Terluka meski tak nyata.
Bruuugh...
Nadya terjatuh pelan dengan senyuman kecut diwajahnya. Tak ada yang terjadi, dalam beberapa saat ia hanya berdiam diri. Hingga akhirnya tubuh berbalut seragam putih abu itu kembali bangkit memijakkan kedua kakinya.
“Sepertinya mereka gak denger,” batinnya bernafas lega.
Tanpa berpikir panjang, Nadya pun pergi meninggalkan kedua insan itu dengan perasaan yang tidak menentu. “Ini masalah pribadi, gak boleh nguping kaya gini Nad,” ucapnya lagi sembari pergi menjauh dari tempat sunyi itu.
****
“Haha tentu saja kak Raga pasti kenal dengan Frida, dia kan salah satu siswa populer disekolah ini, gak kaya aku!” Entah tawa apa yang Nadya gunakan kali ini, yang pasti nada kekecewaan terdengar sangat jelas.
“Dan mungkin mereka juga menjalin hubungan.”
“Tapi sejak kapan?” Lagi dan lagi. Pertanyaan itu terus terlontar dari bibirnya tanpa henti.
“Huwaaa padahal ini kan hari pertama aku jatuh cinta!” Nadya berteriak frustasi sambil meremas buku-buku yang kini berserakan di atas mejanya.
“Dahlah bodo amat!” Dengan cepat kening mulusnya itu mencium meja kayu lembut.
“Bodo amat apanya?” Yunia yang baru saja tiba pun bertanya heran. Matanya melirik sekitar dan kembali fokus pada Nadya yang amat sangat aneh saat ini. "Rambut berantakan, muka kusut, bukupun berserakan," ujarnya lagi sembari menggerakkan jari telunjuknya mengikuti ucapannya sendiri.
“Kamu kenapa sih?” Gadis berambut sebahu itu kembali bertanya dengan posisi yang sudah terduduk manis.
“Gak pa-pa.”
“Iiih bikin penasaran aja, kenapa sih?” Dengan cepat, tangan Yunia mulai bergerak menggoyangkan tubuh teman sebangkunya yang kini berdiam lesu. Namun tak ada respon apapun dari manusia yang tengah bernafas disampingnya itu.
“Aku beneran gak pa-pa Nia!” Dengan perasaan dongkol, Nadya mengangkat wajah suramnya dan mulai tersenyum aneh.
“Serem anjir!” Nadya menatap tajam pada temannya yang satu ini. Dalam sekejap tangan yang sedari tadi diam itu mulai melayang menuju tempat pendaratan.
PLAAAK
“Sakit bego!” Yunia mulai mengumpat dengan tangan yang mengusap bahu kanannya.
“Ngumpat terooos!” dengan ekspresi puas Nadya menjulurkan lidahnya sengaja. Masih dengan senyum manis, ia kembali menikmati penderitaan dari korban pukulannya itu.
“Seneng amat mbak, kualat entar bahagia diatas penderitaan orang!” Yunia mendelikkan matanya jengah.
“Sekali lagi, bodo amat!”
“Oke fine, kamu menang.” Masih dengan tatapan jengah, Yunia mengacungkan kedua jempolnya.
“Btw si doi udah mulai sekolah lagi ya?”
“Mantan yeuuuh!” Gelak tawa terdengar semakin jelas ketika tiga siswi lainnya berjalan mendekati bangku Nadya dan Yunia.
“Iya-iya, aku juga tau dia mantannya kali. Cuman penasaran aja gitu, siapa tau mpu nya masih jadi stalker.” Entahlah, suasana yang tadi terlihat biasa saja kini menjadi pentas lawak untuk Nadya.
“Haha stalker?”
“Mending cari cowok lain aja deh!” Balas Nadya sewot sendiri.
“Yakin bisa move on dari Rangga?” Ema bertanya dengan alis yang bergerak naik turun.
“Udah satu tahun lebih loh Ya!”
“Ups Ya, Nad aja deh!” Risa yang sedari tadi sibuk tertawa kini mulai mengikuti alur pembicaraan.
“Kalian apaan sih, bikin geli aja!” Nadya berucap dengan bibir yang menggerutu lucu.
“Tapi itu faktanya kan, kamu tuh gak bisa move on dari dia!”
“Enak aja! Aku pasti bakal dapet yang lebih baik dari dia!”
“Lebih ganteng juga!” Tambah Nadya lagi dengan posisi berdiri tegak.
“Eleh, siapa coba yang bisa ngalahin most wantednya angkatan kita?”
“Anak basket cuy!” Risa kembali heboh sambil bergerak menirukan kebiasaan seseorang yang kini tengah menjadi topik pembicaraan.
“Lagian gak nyangka banget ya, julukan dulu si cupu ganteng eh sekarang malah jadi badboy yang amat menawan.”
“Udahan ah, males tau bahasannya itu-itu mulu," gumam Nadya dengan bibir yang terus menggerutu.
“Yakin nih gak mau bahas Rangga?” Meski sudah mendapatkan larangan keras pun, teman-teman laknatnya itu tak akan pernah mau berhenti menggoda kedamaiannya. “Menyebalkan!” Mata Nadya melirik tajam.
“Nadya!” Tiba-tiba sesosok makhluk hidup bersuara dengan amat sangat lembutnya. Lontarannya itu berhasil membuat beberapa siswa menoleh penasaran. Bahkan suasana bising yang sedari tadi menghiasipun berhenti seketika. Mereka semua memperhatikan Frida dengan mata terpesona.
“Aneh, apa dia sepopuler ini ya?”
“Woy bengong aja!” Teriaknya dengan tangan yang sudah menyentuh pundak kiri Nadya.
Nadya menoleh dan tersenyum hambar menyambut kedatangannya.
“Mau ke taman?” Frida kembali bersuara.
“Melas ah,” geleng Nadya dengan wajah yang masih terlihat masam.
“Yaudah ke kantin aja ya, plis.” Tanpa henti sosok dihadapannya itu terus memberikan tatapan yang mau tau mau membuat hati Nadya luluh dalam sekejap. Hingga pada akhirnya kedua insan yang kini bergandeng tangan itu pun melangkah menjauhi riuhnya suasana kelas sebelas IPA tujuh tersebut.
••••
“Frida!” Sontak keduanya berbalik ketika mendengar teriakan yang cukup menggema dalam indera pendengaran.
Frida sang pemilik nama pun tak henti hentinya menatap tajam. Berbeda halnya dengan Nadya yang malah terlihat malu-malu.
“Apaan?” Responnya sinis dengan bola mata yang memutar jengah.
“Bisa bicara sebentar?” Sosok jangkung itu kembali berucap dengan kaki yang kini mulai melangkah mendekat.
Tertawa diantara luka. Dengan seragam lengkap, Nadya menuruni tangga menuju dapur untuk mengambil roti dan selai kacang. Ia memang tinggal sendirian, ayahnya sangat sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan ibunya, dia bahkan tak tau masih memilikinya atau tidak. Dengan langkah kecil, Nadya berlari menuju halte bus yang akan ditumpanginya. Dan tentu saja Frida juga ada disana. Baru beberapa menit yang lalu ia memikirkan sosok itu, sekarang Frida sudah berdiri dihadapannya dengan senyuman manis. “Menyebalkan!” Nadya bergumam tak suka. “Tumben pagi?” Tanyanya dengan suara riang. Nadya hanya menoleh sesaat tanpa ada niatan untuk menjawab pertanyaannya. Tak lama bus yang ditunggu pun da
Aku menunggumu untuk diperhatikan, bukan diabaikan. Tak terasa sudah beberapa hari Nadya tidak mengetahui kabar terbaru tentang Raga. Mungkin karena ia terlalu sibuk bergelut dengan masalah lain. Dengan berbagai keberanian, kini ia berjalan menuju ruang kelas dua belas dengan mata yang terus menatap sekitar. Langkahnya terhenti sesaat, memperhatikan seorang manusia yang sedang duduk dibangku paling pojok ruangan, jauh dari tempatnya berdiri. Sosok tampan itu tengah sibuk menunduk dengan ponsel ditangan kanannya. “Kak!” Ucap Nadya dengan penuh keberanian. Tanpa suara, Raga hanya menatap sekilas kemudian kembali fokus pada ponselnya. Mengabaikan gadis yang masih berdiri disampingnya.
Tetaplah menjadi dirimu meski orang lain tidak menyukaimu. Dipagi hari yang cerah ini, semua siswa berkumpul untuk melaksanakan kegiatan upacara bendera. Detik demi detik terlewati, tak terasa pembawa acara mengumumkan bahwasanya upacara telah selesai dilaksanakan. Kedua kaki Nadya bergerak riang dengan niat meninggalkan lapangan yang gersang ini. Namun langkahnya kembali terhenti saat bapak kepala sekolah mengatakan ada pengumuman penting. “Ya Allah pak! Udah panas gini juga,” gerutu Nadya sambil menempatkan tubuhnya diposisi semula. Entah sudah berapa kata yang keluar dari mulut pria paruh baya itu, rasanya Nadya sudah tak peduli. Tubuh mungilnya pun sudah menunduk lesu dengan wajah bercucuran keringat. T
Namanya juga harapan, gak semuanya bisa jadi kenyataan. Dengan berbagai macam keberanian, Nadya berjalan melangkah menuju tempat parkiran. Siapa tau Raga kembali mengajaknya pulang bersama. Namun kenyataan tetaplah kenyataan, tak sesuai dengan ekspetasi tingginya. Sosok Raga malah pergi berlalu bahkan setelah melihat Nadya berdiri disampingnya. “Yah ko pergi sih!” Dengan langkah lesu, akhirnya gadis cantik itu berjalan pelan menuju halte bus dan duduk menunggu sendirian. “Padahal aku kira kita udah deket,” ungkap Nadya dengan nada memelasnya. •••• Nadya melemparkan tubuhnya ke kasur yang sudah menunggu untuk segera dinikmati. Dalam sekejap tubuhnya sudah telentang nyaman. Menyi
Dia itu seperti bawang, yang semakin dikupas semakin menunjukkan sisi baru. “Eh kak Raga?” Nadya terkejut sesaat menatap sosok Raga yang berdiri didepan pintu kelasnya. “Ada apa ya?” Ujarnya lagi karena tak ada respon apapun dari lawan bicaranya itu. “Gak pa-pa, cuma lewat,” jawab Raga acuh setelah sekian lama membisu. Meski begitu, lelaki tampan itu tak bergerak sedikitpun dari tempatnya. “Yaudah kalo gitu aku duluan ya.” “Eh bentar,” tiba-tiba Raga mencekal pergelangan tangan Nadya pelan. “Lo temen deketnya Frida?” “Em yah,” Nadya menjawab ragu dengan pipi yang mulai memanas. Bagaimana tidak, posisi keduanya kali ini sungguh membuatnya meleleh seketika. Sosok Raga yang tinggi itu menunduk seolah ingin menyamakan tinggi badannya dengan Nadya. Matanya menatap lekat dengan tangan yang masih bert
Terkadang ada sejumlah rasa yang tak bisa diutarakan begitu saja. “Rajin bat mbak, udah bel dari tadi juga masih aja nulis.” Ema melangkahkan kakinya dengan bibir yang terus berucap. Kedua gadis disamping kanan kirinya hanya melangkah dengan bibir terkatup. “Berisik!” Balas Yunia mendelik tajam. Tangannya masih sibuk bercengkerama dengan pulpen hitamnya itu. “Eh Nad, kamu pulang naik bus?” “Iya,” Nadya menjawab singkat dengan suara yang sedikit pelan. “Hari ini bareng aku ajalah, lumayan hemat cuan.” Risa kembali bersuara dengan tangan yang mulai menarik kursi kayu untuk didudukinya. “Lah kamu mau kemana?” Heran Yunia menatap gadis
Mau dibenci atau disukai, yang penting jadi diri sendiri. “Nad, buruan cek mg kamu!” Teriak Yunia kencang ketika Nadya baru saja menekan tombol hijau pada layar ponselnya. “Emang ada apa?” Nadya balik bertanya setelah mengusap beberapa kali telinga kirinya. “Kak Raga ngomen postingan kamu, buruan cek pokoknya ya.” Tuuut...tuuut... Belum sempat Nadya merespon ucapan dari temannya itu, sambungan telepon sudah terputus sebelah pihak. “Maksudnya apa sih?” Gumam Nadya terheran-heran. Ia menatap kosong benda digenggamnya itu. Tak lama tangannya kembali bergerak menjelajahi berbagai notifikasi.
Buatlah dia tertawa dan pada akhirnya dia akan jatuh cinta. Kali ini, setelah jam pelajaran berakhir Nadya tak langsung pergi meninggalkan lingkungan sekolah seperti biasanya. Dengan seragam coklatnya ia melangkah menuju ruang kelas yang selama ini ia rindukan. “Hey Nad!” Sapa seorang gadis berkacamata lembut ketika ia baru saja mendorong pintu untuk masuk. “Sini-sini!” Seru gadis lainnya mempersilakan Nadya untuk duduk disampingnya. “Udah lama deh kayanya gak kumpul gini, kangen tau!” Syafira berucap heboh sambil memeluk Nadya erat. Hal tersebut tentu saja menarik perhatian siswa sekitar. “Eh kalian udah pada hafal belum sih puisin