"Itu udah beres semua, 'kan, Ar? Nggak ada yang kurang, 'kan? Biar aku lengkapi sekarang."Pria tampan berambut hitam berusia tiga puluh dua tahun itu mengangguk. Arkan Wijaya tersenyum, memberikan ibu jari tangan kanannya pada sepupu cantiknya yang duduk di seberangnya. Sebuah meja kerja berukuran cukup besar memisahkan mereka. Berbagai macam kertas dan alat tulis lainnya serta sebuah laptop yang menyala di atas meja. "Berarti besok aku udah bisa masuk kerja, dong!" seru Diva gembira. Mata cokelatnya melebar, selebar senyum yang menghiasi wajah cantiknya. "Kata siapa boleh besok?" Protes bernada tanya itu menyurutkan senyum Diva. Binar riang di matanya menguap. Punggungnya yang tadi tegak sekarang merosot, menempel pada sandaran kursi yang didudukinya. Bibir mungilnya yang dipoles pemulas berwarna merah, mengerucut. "Kok,nggak boleh?" tanyanya memprotes. "Terus kapan aku bisa masuk kerja?" "Lu harus ikuti prosedur dulu lah!" sahut Arkan tersenyum penuh kemenangan. Ia memang sedan
Kafe di depannya memang tak asing. Bukan karena ia sering makan atau menghabiskan waktu di sana, melainkan karena terlalu sering melewatinya. Kafe ini tidak terlalu cocok untuknya yang lebih menyukai sesuatu yang bersifat minimalis. Selain dekorasinya yang sedikit 'heboh' kafe ini juga sering dipenuhi oleh anak-anak sekolah, itu yang membuatnya paling tidak suka. Kenangan masa sekolahnya sangat buruk. Kehilangan gadis yang dicintainya untuk selamanya hingga nyaris membuatnya depresi bukanlah sesuatu yang ingin diulanginya. Namun, Juna justru menghentikan langkahnya di depan kafe ini. Beberapa saat ia masih berdiri di depan kafe dengan mata terfokus ke arah pintu masuk kafe, dan tangan kanan yang memegangi dada kirinya. Pertanyaan Kevin hanya dijawabnya sambil lalu. Ia memandangi kafe dengan konsentrasi penuh, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa jantungnya jadi berdebar seperti sekarang ini. "Lu mau kita makan siang di sini?" Juna tidak menjawab. Tidak juga memberi reak
Seandainya Juna tahu Tasya sudah menunggu di lobi kantornya, ia pasti tidak akan masuk kantor hari ini. Sebagai bos, ia bisa beralasan apa saja. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Kevin yang tadi malam menginap di unitnya, dan pagi ini mereka pergi bersama. Tidak ada juga yang memberitahunya sehingga pagi ini ia langsung bertemu dengan wanita penyihir itu, begitu ia menginjakkan kaki di lobi kantor. Lengannya terasa berat karena di ganduli lengan Tasya yang memegang tas tangannya. Udara di lobi tiba-tiba pengap, panas. Padahal penyejuk udara sudah dinyalakan. Ia berdeham satu kali mencoba untuk mengusir Tasya, tetapi wanita ini justru semakin mengeratkan pelukan di lengannya. Astaga! Mimpi apa dia tadi malam sehingga pagi ini bisa bertemu penyihir. Juna melirik Kevin yang berdiri di samping kanannya, meminta bantuannya untuk mengusir Tasya. Kevin yang memang juga tidak suka dengan kedatangan Tasya, mengubah posisinya. Ia berpindah ke sebelah kiri Tasya, berdeham untuk menging
Tubuh yang bergelung dalam selimut tebalnya itu menggeliat. Mata indahnya perlahan terbuka, mengerjap beberapa kali sebelum terbuka sempurna. Diva menutup mulutnya yang menguap kemudian menyingkap selimut sampai sebatas pinggang. Dengan malas Diva duduk, dia masih mengantuk. Meskipun demikian dia tetap menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku setelah tidur semalaman. Dua bulan terakhir ini –sejak kepulangannya ke tanah air– tidurnya selalu nyenyak. Meskipun mimpi tentang pria itu tetap hadir, tapi setelah terbangun dia akan kembali tidur dan bangun pagi harinya. Sepertinya pilihannya untuk pulang sangat tepat, dia dapat melalui malamnya dengan berkelana ke alam mimpi seperti dulu. Dia benar, 'kan? Dia selalu tidur nyenyak, 'kan, sebelum-sebelumnya? Maksudnya, sebelum dia kehilangan ingatan. Entah apa yang terjadi sebelum itu, sepertinya sangat buruk sehingga kedua orang tuanya seolah enggan dia mengingat lagi. Sepertinya mereka lebih suka dia sekarang ini. Namun, dia tidak meny
"Jadi, kita deal, ya, Jun?"Juna menjawab pertanyaan Arkan Wijaya dengan anggukan. Ia menyetujui kesepakatan yang ditawarkan pria itu. Sama seperti Ronny Wijaya, Papa Diva yang juga pamannya Arkan, yang sudah bekerjasama terlebih dahulu dengan perusahannya, Arkan juga menawarkan kerjasama. Ia meminta kucuran dana, dan menjanjikan keuntungan yang memadai. Tidak ada yang rugi dalam kerjasama ini, ia langsung menyetujuinya setelah Kevin selesai mempelajari surat rekomendasi dan pengajuan kerjasama dari Arkan. Bukan karena Arkan adalah sepupu almarhumah Diva sehingga ia mau bekerjasama dengannya, melainkan karena memang kerjasama mereka sangat menguntungkan. Jadi, semua ini murni karena bisnis semata. Ia datang pagi-pagi hari ini karena ada meeting penting annya pada jam makan siang nanti. Untung saja Arkan sudah berada di ruangannya saat ia tiba karena ia tak ingin menunggu. Yang seharusnya ditunggu adalah dirinya sebagai penanam modal, bukan si pemohon yang membutuhkan bantuan. Bukanny
Diva melangkah memasuki lift, bersamaan dengan dua orang pria yang keluar dari lift di sebelahnya. Sebelum pintu lift yang dimasukinya tertutup, Diva masih sempat melihat kelebatan mereka, juga mendengar suara mereka yang tengah asyik mengobrol.. Diva tertegun, suara itu seolah tak asing, rasanya begitu familiar di telinganya. Dia memang tidak menangkap pembicaraan mereka, hanya mendengarkan suaranya, dan Diva yakin pernah mendengar suara itu. Namun, di mana pernah mendengarnya, dia lupa. Diva memukul-mukul pelan dahinya dengan kepalan tangan, baru berhenti setelah lift yang ditumpanginya terbuka, dia sudah tiba di lantai teratas gedung di mana ruangan Arkan berada. Hari ini dia akan membuat perhitungan dengan Arkan. Persetan dengan wawancara kerjanya, dia dapat melakukannya di lain waktu. Arkan tidak mungkin tidak menerimanya. Lagipula, sepupunya yang menyebalkan itu memerlukan bantuannya untuk kembali menstabilkan perusahaannya yang sedang dilanda sedikit guncangan. Arkan tak hanya
"Lu kenapa, sih, Jun? Dari tadi gue perhatiin kayak gelisah banget gitu." Kevin mengerutkan alisnya. "Lu nyesal udah setuju kerjasama sama Arkan?" Juna menggeleng, mengempaskan tubuhnya di kursi kebesarannya. Mereka baru tiba di kantor dan memasuki ruangannya. Pertanyaan Kevin tidak salah, dia benar. Juna mengakuinya, ia memang gelisah. Namun, Kevin salah jika menebak Arkan yang menyebabkannya gelisah. Bukan Arkan, melainkan sepupunya yang sudah meninggal. Juna khawatir ia akan mengulangi tidur di malam Diva lagi jika terus seperti ini. Tadi itu rasanya benar-benar nyata, Diva memanggilnya. Memanggil namanya dengan suaranya yang sedikit lebih besar, suara Diva versi dewasa. Ingin Juna menceritakannya pada Kevin, tapi tak mungkin Kevin percaya karena sepertinya hanya dirinya yang mendengarnya. Oleh sebab itu, ia memilih diam dan gelisah sendirian. "Nggak apa-apa, kok, Vin. Gue cuman capek doang kayaknya." Juna mendongak, memejamkan matanya. "Pagi-pagi lu udah capek aja, Bos. Kayak y
Sesi wawancara berakhir, Diva segera menemui Arkan di ruangan pria itu. Ternyata tak sesulit yang dia bayangkan. Dengan pengalaman tiga tahun bekerja di salah satu perusahaan ternama di dunia, menjawab pertanyaan dari suara yang ditugaskan Arkan untuk mewawancarainya, cukup mudah. Sekarang tinggal menemui Arkan dan bertanya tentang pria kemarin yang kemungkinan besar bernama Juna. Dia yakin pria itu baru saja bertemu dengan Arkan. Dia juga yakin pria itu ada hubungannya dengan masa lalunya. "Mau ke mana lu?" Pertanyaan itu menghentikan gerakan tangan Diva yang hendak memutar handle pintu berwarna keemasan. Tangannya mengambang, mulut berdecak. Dia memutar leher ke arah kirinya di mana wanita sok cantik itu berdiri dengan berkacak pinggang menantang. "Nggak ada yang boleh masuk ke ruangan Pak Arkan kecuali udah buat janji sebelumnya!"Diva mendelik. Emosinya tersulut. Dia yang sudah kurang tidur tadi malam gara-gara kembali bermimpi tentang pria yang selalu memanggilnya dengan pangg
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop