Beranda / Romansa / Remember Me, BE! / Bab 6. Mimpi Yang Lain

Share

Bab 6. Mimpi Yang Lain

Penulis: Fitri_alpha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Hitam kayak arang!"

Juna mendelik. Ia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Yang pasti bukan Arsyi Genero Wirata. Sahabatnya sejak SMP itu bukan seorang yang banyak bicara. Sejak dulu sampai sekarang Arsyi tetap urut kata. Hanya Kevin Januar yang boros kata-kata. Pria itu selalu mengomentari setiap penampilannya, sejak SMA tidak pernah berubah. Yang paling menyebalkan adalah Kevin bekerja sebagai sekretarisnya. Entah kenapa pria itu melamar pekerjaan di perusahaannya, padahal Ayah Kevin juga mempunyai perusahaan sendiri. Kevin menolak untuk memimpin perusahaan miliknya dan memilih bekerja padanya. Alasannya sangat konyol, Kevin tak ingin meninggalkannya seorang diri. Seolah ia anak kecil saja. 

"Pasti lu nggak tidur, 'kan, tadi malam?"

Tebakan yang nyaris tepat. Bukan tidak tidur, ia hanya terbangun dan tidak bisa melanjutkan tidur lagi. Juna memutar bola mata. "Sok tau!" ketusnya. 

"Eh, gue bukan sok tau, ya, Jun, tapi gue emang beneran tau." Kevin tidak mau kalah. Ia duduk di kursi tamu di depan Juna tanpa permisi. "Mata lu kayak mata panda lagi. Apa coba kalo lu nggak tidur?"

Juna menarik napas, mengembuskannya perlahan. "Gue bukannya nggak tidur, Vin, cuman kebangun aja terus nggak bisa tidur lagi," jawabnya. Ia menyandarkan punggung pada kursi kebesarannya. Mendongak dan memejamkan mata. 

"Habis mimpi lagi?"

Kali ini tebakan Kevin tepat. Juna mengangguk sebagai jawaban. 

"Udah gue duga." Kevin menggeleng tak kentara. Inilah sebabnya ia tidak meninggalkan Juna. Pria ini memerlukan seorang teman yang sudah mengetahui semua masalahnya. Ia bekerja di sini agar Juna bisa berbagi masalah pribadinya kapan saja. Selain karena Arsyi yang meminta karena pria itu tidak bisa terus berada di sisi Juna. Arsyi memiliki keluarga dan perusahaan sendiri yang harus dia pimpin. Sementara dirinya masih membujang sampai sekarang. Nora masih belum menerima ajakannya untuk melangkah ke pelaminan. Status mereka masih bertunangan sejak tiga tahun yang lalu. 

"Jadwal gue hari ini ada yang penting nggak, Vin?" tanya Juna tanpa menatap, ia masih dalam posisi yang sama dan mata yang terpejam. "Kalo nggak penting-penting amat mending lu pending aja. Gue lagi nggak mood."

"Dibilang penting, sih, nggak. Dibilang nggak penting, tapi penting. Gimana, dong, Jun?" Kevin meringis, meletakkan tablet berisi jadwal Juna untuk seharian ini ke atas meja, mendorongnya lebih dekat agar Juna mudah menjangkaunya. 

Persahabatan yang terjalin sejak lebih sepuluh tahun yang laku membuat Kevin tidak segan-segan berbicara pada Juna. Ia menghilangkan sebutan 'Pak' saat mereka berdua saja seperti sekarang ini, dan berbicara dengan gaya bahasa yang lebih santai. Namun, ia akan mengubah gaya bahasanya menjadi formal bila di depan orang banyak. Ia bisa menyesuaikan diri di setiap keadaan. Itulah alasan kenapa Juna mempertahankan Kevin sebagai sekretarisnya sampai sekarang. Pekerjaan Kevin selalu rapi tak kalah dari sekretaris perempuan. Lagipula, Juna merasa tidak nyaman dengan para wanita itu yang bekerja hanya agar bisa mendekatinya. 

Kevin bukan hanya sekretaris, tetapi juga merangkap sebagai asisten pribadi. Tidak heran kalau Kevin kadang menginap di apartemennya, apalagi bila pekerjaan yang harus mereka selesaikan saat itu juga. 

"Lu pending aja semuanya, Vin!" pinta Juna. Posisi duduknya sudah tegak. Kedua tangannya terlipat di meja. "Daripada ntar gue ngancurin semuanya. Kecuali lu mau gantiin gue."

Kevin memutar bola mata. Selalu seperti ini, tapi ia tidak pernah menolak. Tak masalah baginya menggantikan Juna, ia sudah sering melakukannya, dan tak pernah mengecewakan bos-nya yang sedang galau. Juna selalu puas dengan hasil rapat yang dihadirinya. 

"Lu nggak keberatan, 'kan?" Juna kembali bertanya. "Lagian cuman makan siang. Malas gue ketemu klien cewek."

Sekali lagi Kevin memutar bola mata. "Bukannya lu emang ogah ke mana-mana kalo lagi galau kayak gini?" balasnya terkekeh tanpa suara. Hanya bahunya saja yang bergerak-gerak menandakan ia sedang tertawa.

Juna tidak menghiraukan, ia hanya mengangkat bahu sebagai tanggapan. Kevin benar, pria itu sudah sangat mengenalnya. Ia akan terus seperti ini seharian ini –malas untuk beraktivitas– efek dari mimpinya tadi malam. Sebenarnya mimpinya bukan mimpi buruk, melainkan mimpi indah. Namun, justru mimpi itu juga yang membuatnya kembali teringat saat-saat mereka masih bersama, saat gadisnya masih berada di sisinya. 

Juna mengepalkan tangan kuat. Kepergian Diva yang mendadak sampai sekarang masih belum dapat diteimanya. Diva tewas karena overdosis obat tidur. Gadisnya tertekan, sedang ada masalah yang sangat berat, dan bodohnya ia tidak menyadari hal itu. Ia baru mengetahui setelah Arsyi memberitahu jika Diva mendapatkan teror dan ancaman dari seseorang yang sampai sekarang masih belum diketahui identitasnya. Seseorang yang masih dicarinya. Ia tidak akan melepaskan orang itu bila menemukannya. Seorang pembunuh harus mendapatkan ganjaran setimpal. 

"Gue nggak galau, Vin," bantah Juna malas. "Gue lagi sedih." Ia kembali bersandar, tangan terangkat mengusap wajah kasar. Bayangan wajah pucat Diva saat di rumah sakit sepuluh tahun yang lalu kembali hadir, membuat dadanya kembali sesak. Juna menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan melalui mulut. Ia harus melupakan kenangan itu saat ini, saat ia harus bekerja dan memerlukan fokus. 

Kevin meringis. Ia salah ucap lagi. Beruntung Juna tak pernah marah padanya jika mereka membahas masalah pribadi pria itu. Sebaliknya, Juna akan bersikap tegas dan tak segan menghukumnya jika ia salah dalam pekerjaan. Benar-benar seorang yang profesional, bukan? Sungguh, ia bangga pada pria di depannya ini. 

Kevin mengangguk. "Siap, Bos. Salah ngomong gue tadi."

"Hn."

***

Matahari sudah tinggi, tapi tubuh dalam selimut itu masih terlelap. Bahkan Diva tidak terganggu oleh sinar matahari yang jatuh tepat menerpa wajahnya, dari gorden yang dibuka olehnya. Della menggeleng pelan, menghampiri tempat tidur putrinya, duduk di sisi kosong tempat tidur. Tangannya terulur mengusap pucuk kepala Diva. 

"Diva, Sayang, bangun, yuk. Udah siang." Della selalu membangunkan Diva dengan membujuknya. Tak pernah lagi dia berteriak dari ruang makan hanya untuk membuat putrinya terjaga. Terkadang hal itu sangat dirindukannya. 

Sudah hampir dua minggu Diva kembali bersama mereka, dan putrinya tidak menunjukkan kondisi yang buruk. Diva justru semakin membaik. Della tersenyum melihat cara tidur Diva. Perempuan di balik selimut ini sudah dewasa, tetapi cara tidurnya tak berubah, tetap seperti saat dia masih balita. Waktu begitu cepat berlalu, sekarang putri kecilnya sudah berusia dua puluh delapan tahun, dan masih belum mengingat apa-apa. Diva hanya mengandalkan insting dan perasaan sehingga mengakui mereka sebagai keluarga. Di samping semua bukti yang ditunjukkannya. 

"Diva, ayo, dong, bangun. Malu sama matahari, ntar kamu nggak dicium lagi." Della selalu menggunakan kata-kata itu untuk membangunkan Diva sejak putrinya masih kecil. Diva sangat sensitif dengan kata matahari. 

Mata Diva yang terpejam bergerak gelisah. Suara yang ditangkap indra pendengarannya bukanlah suara Sang Mama, melainkan suara seorang pria yang sudah begitu akrab di telinganya. Suara pria di mimpinya. 

"Be, ayo, bangun, udah siang juga. Kalo nggak mau bangun, aku cium nih!" 

Mata Diva terbuka, menatap heran pada Mama yang duduk di sisinya. 

"Mama?" 

Bab terkait

  • Remember Me, BE!   Bab 7. Baik-baik Saja

    "Kamu mimpi apa, sih, Sayang, tadi malam? Kok, kayaknya kaget banget pas Mama bangunin." Seperti biasa, sarapan mereka selalu diwarnai dengan percakapan hangat Seputra yang terjadi tadi malam.Diva meringis, kepalanya menggeleng. Sebenarnya dia ingin menceritakan mimpinya, tetapi baik Mama maupun Papa pasti tidak akan percaya. Mereka juga tidak akan mau menanggapi, seperti yang sudah-sudah, apalagi mimpinya tetap saja seperti dulu, tentang seseorang yang memanggilnya 'Be'. Seorang pria tanpa sosok, hanya suaranya saja yang terdengar. Suara yang terasa familiar, tetapi dia tidak ingat di mana pernah mendengarnya. Orang tuanya akan menganggap mimpinya tidak berarti apa-apa. Mereka selalu mengatakan itu hanyalah bunga tidur saja. Padahal dia yakin mimpinya pasti berhubungan dengan masa lalunya. Seolah kedua orang tuanya menutupi. Tak ingin membuat Mama khawatir, Diva menyunggingkan senyum. "Nggak apa-apa, kok, Ma. Diva nggak mimpi. Cuman kaget aja pas liat Mama udah ada di samping Div

  • Remember Me, BE!   Bab 8. BE

    Tidak ada yang lebih menjengkelkan bagi Juna daripada mendapat pesan dari Tasya, pagi-pagi seperti ini. Ketika ia membuka mata, mengecek ponselnya kalau-kalau ada pesan atau panggilan telepon yang penting, dari sekian pesan yang masuk, salah satunya adalah dari Tasya. Juna tidak mengerti apa yang dipikirkan wanita itu. Sudah ditolak berkali-kali Tasya tetap kekeuh. Dia tipe wanita yang pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu. Sangat keren memang, dan sebenarnya ia membutuhkan wanita seperti itu sebagai pendamping. Dalam berbisnis, bukan sebagai pasangan hidup. Juna yakin, sepanjang harinya akan buruk nantinya. Apalagi hari ini ia tidak ke mana-mana. Maksudnya, tidak ada pertemuan yang harus dihadirinya sehingga ia akan berada di kantornya seharian. Tasya mengajaknya untuk makan siang. Ajakan yang tak bisa diterimanya. Ia tak berminat untuk makan berdua dengan wanita mana pun kecuali rekan bisnisnya, itu pun jika memang ada pembicaraan bisnis penting yang mereka lakukan. Jika tid

  • Remember Me, BE!   Bab 9. Panggilan Kesayangan?

    Diva tidak dilarikan ke rumah sakit. Dia terbangun lima belas menit kemudian, tanpa ada yang tahu apa yang sudah terjadi padanya. Tidak ada seorang pun yang mendatanginya ke dalam kamar, semuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, termasuk Mama yang katanya akan pergi keluar sebentar lagi. Kemungkinan Mama masih merias diri di kamarnya, dan Papa yang belum pulang dari kantor. Diva bangkit perlahan, tangan kanannya berpegangan pada sofa untuk menopang berat tubuhnya. Tangan kirinya terangkat mengusap hidungnya yang terasa lembap, dia ingat tadi hidungnya mimisan sebelum dia pingsan. Dia harus segera membersihkannya sebelum ada yang melihat. Tidak ada yang boleh tahu apa yang tadi dialaminya, dia tak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir. Diva menarik kakinya menuju kamar mandi dengan tergesa. Dia berdiri di depan cermin besar di atas wastafel, menatap wajahnya yang terpantul di sana. Wajahnya terlihat, darah yang mulai mengering di lubang hidungnya tampak kontras dengan

  • Remember Me, BE!   Bab 10. Rindu

    "Om Juna!" Eveline Romansa Wiraatmadja berlari kecil menghampiri pria kesayangannya. Melompat ke pelukannya ketika pria dewasa itu membungkukkan badan menyambutnya. "Om kenapa baru ke sini? 'Kan, Roma kangen."Juna tersenyum lebar melihat bibir mungil itu mengerucut. Tangannya terangkat mengacak sayang poni rata gadis kecil berusia sembilan tahun itu. Memang sudah hampir sebulan ia tidak berkunjung ke rumah sahabatnya, dan selama itu juga tidak bertemu dengan Roma, gadis kecil yang selalu mengingatkannya kepada Diva.Bukan karena kesamaan fisik, melainkan sifat Roma yang sedikit banyak mirip dengan almarhumah kekasihnya. Satu lagi, Roma lahir beberapa bulan setelah kematian Diva."Om kamu itu sibuk, nggak cuman ngurusin kamu, ya, Ro!" Helen yang menyahut. Sebagai seorang sahabat, dia mengerti bagaimana sibuknya Juna. Ke sana kemari, Juna hampir tidak pernah berdiam diri. Dia tahu, Juna sengaja menyibukkan dir

  • Remember Me, BE!   Bab 11. Juna

    Diva terbatuk beberapa kali, tersedak air liurnya sendiri saat sedang meminta izin pada Papa untuk keluar rumah besok. Dia akan menyerahkan berkas lamaran pekerjaannya ke perusahaan milik Arsen. Dia sudah memberitahu sepupunya itu tadi sebelum makan malam, jika akan ke kantornya untuk melamar kerja. "Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ronny khawatir. Mata Diva merah berair. Ia memajukan tubuhnya mengamati wajah putrinya yang memerah. Della yang duduk di sebelah Diva langsung memberikan air minum ke tangannya. "Kamu minum dulu, ya, Sayang!" pintanya dengan suara bergetar dan tangan yang mengusap-usap punggung Diva. Della baru pulang ketika Diva menyerahkan berkas lamaran kerjanya. Dia meminta papanya untuk memeriksa. Della bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Baru saja Diva berbicara, meminta izin pada papanya, dia sudah terbatuk hebat. Tidak berhenti sampai meneteskan air mata. "Kamu kenapa, sih, Nak? Kok, batuknya sampe gini amat?" Della bertanya sambil terus mengusap punggung

  • Remember Me, BE!   Bab 12. Gila

    Tidak ada yang lebih gila dari Juna. Fakta itu didapat Kevin setelah bosnya itu bercerita jika tadi malam dia tidur di sisi makam Diva dan anak mereka. Kalaupun ada tingkatan yang lebih tinggi dari gila, kata itu pantas disematkan pada Juna. Area pemakaman adalah tempat yang menakutkan bagi sebagian besar orang, tapi tidak berlaku bagi Juna. Entah ia harus kagum atau apa, yang pasti ia tidak dapat berkata-kata. Tercengang selama Juna menceritakan apa yang telah dilakukannya tadi malam. "Gue nggak tau harus bilang apa, Jun." Kevin menggeleng. "Tapi, kalo lu nggak keberatan gue sebut gila, gue bakalan bilang kayak gitu. Lu gila, Juna!" Tawa lirih meluncur dari mulut Juna. "Gue sama sekali nggak keberatan, Vin, karena tadi malam tuh gue ngerasa kalo gue emang udah gila." Juna menggeleng pelan beberapa kali. "Gue sadar itu, tapi gue tetap mau sama mereka. Gue kangen mereka, Vin."Suara Juna merendah. Kerinduan pada kekasihnya yang sudah tiada membuatnya nekat melakukan itu. Persetan den

  • Remember Me, BE!   Bab 13. Be!

    "Itu udah beres semua, 'kan, Ar? Nggak ada yang kurang, 'kan? Biar aku lengkapi sekarang."Pria tampan berambut hitam berusia tiga puluh dua tahun itu mengangguk. Arkan Wijaya tersenyum, memberikan ibu jari tangan kanannya pada sepupu cantiknya yang duduk di seberangnya. Sebuah meja kerja berukuran cukup besar memisahkan mereka. Berbagai macam kertas dan alat tulis lainnya serta sebuah laptop yang menyala di atas meja. "Berarti besok aku udah bisa masuk kerja, dong!" seru Diva gembira. Mata cokelatnya melebar, selebar senyum yang menghiasi wajah cantiknya. "Kata siapa boleh besok?" Protes bernada tanya itu menyurutkan senyum Diva. Binar riang di matanya menguap. Punggungnya yang tadi tegak sekarang merosot, menempel pada sandaran kursi yang didudukinya. Bibir mungilnya yang dipoles pemulas berwarna merah, mengerucut. "Kok,nggak boleh?" tanyanya memprotes. "Terus kapan aku bisa masuk kerja?" "Lu harus ikuti prosedur dulu lah!" sahut Arkan tersenyum penuh kemenangan. Ia memang sedan

  • Remember Me, BE!   Bab 14. Kafe

    Kafe di depannya memang tak asing. Bukan karena ia sering makan atau menghabiskan waktu di sana, melainkan karena terlalu sering melewatinya. Kafe ini tidak terlalu cocok untuknya yang lebih menyukai sesuatu yang bersifat minimalis. Selain dekorasinya yang sedikit 'heboh' kafe ini juga sering dipenuhi oleh anak-anak sekolah, itu yang membuatnya paling tidak suka. Kenangan masa sekolahnya sangat buruk. Kehilangan gadis yang dicintainya untuk selamanya hingga nyaris membuatnya depresi bukanlah sesuatu yang ingin diulanginya. Namun, Juna justru menghentikan langkahnya di depan kafe ini. Beberapa saat ia masih berdiri di depan kafe dengan mata terfokus ke arah pintu masuk kafe, dan tangan kanan yang memegangi dada kirinya. Pertanyaan Kevin hanya dijawabnya sambil lalu. Ia memandangi kafe dengan konsentrasi penuh, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa jantungnya jadi berdebar seperti sekarang ini. "Lu mau kita makan siang di sini?" Juna tidak menjawab. Tidak juga memberi reak

Bab terbaru

  • Remember Me, BE!   Extra Part

    Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s

  • Remember Me, BE!   Bab 134. The Wedding (END)

    Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da

  • Remember Me, BE!   Bab 133. Juna Posesif

    Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons

  • Remember Me, BE!   Bab 132. Keputusan Akhir

    Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di

  • Remember Me, BE!   Bab 131. Restu

    "Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam

  • Remember Me, BE!   Bab 130. Hilda Pelakunya

    Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas

  • Remember Me, BE!   Bab 129. Penyesalan

    Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah

  • Remember Me, BE!   Bab 128. Tentang Teman dan Hilda

    Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p

  • Remember Me, BE!   Bab 127. Terungkap

    Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop

DMCA.com Protection Status