Jakarta dengan segala kemacetan dan kesibukannya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi warganya. Mereka tidak akan heran lagi. Begitu juga dengan Diva. Ini adalah pertama kali dia menginjakkan kaki di ibu kota tanah air setelah sekian tahun lamanya tidak pernah pulang. Meski baru sekali tapi rasanya sudah sangat familiar. Tentu saja seperti itu, 'kan? Dia lahir dan dibesarkan di sini.
Diva merentangkan kedua tangan lebar, menghirup udara ibu kota yang dirindukannya. Udara Jakarta begitu berbeda dengan New York. Meski sama-sama kota sibuk dan tidak pernah tidur, udara Jakarta memiliki arti lebih baginya. Dia merasa lebih nyaman.
Diva menstop sebuah taksi yang kebetulan memang singgah di depannya. Meminta sopir mengantar ke tempat yang disebutkannya. Sungguh, semua ini terasa tidak asing. Diva merasa dia sudah sering melewati setiap jalanan yang kini dilewatinya. Diva memijit pelipis saat taksi yang ditumpanginya melintas di depan sebuah gedung apartemen mewah.
Samar sebuah bayangan berkelebat. Diva mengerutkan kening, pikirannya bertanya. Pernahkah dia mengunjungi gedung itu? Entahlah. Sampai taksi sudah melewati area gedung apartemen itu Diva masih mengamatinya. Berhenti begitu merasakan sedikit nyeri di lehernya, dia terlalu lama menoleh ke belakang.
Taksi memasuki kawasan perumahan elit. Diva bertanya dalam hati, apakah orang tuanya tinggal di perumahan ini? Pantas saja Mama sering berkata ingin menghabiskan uang Papa. Ternyata keluarganya adalah keluarga berada.
Kawasan perumahan ini sungguh tenang, tidak ada macet ataupun kendaraan berseliweran. Tidak seperti saat masih di jalan raya tadi. Kepalanya semakin berdenyut menyaksikan begitu banyaknya kendaraan memadati jalanan. Seolah semua kendaraan itu tumpah ruah di jalanan ibu kota. Sedikit mengerikan baginya karena di New York dia tidak pernah terjebak macet.
Dia selalu menggunakan transportasi umum saat pergi dan pulang bekerja. Bukan karena tidak memiliki kendaraan pribadi. Dia memilikinya, sebuah SUV premium Lexus UX sudah menjadi penghuni garasinya sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, dia tidak pernah menggunakan mobil pribadi untuk bekerja. Dia lebih senang menggunakan fasilitas publik, salah satunya menggunakan alat transportasi umum.
Lamunan Diva terhenti saat dirasa taksi yang ditumpanginya berhenti. Diva mengernyit melihat rumah yang disinggahi taksi ini. Benarkah ini rumahnya? Jujur, Diva sedikit tidak percaya. Rumah ini terlalu mewah untuk ditempati kedua orang tuanya. Maksudnya, kalau hanya mereka berdua.
Namun, Diva tetap keluar dari taksi dan memasuki pintu gerbang yang entah kebetulan atau apa, tidak terkunci. Kepala Diva terasa berputar, beberapa bayangan masa lalu berkelebat di kepalanya. Seorang gadis kecil berlarian di halaman dengan membawa bola di tangannya.
Hanya sedetik bayangan gadis kecil itu berubah menjadi bayangan seorang gadis remaja. Kali ini Diva dapat mengenalinya, gadis remaja itu adalah dirinya. Seorang gadis remaja mengenakan seragam sekolah sebuah sekolah tingkat atas bertaraf internasional.
Diva memencet pangkal hidung merasakan cairan hangat mengalir turun. Cepat dia berlari, melewati halaman rumah yang cukup luas. Diva mengetuk pintu kuat, memencet bel beberapa kali karena pintu belum dibukakan juga.
"Mama, ini Diva!"
Akhirnya Diva memilih berteriak memanggil Mama. Dia rasanya sudah tidak dapat bertahan lagi. Kepalanya terasa semakin berdenyut dan berputar. Cairan panas di hidungnya juga semakin cepat mengalir, mereka seolah berlomba untuk keluar.
"Mama!"
Teriakan Diva melemah, begitu juga dengan gedorannya pada daun pintu berwarna hitam. Diva sudah mencapai batas. Beruntung pintu terbuka, sosok Della Wijaya bersama bik Sumi, asisten rumah tangganya berdiri di belakang pintu.
Della sangat terkejut dengan kehadiran putri tunggalnya. Apalagi melihat kondisi Diva yang sangat berantakan. Della memekik tertahan melihat cairan kental berwarna merah merembes dari tangan Diva yang menutupi hidung.
"Astaga, Diva! Kenapa sampe kayak gini?" Della bertanya histeris. Memapah Diva cepat memasuki rumah. "Telepon dokter, bik Sum!" perintahnya panik. "Telepon Bapak juga habis itu."
"Siap, Bu!"
Tergopoh bik Sumi menghampiri telepon yang berada di atas meja hias. Tangan tuanya gemetar memencet tombol-tombol yang terdapat pada benda itu. Sementara Della memapah Diva dengan dibantu pak Dudung dan satpam mereka, membawa Diva ke kamarnya sementara dokter belum tiba. Kamar yang dulu dipakai Diva saat dia masih remaja.
Della tidak habis pikir kenapa putrinya pulang tanpa memberitahu. Diva tiba-tiba sudah berada di depan pintu rumah mereka. Astaga! Bagaimana mungkin dia bisa kecolongan? Apalagi sekarang keadaan Diva gawat. Ini sangat mengerikan. Sungguh, Della tidak ingin sesuatu terjadi pada putrinya.
Inilah salah satu alasan kenapa dia tidak memperbolehkan Diva untuk pulang ke tanah air. Della tidak ingin hal buruk terjadi pada putri tunggalnya. Percayalah, tidak ada seorang Ibu pun yang ingin berpisah dari anaknya. Berpisah dari Diva adalah sebuah keputusan yang sangat berat. Dia harus meninggalkan Diva di negara orang sejak putrinya itu masih berusia remaja, dalam keadaan kehilangan ingatan.
Namun, dia harus melakukannya, demi kebaikan Diva sendiri. Terlalu banyak hal yang membahayakan Diva di negaranya sendiri. Salah satunya adalah hal ini. Bukannya dia tidak ingin ingatan putrinya kembali, hanya saja dia juga tidak ingin Diva kenapa-kenapa. Dia ingin Diva mengingat semua masa lalunya secara perlahan.
Lima menit kemudian, dokter Shahnaz, dokter keluarga yang dihubungi bik Sumi sudah tiba. Della membiarkan dokter seusia dengannya itu memeriksa Diva, semetara dirinya menunggu di dekat tempat tidur di mana Diva terbaring. Diva tadi pingsan begitu mereka tiba di kamar.
"Gimana keadaan Diva, Dok?" tanya Della khawatir. Raut kecemasan begitu kentara di wajahnya yang masih terlihat cantik meski sudah berumur.
Dokter Shahnaz Saraswati adalah dokter keluarga yang dulu menangani Diva saat perempuan itu kritis sepuluh tahun yang lalu. Dokter Shahnaz juga yang menyarankan Diva untuk dibawa ke luar negeri dan berobat di sana.
Saat baru beberapa bulan dirawat di luar negeri, dokter Shahnaz selalu mendampingi Diva. Bagaimanapun Diva adalah pasiennya, dia harus terus memantau kondisinya. Sampai saat Diva dinyatakan koma oleh tim dokter di sana, dokter Shahnaz masih bertahan. Dia pulang kembali ke tanah air setelah beberapa bulan Diva masih belum sadar dari komanya.
Dokter Shahnaz bukannya menyerah, dia terus memantau keadaan Diva dari tanah air. Dokter Shahnaz juga tahu keadaan Diva sekarang yang mengalami amnesia.
Dokter Shahnaz menarik napas panjang sebelum menjawab. "Kita tahu penyebabnya, Della. Ada sebuah atau beberapa ingatan yang memaksa masuk ke otak Diva. Sepertinya ingatan masa kecil karena Diva melihat rumah ini."
Della memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Sebenarnya sejak melihat darah yang mengalir menuruni hidung Diva, dia sudah merasakannya, tapi Della menahannya. Baginya, sakit kepala yang dirasakannya tidak seberapa dengan sakit yang dialami Diva.
"Lalu, apa Diva nggak apa-apa?"
Dokter Shahnaz mengangguk. "Untuk sementara Diva nggak apa-apa, mimisan dan pingsan reaksi yang masih bisa disebut wajar. Tapi, kalau kondisi Diva lebih parah sebaiknya bawa ke rumah sakit."
"Astaga!" Della mengusap wajah.
"Aku rekomendasikan salah satu teman aku. Dia juga seorang perempuan, namanya dokter Pratiwi. Dia seorang terapis juga psikiater, mungkin dia bisa membantu Diva."
Della mengangguk. Saat ini dia sangat bingung, dan sangat membutuhkan seorang dokter terbaik untuk membantu kesembuhan putrinya. Della berharap semoga dokter yang direkomendasikan dokter Shahnaz cocok dengan Diva.
Tergopoh pria itu memasuki rumahnya. Ia bahkan memerlukan bantuan sopirnya untuk membukakan pintu mobil. Ronny Wijaya juga memerlukan bantuan Sang Sopir untuk memapahnya masuk. Kabar mengejutkan dari asisten rumah tangganya membuatnya nyaris syok. Bagaimana mungkin putri tunggalnya berada di rumah? Sungguh, Diva sangat nekat, pulang ke tanah air tanpa memberitahu. Entah apa yang ada di dalam pikiran putrinya. Apakah Diva tidak tahu betapa mereka yang berada di sini selalu mengkhawatirkannya? Bukannya ia tak ingin berkumpul bersama putri tunggalnya kembali, ia hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Diva. Seperti kejadian ini, misalnya. Sungguh, ia tak dapat memaafkan dirinya sendiri kalau putrinya sampai kenapa-kenapa."Gimana Diva, Ma?" tanya Ronny setengah berteriak kepada Della, bahkan ia belum mencapai lantai dua masih berusaha menaiki tangga. "Diva beneran pulang?" Della bergegas keluar kamar mendengarnya, semakin panik melihat suaminya yang dipapah oleh Pak Tono, sopir
Sudah lebih dari sepuluh tahun, tetapi ia masih belum dapat melupakannya. Mimpi buruk itu selalu datang berulang, bagai kaset rusak yang akan selalu memutar adegan yang sama. Adegan di mana ia kehilangan perempuan yang paling dicintainya. William Arjuna Dirgantara mengusap wajah kasar. Sama seperti malam-malam biasanya setelah mimpi itu datang, ia pasti terbangun dan tak pernah bisa lagi memejamkan mata. Kali ini pun sama, mimpi buruk itu membawa kantuknya pergi. membuat keinginannya untuk tidur sudah tidak ada lagi. Juna mengulurkan tangan ke arah nakas, meraih dua buah benda yang ada di sana. Jam digital dan sebuah pigura berukuran sedang dengan bingkai emas. Foto seorang gadis mengenakan seragam sekolah tersenyum manis menghiasi pigura itu. Juna meletakkannya di dada, memeluk erat seolah memeluk gadis yang ada di dalam foto. Tak peduli dengan dadanya yang kembali terasa ditindih bongkahan batu besar, juga bulir-bulir bening yang menuruni sudut matanya yang terpejam, ia akan terus
"Hitam kayak arang!"Juna mendelik. Ia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Yang pasti bukan Arsyi Genero Wirata. Sahabatnya sejak SMP itu bukan seorang yang banyak bicara. Sejak dulu sampai sekarang Arsyi tetap urut kata. Hanya Kevin Januar yang boros kata-kata. Pria itu selalu mengomentari setiap penampilannya, sejak SMA tidak pernah berubah. Yang paling menyebalkan adalah Kevin bekerja sebagai sekretarisnya. Entah kenapa pria itu melamar pekerjaan di perusahaannya, padahal Ayah Kevin juga mempunyai perusahaan sendiri. Kevin menolak untuk memimpin perusahaan miliknya dan memilih bekerja padanya. Alasannya sangat konyol, Kevin tak ingin meninggalkannya seorang diri. Seolah ia anak kecil saja. "Pasti lu nggak tidur, 'kan, tadi malam?"Tebakan yang nyaris tepat. Bukan tidak tidur, ia hanya terbangun dan tidak bisa melanjutkan tidur lagi. Juna memutar bola mata. "Sok tau!" ketusnya. "Eh, gue bukan sok tau, ya, Jun, tapi gue emang beneran tau." Kevin tidak mau kalah. Ia duduk di kursi t
"Kamu mimpi apa, sih, Sayang, tadi malam? Kok, kayaknya kaget banget pas Mama bangunin." Seperti biasa, sarapan mereka selalu diwarnai dengan percakapan hangat Seputra yang terjadi tadi malam.Diva meringis, kepalanya menggeleng. Sebenarnya dia ingin menceritakan mimpinya, tetapi baik Mama maupun Papa pasti tidak akan percaya. Mereka juga tidak akan mau menanggapi, seperti yang sudah-sudah, apalagi mimpinya tetap saja seperti dulu, tentang seseorang yang memanggilnya 'Be'. Seorang pria tanpa sosok, hanya suaranya saja yang terdengar. Suara yang terasa familiar, tetapi dia tidak ingat di mana pernah mendengarnya. Orang tuanya akan menganggap mimpinya tidak berarti apa-apa. Mereka selalu mengatakan itu hanyalah bunga tidur saja. Padahal dia yakin mimpinya pasti berhubungan dengan masa lalunya. Seolah kedua orang tuanya menutupi. Tak ingin membuat Mama khawatir, Diva menyunggingkan senyum. "Nggak apa-apa, kok, Ma. Diva nggak mimpi. Cuman kaget aja pas liat Mama udah ada di samping Div
Tidak ada yang lebih menjengkelkan bagi Juna daripada mendapat pesan dari Tasya, pagi-pagi seperti ini. Ketika ia membuka mata, mengecek ponselnya kalau-kalau ada pesan atau panggilan telepon yang penting, dari sekian pesan yang masuk, salah satunya adalah dari Tasya. Juna tidak mengerti apa yang dipikirkan wanita itu. Sudah ditolak berkali-kali Tasya tetap kekeuh. Dia tipe wanita yang pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu. Sangat keren memang, dan sebenarnya ia membutuhkan wanita seperti itu sebagai pendamping. Dalam berbisnis, bukan sebagai pasangan hidup. Juna yakin, sepanjang harinya akan buruk nantinya. Apalagi hari ini ia tidak ke mana-mana. Maksudnya, tidak ada pertemuan yang harus dihadirinya sehingga ia akan berada di kantornya seharian. Tasya mengajaknya untuk makan siang. Ajakan yang tak bisa diterimanya. Ia tak berminat untuk makan berdua dengan wanita mana pun kecuali rekan bisnisnya, itu pun jika memang ada pembicaraan bisnis penting yang mereka lakukan. Jika tid
Diva tidak dilarikan ke rumah sakit. Dia terbangun lima belas menit kemudian, tanpa ada yang tahu apa yang sudah terjadi padanya. Tidak ada seorang pun yang mendatanginya ke dalam kamar, semuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, termasuk Mama yang katanya akan pergi keluar sebentar lagi. Kemungkinan Mama masih merias diri di kamarnya, dan Papa yang belum pulang dari kantor. Diva bangkit perlahan, tangan kanannya berpegangan pada sofa untuk menopang berat tubuhnya. Tangan kirinya terangkat mengusap hidungnya yang terasa lembap, dia ingat tadi hidungnya mimisan sebelum dia pingsan. Dia harus segera membersihkannya sebelum ada yang melihat. Tidak ada yang boleh tahu apa yang tadi dialaminya, dia tak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir. Diva menarik kakinya menuju kamar mandi dengan tergesa. Dia berdiri di depan cermin besar di atas wastafel, menatap wajahnya yang terpantul di sana. Wajahnya terlihat, darah yang mulai mengering di lubang hidungnya tampak kontras dengan
"Om Juna!" Eveline Romansa Wiraatmadja berlari kecil menghampiri pria kesayangannya. Melompat ke pelukannya ketika pria dewasa itu membungkukkan badan menyambutnya. "Om kenapa baru ke sini? 'Kan, Roma kangen."Juna tersenyum lebar melihat bibir mungil itu mengerucut. Tangannya terangkat mengacak sayang poni rata gadis kecil berusia sembilan tahun itu. Memang sudah hampir sebulan ia tidak berkunjung ke rumah sahabatnya, dan selama itu juga tidak bertemu dengan Roma, gadis kecil yang selalu mengingatkannya kepada Diva.Bukan karena kesamaan fisik, melainkan sifat Roma yang sedikit banyak mirip dengan almarhumah kekasihnya. Satu lagi, Roma lahir beberapa bulan setelah kematian Diva."Om kamu itu sibuk, nggak cuman ngurusin kamu, ya, Ro!" Helen yang menyahut. Sebagai seorang sahabat, dia mengerti bagaimana sibuknya Juna. Ke sana kemari, Juna hampir tidak pernah berdiam diri. Dia tahu, Juna sengaja menyibukkan dir
Diva terbatuk beberapa kali, tersedak air liurnya sendiri saat sedang meminta izin pada Papa untuk keluar rumah besok. Dia akan menyerahkan berkas lamaran pekerjaannya ke perusahaan milik Arsen. Dia sudah memberitahu sepupunya itu tadi sebelum makan malam, jika akan ke kantornya untuk melamar kerja. "Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ronny khawatir. Mata Diva merah berair. Ia memajukan tubuhnya mengamati wajah putrinya yang memerah. Della yang duduk di sebelah Diva langsung memberikan air minum ke tangannya. "Kamu minum dulu, ya, Sayang!" pintanya dengan suara bergetar dan tangan yang mengusap-usap punggung Diva. Della baru pulang ketika Diva menyerahkan berkas lamaran kerjanya. Dia meminta papanya untuk memeriksa. Della bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Baru saja Diva berbicara, meminta izin pada papanya, dia sudah terbatuk hebat. Tidak berhenti sampai meneteskan air mata. "Kamu kenapa, sih, Nak? Kok, batuknya sampe gini amat?" Della bertanya sambil terus mengusap punggung
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop