Beranda / Romansa / Remember Me, BE! / Bab 5. Mimpi Yang Terhubung

Share

Bab 5. Mimpi Yang Terhubung

Penulis: Fitri_alpha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sudah lebih dari sepuluh tahun, tetapi ia masih belum dapat melupakannya. Mimpi buruk itu selalu datang berulang, bagai kaset rusak yang akan selalu memutar adegan yang sama. Adegan di mana ia kehilangan perempuan yang paling dicintainya. William Arjuna Dirgantara mengusap wajah kasar. Sama seperti malam-malam biasanya setelah mimpi itu datang, ia pasti terbangun dan tak pernah bisa lagi memejamkan mata. Kali ini pun sama, mimpi buruk itu membawa kantuknya pergi. membuat keinginannya untuk tidur sudah tidak ada lagi. 

Juna mengulurkan tangan ke arah nakas, meraih dua buah benda yang ada di sana. Jam digital dan sebuah pigura berukuran sedang dengan bingkai emas. Foto seorang gadis mengenakan seragam sekolah tersenyum manis menghiasi pigura itu. Juna meletakkannya di dada, memeluk erat seolah memeluk gadis yang ada di dalam foto. Tak peduli dengan dadanya yang kembali terasa ditindih bongkahan batu besar, juga bulir-bulir bening yang menuruni sudut matanya yang terpejam, ia akan terus melakukannya sampai kerinduannya mereda. Hanya sedikit karena rasa rindunya tidak akan pernah reda sepenuhnya. 

Mata karamel itu terbuka, mengerjap beberapa kali memeras cairan hangat yang masih memenuhi matanya. Tangan kiri Juna yang memegang jam digital terangkat. Angka tiga tertera di layar jam itu. Ia mengembalikan jam ke atas nakas, berbaring miring sambil masih memeluk pigura erat. 

Usia dua puluh delapan tahun bukanlah usia yang bisa dibilang muda. Ia sudah dewasa, matang dan memiliki segalanya. Dilihat dari sudut mana pun seorang Arjuna tidak memiliki kekurangan. Itu jika dilihat dari luar. Di dalam, ia rapuh. 

Cinta masa remaja yang bagi sebagian orang dinilai tidak berarti karena hanya dianggap sebagai cinta monyet justru tak dapat dilupakannya. Ia masih terjebak dalam bayang-bayang cinta pertama yang tak akan pernah bisa dimilikinya. 

Kehadiran Eveline Romansa Wiraatmadja memang bisa membuatnya sedikit lupa. Hanya sedikit. Roma masih sangat kecil dan ia bukan seorang pedofil. Perasaannya pada gadis berusia sepuluh tahun itu hanya rasa sayang terhadap keponakan. Ia masih dan akan selalu mencintai wanitanya. Mungkin ia akan membawa cintanya sampai mati, seperti wanita yang dicintainya. 

Katakan saja ia cengeng, Juna tidak akan menyangkal. Helen, sahabatnya –Ibu Roma, juga selalu menyebutnya seperti itu. Juna cengeng. Dua kata itu yang selalu diucapkan Helen bila melihatnya menangis seperti sekarang. Namun, ia tetap tak peduli karena Helen akan memeluknya dan ikut menangis setelah mengucapkan kata-kata itu. 

"Be, aku kangen." Juna terisak. "Kamu kenapa ninggalin aku, Be? 'Kan, aku sayang banget sama kamu. Kamu jahat, Be!" 

Juna terus meracau dengan kata-kata yang sama seperti malam sebelumnya saat ia terbangun dari mimpi bersama gadisnya. Sepuluh tahun dan ia tetap sama. Bukan, ia tidak gila, tidak juga depresi. Ia hanya merasa sangat kehilangan dan masih belum dapat merelakan kepergian selamanya perempuan yang dicintainya.

"Jangan tinggalin aku, Be. Kamu udah janji!"

***

"Jangan tinggalin aku, Be. Kamu udah janji!"

Mata cokelat Diva terbuka. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi itu kembali lagi, masih dengan suara dan panggilan yang sama. Be. Hanya saja kali ini kata-kata yang didengarnya berbeda. Diva menyingkirkan selimut yang menutupi lebih dari sepertiga bagian tubuhnya, duduk perlahan, dan mengusap wajah. 

Diva mengernyit, pipinya terasa basah. Apakah dia menangis? Keringat tidak mungkin sebasah ini, ini pasti air mata. Astaga! Apa yang sudah terjadi padanya? Dia menangis di dalam mimpi. 

Diva meraba dadanya yang terasa sesak, seolah ada bongkahan batu besar yang menindihnya. Jantungnya juga berdegup lebih cepat seperti saat dia baru saja berlari. Diva menggeleng pelan, mengakibatkan dua bulir bening menuruni pipinya. 

Rasa sesak di dadanya membuatnya menangis tanpa sadar. Entah apa yang terjadi, tetapi dia yakin semua ini ada hubungannya dengan masa lalunya yang hilang. Suara pria di dalam mimpinya terdengar serak, Diva yakin pria itu menangis. Begitu juga dengannya, dia juga menangis, sampai sekarang. 

Bahkan suara itu terdengar sangat jelas, seakan-akan nyata. Seolah apa yang dialaminya bukan mimpi. Seolah pria itu berada di sampingnya. Itukah yang menyebabkannya menangis seperti ini?

Diva menggeleng, menurunkan kaki, melangkah ke kamar mandi. Dia terhuyung, nyaris limbung. Mengalami mimpi yang menyedihkan dan menangis membuat kakinya menjadi selemas jelly. Diva terkejut melihat tangannya yang gemetar saat membuka pintu kamar mandi. Padahal tadi dia baik-baik saja, tidak ada getaran apa pun pada tubuhnya. 

Diva menggelengkan kepala pelan sekali lagi. Mimpinya kali ini berdampak tidak baik pada tubuhnya. Bahkan sampai sekarang dia masih menangis, air matanya tidak mau berhenti mengalir. Seakan kesedihan yang dirasakannya begitu dahsyat. 

Bukan kesedihan kamu, Va, tapi kesedihan cowok di mimpi kamu. Hatinya meralat. Namun, dadanya juga bergolak. Terasa sangat sakit mendengar suara pria itu yang mengiba. Apakah dia juga bersedih sama seperti pria di dalam mimpinya? 

Diva lagi-lagi menggelengkan kepala. Tangannya memutar keran, masih dengan gemetar. Diva membasuh muka, ada sedikit kelegaan di dadanya kala air dingin menyentuh kulit wajahnya. Batu besar itu mungkin bergeser. 

Diva mengembuskan napas melalui mulut, kepalanya terangkat menatap wajahnya dari pantulan cermin. Kulit wajahnya memerah karena baru saja menangis. Perlahan tangannya terulur ke arah cermin, menyentuh bayangan dirinya yang terpantul. Beberapa detik dia masih mengamati, sampai sekelebat bayangan diputar otaknya. 

Diva memegangi kepalanya yang berdenyut. Dia yakin baru saja melihat kepingan masa lalunya. Sepasang remaja mengenakan seragam sekolah. Dia mengenali yang perempuan, itu adalah dirinya. Lalu, siapa remaja laki-laki yang bersamanya? Apakah pria di dalam mimpi yang selalu memanggilnya dengan sebutan Be? Apa arti Be? Apa hubungan mereka? 

Wajah pemuda itu samar, dia tidak dapat melihatnya dengan jelas. Selalu seperti itu, seolah ada bagian dari otaknya yang tidak ingin mengingat pemuda itu. Diva menggeleng. Nyeri di kepalanya semakin menjadi. Dia harus segera keluar dari kamar mandi jika tidak ingin pingsan di tempat ini. 

Dengan penuh perjuangan akhirnya Diva bisa mencapai tempat tidur. Dia tidak langsung berbaring, hanya duduk bersandar pada kepala ranjang. Dia takut akan benar-benar pingsan jika langsung berbaring. 

Dia melakukan hal yang sama yang selalu dilakukannya setiap mimpi itu datang. Sesuai saat dari dokter Catherine. 

"Be!"

Napas Diva tersengal, jantungnya memacu semakin cepat. Sampai-sampai dia takut pembuluh darahnya akan pecah karena detakan jantungnya yang menggila. Dua huruf itu sukses membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Kata-kata pria di dalam mimpinya sekarang berseliweran, terus berulang di telinga. 

"Aku sayang kamu, Be. Jangan tinggalin aku. Kamu udah janji!"

Astaga! Diva menggeleng kuat. Dia harus menghentikan suara itu jika tidak ingin menjadi benar-benar gila. Dia tidak ingin keputusannya pulang ke negaranya sendiri menjadi bumerang yang akan menyerangnya. 

Bab terkait

  • Remember Me, BE!   Bab 6. Mimpi Yang Lain

    "Hitam kayak arang!"Juna mendelik. Ia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Yang pasti bukan Arsyi Genero Wirata. Sahabatnya sejak SMP itu bukan seorang yang banyak bicara. Sejak dulu sampai sekarang Arsyi tetap urut kata. Hanya Kevin Januar yang boros kata-kata. Pria itu selalu mengomentari setiap penampilannya, sejak SMA tidak pernah berubah. Yang paling menyebalkan adalah Kevin bekerja sebagai sekretarisnya. Entah kenapa pria itu melamar pekerjaan di perusahaannya, padahal Ayah Kevin juga mempunyai perusahaan sendiri. Kevin menolak untuk memimpin perusahaan miliknya dan memilih bekerja padanya. Alasannya sangat konyol, Kevin tak ingin meninggalkannya seorang diri. Seolah ia anak kecil saja. "Pasti lu nggak tidur, 'kan, tadi malam?"Tebakan yang nyaris tepat. Bukan tidak tidur, ia hanya terbangun dan tidak bisa melanjutkan tidur lagi. Juna memutar bola mata. "Sok tau!" ketusnya. "Eh, gue bukan sok tau, ya, Jun, tapi gue emang beneran tau." Kevin tidak mau kalah. Ia duduk di kursi t

  • Remember Me, BE!   Bab 7. Baik-baik Saja

    "Kamu mimpi apa, sih, Sayang, tadi malam? Kok, kayaknya kaget banget pas Mama bangunin." Seperti biasa, sarapan mereka selalu diwarnai dengan percakapan hangat Seputra yang terjadi tadi malam.Diva meringis, kepalanya menggeleng. Sebenarnya dia ingin menceritakan mimpinya, tetapi baik Mama maupun Papa pasti tidak akan percaya. Mereka juga tidak akan mau menanggapi, seperti yang sudah-sudah, apalagi mimpinya tetap saja seperti dulu, tentang seseorang yang memanggilnya 'Be'. Seorang pria tanpa sosok, hanya suaranya saja yang terdengar. Suara yang terasa familiar, tetapi dia tidak ingat di mana pernah mendengarnya. Orang tuanya akan menganggap mimpinya tidak berarti apa-apa. Mereka selalu mengatakan itu hanyalah bunga tidur saja. Padahal dia yakin mimpinya pasti berhubungan dengan masa lalunya. Seolah kedua orang tuanya menutupi. Tak ingin membuat Mama khawatir, Diva menyunggingkan senyum. "Nggak apa-apa, kok, Ma. Diva nggak mimpi. Cuman kaget aja pas liat Mama udah ada di samping Div

  • Remember Me, BE!   Bab 8. BE

    Tidak ada yang lebih menjengkelkan bagi Juna daripada mendapat pesan dari Tasya, pagi-pagi seperti ini. Ketika ia membuka mata, mengecek ponselnya kalau-kalau ada pesan atau panggilan telepon yang penting, dari sekian pesan yang masuk, salah satunya adalah dari Tasya. Juna tidak mengerti apa yang dipikirkan wanita itu. Sudah ditolak berkali-kali Tasya tetap kekeuh. Dia tipe wanita yang pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu. Sangat keren memang, dan sebenarnya ia membutuhkan wanita seperti itu sebagai pendamping. Dalam berbisnis, bukan sebagai pasangan hidup. Juna yakin, sepanjang harinya akan buruk nantinya. Apalagi hari ini ia tidak ke mana-mana. Maksudnya, tidak ada pertemuan yang harus dihadirinya sehingga ia akan berada di kantornya seharian. Tasya mengajaknya untuk makan siang. Ajakan yang tak bisa diterimanya. Ia tak berminat untuk makan berdua dengan wanita mana pun kecuali rekan bisnisnya, itu pun jika memang ada pembicaraan bisnis penting yang mereka lakukan. Jika tid

  • Remember Me, BE!   Bab 9. Panggilan Kesayangan?

    Diva tidak dilarikan ke rumah sakit. Dia terbangun lima belas menit kemudian, tanpa ada yang tahu apa yang sudah terjadi padanya. Tidak ada seorang pun yang mendatanginya ke dalam kamar, semuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, termasuk Mama yang katanya akan pergi keluar sebentar lagi. Kemungkinan Mama masih merias diri di kamarnya, dan Papa yang belum pulang dari kantor. Diva bangkit perlahan, tangan kanannya berpegangan pada sofa untuk menopang berat tubuhnya. Tangan kirinya terangkat mengusap hidungnya yang terasa lembap, dia ingat tadi hidungnya mimisan sebelum dia pingsan. Dia harus segera membersihkannya sebelum ada yang melihat. Tidak ada yang boleh tahu apa yang tadi dialaminya, dia tak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir. Diva menarik kakinya menuju kamar mandi dengan tergesa. Dia berdiri di depan cermin besar di atas wastafel, menatap wajahnya yang terpantul di sana. Wajahnya terlihat, darah yang mulai mengering di lubang hidungnya tampak kontras dengan

  • Remember Me, BE!   Bab 10. Rindu

    "Om Juna!" Eveline Romansa Wiraatmadja berlari kecil menghampiri pria kesayangannya. Melompat ke pelukannya ketika pria dewasa itu membungkukkan badan menyambutnya. "Om kenapa baru ke sini? 'Kan, Roma kangen."Juna tersenyum lebar melihat bibir mungil itu mengerucut. Tangannya terangkat mengacak sayang poni rata gadis kecil berusia sembilan tahun itu. Memang sudah hampir sebulan ia tidak berkunjung ke rumah sahabatnya, dan selama itu juga tidak bertemu dengan Roma, gadis kecil yang selalu mengingatkannya kepada Diva.Bukan karena kesamaan fisik, melainkan sifat Roma yang sedikit banyak mirip dengan almarhumah kekasihnya. Satu lagi, Roma lahir beberapa bulan setelah kematian Diva."Om kamu itu sibuk, nggak cuman ngurusin kamu, ya, Ro!" Helen yang menyahut. Sebagai seorang sahabat, dia mengerti bagaimana sibuknya Juna. Ke sana kemari, Juna hampir tidak pernah berdiam diri. Dia tahu, Juna sengaja menyibukkan dir

  • Remember Me, BE!   Bab 11. Juna

    Diva terbatuk beberapa kali, tersedak air liurnya sendiri saat sedang meminta izin pada Papa untuk keluar rumah besok. Dia akan menyerahkan berkas lamaran pekerjaannya ke perusahaan milik Arsen. Dia sudah memberitahu sepupunya itu tadi sebelum makan malam, jika akan ke kantornya untuk melamar kerja. "Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ronny khawatir. Mata Diva merah berair. Ia memajukan tubuhnya mengamati wajah putrinya yang memerah. Della yang duduk di sebelah Diva langsung memberikan air minum ke tangannya. "Kamu minum dulu, ya, Sayang!" pintanya dengan suara bergetar dan tangan yang mengusap-usap punggung Diva. Della baru pulang ketika Diva menyerahkan berkas lamaran kerjanya. Dia meminta papanya untuk memeriksa. Della bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Baru saja Diva berbicara, meminta izin pada papanya, dia sudah terbatuk hebat. Tidak berhenti sampai meneteskan air mata. "Kamu kenapa, sih, Nak? Kok, batuknya sampe gini amat?" Della bertanya sambil terus mengusap punggung

  • Remember Me, BE!   Bab 12. Gila

    Tidak ada yang lebih gila dari Juna. Fakta itu didapat Kevin setelah bosnya itu bercerita jika tadi malam dia tidur di sisi makam Diva dan anak mereka. Kalaupun ada tingkatan yang lebih tinggi dari gila, kata itu pantas disematkan pada Juna. Area pemakaman adalah tempat yang menakutkan bagi sebagian besar orang, tapi tidak berlaku bagi Juna. Entah ia harus kagum atau apa, yang pasti ia tidak dapat berkata-kata. Tercengang selama Juna menceritakan apa yang telah dilakukannya tadi malam. "Gue nggak tau harus bilang apa, Jun." Kevin menggeleng. "Tapi, kalo lu nggak keberatan gue sebut gila, gue bakalan bilang kayak gitu. Lu gila, Juna!" Tawa lirih meluncur dari mulut Juna. "Gue sama sekali nggak keberatan, Vin, karena tadi malam tuh gue ngerasa kalo gue emang udah gila." Juna menggeleng pelan beberapa kali. "Gue sadar itu, tapi gue tetap mau sama mereka. Gue kangen mereka, Vin."Suara Juna merendah. Kerinduan pada kekasihnya yang sudah tiada membuatnya nekat melakukan itu. Persetan den

  • Remember Me, BE!   Bab 13. Be!

    "Itu udah beres semua, 'kan, Ar? Nggak ada yang kurang, 'kan? Biar aku lengkapi sekarang."Pria tampan berambut hitam berusia tiga puluh dua tahun itu mengangguk. Arkan Wijaya tersenyum, memberikan ibu jari tangan kanannya pada sepupu cantiknya yang duduk di seberangnya. Sebuah meja kerja berukuran cukup besar memisahkan mereka. Berbagai macam kertas dan alat tulis lainnya serta sebuah laptop yang menyala di atas meja. "Berarti besok aku udah bisa masuk kerja, dong!" seru Diva gembira. Mata cokelatnya melebar, selebar senyum yang menghiasi wajah cantiknya. "Kata siapa boleh besok?" Protes bernada tanya itu menyurutkan senyum Diva. Binar riang di matanya menguap. Punggungnya yang tadi tegak sekarang merosot, menempel pada sandaran kursi yang didudukinya. Bibir mungilnya yang dipoles pemulas berwarna merah, mengerucut. "Kok,nggak boleh?" tanyanya memprotes. "Terus kapan aku bisa masuk kerja?" "Lu harus ikuti prosedur dulu lah!" sahut Arkan tersenyum penuh kemenangan. Ia memang sedan

Bab terbaru

  • Remember Me, BE!   Extra Part

    Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s

  • Remember Me, BE!   Bab 134. The Wedding (END)

    Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da

  • Remember Me, BE!   Bab 133. Juna Posesif

    Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons

  • Remember Me, BE!   Bab 132. Keputusan Akhir

    Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di

  • Remember Me, BE!   Bab 131. Restu

    "Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam

  • Remember Me, BE!   Bab 130. Hilda Pelakunya

    Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas

  • Remember Me, BE!   Bab 129. Penyesalan

    Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah

  • Remember Me, BE!   Bab 128. Tentang Teman dan Hilda

    Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p

  • Remember Me, BE!   Bab 127. Terungkap

    Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop

DMCA.com Protection Status