Tergopoh pria itu memasuki rumahnya. Ia bahkan memerlukan bantuan sopirnya untuk membukakan pintu mobil. Ronny Wijaya juga memerlukan bantuan Sang Sopir untuk memapahnya masuk. Kabar mengejutkan dari asisten rumah tangganya membuatnya nyaris syok. Bagaimana mungkin putri tunggalnya berada di rumah? Sungguh, Diva sangat nekat, pulang ke tanah air tanpa memberitahu.
Entah apa yang ada di dalam pikiran putrinya. Apakah Diva tidak tahu betapa mereka yang berada di sini selalu mengkhawatirkannya? Bukannya ia tak ingin berkumpul bersama putri tunggalnya kembali, ia hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Diva. Seperti kejadian ini, misalnya. Sungguh, ia tak dapat memaafkan dirinya sendiri kalau putrinya sampai kenapa-kenapa.
"Gimana Diva, Ma?" tanya Ronny setengah berteriak kepada Della, bahkan ia belum mencapai lantai dua masih berusaha menaiki tangga. "Diva beneran pulang?"
Della bergegas keluar kamar mendengarnya, semakin panik melihat suaminya yang dipapah oleh Pak Tono, sopir mereka.
"Astaga, Papa!" Della memekik kaget. "Papa kenapa, Pa?"
Ronny menggeleng pelan, berusaha menenangkan istrinya yang sudah menangis sekarang. Ronny membiarkan Della yang memapahnya menggantikan Pak Tono, dan membawanya langsung ke kamar putri mereka.
"Astaga, Diva!" Ronny langsung menghampiri putrinya yang terbaring di tempat tidur dengan mata yang terpejam. Tangan besarnya menggenggam tangan Diva yang terasa dingin bersentuhan dengan tangannya. "Diva baik-baik aja, 'kan, Ma? Diva kenapa? Kok, bisa ada di rumah?"
Della makin merasa sedih saja mendengar pertanyaan itu. Semua ini merupakan salahnya yang tidak selalu mengontrol keadaan putri mereka. Terakhir dia berhubungan dengan Diva adalah seminggu yang lalu, saat putrinya itu menghubunginya melalui panggilan video.
Saat itu sedang malam di sana, Diva begadang mengerjakan tugas dari kantornya. Oh iya astaga! Kenapa dia baru mengingatnya? Bukankah Diva bekerja di salah satu perusahaan ternama di New York? Jika dia berada di sini, bagaimana dengan pekerjaannya?
Ah, sekarang bukan saat memikirkan itu. Yang terpenting adalah putrinya. Diva harus bangun dulu agar mereka bisa mengetahui bagaimana keadaannya.
"Diva baik-baik aja, Pa," ucap Della menjawab pertanyaan beruntun suaminya. "Benar kayak gitu, 'kan, Dokter?" Dia bertanya pada dokter Shahnaz yang masih berada di ruangan itu.
Dokter Shahnaz mengangguk. "Diva mengalami sakit kepala dan mimisan saja, Ron. Itu sebuah reaksi yang wajar karena adanya satu atau beberapa ingatan yang memaksa masuk ke memori otaknya." Shahnaz menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang awam. "Nggak lama lagi dia bangun, kok," ucapnya tersenyum.
Ada sedikit kelegaan di hati Ronny mendengar kata-kata Shahnaz, ia selalu memercayai perkataan sahabatnya ini. Meskipun begitu, ia tetap khawatir. Bagaimana kalau Diva tidak bangun lagi dan kembali koma?
Sungguh, ia tak ingin kejadian sepuluh tahun yang lalu kembali terulang. Cukup sekali ia dan istrinya mengalami, tak ingin terjadi lagi.
Saat itu adalah saat terburuk dalam hidup mereka. Nyaris kehilangan putri semata wayang, kemudian dia koma, dan ketika bangun kehilangan seluruh ingatannya adalah hal terburuk dan sangat menyakitkan bagi setiap orang tua.
Tidak dikenali oleh anak mereka, ditatap dengan tatapan seolah mereka adalah orang asing merupakan mimpi buruk. Jangan sampai hal itu terjadi lagi.
Shahnaz mengerti, dia paham apa yang dirasakan sepasang suami-istri itu. Setiap orang tua pasti memiliki kekhawatiran yang sama, tak ingin anak mereka kenapa-kenapa. Apalagi mereka sudah mengenal lama dan bersahabat.
Dia juga khawatir pada Diva. Sejak kecil perempuan itu sudah keras kepala dan terbilang nekat. Diva selalu melakukan sesuatu yang dianggapnya benar. Sepertinya kali ini juga seperti itu.
Mungkin dia menganggap kepulangannya ke tanah air bukanlah sesuatu yang salah, dia pasti menganggap semuanya benar, atau mungkin ada sesuatu yang membuatnya nekat pulang tanpa memberitahu.
Sebagai sahabat kedua orang tua Diva, juga sebagai dokter pribadi keluarga mereka sekaligus dokter yang merawat Diva sejak dia mengalami pendarahan hebat sepuluh tahun yang lalu yang disebakan praktek aborsi ilegal, dia merasa bertanggung jawab. Dia tidak akan pulang sebelum melihat Diva sadar dan membuka mata.
"Gimana dengan kondisi kamu sendiri, Ron?" Shahnaz bertanya sebagai seorang sahabat. Dia juga mengkhawatirkan keadaan Della dan Ronny. Tadi Della sudah diberikannya resep untuk obat penenang. Mungkin saja ,'kan, Ronny juga memerlukannya. "Kamu kayaknya juga butuh obat untuk menenangkan diri. Aku kasih resep, ya?" tawarnya. "Atau sama aja resepnya kayak punya Della? Kayaknya kamu cuman perlu istirahat banyak, jangan terlalu dipikirkan dulu. Mengenai Diva, kalian bisa menuntunnya pelan-pelan. Kalau dia bertanya, jawab sejujurnya, tapi dengan lembut. Kalo nggak jujur takutnya nanti dia tambah parah."
"Sama kayak Della aja, Naz," jawab Ronny tanpa menatap. Matanya terus tertuju pada wajah Diva yang pucat. Napas putrinya sangat teratur, sepertinya dia sedang tidur. "Va, kamu bangun dong, Sayang. Jangan bikin Papa sama Mama khawatir," pintanya.
Della menyentuh bahu suaminya yang tampak luruh. Bahu tempatnya bersandar itu tak lagi kokoh seperti sebelumnya. Dia yakin, kabar kepulangan dan sakitnya putri mereka sangat mengejutkannya. Ronny juga tampak terpukul dengan apa yang terjadi pada Diva.
Shahnaz menghampiri tempat tidur Diva. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu terlihat tenang dalam tidurnya. Dia seperti Putri Salju yang sedang menantikan ciuman pangerannya untuk membuatnya kembali terbangun.
Shahnaz duduk di sisi kosong tempat tidur Diva, memeriksa denyut nadi dan suhu badannya yang normal. Senyum terukir di bibir Shahnaz, Diva hanya tidur, sebentar lagi dia pasti akan terjaga.
Perkiraan Shahnaz benar, mata yang terpejam itu bergerak liar, beberapa detik kemudian terbuka perlahan. Diva sudah sadar. Yang pertama dilakukannya adalah mengedarkan pandangan ke sekeliling, memeriksa keadaan kamar, dan duduk dengan cepat. Tangannya terangkat memijit pelipis, pusing langsung menyergap karena gerakannya yang tiba-tiba.
"Diva, kamu nggak apa-apa, Sayang?"
Pertanyaan itu membuat Diva menatap orang yang bertanya. Papanya. Diva mengangguk, bibirnya mengulas senyum.
"Papa?"
Ronny mengangguk, memeluk putrinya erat. Lega yang luar biasa dirasakannya. Tak terbayang kalau seandainya Diva tidak bangun lagi dan kembali koma. Pasti akan menjadi sebuah pukulan yang sangat berat bagi keluarganya.
Ia melarang Diva yang mencoba bangkit dengan menggelengkan kepala. Tangannya terulur mengusap puncak kepala putrinya, membungkukkan tubuh untuk mengecup keningnya.
"Kamu baik-baik aja, Sayang?" tanya Ronny parau. Sedapat mungkin ia menahan air mata agar tidak menggenangi matanya.
Diva mengangguk. "Diva kangen Papa sama Mama makanya pulang tanpa ngasih kabar," ucapnya memejamkan mata. "Tapi, pas di depan tadi kepala Diva pusing tiba-tiba gara-gara liat bayangan anak cewek pake seragam SMA. Apa itu Diva, Pa?"
Ronny mengangguk. Itu adalah ingatan masa kecil Diva. Ia mengembuskan napas pelan melewati rongga hidung. Hanya mengingat masa kecilnya saja Diva sudah pingsan seperti tadi. Lalu, apa yang terjadi seandainya Diva bertemu pria itu? Arjuna.
Sudah lebih dari sepuluh tahun, tetapi ia masih belum dapat melupakannya. Mimpi buruk itu selalu datang berulang, bagai kaset rusak yang akan selalu memutar adegan yang sama. Adegan di mana ia kehilangan perempuan yang paling dicintainya. William Arjuna Dirgantara mengusap wajah kasar. Sama seperti malam-malam biasanya setelah mimpi itu datang, ia pasti terbangun dan tak pernah bisa lagi memejamkan mata. Kali ini pun sama, mimpi buruk itu membawa kantuknya pergi. membuat keinginannya untuk tidur sudah tidak ada lagi. Juna mengulurkan tangan ke arah nakas, meraih dua buah benda yang ada di sana. Jam digital dan sebuah pigura berukuran sedang dengan bingkai emas. Foto seorang gadis mengenakan seragam sekolah tersenyum manis menghiasi pigura itu. Juna meletakkannya di dada, memeluk erat seolah memeluk gadis yang ada di dalam foto. Tak peduli dengan dadanya yang kembali terasa ditindih bongkahan batu besar, juga bulir-bulir bening yang menuruni sudut matanya yang terpejam, ia akan terus
"Hitam kayak arang!"Juna mendelik. Ia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Yang pasti bukan Arsyi Genero Wirata. Sahabatnya sejak SMP itu bukan seorang yang banyak bicara. Sejak dulu sampai sekarang Arsyi tetap urut kata. Hanya Kevin Januar yang boros kata-kata. Pria itu selalu mengomentari setiap penampilannya, sejak SMA tidak pernah berubah. Yang paling menyebalkan adalah Kevin bekerja sebagai sekretarisnya. Entah kenapa pria itu melamar pekerjaan di perusahaannya, padahal Ayah Kevin juga mempunyai perusahaan sendiri. Kevin menolak untuk memimpin perusahaan miliknya dan memilih bekerja padanya. Alasannya sangat konyol, Kevin tak ingin meninggalkannya seorang diri. Seolah ia anak kecil saja. "Pasti lu nggak tidur, 'kan, tadi malam?"Tebakan yang nyaris tepat. Bukan tidak tidur, ia hanya terbangun dan tidak bisa melanjutkan tidur lagi. Juna memutar bola mata. "Sok tau!" ketusnya. "Eh, gue bukan sok tau, ya, Jun, tapi gue emang beneran tau." Kevin tidak mau kalah. Ia duduk di kursi t
"Kamu mimpi apa, sih, Sayang, tadi malam? Kok, kayaknya kaget banget pas Mama bangunin." Seperti biasa, sarapan mereka selalu diwarnai dengan percakapan hangat Seputra yang terjadi tadi malam.Diva meringis, kepalanya menggeleng. Sebenarnya dia ingin menceritakan mimpinya, tetapi baik Mama maupun Papa pasti tidak akan percaya. Mereka juga tidak akan mau menanggapi, seperti yang sudah-sudah, apalagi mimpinya tetap saja seperti dulu, tentang seseorang yang memanggilnya 'Be'. Seorang pria tanpa sosok, hanya suaranya saja yang terdengar. Suara yang terasa familiar, tetapi dia tidak ingat di mana pernah mendengarnya. Orang tuanya akan menganggap mimpinya tidak berarti apa-apa. Mereka selalu mengatakan itu hanyalah bunga tidur saja. Padahal dia yakin mimpinya pasti berhubungan dengan masa lalunya. Seolah kedua orang tuanya menutupi. Tak ingin membuat Mama khawatir, Diva menyunggingkan senyum. "Nggak apa-apa, kok, Ma. Diva nggak mimpi. Cuman kaget aja pas liat Mama udah ada di samping Div
Tidak ada yang lebih menjengkelkan bagi Juna daripada mendapat pesan dari Tasya, pagi-pagi seperti ini. Ketika ia membuka mata, mengecek ponselnya kalau-kalau ada pesan atau panggilan telepon yang penting, dari sekian pesan yang masuk, salah satunya adalah dari Tasya. Juna tidak mengerti apa yang dipikirkan wanita itu. Sudah ditolak berkali-kali Tasya tetap kekeuh. Dia tipe wanita yang pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu. Sangat keren memang, dan sebenarnya ia membutuhkan wanita seperti itu sebagai pendamping. Dalam berbisnis, bukan sebagai pasangan hidup. Juna yakin, sepanjang harinya akan buruk nantinya. Apalagi hari ini ia tidak ke mana-mana. Maksudnya, tidak ada pertemuan yang harus dihadirinya sehingga ia akan berada di kantornya seharian. Tasya mengajaknya untuk makan siang. Ajakan yang tak bisa diterimanya. Ia tak berminat untuk makan berdua dengan wanita mana pun kecuali rekan bisnisnya, itu pun jika memang ada pembicaraan bisnis penting yang mereka lakukan. Jika tid
Diva tidak dilarikan ke rumah sakit. Dia terbangun lima belas menit kemudian, tanpa ada yang tahu apa yang sudah terjadi padanya. Tidak ada seorang pun yang mendatanginya ke dalam kamar, semuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, termasuk Mama yang katanya akan pergi keluar sebentar lagi. Kemungkinan Mama masih merias diri di kamarnya, dan Papa yang belum pulang dari kantor. Diva bangkit perlahan, tangan kanannya berpegangan pada sofa untuk menopang berat tubuhnya. Tangan kirinya terangkat mengusap hidungnya yang terasa lembap, dia ingat tadi hidungnya mimisan sebelum dia pingsan. Dia harus segera membersihkannya sebelum ada yang melihat. Tidak ada yang boleh tahu apa yang tadi dialaminya, dia tak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir. Diva menarik kakinya menuju kamar mandi dengan tergesa. Dia berdiri di depan cermin besar di atas wastafel, menatap wajahnya yang terpantul di sana. Wajahnya terlihat, darah yang mulai mengering di lubang hidungnya tampak kontras dengan
"Om Juna!" Eveline Romansa Wiraatmadja berlari kecil menghampiri pria kesayangannya. Melompat ke pelukannya ketika pria dewasa itu membungkukkan badan menyambutnya. "Om kenapa baru ke sini? 'Kan, Roma kangen."Juna tersenyum lebar melihat bibir mungil itu mengerucut. Tangannya terangkat mengacak sayang poni rata gadis kecil berusia sembilan tahun itu. Memang sudah hampir sebulan ia tidak berkunjung ke rumah sahabatnya, dan selama itu juga tidak bertemu dengan Roma, gadis kecil yang selalu mengingatkannya kepada Diva.Bukan karena kesamaan fisik, melainkan sifat Roma yang sedikit banyak mirip dengan almarhumah kekasihnya. Satu lagi, Roma lahir beberapa bulan setelah kematian Diva."Om kamu itu sibuk, nggak cuman ngurusin kamu, ya, Ro!" Helen yang menyahut. Sebagai seorang sahabat, dia mengerti bagaimana sibuknya Juna. Ke sana kemari, Juna hampir tidak pernah berdiam diri. Dia tahu, Juna sengaja menyibukkan dir
Diva terbatuk beberapa kali, tersedak air liurnya sendiri saat sedang meminta izin pada Papa untuk keluar rumah besok. Dia akan menyerahkan berkas lamaran pekerjaannya ke perusahaan milik Arsen. Dia sudah memberitahu sepupunya itu tadi sebelum makan malam, jika akan ke kantornya untuk melamar kerja. "Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ronny khawatir. Mata Diva merah berair. Ia memajukan tubuhnya mengamati wajah putrinya yang memerah. Della yang duduk di sebelah Diva langsung memberikan air minum ke tangannya. "Kamu minum dulu, ya, Sayang!" pintanya dengan suara bergetar dan tangan yang mengusap-usap punggung Diva. Della baru pulang ketika Diva menyerahkan berkas lamaran kerjanya. Dia meminta papanya untuk memeriksa. Della bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Baru saja Diva berbicara, meminta izin pada papanya, dia sudah terbatuk hebat. Tidak berhenti sampai meneteskan air mata. "Kamu kenapa, sih, Nak? Kok, batuknya sampe gini amat?" Della bertanya sambil terus mengusap punggung
Tidak ada yang lebih gila dari Juna. Fakta itu didapat Kevin setelah bosnya itu bercerita jika tadi malam dia tidur di sisi makam Diva dan anak mereka. Kalaupun ada tingkatan yang lebih tinggi dari gila, kata itu pantas disematkan pada Juna. Area pemakaman adalah tempat yang menakutkan bagi sebagian besar orang, tapi tidak berlaku bagi Juna. Entah ia harus kagum atau apa, yang pasti ia tidak dapat berkata-kata. Tercengang selama Juna menceritakan apa yang telah dilakukannya tadi malam. "Gue nggak tau harus bilang apa, Jun." Kevin menggeleng. "Tapi, kalo lu nggak keberatan gue sebut gila, gue bakalan bilang kayak gitu. Lu gila, Juna!" Tawa lirih meluncur dari mulut Juna. "Gue sama sekali nggak keberatan, Vin, karena tadi malam tuh gue ngerasa kalo gue emang udah gila." Juna menggeleng pelan beberapa kali. "Gue sadar itu, tapi gue tetap mau sama mereka. Gue kangen mereka, Vin."Suara Juna merendah. Kerinduan pada kekasihnya yang sudah tiada membuatnya nekat melakukan itu. Persetan den
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop