Ada rasa yang tak bisa diutarakan, ada benci yang tak bisa diungkapkan.
“Bukan terobsesi tapi mencintai!” Jawab Nadya menyangkal.
“Berjuang sendiri itu bukan cinta namanya!” Balas Siska lagi, gadis yang sedari tadi duduk di samping kirinya.
Mendengar hal itu entah kenapa membuat perasaan Nadya berdenyut nyeri menerima fakta yang terjadi. Kata sederhana yang mampu mengukir sebuah luka. Dia tau betul bahwa temannya itu tidak berniat untuk menyakiti perasaannya. Namun yah, hati kecilnya tidak akan pernah bisa mengelak.
“Mengapa kisah cintaku harus berakhir seperti ini?” Batinnya tersenyum miris.
“Dan kenapa juga aku harus mencintainya saat itu?” Nadya tertawa hambar menikmati segala bentuk penyesalan. Pikirannya pun kembali berputar pada kisah yang amat sangat kentara jelas dalam ingatannya. Kisah dimana dia mulai berharap akan cinta dari seorang pria pujaannya. Hari pertama pembelajaran baru pun seolah menjadi saksi bisu kekagumannya.
Teeeng...
Bel berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah. Nadya berlari cepat melewati berbagai ruangan yang tampak sudah cukup ramai. Karena terlambat ia pun harus bersedia menduduki kursi yang masih tersisa.
“Untung belom mulai,” gumam Nadya pelan sembari mengontrol deru nafasnya.
Tiba-tiba seorang guru berkacamata tebal datang sambil membawa setumpuk buku dan duduk di kursi tunggal samping kanan papan tulis tak bernoda.
“Haaa kenapa harus fisika diawal pelajaran sih.” Nadya meremas pelan rambutnya sambil merutuki nasib malangnya.
“Aku benar benar tidak ahli dalam hal ini.” Tangan Nadya bergerak menghempas buku buku yang sudah beberapa saat lalu mendekap di tas ranselnya.
“Aku bahkan tidak mengerti kenapa sekolahku ini langsung menjalankan pembelajaran dihari pertama.” Tatapan tajam Marisa yang sedari tadi memperhatikan anak didiknya itu kini memandang sosok Nadya dengan kedua mata elangnya.
“Kamu!” Tunjuknya menggunakan spidol yang baru saja keluar dari tempat tinggalnya.
“Ah maaf bu,” ucap Nadya cepat sembari menundukkan kepalanya sopan.
****
Tanpa terasa waktu berjalan dengan amat sangat cepat. “Akhirnya selesai juga!” Nadya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dengan senyuman merekah diwajahnya. “Senangnya sudah berakhir,” lontarnya lagi dengan tangan yang terus saja bergerak membereskan buku-bukunya asal. Ia berniat pergi meninggalkan rungan yang penuh dengan rumus itu.
Nadya berjalan dengan bahagia sambil memikirkan apa yang ingin dimakannya hari ini. Tak lama sebuah suara terdengar nyaring memanggil nama indahnya.
“Nadya!”
Kaki yang sedari tadi melangkah itu pun seketika terhenti dan berbalik. Lengkungan indah kembali terbit dengan hangatnya. Ia berdiam diri menunggu kedatangan seorang gadis berambut hitam legam yang sedari tadi memanggil namanya.
“Lelet ih,” gerutu Nadya menarik pelan lengan kanan Frida, sahabatnya.
Dia dan Frida memang mulai berteman sejak pertama kali menginjakan kaki disekolah ini. Meski keduanya selalu mendapatkan kelas yang berbeda tetapi tak menjadi penghalang untuk hubungannya yang malah semakin akrab.
Sekarang Nadya sudah menginjakkan kakinya dikelas dua SMA. Tak usah ditanya, dirinya sendiri pun bahkan tidak menyangka sudah sebesar ini.
Setelah berjalan melewati beberapa ruangan, akhirnya kedua insan tersebut sampai ketempat tujuan. Mereka bergegas duduk di kursi yang tidak memiliki penghuni.
“Mau pesen apa?” Tawar Frida setelah mendaratkan bokongnya.
“Nasi goreng sama teh dingin aja,” jawab Nadya setelah menentukan pilihannya.
Dalam sekejap Frida pun menghilang, memesan makanan yang akan menjadi menu keduanya.
“Dia lama sekali!” Nadya bergumam pelan setelah menunggu beberapa saat. Yah tentu saja, sekolah ini merupakan salah satu dari beberapa sekolah ternama dan pastinya banyak siswa yang bersekolah disini. Mungkin itulah yang menjadi alasan utama mengapa dikantin mereka harus sabar mengantri.
Setelah lama menunggu, akhirnya Frida datang membawa nampan berisi makanan yang mereka pesan. Dari aromanya saja sudah membuat Nadya mabuk kepayang. Tanpa diperintah sekalipun, kini tangannya sudah bergerak menyendokkan nasi coklat itu kedalam mulutnya dengan lahap.
“Kamu belum makan?” Tanya Frida setelah berhasil menelan makanan yang baru saja dikunyahnya.
“Hm,” gumaman kecil keluar dari mulutnya sebagai jawaban. Tak ingin berbicara karena perutnya sudah sangat kelaparan.
“Pantes, lihat tuh piringmu tak ada sedikitpun noda.”
“Mubajir kalo disisain,” jawab Nadya santai menanggapi ledekan sahabatnya yang masih sibuk mengunyah itu.
“Bagaimana kelasmu? Menyenangkan?” Mulut Nadya kembali terbuka setelah pergi menjauh dari riuhnya suasana kantin.
“Ya gitu deh,” Frida berucap acuh tanpa ekspresi. Namun tak lama ia kembali bersuara dengan nada ketusnya. “Kamu tau gak sih, aku sekelas lagi sama si biangkerok itu.”
“Mira maksudnya?” Nadya mengangkat satu alisnya bingung.
“Iya, emangnya siapa lagi kalo bukan dia, aish benar-benar menyebalkan!" Rutuk Frida lagi sembari menendang udara disekitarnya.
“Yaudahlah, toh kisahnya aja udah berlalu.”
“Gak bisa! Dia itu udah rebut pacar aku”
“Pokoknya aku mau bales dia!” Ungkap Frida dengan sungguh-sungguh.
“Terserah kamu deh, yang penting aku udah ngasih tau ya,” malas Nadya memperpanjang permasalahan yang mungkin saja kembali meledak.
“Kamu gak akan bela Mira kan?” Mata tajam Frida pun melirik gadis yang masih setia melangkahkan kakinya.
“Ya enggalah!”
“Lagian aku juga gak mau masuk dilingkarkan itu lagi kali!” Entah kenapa Nadya merasa kesal sendiri mengingat hal yang baru saja ia maksudkan.
Tak bisa berkata apapun, sosoknya begitu berbeda dari biasanya. “Ya ampun aku lupa kalo hari ini tuh pelajaran olahraga, mana gak bawa seragam pula, aduh gimana nih?” Gumam Nadya pelan sembari memijit pelipisnya dengan perasaan frustasi. “Padahal baru dikasih tau kemarin, ko udah lupa aja sih,” rutuknya lagi untuk yang kesekian kalinya. Masih dengan perasaan yang sama, Nadya terduduk lemas di kursi kayu miliknya. Berpikir keras mengenai alasan apa yang akan digunakannya di situasi seperti ini. Disaat Nadya tengah sibuk berpikir, tiba-tiba segerombolan siswa berseragam putih abu memasuki ruang kelasnya. “Hah olahraganya udah selesai?” Nadya bangkit dengan cepat sambil bertanya bingung melihat apa yang tengah teman-temannya itu kenakan. “Hari ini guru rapat, kamu gak baca informasi tadi malem?” Salah satu dari mereka
Terluka meski tak nyata. “Gak mungkin!” Gadis yang sedari tadi menguping itu mulai bersandar pada pohon tua disampingnya. Entah dengan alasan apa, kaki yang berdiri kokoh itu mulai bergetar tak karuan. Bruuugh... Nadya terjatuh pelan dengan senyuman kecut diwajahnya. Tak ada yang terjadi, dalam beberapa saat ia hanya berdiam diri. Hingga akhirnya tubuh berbalut seragam putih abu itu kembali bangkit memijakkan kedua kakinya. “Sepertinya mereka gak denger,” batinnya bernafas lega. Tanpa berpikir panjang, Nadya pun pergi meninggalkan kedua insan itu dengan perasaan yang tidak menentu. “Ini masalah pribadi, gak boleh nguping kaya gini Nad,” ucapnya lagi sembari pergi menjauh dari tempat sunyi itu. **** “Haha tentu saja kak Raga pasti kenal
Tertawa diantara luka. Dengan seragam lengkap, Nadya menuruni tangga menuju dapur untuk mengambil roti dan selai kacang. Ia memang tinggal sendirian, ayahnya sangat sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan ibunya, dia bahkan tak tau masih memilikinya atau tidak. Dengan langkah kecil, Nadya berlari menuju halte bus yang akan ditumpanginya. Dan tentu saja Frida juga ada disana. Baru beberapa menit yang lalu ia memikirkan sosok itu, sekarang Frida sudah berdiri dihadapannya dengan senyuman manis. “Menyebalkan!” Nadya bergumam tak suka. “Tumben pagi?” Tanyanya dengan suara riang. Nadya hanya menoleh sesaat tanpa ada niatan untuk menjawab pertanyaannya. Tak lama bus yang ditunggu pun da
Aku menunggumu untuk diperhatikan, bukan diabaikan. Tak terasa sudah beberapa hari Nadya tidak mengetahui kabar terbaru tentang Raga. Mungkin karena ia terlalu sibuk bergelut dengan masalah lain. Dengan berbagai keberanian, kini ia berjalan menuju ruang kelas dua belas dengan mata yang terus menatap sekitar. Langkahnya terhenti sesaat, memperhatikan seorang manusia yang sedang duduk dibangku paling pojok ruangan, jauh dari tempatnya berdiri. Sosok tampan itu tengah sibuk menunduk dengan ponsel ditangan kanannya. “Kak!” Ucap Nadya dengan penuh keberanian. Tanpa suara, Raga hanya menatap sekilas kemudian kembali fokus pada ponselnya. Mengabaikan gadis yang masih berdiri disampingnya.
Tetaplah menjadi dirimu meski orang lain tidak menyukaimu. Dipagi hari yang cerah ini, semua siswa berkumpul untuk melaksanakan kegiatan upacara bendera. Detik demi detik terlewati, tak terasa pembawa acara mengumumkan bahwasanya upacara telah selesai dilaksanakan. Kedua kaki Nadya bergerak riang dengan niat meninggalkan lapangan yang gersang ini. Namun langkahnya kembali terhenti saat bapak kepala sekolah mengatakan ada pengumuman penting. “Ya Allah pak! Udah panas gini juga,” gerutu Nadya sambil menempatkan tubuhnya diposisi semula. Entah sudah berapa kata yang keluar dari mulut pria paruh baya itu, rasanya Nadya sudah tak peduli. Tubuh mungilnya pun sudah menunduk lesu dengan wajah bercucuran keringat. T
Namanya juga harapan, gak semuanya bisa jadi kenyataan. Dengan berbagai macam keberanian, Nadya berjalan melangkah menuju tempat parkiran. Siapa tau Raga kembali mengajaknya pulang bersama. Namun kenyataan tetaplah kenyataan, tak sesuai dengan ekspetasi tingginya. Sosok Raga malah pergi berlalu bahkan setelah melihat Nadya berdiri disampingnya. “Yah ko pergi sih!” Dengan langkah lesu, akhirnya gadis cantik itu berjalan pelan menuju halte bus dan duduk menunggu sendirian. “Padahal aku kira kita udah deket,” ungkap Nadya dengan nada memelasnya. •••• Nadya melemparkan tubuhnya ke kasur yang sudah menunggu untuk segera dinikmati. Dalam sekejap tubuhnya sudah telentang nyaman. Menyi
Dia itu seperti bawang, yang semakin dikupas semakin menunjukkan sisi baru. “Eh kak Raga?” Nadya terkejut sesaat menatap sosok Raga yang berdiri didepan pintu kelasnya. “Ada apa ya?” Ujarnya lagi karena tak ada respon apapun dari lawan bicaranya itu. “Gak pa-pa, cuma lewat,” jawab Raga acuh setelah sekian lama membisu. Meski begitu, lelaki tampan itu tak bergerak sedikitpun dari tempatnya. “Yaudah kalo gitu aku duluan ya.” “Eh bentar,” tiba-tiba Raga mencekal pergelangan tangan Nadya pelan. “Lo temen deketnya Frida?” “Em yah,” Nadya menjawab ragu dengan pipi yang mulai memanas. Bagaimana tidak, posisi keduanya kali ini sungguh membuatnya meleleh seketika. Sosok Raga yang tinggi itu menunduk seolah ingin menyamakan tinggi badannya dengan Nadya. Matanya menatap lekat dengan tangan yang masih bert
Terkadang ada sejumlah rasa yang tak bisa diutarakan begitu saja. “Rajin bat mbak, udah bel dari tadi juga masih aja nulis.” Ema melangkahkan kakinya dengan bibir yang terus berucap. Kedua gadis disamping kanan kirinya hanya melangkah dengan bibir terkatup. “Berisik!” Balas Yunia mendelik tajam. Tangannya masih sibuk bercengkerama dengan pulpen hitamnya itu. “Eh Nad, kamu pulang naik bus?” “Iya,” Nadya menjawab singkat dengan suara yang sedikit pelan. “Hari ini bareng aku ajalah, lumayan hemat cuan.” Risa kembali bersuara dengan tangan yang mulai menarik kursi kayu untuk didudukinya. “Lah kamu mau kemana?” Heran Yunia menatap gadis