Tetaplah menjadi dirimu meski orang lain tidak menyukaimu.
Dipagi hari yang cerah ini, semua siswa berkumpul untuk melaksanakan kegiatan upacara bendera.
Detik demi detik terlewati, tak terasa pembawa acara mengumumkan bahwasanya upacara telah selesai dilaksanakan. Kedua kaki Nadya bergerak riang dengan niat meninggalkan lapangan yang gersang ini. Namun langkahnya kembali terhenti saat bapak kepala sekolah mengatakan ada pengumuman penting.
“Ya Allah pak! Udah panas gini juga,” gerutu Nadya sambil menempatkan tubuhnya diposisi semula.
Entah sudah berapa kata yang keluar dari mulut pria paruh baya itu, rasanya Nadya sudah tak peduli. Tubuh mungilnya pun sudah menunduk lesu dengan wajah bercucuran keringat. Tidak tau kenapa upacara kali ini terasa sangat melelahkan. Mungkin karena cuaca yang cukup panas dan amanat pembina yang terlalu lama, pikiran Nadya terus berputar disana.
****
Bel pertanda jam pelajaran pertama sudah berbunyi beberapa detik lalu. Seperti biasa fisika lah yang menjadi pembuka dihari senin yang indah ini.
Dengan telaten, Marisa menjelaskan berbagai materi dengan suara lantangnya. Namun sayang, hal itu tidak menjamin sepenuhnya akan masuk kedalam otak minimalis Nadya yang sudah penuh dengan file-file tidak berguna.
Setelah pelajaran berakhir, Nadya dan teman-temannya tak langsung pergi ke kantin. Melainkan mengganti baju seragamnya agar tidak terlambat ketika jam olahraga dimulai nanti.
“Bentar, baju kamu kaya kontor deh,” seru Yunia sembari menunjuk noda kecoklatan dibagian lengan kanan milik temannya.
“Ah iya nih, tadi gak sengaja kena minumannya Rina,” jelas Nadya sambil melipat seragam putih abunya.
“Oh gitu,” Yunia mengangguk kecil dengan tangan yang masih sibuk memperbaiki penampilannya.
••••
“Lah belum pulang?” Tanya Rina yang baru saja menginjakkan kakinya diparkiran.
Nadya yang sedari tadi termenung mulai tersadar. Menggelengkan wajahnya sebagai jawaban untuk pertanyaan sebelumnya.
“Gak mau bareng?”
Lagi-lagi Nadya hanya menjawab dengan gelengan singkat. Tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Yaudah aku duluan ya, bay!” Dengan pasti langkah gadis itu bergerak meninggalkan Nadya yang masih termenung dengan pikirannya.
Masih dengan tatapan kosong, Nadya melihat dua manusia yang berjalan kearahnya.
“Kenapa belum pulang?” Tanyanya begitu tiba dihadapan Nadya.
“Belum aja,” jawab Nadya membuang muka ketika berpapasan mata dengan pria yang berdiri dibelakang sahabatnya.
“Yaudah kita pulang duluan ya!” Frida kembali bersuara untuk mengakhiri pembicaraan. Tanpa menunggu jawaban, kedua insan itu sudah pergi berlalu dengan motor yang melaju cepat.
Nadya kembali duduk dengan menyembunyikan wajahnya diantara kedua tangannya. Ia masih sibuk dengan pikiran kusutnya.
“Gak pulang lo?” tanya seseorang membuat Nadya mendongakkan kepalanya. Pria terdingin yang ia kenal kini berdiri dihadapannya dan berbicara kepadanya. “Ayo gue anterin lo pulang,” ajaknya yang kembali membuat Nadya terkejut. Raga hanya melihat gadis itu datar dan menyuruhnya naik keatas motor kesayangannya.
Jantung Nadya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tidak menyangka akan menaiki motor ini lagi bersama pemiliknya.
“Baru kali ini aku merasa jalan menuju rumahku itu terlihat sangat indah,” gumamnya dengan senyum yang tak pernah pudar.
Tepat dipekarangan rumahnya, motor hitam itu berhenti melaju. Nadya turun perlahan dan memberikan helm kepada sang pemilik. Raga kembali menatap wajah sang gadis datar.
“Gak usah! Besok gue jemput lo jadi lo pegang aja.”
Nadya tercekat ditempat, menatap pria idamannya itu dengan lekat. Dia tersenyum cerah untuk mengakhiri kegiatan romantis ini.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanyanya heran sendiri.
****
Seperti ucapannya kemarin, hari ini sosok Raga benar-benar datang menjemputnya.
Diperjalanan yang panjang itu tak pernah ada pembahasan. Keduanya hanya terdiam kaku dengan udara pagi yang menyelimuti.
“Kak turun disana aja ya,” pinta Nadya sembari menunjuk halte bus dihadapannya. Namun Raga tetaplah Raga, ia acuk akan permintaan gadis dibelakangnya itu.
“Males gue,” tuturnya pelan masih dengan melajukan motor hitamnya. Hingga akhirnya kedua remaja berseragam SMA itu sampai dipekarangan sekolahnya.
Dengan ragu Nadya bergerak menuruni kendaraan roda dua itu. “Tuh kan disambut sama yang beginian,” dumelnya pelan sembari menatap sekitar. Benar saja dugaannya, sorotan tak mengenakkan yang ia dapatkan pagi ini. Bagaimana tidak, dirinya yang biasa-biasa itu baru saja turun dari motor kesayangan seorang Raga Pratama. Benar-benar tidak bisa diterima.
“Dia siapa? Ko mukanya agak asing ya.”
“Eh itu Nadya anak kelas sebelas IPA tujuh bukan sih?? Masa sih pacarnya kak Raga.”
“Gak mungkin deh kalo pacarnya, gak serasi banget asli!”
“Orang penampilannya aja biasa gitu, masa pacarnya? Turun dong martabat seorang Raga.”
Masih dengan tawa, beberapa pelajar itu menatap remeh kearahnya. Berbeda dengan sang gadis yang terus gelisah, Raga malah dengan santainya menggenggam tangan kiri Nadya dan menyeretnya perlahan.
Melihat hal tersebut, suasana yang sudah riuh itu malah bertambah rusuh.
“Gila! Masa sih beneran pacarnya?”
“Wow bakal heboh nih.”
“Asik bahan gibah buat dikantin,” serbu gadis cantik dengan mata yang terus memperhatikan dua sosok itu dari atas sampai bawah.
“Kak aku duluan ya!” Nadya sudah tak kuat, ia ngacir duluan meninggalkan kegaduhan yang sedari tadi menggulungnya.
Bodoamat dengan dirinya yang dicap aneh oleh pria itu, tatapan para wanita kali ini jauh lebih menakutkan baginya.
Raga terdiam sejenak, menatap punggung cantik itu berlalu dari hadapannya. Entah apa yang ia lakuakan sebenarnya.
Namanya juga harapan, gak semuanya bisa jadi kenyataan. Dengan berbagai macam keberanian, Nadya berjalan melangkah menuju tempat parkiran. Siapa tau Raga kembali mengajaknya pulang bersama. Namun kenyataan tetaplah kenyataan, tak sesuai dengan ekspetasi tingginya. Sosok Raga malah pergi berlalu bahkan setelah melihat Nadya berdiri disampingnya. “Yah ko pergi sih!” Dengan langkah lesu, akhirnya gadis cantik itu berjalan pelan menuju halte bus dan duduk menunggu sendirian. “Padahal aku kira kita udah deket,” ungkap Nadya dengan nada memelasnya. •••• Nadya melemparkan tubuhnya ke kasur yang sudah menunggu untuk segera dinikmati. Dalam sekejap tubuhnya sudah telentang nyaman. Menyi
Dia itu seperti bawang, yang semakin dikupas semakin menunjukkan sisi baru. “Eh kak Raga?” Nadya terkejut sesaat menatap sosok Raga yang berdiri didepan pintu kelasnya. “Ada apa ya?” Ujarnya lagi karena tak ada respon apapun dari lawan bicaranya itu. “Gak pa-pa, cuma lewat,” jawab Raga acuh setelah sekian lama membisu. Meski begitu, lelaki tampan itu tak bergerak sedikitpun dari tempatnya. “Yaudah kalo gitu aku duluan ya.” “Eh bentar,” tiba-tiba Raga mencekal pergelangan tangan Nadya pelan. “Lo temen deketnya Frida?” “Em yah,” Nadya menjawab ragu dengan pipi yang mulai memanas. Bagaimana tidak, posisi keduanya kali ini sungguh membuatnya meleleh seketika. Sosok Raga yang tinggi itu menunduk seolah ingin menyamakan tinggi badannya dengan Nadya. Matanya menatap lekat dengan tangan yang masih bert
Terkadang ada sejumlah rasa yang tak bisa diutarakan begitu saja. “Rajin bat mbak, udah bel dari tadi juga masih aja nulis.” Ema melangkahkan kakinya dengan bibir yang terus berucap. Kedua gadis disamping kanan kirinya hanya melangkah dengan bibir terkatup. “Berisik!” Balas Yunia mendelik tajam. Tangannya masih sibuk bercengkerama dengan pulpen hitamnya itu. “Eh Nad, kamu pulang naik bus?” “Iya,” Nadya menjawab singkat dengan suara yang sedikit pelan. “Hari ini bareng aku ajalah, lumayan hemat cuan.” Risa kembali bersuara dengan tangan yang mulai menarik kursi kayu untuk didudukinya. “Lah kamu mau kemana?” Heran Yunia menatap gadis
Mau dibenci atau disukai, yang penting jadi diri sendiri. “Nad, buruan cek mg kamu!” Teriak Yunia kencang ketika Nadya baru saja menekan tombol hijau pada layar ponselnya. “Emang ada apa?” Nadya balik bertanya setelah mengusap beberapa kali telinga kirinya. “Kak Raga ngomen postingan kamu, buruan cek pokoknya ya.” Tuuut...tuuut... Belum sempat Nadya merespon ucapan dari temannya itu, sambungan telepon sudah terputus sebelah pihak. “Maksudnya apa sih?” Gumam Nadya terheran-heran. Ia menatap kosong benda digenggamnya itu. Tak lama tangannya kembali bergerak menjelajahi berbagai notifikasi.
Buatlah dia tertawa dan pada akhirnya dia akan jatuh cinta. Kali ini, setelah jam pelajaran berakhir Nadya tak langsung pergi meninggalkan lingkungan sekolah seperti biasanya. Dengan seragam coklatnya ia melangkah menuju ruang kelas yang selama ini ia rindukan. “Hey Nad!” Sapa seorang gadis berkacamata lembut ketika ia baru saja mendorong pintu untuk masuk. “Sini-sini!” Seru gadis lainnya mempersilakan Nadya untuk duduk disampingnya. “Udah lama deh kayanya gak kumpul gini, kangen tau!” Syafira berucap heboh sambil memeluk Nadya erat. Hal tersebut tentu saja menarik perhatian siswa sekitar. “Eh kalian udah pada hafal belum sih puisin
Kamu, sosok yang akhir-akhir ini menjadi canduku. Berbeda dari biasanya, dihari sabtu pagi ini sosok Nadya sudah tampil rapi dengan pakaian simpelnya. Satu semprot parfum menempel di pergelangan tangan kirinya. Dengan cepat ia melangkah pergi setelah mengembalikan alat riasnya itu ke tempat semula. “Bentar lagi,” gumam Nadya dengan mata yang terus melirik jam di pergelangan tangannya. Detik demi detik terlewati, ia tetap melangkah cepat meninggalkan lingkungan rumahnya yang kini terlihat semakin mengecil. “Huuu lama banget, sih.” Suara Yunia memenuhi pendengaran. Nadya tak mengubris, ia hanya menyeka keringatnya kemudian terduduk lelah disamping sahabatnya yang terus berucap tanpa henti.
Entahlah, semacam diberi rasa lalu dibuang begitu saja. "Ayo!" Cekalan tangannya semakin mengerat. Langkahnya pun dipercepat menggiring Nadya yang hanya mengikuti tanpa berucap. "Tunggu disini, biar gue yang pesen." Belum juga ia terduduk, sosok jangkung itu sudah hilang dari penglihatan. Kini hanya Nadya yang tersisa dengan tatapan bingungnya. "Dasar, gak bisa dipercaya!" Sinis Frida menyambut kedatangan tamu menyebalkannya. "Urus aja pacar lo sana!" Raga berucap dengan delikan tajam. Setelahnya ia kembali bergerak cepat untuk menemui gadis yang mungkin saja masih menunggu kedatangannya. Namun sebelum hal itu terjadi, Frida mengejar Raga dan memeluk tubuhnya dari belakang. "Jangan pergi," cicitnya pelan. Frida semakin mengencangkan pelukannya. Raga tak menolak, ia hanya ter
Ada rasa yang tak bisa diutarakan, ada benci yang tak bisa diungkapkan. “Ayolah, kamu terlihat seperti wanita bodoh yang terobsesi dengan seorang pria,” celetuk salah seorang gadis yang tengah duduk melingkar. “Bukan terobsesi tapi mencintai!” Jawab Nadya menyangkal. “Berjuang sendiri itu bukan cinta namanya!” Balas Siska lagi, gadis yang sedari tadi duduk di samping kirinya. Mendengar hal itu entah kenapa membuat perasaan Nadya berdenyut nyeri menerima fakta yang terjadi. Kata sederhana yang mampu mengukir sebuah luka. Dia tau betul bahwa temannya itu tidak berniat untuk menyakiti perasaannya. Namun yah, hati kecilnya tidak akan pernah bisa mengelak. “Mengapa kisah cintaku harus berakhir seperti ini?” Batinnya tersenyum miris. “Dan kenapa juga aku harus mencintainya saat itu?” Nadya tertawa hambar menikmati segala