“Kak, buatkan aku susu dong!” Teriakknya dari kamar sampai terdengar diruang tv.
“Mau susu putih atau coklat?” Tanyaku memastikan.
“Putih, jangan panas-panas ya!” Imbuhnya lagi. Terpaksa aku meninggalkan film yang sedang seru-serunya demi dia.
“Nih, minum, terus tidur sana,” kataku sambil menyodorkan susu putih itu
“Gak mau!!” Tolaknya dia menepis tanganku, hampir saja gelas itu terjatuh dari genggaman tanganku
“Loh, kenapa, kan udah kakak buatin, minumlah!” kataku heran bercampur jengkel.
“Kan, aku tadi bilangnya cokelat, bukan putih!” belanya.
“Oh, ya? Maaf berarti tadi kakak salah dengar, ya sudah kakak buatkan lagi yang cokelat, tunggu ya,” kataku sambil meletakkan susu putih itu di meja samping tempat tidurnya dan kembali ke dapur
“Nih, Dik, minum terus tidur,” kataku sembari menyodorkan susu cokelat itu, berharap dia cepat minum susu itu lalu tidur dengan tenang.
“Loh, Kak, aku tadi mintanya yang putih bukan cokelat,” protesnya, lagi.
Capek, males, jengkel, “Dik, sebenarnya kamu bisa bedakan gak sih mana susu putih mana susu cokelat, apa kamu buta warna? sebenarnya maumu itu apa sih?” ucapku jengkel sambil melempar bantal ke arahnya dan kena mukanya, diapun menangis, mampus! kencang lagi suara tangisnya.“cup…cup udah ya, Dik kamu mau apa?” kataku sambil ngelus dada, kuatkanlah hamba-Mu ini ya Tuhan, dalam menghadapi segala ujian hidup.
“Mau bubur ayam,” rengeknya, dengan ingus yang beluber ke pipinya, iuhhh.
“Kampret! Malam-malam gini mana ada bubur ayam, Dik?” kataku dengan nada tinggi, lagi.
“Aaaa, pokoknya mau itu!” katanya sambil menambah volume air mata plus suaranya.
“Iya iya, kakak janji deh, besok kakak belikan Dika bubur ayam buat sarapan, sekarang kamu tidur,” kataku menenangkannya.
“Dasar anak setan,” pekikku tertahan setelah dia tertidur, kelelahan karena menangis. Ku matikan lampu dan menutup pintu pelan-pelan.
“Dika sudah tidur Jan?” tanya tante Anna tiba-tiba membuatku terlonjak dari tempatku berdiri.
“Oh, udah tante, barusan. Tante baru pulang?” tanyaku berbasa-basi
“Iya, baru saja, eh, bantu om kamu keluarkan belanjaan dari mobil, bawa masuk ya,” katanya, seraya masuk ke kamar Dika, mengecek apakah anak kesayangannya itu tidur dengan damai. Aku pun keluar dan membantu om Adi mengeluarkan belanjaan yang astaghfirullah! Bejibun!“Jana, tolong mandikan Dika dulu ya,” pinta tanteku sibuk di dapur menyiapkan sarapan yang gak pernah sempat aku makan.
“Iya tante.” Jawabku sabagai anak manis yang nurut.
Aku bangunkan dia, yang dibangunkan cuma menggeliat gak jelas, aku tarik paksa dia turun dari tempat tidurnya, menariknya ke kamar mandi.
Sampai dikamar mandi.“Buka bajumu, cepat!!!” perintahku dengan mata menyala segalak bulldog.
“Bentar to kak, sabar to, aku masih ngantuk, bukain,” katanya manja dengan mata yang masih tertutup.
“Iiih, cepat Dika, kakak juga mau sekolah, kamu enak sekolahmu dekat, tinggal jalan 5 menit sampai, punya kakak kan jauh,” protesku pada Dika yang mandi sambil malas-malasan.
“Kakak kan naik sepeda, bisa ngebut jadi cepat,” kata Dika beralasan.
“Arrghh, kamu tuh ya mau kakak jelasin sampai Lee Minho sadar kalau kakak adalah jodohnya pun kamu gak bakal bisa mengerti,” kataku menerawang, lalu menarik paksa bajunya agar terlepas, kemudian dengan sadar dia membuka celananya lalu ku guyur dia dengan air dingin hahahahaha.
“Hahh, siapa? miminho?” katanya dengan kedua tangan di depan dada, menggigil serta alis menyatu dan bingung.★★★★★★★★★★★★★★★★★★★
“Ini semua gara-gara si anak setan, mandinya kelamaan, jam segini aku masih di jalan lagi, pasti telat nih.” Omelku sendiri sambil bolak-balik melirik jam tangan. Aku mengayuh sepeda semakin cepat, cepat dan cepat, akupun cari jalan pintas, melawan arus kendaraan, keren kan.
“Siapa tuh? Kayaknya kenal,” gumamku saat melihat seorang cowok dengan seragam chef melaju dengan sepedanya dari sebuah gang disebelah kananku, kini ia ada di belakangku.
“Sepertinya kenal, aduh, siapa ya?” batinku dalam hati.
Aku mengayuh sepedaku sambil berpikir dan mengingat-ingat siapa dia, tak sadar laju sepedaku melambat dan dia mendahuluiku. Dari belakang tampak bahwa seragam praktek tersebut mirip kayak seragam praktek milik siswa jurusan tata boga dari SMK Pelita Bangsa.
“Adit, Aditya, Aditian, atau A-di-ti-anus?” batinku berperang, tak sadar gara-gara memikirkan cowok itu dipasar pecinan yang sudah dekat dengan sekolah, aku hampir tertabrak motor, untung gak jadi, “selamet, selamet,” kataku dengan satu tangan mengelus dada dan tangan lain memegang stang sepeda.
Akhirnya terlambatlah aku dan harus mengelilingi lapangan basket 3 kali sambil menyanyikan lagi pelangi-pelangi diikuti vocal “u”
“pulungu pulungu ulungkuh unduhnyu …”
“Awas ya, Dika, kalau aku sudah pulang nanti habislah kamu!!!!” gumamku pelan penuh dendam.“Ayo lebih cepat! Kamu mau ketinggalan pelajaran?” Teriak bu Ike dari pinggir lapangan, membuat kakiku mengeluarkan tenaga ekstra.
“Aduh! Aku belum kerjakan Pr Fisika lagi!” lengkap sudah penderitaankuuuu.
★★★★★★★★★★★★★★★★★★★
Aku memandang dan terus memikirkan serta mengingat-ingat cowok yang kutemui tadi pagi, sepertinya aku mengenalnya dan ada sesuatu yang pernah terjadi diantara kami. Dia sekarang ada di depan lab Tata Boga, tempat mereka praktek memasak, sedangkan aku ada didepan kelas lantai 4 gedung Farmasi. Gedung kami berbeda tapi saling berhadapan. Jadi, dia duduk tepat berada di seberang tempatku berdiri.
“Jan! Gak ke kantin?” tanya Irine yang sudah berdiri di sampingku, dia baru saja keluar dari kelas setelah menyelesaikan urusannya dengan tugas kelompok.
“Ngagetin saja kamu Rin, gak ah, biasa istirahat pertama rame, antreannya panjang, nanti aja pas istirahat kedua, kamu juga, gak ke kantin bareng Ida?” tanyaku sambil masih memandangi sosok cowok di seberang sana.
“Aku malas turun dari lantai 4 ke lantai 1 naik lagi ke lantai 4, capek,” katanya lemas hanya dengan membayangkan bolak-balik dari lantai 1 ke lantai 4.
“Oh,” jawabku singkat, tak lepas pandanganku melihat cowok yang sedang duduk sambil melihatku pula, namun terlampau jauh jadi tampak kecil.
“Kamu lihat apa sih, kelihatan berpikir keras gitu?” tanyanya heran, lalu pandangannya mengikuti pandanganku.
“ Oh, kamu lihat si Aditian, kenapa? Naksir ya?” katanya menginformasikan, yeah, informasi penting, dari tadi aku mikir namanya siapa, ehh, gak ditanya udah terjawab.
“Siapa namanya? Aditian??” kataku kaget, oh, iya ya aku baru ingat, dia Aditian yang sombong dan angkuh waktu ku ajak berkenalan saat itu.
“Suka? Enggak lah, benci iya,” Jawabku lalu hendak masuk kelas.
“Aku punya nomorya kalau kamu mau,” pancing Irine, aku menatapnya kemudian melihat Aditian itu lagi, bergantian.
“Oke, mau,” kataku semangat.
“Kalau naksir bilang aja, gak usah sok malu-malu gitu,” bisik Irine sambil merangkulku.
“Aku punya rencana untuk ngerjain dia,” seulas senyum terukir di bibirku.
Malam ini adalah peluncuran tanda perang pertama.
“Hai” kirim ke Aditian, iya, sms pertamaku ke Aditian.
“Siapa ya?” balasnya, cepat juga. Untuk menyamarkan identitasku seperti insert investigasi aku mengubah nama dan suaraku “ nama saya mawar,” aarrgh, terlalu umum, semua anak mengenalku dengan sebutan Jana, maka aku menyamar sebagai,
“ Rena, X 3 Farmasi, kamu?” balasku tak kalah cepat, plus pura pura tanya namanya.
“Oh, maaf gak kenal, gak usah sms lagi yah,” balasnya, membuatku semakin yakin bahwa dia adalah orang tersombong pertama yang kutemui semenjak aku pindah ke kota ini.
Sial. Gak ketemu langsung atau di sms sama aja sombongnya tingkat dewa, kalau ketemu awas yah. Emosiku pun meledak dan ku lampiaskan melalui sms.“Dasar kamu ya, sombong banget sih jadi orang, emangnya kamu tuh siapa bisa seenak jidat mu sendiri!!!” smsku kepadanya terkirim tak lama kemudian.
Satu menit ...Tiga menitt …Sepuluh menit …gak ada balasan, aku pun mulai berpikir, mungkin kata-kataku terlalu kasar buatnya,“Maaf ya, maksudku kalau kamu sombong nanti kamu gak ada teman gimana hayoo” ku kirim lagi sms kepadanya dengan nada sedikit menggoda, iuhh, menjijikkan, kenapa aku seperti ini?
“Biarin aja gue sombong yang penting gue ada yang punya” balasnya.
Busyet deh, mulai lagi sombongnya, oke tidak ada lagi aku-kamu, yang ada lu-gue,“Lu kira gua naksir lu apa?” balasku tak mau kalah, gak peduli dia mau marah kek, jungkir balik kek, yang penting isi hatiku tersampaikan.
“Terus, mau lu sms gua tuh apa kalo gak naksir?” balasnya.
“Mampus lu! Awas besok balik tinggal nama lu.” Balasku untuk yang terakhir kalinya malam itu, hpku ku matikan.
★★★★★★★★★★★★★★★★★★★
Keesoakan harinya...
“ gimana Jan, berhasil gak?”tanya Irine pagi-pagi di sekolah.
“Gak usah bahas itu dulu, aku lagi bad mood nih” jawabku malas.
“Kalau dilihat dari mukamu, pasti kamu gagal kan? Ya kan?” katanya menebak dan emang benar. Aku hanya diam, memikirkan cara untuk membalas anak sombong itu.
“Tadi malam aku sms dia, dan dia justru senang punya teman farmasi?” kata Irine membuka pembicaraan ketika melihatku terdiam.
“Masa’ sih? Kok sama aku dia jahat ya, coba mana lihat smsnya?” ujarku heran.
“Iya, kamu gak percaya? Nih!” kata Irine sambil menunjukkan sms dari Aditian itu.
“Dasar!!” umpatku, “nanti kita cegat dia didepan gerbang, mau ikut?” tanyaku pada Irine.
“Ikut!” sahut Ida tanpa tahu permasalahannya, “dari kemarin kalian asyik berdua aja, gak ajak aku gitu? Sebenarnya apa sih yang kalian rencanakan?” cerocos Ida tanpa henti.
“Makanya, kamu itu gabung sama kita, wong dari kemarin kamu ngintilin Ardito terus kok, mana bisa tahu apa yang kami rencanakan” jawabku kesal.
“Iya, iya maaf, aku juga gak sadar kalau ternyata aku ngikutin Dito, aku tersihir oleh pesonanya” bela Ida sambil senyam-senyum gak jelas.
“Oke, jadi begini…” aku menceritakan segalanya dari awal, kami bertiga duduk mengelilingi meja, Ida dan Irine tampak serius mendengarkan rencana jahatku, sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Keroyokan nih ceritanya, seumur-umur baru kali ini aku cegat cowok” tukas Ida setelah mendengar semua penjelasanku.
“Iyalah, mampus lu Dit,,,,hahahhahhaa..” kataku sambil ngakak setan.
★★★★★★★★★★★★★★★★★★★
“Mana sih si King Of Ice itu, gak nongol-nongol,” King of Ice, sebutan yang cocok utnuk Aditian yang dingin itu, kami berdiri dibawah pohon depan gerbang, mirip mbak kunti yang menunggu tukang sate lewat, ditakutin tukang satenya, biar bisa makan gratiss.
“Mungkin dia takut sama ancamanmu, jadi dia gak berani keluar deh,” timpal Ida yang sudah siap menyerbu kapan saja.
“Wahh, selamet yah, Jan, kamu menang atas dia,” ungkap Irine dengan bangga kemudian menepuk pundakku.
“Menang lotre seratus juta aku syukuran Rin, ini mah cuma kayak gini, gak ada yang mau disyukurin. Dasar cowok cemen.”
Dari pulang sekolah jam 12.05 sampai jam 14.55 cowok itu gak muncul juga.
“Udahlah, kayaknya dia emang gak berani keluar tuh, kita pulang aja” kata Ida, semangatnya sudah menurun drastis, karena calon korban tak kunjung datang.
“Cemen tuh cowok, masa’ di ancam gitu saja takut. Wuuuu, cemen banget” ejekku pada pintu gerbang.
Malamnya aku melangsungkan teror lanjutan, aku ambil hp dan siap melontarkan kata-kata iblis, huahahahha, dan inilah kata pertama
“Hai…lagi apa?” iblis banget kan?
Beberapa menit kemudian hpku berdering, melantunkan lagu korea kesukaanku dari Seo-hyun: I’ll be waiting for you, yang cocok dengan keadaan terkini.“Siapa?” balasnya, bukankah aku sudah sering sms dia dan dia gak menyimpan nomor hpku, arrgggh, dia benar-benar titisan iblis.
“Kamu ya sombong banget, kamu pikir aku gak tahu kamu, kamu yang takut waktu kuajak ketemuan didepan pintu gerbang, yang jahat, judes, cuek, jelek, kayak bebek, raja es dari kutub utara yang nyasar ke Indonesia, dingin banget kamu! Sok gak kenal aku!” send to Adit.
“Yess! Mampus kamu baca ini, semua kata-kata telah kukerahkan, bahkan kalau boleh aku meminjam kata dari sang syaiton biar kamu tuh sadar!!” omelku pada hp
15 menit kemudian.
Tak ada balasan, segini? Cuma segini? Aku belum puas, apakah dia berhenti sampai di sini? Apakah pertarungan sengit kita berhenti??? Aku tidak rela sampai disini saja, maka ku kumpulkan segala kekuatan, api, air, tanah, udara, hyaattt ciaattt, lalu ku tekan tombol call di kontak Adit.“Halo” katanya diseberang telepon.
Tiitt, dengan segera kumatikan hpku, semoga saja dengan cara ini dia tahu apa yang kumaksud. Balas smskkkuuu….Lalu dengan cepat dia membalas.”Mau kamu apa sih?”“Aku mau kamu berubah, kalau sikapmu terus seperti itu kamu gak bakal punya teman dan akan banyak orang seperti aku akan menerormu!!” aku sudah kehabisan kata-kata, namun setidaknya itu tulus dari hatiku.
“Gak apa-apa, gak punya teman yang penting masih ada yang setia sama aku.” Jawabnya sok kegantengan.
Jawaban itu lagi, mati aku, mau ngomong apa lagi aku sekarang?? Ternyata meminjam kata-kata setan pun gak berhasil, waktunya bertobat, Tuhan kirimkanlah jawaban-Mu biar dia sadaaarr
“Makan yuk Da, lapar nih, dari tadi malam gak sempat makan gara-gara anak setan berulah” kataku, bukan sekali dua kali anak setan itu berulah, selalu membuatku menderita sengsara, ku pegangi perutku, rasanya semua organ pencernaanku sudah mengkerut karena kekurangan nutrisi. “Anak setan?” tanya Irine heran saat pertama kali mendengar istilah itu. “Iya, sepupuku, kelakuannya aneh pokoknya kayak anak setan,” jelasku singkat pada Ida dan Irine. “Aku juga punya adik kecil yang nakal banget, berarti dia ‘anak setan’ juga dong?” kata Ida sambil tertawa terbahak-bahak mengingat kelakuan adiknya. “Yah, bisa jadilah, ayo, keburu antreannya panjang,” kataku, segera kutarik tangan Ida dan Irine, ku seret mereka menuju kantin. Belum berapa menit sejak bel istirahat berbunyi, kantin yang luasnya hanya sepenggal dusta itu sudah dipenuhi siswa-siswi yang kelaparan, ada apa dengan orangtua jaman ini? Tidak dikasih sarapankah anak-anaknya? Atau mem
Hari ini aku sengaja berangkat pagi-pagi, padahal biasanya telat bahkan aku tidak memandikan Dika dan tidak mengambil uang saku. Aku ingin lihat dia, ya, dia hanya demi lihat cowok sinis nan sombong itu. Dari lantai 4 gedung Farmasi kulihat dia berjalan melangkahkan kaki masuk lingkungan sekolah, ku lihat dia, sejak dia mulai memarkirkan sepeda putihnya, dengan cool dia berjalan menuju kelasnya. Dia memakai jaket hitam dan memakai penutup kepalanya sehingga wajahnya tidak begitu terlihat, biasa orang seperti ini ingin tampil sok misterius, dan dia berhasil. Bola mataku mengikuti kemana Adit berjalan, deg, tiba-tiba dia berhenti dan memutar badannya, beberapa saat kemudian seperti di film-film horor, ah, bukan, film romantis, dunia serasa milik kita berdua bang, hah? Bang? sejak kapan aku manggil dia abang? Slow motion, dunia serasa berhenti, hanya terdengar suara nafasku yang terengah-engah seperti habis lari marat
Bab V Pagi harinya, seperti biasa aku berangkat sekolah, tidak ada yang istimewa, segalanya berjalan sesuai rutinitas, hanya saja, aku tidak dapat pergi lebih pagi, karena si ‘anak setan’bangun lebih pagi daripada biasanya. Sesampainya disekolah, Ida dan Irine duduk mengelilingi bangku ku. Irine sudah cerita ke Ida tentang kejadian Adit yang menghampiriku kemarin. “Apa? Kamu suka Aditian?” Ida hampir saja membuat teman sekelas salah paham dengan pertanyaannya itu. “Aku gak bilang suka ya, Da, aku Cuma bilang, ada perasaan aneh yang menjalariku setiap kali aku bertemu dengan dia” aku berusaha menjelaskan pada kedua sohibku itu tentang apa yang aku rasakan ketika aku berhadapan dengan sosok yang bernama Aditian itu, ada berbagai macam rasa, manis, asem, gurih, nano-nano. “Menurutku kamu suka, bukan, memang kamu cinta Aditian, kenapa aku bisa bilang begitu? Biasanya di drama korea begitu to, kalau kamu be
Enam bulan sudah kami lalui di sekolah ini, setelah ujian semester usai kami libur selama beberapa minggu, menghabiskan libur semester sekaligus natal dan tahun baru. Aku memutuskan untuk pulang, menikmati waktu libur bersama keluarga di rumah. Tak banyak yang aku lakukan, hanya di rumah dan sesekali jalan-jalan. Rumahku berada diluar kota Semarang, disebuah desa kecil nan permai, aku sangat menikmati liburan semester ini, terbebas dari setiap beban tugas di sekolah, bebas dari si ‘anak setan’, tapi ada terselip rindu untuk sahabat-sahabatku, Irine dan Ida. Komunikasi di desaku tidak lancar, sebab keterbatasan jaringan internet. Oleh karena itu aku jarang telpon atau sms Ida dan Irine, aku tak tahu kabar mereka. Begitu liburan usai, aku senang karena dapat berkumpul dengan mereka, hanya mereka yang mengerti diriku, selain orangtua. Beberapa hari kami masuk sekolah, masih belum ada mata pelajaran yang diajarkan, hanya regristasi dan penetapan jadwal
Pagi ini aku bangun dengan perasaan was-was, karena hari ini adalah hari penting, yakni pembagian rapot. Aku mencemaskan nilaiku di semester pertamaku disini, orangtuaku tidak bisa datang untuk pengambilan raport, jadi yang mewakili mereka adalah tante Anna. Tante Anna adalah orang yang tegas, bisa kena marah kalau ternyata nilaiku dibawah standar. Tante Anna membawa Dika, karena tidak ada orang dirumah, kami berangkat pukul 8.00 WIB karena acara dimulai pukul 09.00, kami menaiki motor menuju sekolah. Setibanya kami disekolah, parkiran diluar sudah penuh, jadi kami masuk ke parkiran dalam. Suasana sekolah saat itu sudah penuh sesak dengan para wali murid bersama dengan siswa. Ada satu panggung besar ditengah lapangan basket, dan ada kursi yang sudah disediakan didepan panggung itu agar para tamu dapat menikmati penampilan siswa berbakat, tentu bukan diriku, mereka adalah orang dengan suara yang bagus, bisa dance bahkan ada yang lihai menari tarian tradisional. Pang
Aku menyimpan cupcake pemberian Adit didalam kulkas paling atas, dengan tulisan “Jangan dimakan”, karena itu merupakan kenangan pertama, pemberian pertama dari Adit, aku tidak tega menggigit lalu menelan cupcake yang lucu itu. Mungkinkah Adit sudah mengetahui perasaanku? Identitasku sebagai Rena belum terbongkar kan?Entahlah! Semua kacau karena Dika, si anak setan itu.Tak lama setelah kejadian cupcake beserta pengakuan tidak langsung yang terucapkan oleh si anak setan itu, aku mendengar bahwa Adit putus dengan pacarnya, yang ku tahu bernama Tania. Aku tidak tahu perasaanku setelah mendengar kabar itu dari Irine, antara bersalah dan bahagia karena hubungan mereka berakhir. Namun setelah mereka putus, aku juga merasa kalau sikap Adit tambah dingin terhadap siapa pun terutama kepadaku. 🍁🍁🍁Tahun pertamaku disini be
21 April 2014, hari kartini, pihak OSIS membuat acara setelah apel pagi dan perayaan hari Kartini, semua siswa harus memakai pakaian adat, akan diadakan berbagai lomba, tapi aku tidak berminat ikut lomba-lomba seperti itu, sebenarnya bukan tidak berminat sih, tapi tidak ada bakat, hahahak, dasar aku. Aku janjian sama Ida dan Irine untuk dandan bareng dikosku, karena letak kosku dekat sekolah juga. Sehari sebelum hari H, Irine membawa seperangkat alat tempur, yang sebagian besar aku tidak mengerti namanya, yang kutahu hanya catok, alas bedak, lisptik. Ida datang terlebih dahulu, jam 5 dia sudah buat huru-hara dirumah orang, “Jana, Jana!” Teriaknya sambil menggedor-gedor pintu luar dan jendela kamarku. “Iya, iya,” dengan mata setengah terpejam aku susah payah menemukan knop pintu kamar. “Kamu datangnya kepagian, kenapa gak jam 2 subuh aja kamu datang,” aku masih mengucek-ngucek mata yang membiasakan dengan cahaya sekitar. “Iya dong, kan mau dandan
Aku baru selesai memandikan si anak setan, aku bergegas meraih sepedaku dan meluncur ke sekolah, aku tidak ingin terlambat lalu dihukum berlari keliling lapangan. Aku memasuki lingkungan sekolah bertepatan dengan bunyi bel tanda masuk. Aku berlari melewati lapangan, menyusuri tangga hingga lantai 4, berlarian di lorong membuat langkah kakiku menggema ke seluruh penjuru. “Huh, hampir aja”. Seruku ketika menggenggam gagang pintu kelas, ku dapati belum ada guru yang masuk. Aku langsung duduk di bangku, disamping Ida. “Napas Jan, napassss”, katanya melihatku kehabisan napas. Tak lama Bu Valentina masuk, kamipun belajar tentang perjalanan obat di dalam tubuh, dari mulai masuknya sampai dikeluarkan. “Jan, bener gak sih berita kalau kamu naksir Adit?” Anggita, teman yang duduk di depanku tiba-tiba bertanya, aku tak bisa menyembunyikan eskpresi terkejut dari wajahku. “Darimana kamu dengar berita itu?”, aku mencoba mencari info
Aku menyeka air mataku, ini momen terakhir, ujung perjalanan masa remajaku. Aku kembali berjalan menyusuri lorong indah itu, tak hentinya menatap pajangan foto sebagai saksi kebersamaan kami selama 3 tahun. Aku menyusuri lorong itu bersama Ida dan Irine. Ida memakai mini dress berwarna hitam, dengan make up tipis ala remaja, dan sepatu kets dengan warna senada. Irine memakai dress brokat berwarna merah cabe dengan berbagai hiasan bunga dibagian depannya, ia menawan dengan tambahan high heels hitamnya. Malam ini, semua tampak berbeda, meskipun ukurannya kami masih 17 tahun, tapi malam ini penampilan kami layaknya wanita dewasa. "Jan, ada apa dengan kakimu?" Ida menghentikan langkahku, kini kami semua tertuju pada kaki ku. Ada memar biru dibagian lutut sebelah kiri. Ah, aku tidak menyadarinya, pantas saja rasanya sakit dari tadi, ternyata sudah berbekas. " Apa karena kecelakaan tadi?" Ida mengernyitkan keningnya, tatapannya tulus sekali, dia benar-benar khawatir.
Setelah menghadapi berbagai ujian dan pencobaan hidup, kini saatnya pesta perpisahan. Memang, saat awal masuk sekolah ini, rasanya ingin cepat lulus, tapi saat momen kelulusan di depan mata, rasanya masih belum rela bahwa semuanya sudah terlewati begitu saja. "Jan, kamu sudah menemukan baju yang akan kamu pakai untuk acara kelulusan?" Irine duduk di sampingku, diikuti oleh Ida. Kami bertiga duduk di tepi lapangan basket, duduk santai, melihat klub basket sedang latihan. "Belum, kamu?" Tanyaku balik kepada Irine, aku belum sempat mencari baju yang akan ku pakai untuk acara Minggu depan, saat pengumuman kelulusan disampaikan sekaligus acara perpisahan. Semua akan diadakan di sekolah. " Bagaimana dengan perasaanmu Jan," tanya Ida membuyarkan konsentrasi ku dari klub basket, Adit berhasil memasukkan bola ke ring, rasanya ingin berteriak, tapi aku harus mengendalikan diri. "Perasaan? Perasaan apa?" Aku masih belum bisa sepenuhnya mengalihkan fokus&nb
Ketika aku berbalik untuk pergi meninggalkan aku melihat Ida dan Irine, sekilas Dito berdiri dilantai 2 sedang memperhatikan kami, dia entah kapan, mungkin dia hanya menikmati drama persahabatan ini. Aku berlari dengan air mata, diikuti oleh sumpah serapah Ida yang begitu jelas dan terngiang-ngiang ditelingaku. Sesampainya di kos, aku menangis sesenggukan, kami sudah bersahabat bertahun-tahun, sekarang tanpa hanya karena hal-hal sepele. Ku benamkan menangis dalam-dalam di bantal, menangis sekencang mungkin, suara tangisku teredam oleh busa bantal. Tok tok.
Hari ini adalah hari yang menguras energi ku, Ida marah padaku lantaran saat ulangan kimia aku tidak memberi contekan kepadanya."Da, sudahlah, aku kan sudah memberikan catatan ku padamu, bukannya dipelajari, kamu malah minta contekan," aku mempercepat jalanku berusaha menyamai kecepatan Ida yang ada beberapa meter didepan. Dia sama sekali tidak menoleh, aku sendiri sadar kemarahannya memuncak ketika Bu Risa tahu dia akan mencontek dan kertas ulangannya langsung diambil, tanpa ampun, dia mendapat nilai 30 plus dipermalukan didepan kelas karena sikapnya itu."Hei! Dengarkan aku!" Aku meraih tangan Ida sebelum dia mencapai gerbang sekolah. Dengan kasar dia hempaskan genggamanku dan langsung berjalan menjauh, aku mematung, apakah tidak ada sedikit saja kesadaran dalam dirinya, bahwa yang dia lakukan juga salah. 🍁🍁🍁Aku
Pelajaran sejarah sungguh membosankan, sudah siang, jam terakhir, pelajaran sejarah, ditambah suara Bu Endang yang mendayu merdu, meja di kelas menjadi tempat ternyaman untuk tidur rupanya. Mataku sudah tertutup beberapa kali, aku tidak boleh tidur, karena aku duduk di bangku depan, tapi ...aku tertidur. Aku terbangun ketika mendengar riuhnya gelak tawa anak-anak dikelas, "Oh, ternyata dia dengar, sekarang dia sudah sadar," Bu Endang tersenyum lembut ke arahku. Aku yang masih belum "ngeh" menatap linglung sekitarku, semua mata menatap ke arahku, beberapa dengan bisik-bisik, beberapa lagi dengan tangan menutupi mulut menahan tawa. "Jan, malu-maluin lu ah," Ida menepuk punggung ku , dai duduk di sampingku. Tega-teganya dia tidak membangunkan ku. "Kamu sih, kenapa gak bangunin aku, bukannya tadi kamu juga tidur," bisikku dengan mata melotot. " Iya, aku tadi tidur, tapi tidur ayam, jadi bangun lagi, kamu? Enak banget tidurnya, be
Semester demi semester ku lalui di sekolah ini. Tempat sederhana yang begitu berharga, dengan segala kejadian, tangis, kenangan, tawa, dan dia. Hari ini pemngambilan rapor di tahun keduaku. Seperti sebelumnya, orangtuaku tidak dapat menghadiri acara pengambilan rapot karena jarak. Tante Anna satu-satunya pilihanku, meski hubungan kami tidak sebaik sebelum kejadian menyedihkan yang berlangsung beberapa Minggu sebelumnya, setidaknya di depan umum, kami "baik-baik saja." " Nilaimu turun, Jana. Tante pikir itu karena kamu belum bisa membagi waktu belajar, apalagi sekarang kamu kos," nada bicara Tante Anna sangat sarkastik. "Iya, Tante, di tahun berikutnya aku akan berusaha lebih baik lagi, mengatur waktu lebih baik lagi," aku berusaha untuk tetap menghormatinya sebagai adik ibuku, dan orang yang lebih tua tentunya. Kami berjalan melewati lorong menuju lapangan, tempat stand-stand berada, meninggalkan Ida dan Irine masih di lantai 4 menunggu oran
Aku tidak bisa tidur malam ini. Terus terjaga dalam lemari gelap dan sesak itu, ingin keluar, namun bayangan om Adi membuatku mengurungkan niat. Pukul 5 pagi, aku keluar dari lemari pakaian. Aku mandi, dan bergegas pergi ke sekolah. Aku tidak memiliki tempat tujuan selain sekolah sekarang. Masih terlalu awal, aku sampai di sekolah saat masi sangat sepi. Aku masuk ke dalam kelas, duduk di bangku pohon belakang, mencari tempat aman untuk menutupi kesedihan dan ketakutan ku. Kedua mataku kini telah membengkak karena semalaman menangis. Aku telungkup di meja, berusaha untuk tidak mengingat kejadian mengerikan itu, dan menahan tangis. Sepanjang pelajaran aku hanya menunduk, untungnya beberapa guru tidak masuk dan hanya meninggalkan tugas. Kriiing...kringgg. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan ke kantin. Aku masih terduduk di bangku ku, memikirkan bagaimana langkah selanjutnya. "Wo
Siang ini matahari bersinar begitu terik, aku ingin segera pulang ke rumah, mandi dan istirahat. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Setelah itu, aku mengayuh sepedaku dengan laju untuk menghemat waktu mencapai rumah, karena aku suda lelah. "Cin-cot-ciiitttt." Ban sepedaku yang bagian depan berderit, bunyi derit itu memekakkan telingaku. Aku menepikan sepeda dan mengeceknya, ban depanku kempes. Sial! Aku menuntun sepedaku, mencari bengkel. Setelah berjalan selama 15 menit, aku menemukan bengkel. "Bang, tolong, ban sepeda saya kempes." Abang-abang yang daritadi sibuk otak-atik motor pun, beralih ke sepedaku. Aku mengecek uang di kantong seragam, hah? tersisa 5000. Aku menunggu 5 menit, si Abang memompa sepedaku. "Ini annti kalau kempes lagi, berarti ban sepeda kamu bocor ya." "Oke bang, terimakasih." Aku memberikan selembar uang lima ribu rupiah itu kepadanya. Habis duitku. Akupun me
Aku melemparkan diriku ke atas kasur, “hari yang sangat melelahkan,” batinku. Setelah melalui hari tanpa Adit, dan menyadari kenaifanku tak berani memasuki ruangan itu, meskipun aku tepat didepannya. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan gema tawa yang terngiang di telingaku. Matahari bersinar begitu terik, walaupun begitu anak-anak Benedictus menikmati penampilan tari dalam acara open house SMK bergengsi ini. “Woaaaaa,” teriakan para buaya dan sepupunya, biawak pun ikut memanas mengiringi beat dance. “ Jan, turun ke ba