaku lantaran saat ulangan kimia aku tidak memberi contekan kepadanya."Da, sudahlah, aku kan sudah memberikan catatan ku padamu, bukannya dipelajari, kamu malah minta contekan," aku mempercepat jalanku berusaha menyamai kecepatan Ida yang ada beberapa meter didepan. Dia sama sekali tidak menoleh, aku sendiri sadar kemarahannya memuncak ketika Bu Risa tahu dia akan mencontek dan kertas ulangannya langsung diambil, tanpa ampun, dia mendapat nilai 30 plus dipermalukan didepan kelas karena sikapnya itu."Hei! Dengarkan aku!" Aku meraih tangan Ida sebelum dia mencapai gerbang sekolah. Dengan kasar dia hempaskan genggamanku dan langsung berjalan menjauh, aku mematung, apakah tidak ada sedikit saja kesadaran dalam dirinya, bahwa yang dia lakukan juga salah. 🍁🍁🍁Aku
Aku menyeka air mataku, ini momen terakhir, ujung perjalanan masa remajaku. Aku kembali berjalan menyusuri lorong indah itu, tak hentinya menatap pajangan foto sebagai saksi kebersamaan kami selama 3 tahun. Aku menyusuri lorong itu bersama Ida dan Irine. Ida memakai mini dress berwarna hitam, dengan make up tipis ala remaja, dan sepatu kets dengan warna senada. Irine memakai dress brokat berwarna merah cabe dengan berbagai hiasan bunga dibagian depannya, ia menawan dengan tambahan high heels hitamnya. Malam ini, semua tampak berbeda, meskipun ukurannya kami masih 17 tahun, tapi malam ini penampilan kami layaknya wanita dewasa. "Jan, ada apa dengan kakimu?" Ida menghentikan langkahku, kini kami semua tertuju pada kaki ku. Ada memar biru dibagian lutut sebelah kiri. Ah, aku tidak menyadarinya, pantas saja rasanya sakit dari tadi, ternyata sudah berbekas. " Apa karena kecelakaan tadi?" Ida mengernyitkan keningnya, tatapannya tulus sekali, dia benar-benar khawatir.
Setelah menghadapi berbagai ujian dan pencobaan hidup, kini saatnya pesta perpisahan. Memang, saat awal masuk sekolah ini, rasanya ingin cepat lulus, tapi saat momen kelulusan di depan mata, rasanya masih belum rela bahwa semuanya sudah terlewati begitu saja. "Jan, kamu sudah menemukan baju yang akan kamu pakai untuk acara kelulusan?" Irine duduk di sampingku, diikuti oleh Ida. Kami bertiga duduk di tepi lapangan basket, duduk santai, melihat klub basket sedang latihan. "Belum, kamu?" Tanyaku balik kepada Irine, aku belum sempat mencari baju yang akan ku pakai untuk acara Minggu depan, saat pengumuman kelulusan disampaikan sekaligus acara perpisahan. Semua akan diadakan di sekolah. " Bagaimana dengan perasaanmu Jan," tanya Ida membuyarkan konsentrasi ku dari klub basket, Adit berhasil memasukkan bola ke ring, rasanya ingin berteriak, tapi aku harus mengendalikan diri. "Perasaan? Perasaan apa?" Aku masih belum bisa sepenuhnya mengalihkan fokus&nb
Ketika aku berbalik untuk pergi meninggalkan aku melihat Ida dan Irine, sekilas Dito berdiri dilantai 2 sedang memperhatikan kami, dia entah kapan, mungkin dia hanya menikmati drama persahabatan ini. Aku berlari dengan air mata, diikuti oleh sumpah serapah Ida yang begitu jelas dan terngiang-ngiang ditelingaku. Sesampainya di kos, aku menangis sesenggukan, kami sudah bersahabat bertahun-tahun, sekarang tanpa hanya karena hal-hal sepele. Ku benamkan menangis dalam-dalam di bantal, menangis sekencang mungkin, suara tangisku teredam oleh busa bantal. Tok tok.
Hari ini adalah hari yang menguras energi ku, Ida marah padaku lantaran saat ulangan kimia aku tidak memberi contekan kepadanya."Da, sudahlah, aku kan sudah memberikan catatan ku padamu, bukannya dipelajari, kamu malah minta contekan," aku mempercepat jalanku berusaha menyamai kecepatan Ida yang ada beberapa meter didepan. Dia sama sekali tidak menoleh, aku sendiri sadar kemarahannya memuncak ketika Bu Risa tahu dia akan mencontek dan kertas ulangannya langsung diambil, tanpa ampun, dia mendapat nilai 30 plus dipermalukan didepan kelas karena sikapnya itu."Hei! Dengarkan aku!" Aku meraih tangan Ida sebelum dia mencapai gerbang sekolah. Dengan kasar dia hempaskan genggamanku dan langsung berjalan menjauh, aku mematung, apakah tidak ada sedikit saja kesadaran dalam dirinya, bahwa yang dia lakukan juga salah. 🍁🍁🍁Aku
Pelajaran sejarah sungguh membosankan, sudah siang, jam terakhir, pelajaran sejarah, ditambah suara Bu Endang yang mendayu merdu, meja di kelas menjadi tempat ternyaman untuk tidur rupanya. Mataku sudah tertutup beberapa kali, aku tidak boleh tidur, karena aku duduk di bangku depan, tapi ...aku tertidur. Aku terbangun ketika mendengar riuhnya gelak tawa anak-anak dikelas, "Oh, ternyata dia dengar, sekarang dia sudah sadar," Bu Endang tersenyum lembut ke arahku. Aku yang masih belum "ngeh" menatap linglung sekitarku, semua mata menatap ke arahku, beberapa dengan bisik-bisik, beberapa lagi dengan tangan menutupi mulut menahan tawa. "Jan, malu-maluin lu ah," Ida menepuk punggung ku , dai duduk di sampingku. Tega-teganya dia tidak membangunkan ku. "Kamu sih, kenapa gak bangunin aku, bukannya tadi kamu juga tidur," bisikku dengan mata melotot. " Iya, aku tadi tidur, tapi tidur ayam, jadi bangun lagi, kamu? Enak banget tidurnya, be
Semester demi semester ku lalui di sekolah ini. Tempat sederhana yang begitu berharga, dengan segala kejadian, tangis, kenangan, tawa, dan dia. Hari ini pemngambilan rapor di tahun keduaku. Seperti sebelumnya, orangtuaku tidak dapat menghadiri acara pengambilan rapot karena jarak. Tante Anna satu-satunya pilihanku, meski hubungan kami tidak sebaik sebelum kejadian menyedihkan yang berlangsung beberapa Minggu sebelumnya, setidaknya di depan umum, kami "baik-baik saja." " Nilaimu turun, Jana. Tante pikir itu karena kamu belum bisa membagi waktu belajar, apalagi sekarang kamu kos," nada bicara Tante Anna sangat sarkastik. "Iya, Tante, di tahun berikutnya aku akan berusaha lebih baik lagi, mengatur waktu lebih baik lagi," aku berusaha untuk tetap menghormatinya sebagai adik ibuku, dan orang yang lebih tua tentunya. Kami berjalan melewati lorong menuju lapangan, tempat stand-stand berada, meninggalkan Ida dan Irine masih di lantai 4 menunggu oran
Aku tidak bisa tidur malam ini. Terus terjaga dalam lemari gelap dan sesak itu, ingin keluar, namun bayangan om Adi membuatku mengurungkan niat. Pukul 5 pagi, aku keluar dari lemari pakaian. Aku mandi, dan bergegas pergi ke sekolah. Aku tidak memiliki tempat tujuan selain sekolah sekarang. Masih terlalu awal, aku sampai di sekolah saat masi sangat sepi. Aku masuk ke dalam kelas, duduk di bangku pohon belakang, mencari tempat aman untuk menutupi kesedihan dan ketakutan ku. Kedua mataku kini telah membengkak karena semalaman menangis. Aku telungkup di meja, berusaha untuk tidak mengingat kejadian mengerikan itu, dan menahan tangis. Sepanjang pelajaran aku hanya menunduk, untungnya beberapa guru tidak masuk dan hanya meninggalkan tugas. Kriiing...kringgg. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan ke kantin. Aku masih terduduk di bangku ku, memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. "Wo
Siang ini matahari bersinar begitu terik, aku ingin segera pulang ke rumah, mandi dan istirahat. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan laju untuk menghemat waktu mencapai rumah, karena aku suda lelah. "Cin-cot-ciiitttt." Ban sepedaku yang bagian depan berderit, bunyi derit itu memekakkan telingaku. Aku menepikan sepeda dan mengeceknya, ban depanku kempes. Sial! Aku menuntun sepedaku, mencari bengkel. Setelah berjalan selama 15 menit, aku menemukan bengkel. "Bang, tolong, ban sepeda saya kempes." Abang-abang yang daritadi sibuk otak-atik motor pun, beralih ke sepedaku. Aku mengecek uang di kantong seragam, hah? tersisa 5000. Aku menunggu 5 menit, si Abang memompa sepedaku. "Ini annti kalau kempes lagi, berarti ban sepeda kamu bocor ya." "Oke bang, terimakasih." Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah itu kepadanya. Habis duitku. Akupun me
Aku melemparkan diriku ke atas kasur, “hari yang sangat melelahkan,” batinku. Setelah melalui hari tanpa Adit, dan menyadari kenaifanku tak berani memasuki ruangan itu, meskipun aku tepat didepannya. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan gema tawa yang terngiang di telingaku. Matahari bersinar begitu terik, walaupun begitu anak-anak Benedictus menikmati penampilan tari dalam acara open house SMK bergengsi ini. “Woaaaaa,” teriakan para buaya dan sepupunya, biawak pun ikut memanas mengiringi beat dance. “ Jan, turun ke ba