Tertawa diantara luka.
Dengan seragam lengkap, Nadya menuruni tangga menuju dapur untuk mengambil roti dan selai kacang. Ia memang tinggal sendirian, ayahnya sangat sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan ibunya, dia bahkan tak tau masih memilikinya atau tidak.
Dengan langkah kecil, Nadya berlari menuju halte bus yang akan ditumpanginya. Dan tentu saja Frida juga ada disana.
Baru beberapa menit yang lalu ia memikirkan sosok itu, sekarang Frida sudah berdiri dihadapannya dengan senyuman manis. “Menyebalkan!” Nadya bergumam tak suka.
“Tumben pagi?” Tanyanya dengan suara riang.
Nadya hanya menoleh sesaat tanpa ada niatan untuk menjawab pertanyaannya. Tak lama bus yang ditunggu pun datang dan berhenti tepat didepan sekumpulan remaja SMA itu.
Tanpa basa basi Nadya menaiki bus mendahului Frida yang masih termenung.
“Biarlah dia sendiri dulu, aku masih malas berbincang dengannya,” batinnya berucap tak enak hati ketika memandangi sosok Frida yang kini tampak muram.
••••
“Ada kabar terbaru nih, mau tau gak?” Teriak seorang siswa yang baru saja memasuki ruang kelas.
“Kabar apaan?” Sontak sekumpulan gadis yang sedari tadi sibuk merias diri itu berbalik antusias.
“Barusan dilapang depan, Rangga ngasih coklat sama bunga dong buat Rida!”
“Sampe berlutut dong wey!” Serbu Anaya yang juga baru memasuki ruangan gaduh tersebut.
“Calon pacar gue anjir! Maen serobot aja tuh si kampret!” Teriak Edo mincrak-mincrak sendiri sambil berhamburan keluar meninggalkan teman-temannya.
Kelas yang awalnya bising itu berubah menjadi hening. Semua orang pergi keluar untuk menyaksikan secara langsung pemandangan indah itu. Berbeda dengan Nadya, ia malah terdiam ditempat sambil tersenyum pedih. Dia tak ingin menggores luka untuk dirinya sendiri.
“Ini terlalu sakit,” ucapnya pelan dengan bulir yang entah sejak kapan mulai menetes.
Dia memang tak punya hak untuk melarang keduanya berhubungan, tapi tetap saja perasaan miliknya itu tidak akan bisa menerimanya dengan mudah. Apalagi Rangga adalah sosok terindah dimasa lalunya.
****
Hari demi hari telah terlewati. Berbagai kejadian melintasi kehidupannya yang hampa ini. Tak ada hal istimewa yang mampu membuatnya tertawa.
Dipagi hari yang cerah dengan terik matahari yang bersinar terang tanpa peduli akan keadaannya. Cuaca hari ini sangat bertolak belakang dengan perasaannya.
Nadya hanya duduk terdiam dikursi pojok ruangan. Tak henti-hentinya pikiran tentang Frida dan Rangga berkeliaran dikepalanya akhir-akhir ini. Entah itu karena benci ataupun merasa bersalah. Sebenarnya dia bukanlah sosok yang bisa membenci orang lain hanya karena hal sepele seperti ini. Mungkin saat ini Nadya masih bingung harus bersikap seperti apa.
“Aku gak bisa nyalahin orang lain kaya gini!” Gumamnya terdengar lesu.
“Lagi pula Rangga juga gak pernah anggap aku ada, ngapain sih aku ini?” Nadya bertanya pada dirinya sendiri.
Dalam keheningan sosoknya itu berkomunikasi dengan pikirannya juga hati kecilnya. Tak terasa waktu terus berlalu hingga ruangan yang tadinya kosong itu mulai terisi penuh.
Nadya bukanlah siswa pintar ataupun populer disekolah ini. Ia hanya secuil upil yang bahkan tak berpengaruh jika ada ataupun tidak. Berbeda dengan Frida, dia cantik, pintar, mudah bergaul, sangat populer dan masih banyak lagi. Tentu saja Rangga pasti menyukai wanita seperti itu.
Ditengah kebisingan yang sedang terjadi, Nadya mulai menerima segala bentuk fakta dan mencoba memperbaiki semuanya. Ia berlari kecil menuju ruang kelas Frida untuk meminta maaf. Tak enak rasanya mendiamkan orang yang selama ini berkeliaran disekitarnya.
Kakinya bergerak melangkah memasuki ruangan yang didominasi dengan warna biru itu. Matanya menyapu sekitar untuk mencari keberadaan teman dekatnya.
“Mau apa lo kesini?” Tanya seorang gadis dengan tangan yang setia memegang kedua pinggangnya.
“Cari Frida,” jawab Nadya singkat.
Tak membalas apapun, dia hanya menatap acuh dengan mata bulatnya kemudian berlalu begitu saja. “Aneh,” gumam Nadya sambil tertawa pelan.
Sebenarnya gadis yang barusan menghadang jalannya itu adalah teman satu kelasnya tahun lalu, namanya Karin. Keduanya memang tidak akrab, itu karena sifat Nadya yang tidak bisa memulai percakapan duluan dengan orang tak dikenal, juga mungkin karena karakter Karin yang cuek dan judes itu.
“Tumben ke kelasku?” Sebuah tangan mendarat dipundaknya dengan lembut.
“Lagi mau aja,” jawab Nadya seadanya sambil menetralkan degup jantung yang baru saja terguncang akibat keterkejutan.
Frida hanya menatap bingung lantas tersenyum hangat.
“Ah itu, sebenernya aku mau minta maaf sama kamu.” Nadya berucap cepat sehingga membuat gadis dihadapannya sedikit terkejut.
“Untuk apa?” Frida balik bertanya dengan tatapan yang masih tertuju pada orang yang sama.
“Aku udah ngediemin kamu tanpa alasan.”
“Oh soal itu, gapapa kok.”
“Aku ngerti perasaan kamu,” lanjutnya lagi dengan tangan kanan yang bergerak mengusap bahu Nadya lembut.
“Maksudnya?” Nadya bertanya tak mengerti.
“Iya aku ngerti perasaan kamu, aku tau kamu pasti merasa terkhianati dengan kabar waktu itu,” ucapnya membuat Nadya tambah bingung.
“Aku udah tau kalau kamu itu mantannya Rangga.” Sampai disana Nadya mendengarkan perkataan sahabatnya. Sekarang ia tengah sibuk dengan pikirannya. “Ternyata dia tau tentang masa lalu Rangga,” batinnya tersenyum miris.
“Kenapa?” Frida kembali bersuara dengan sedikit keras hingga membuat Nadya terkejut untuk sesaat.
“Eh gapapa kok,” jawabnya asal sambil cengengesan. “Yaudahlah, yang penting kita baikan.”
“Toh mereka juga cocok banget kok,” lanjutnya bergumam pelan dengan senyum andalannya.
Aku menunggumu untuk diperhatikan, bukan diabaikan. Tak terasa sudah beberapa hari Nadya tidak mengetahui kabar terbaru tentang Raga. Mungkin karena ia terlalu sibuk bergelut dengan masalah lain. Dengan berbagai keberanian, kini ia berjalan menuju ruang kelas dua belas dengan mata yang terus menatap sekitar. Langkahnya terhenti sesaat, memperhatikan seorang manusia yang sedang duduk dibangku paling pojok ruangan, jauh dari tempatnya berdiri. Sosok tampan itu tengah sibuk menunduk dengan ponsel ditangan kanannya. “Kak!” Ucap Nadya dengan penuh keberanian. Tanpa suara, Raga hanya menatap sekilas kemudian kembali fokus pada ponselnya. Mengabaikan gadis yang masih berdiri disampingnya.
Tetaplah menjadi dirimu meski orang lain tidak menyukaimu. Dipagi hari yang cerah ini, semua siswa berkumpul untuk melaksanakan kegiatan upacara bendera. Detik demi detik terlewati, tak terasa pembawa acara mengumumkan bahwasanya upacara telah selesai dilaksanakan. Kedua kaki Nadya bergerak riang dengan niat meninggalkan lapangan yang gersang ini. Namun langkahnya kembali terhenti saat bapak kepala sekolah mengatakan ada pengumuman penting. “Ya Allah pak! Udah panas gini juga,” gerutu Nadya sambil menempatkan tubuhnya diposisi semula. Entah sudah berapa kata yang keluar dari mulut pria paruh baya itu, rasanya Nadya sudah tak peduli. Tubuh mungilnya pun sudah menunduk lesu dengan wajah bercucuran keringat. T
Namanya juga harapan, gak semuanya bisa jadi kenyataan. Dengan berbagai macam keberanian, Nadya berjalan melangkah menuju tempat parkiran. Siapa tau Raga kembali mengajaknya pulang bersama. Namun kenyataan tetaplah kenyataan, tak sesuai dengan ekspetasi tingginya. Sosok Raga malah pergi berlalu bahkan setelah melihat Nadya berdiri disampingnya. “Yah ko pergi sih!” Dengan langkah lesu, akhirnya gadis cantik itu berjalan pelan menuju halte bus dan duduk menunggu sendirian. “Padahal aku kira kita udah deket,” ungkap Nadya dengan nada memelasnya. •••• Nadya melemparkan tubuhnya ke kasur yang sudah menunggu untuk segera dinikmati. Dalam sekejap tubuhnya sudah telentang nyaman. Menyi
Dia itu seperti bawang, yang semakin dikupas semakin menunjukkan sisi baru. “Eh kak Raga?” Nadya terkejut sesaat menatap sosok Raga yang berdiri didepan pintu kelasnya. “Ada apa ya?” Ujarnya lagi karena tak ada respon apapun dari lawan bicaranya itu. “Gak pa-pa, cuma lewat,” jawab Raga acuh setelah sekian lama membisu. Meski begitu, lelaki tampan itu tak bergerak sedikitpun dari tempatnya. “Yaudah kalo gitu aku duluan ya.” “Eh bentar,” tiba-tiba Raga mencekal pergelangan tangan Nadya pelan. “Lo temen deketnya Frida?” “Em yah,” Nadya menjawab ragu dengan pipi yang mulai memanas. Bagaimana tidak, posisi keduanya kali ini sungguh membuatnya meleleh seketika. Sosok Raga yang tinggi itu menunduk seolah ingin menyamakan tinggi badannya dengan Nadya. Matanya menatap lekat dengan tangan yang masih bert
Terkadang ada sejumlah rasa yang tak bisa diutarakan begitu saja. “Rajin bat mbak, udah bel dari tadi juga masih aja nulis.” Ema melangkahkan kakinya dengan bibir yang terus berucap. Kedua gadis disamping kanan kirinya hanya melangkah dengan bibir terkatup. “Berisik!” Balas Yunia mendelik tajam. Tangannya masih sibuk bercengkerama dengan pulpen hitamnya itu. “Eh Nad, kamu pulang naik bus?” “Iya,” Nadya menjawab singkat dengan suara yang sedikit pelan. “Hari ini bareng aku ajalah, lumayan hemat cuan.” Risa kembali bersuara dengan tangan yang mulai menarik kursi kayu untuk didudukinya. “Lah kamu mau kemana?” Heran Yunia menatap gadis
Mau dibenci atau disukai, yang penting jadi diri sendiri. “Nad, buruan cek mg kamu!” Teriak Yunia kencang ketika Nadya baru saja menekan tombol hijau pada layar ponselnya. “Emang ada apa?” Nadya balik bertanya setelah mengusap beberapa kali telinga kirinya. “Kak Raga ngomen postingan kamu, buruan cek pokoknya ya.” Tuuut...tuuut... Belum sempat Nadya merespon ucapan dari temannya itu, sambungan telepon sudah terputus sebelah pihak. “Maksudnya apa sih?” Gumam Nadya terheran-heran. Ia menatap kosong benda digenggamnya itu. Tak lama tangannya kembali bergerak menjelajahi berbagai notifikasi.
Buatlah dia tertawa dan pada akhirnya dia akan jatuh cinta. Kali ini, setelah jam pelajaran berakhir Nadya tak langsung pergi meninggalkan lingkungan sekolah seperti biasanya. Dengan seragam coklatnya ia melangkah menuju ruang kelas yang selama ini ia rindukan. “Hey Nad!” Sapa seorang gadis berkacamata lembut ketika ia baru saja mendorong pintu untuk masuk. “Sini-sini!” Seru gadis lainnya mempersilakan Nadya untuk duduk disampingnya. “Udah lama deh kayanya gak kumpul gini, kangen tau!” Syafira berucap heboh sambil memeluk Nadya erat. Hal tersebut tentu saja menarik perhatian siswa sekitar. “Eh kalian udah pada hafal belum sih puisin
Kamu, sosok yang akhir-akhir ini menjadi canduku. Berbeda dari biasanya, dihari sabtu pagi ini sosok Nadya sudah tampil rapi dengan pakaian simpelnya. Satu semprot parfum menempel di pergelangan tangan kirinya. Dengan cepat ia melangkah pergi setelah mengembalikan alat riasnya itu ke tempat semula. “Bentar lagi,” gumam Nadya dengan mata yang terus melirik jam di pergelangan tangannya. Detik demi detik terlewati, ia tetap melangkah cepat meninggalkan lingkungan rumahnya yang kini terlihat semakin mengecil. “Huuu lama banget, sih.” Suara Yunia memenuhi pendengaran. Nadya tak mengubris, ia hanya menyeka keringatnya kemudian terduduk lelah disamping sahabatnya yang terus berucap tanpa henti.