Share

Bab 2. Pulang

Penulis: Fitri_alpha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sebenarnya Diva tidak masalah dengan semua yang didapatnya sekarang ini. Masih belum mengingat masa lalu dan semua orang yang dikenalnya juga dia tidak terlalu memikirkan. Satu-satunya yang menjadi masalah di dalam hidupnya adalah mimpi yang selalu datang setiap malam. 

Mimpi yang sama, seseorang yang memintanya untuk tetap bersama dan tidak meninggalkan walau apa pun yang terjadi. Yang dia yakin sebagai bagian dari masa lalunya. Diva sangat ingin mengingat kembali, atau setidaknya dia tahu siapa laki-laki di dalam mimpinya. Dia sangat ingin tahu apa arti laki-laki itu baginya. 

Sayangnya, kepalanya sangat sakit sampai rasanya ingin meledak setiap dia berusaha mengingat. 

"Kamu yang tenang aja di sana. Fokus sama penyembuhan kamu, jangan mikirin yang lain dulu. Ingat, 'kan, apa kata dokter Rebecca, kalo ingatan kamu pasti bakalan balik lagi."

Jeda, Mama menarik napas. Wajahnya yang masih terlihat cantik terlihat sedikit menegang sedetik, lalu di detik berikutnya menekuk. Semuanya tak lepas dari pengamatan Diva.

"Jangan maksain diri buat ingat. Mama yakin suatu saat ingatan kamu pasti balik. Kamu pasti bakalan ingat siapa diri kamu, siapa Mama, siapa Papa bagi kamu. Buat sekarang, Mama udah lega kamu baik-baik aja, udah nggak koma atau sakit kepala kayak dulu lagi."

Diva ikut menarik napas ketika dilihatnya Mama menarik napas. Apa yang dikatakan Mama memang benar, setidaknya dia sudah tidak berbaring di rumah sakit lagi seperti saat dirinya baru pertama kali sadar. Koma nyaris setahun karena sakit yang dia sendiri tidak mengingatnya merupakan sebuah kenangan yang sangat tidak menyenangkan, dan Diva tidak ingin itu terulang. 

"Kamu manggil Mama dengan sebutan Mama juga udah bikin Mama senang banget, Sayang."

Diva berdecak. Mama menangis, dan dia tidak suka itu. Dia benci melihat Mama menangis. Dadanya juga ikut merasa sesak. Bahkan rasanya jauh lebih sesak saat dia menonton sesuatu yang sedih di televisi. 

Itulah sebabnya dia tidak terlalu menyukai tayangan televisi apalagi opera sabun. Apa yang mereka lakukan hanya akting, bukan kejadian yang sebenarnya. Coba saja kejadian seperti itu benar-benar mereka alami, Diva jamin tidak ada lagi orang yang mau berperan menjadi orang tidak mampu dan seorang kekasih yang patah hati.

"Mama, kok, nangis?" tanya Diva dengan suara serak. "Jangan nangis, dong. Ntar Diva juga ikut nangis." Tangan Diva terulur mengusap layar ponsel, seolah mengusap air mata Mama. "Diva yakin sama apa yang Mama bilang. Hati Diva percaya kalo Mama, Papa, Arkan, dan semua keluarga kita adalah keluarga Diva." Dia tersenyum, menyebabkan dua bulir bening menuruni pipinya. "Diva sayang Mama, pengen meluk Mama."

"Duh, anak gadis Mama udah dewasa masih aja cengeng." 

Kata-kata itu tidak menghentikan tangis Diva. Air matanya justru semakin deras. Dadanya semakin sesak. Bukan hanya rindu pelukan Mama, tetapi dia sangat ingin melihat tanah airnya. Ingin kembali ke sana. Dia yakin ingatannya pasti akan kembali jika dia pulang ke tanah air karena di sanalah semuanya berawal. 

Namun, sekali lagi dia harus mengalah dengan air mata Sang Ibu. Entah kapan dia bisa kembali ke tempat dia dilahirkan. Di sini Diva yakin dia tidak akan mendapatkan apa-apa, buktinya sampai sekarang ingatannya masih belum kembali. 

"Cup, cup, cup. Jangan nangis dong, Sayang."

Diva mencoba tersenyum, hanya untuk menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Rasanya nyeri dan berdenyut. Sekelebat ingatan memasuki kepalanya. Mama yang selalu menghiburnya dengan kata-kata itu, selalu sama sejak dia masih kecil. Diva menggigit bibir, hatinya selalu benar. Mama Della memang mamanya. Diva mengambil tisu, mengusap air matanya. 

"Diva matiin, ya, Ma? Diva udah selesai ngerjain tugasnya, mau istirahat dulu."

Diva tersenyum, menggigit pipi dalamnya. Dia kembali membohongi Mama untuk yang kesekian kali malam ini. Mematikan ponsel dan mengembalikan ke tempat semula, Diva memilih kembali ke tempat tidur. Meski tidak akan bisa terlelap lagi, dia masih harus beristirahat. 

Diva menyandarkan punggung pada kepala ranjang, mendongak dan memejamkan mata. Menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan melewati rongga hidung. Dia selalu melakukannya kala kepalanya berdenyut seperti sekarang ini. Denyutan yang disebabkan oleh dia mengingat sesuatu. 

Inilah yang menyebabkan kedua orang tuanya melarang untuk kembali ke tanah air sebelum ingatannya pulih. Mereka tidak ingin dia kenapa-kenapa, Diva mengerti itu. 

Namun, yang tidak dimengertinya adalah kedua orang tuanya yang seolah menyembunyikan sesuatu. Entahlah, mungkin itu hanya perasaannya saja. Akan tetapi, hatinya selalu benar dan dia tidak ingin kali ini juga benar. 

Dia harus yakin, apa pun yang dilakukan kedua orang tuanya, semua demi kebaikannya. Pasti seperti itu. 

Mata bulat Diva perlahan terbuka. Rasa sakit di kepalanya mulai mereda. Diva mengembuskan napas lega. Entah sampai kapan dia akan seperti ini, hidup tanpa ingatan masa lalu sangatlah tidak menyenangkan, seolah dirimu adalah seorang bayi di dalam tubuh dewasa. Sangat menyebalkan.

Seseorang yang ingin berbuat curang atau ingin menjatuhkanmu juga akan dengan mudah dapat melakukannya. Diva beruntung karena orang-orang di sekelilingnya tidak memiliki pikiran jahat seperti itu. Jangan sampai dia menemukannya. 

Namun, rasanya Diva sudah tidak tahan lagi. Dia merasa sangat terganggu dengan terus dihantui mimpi yang sama. Mimpi yang hanya memperdengarkan audio tanpa visual yang nyata. Mimpi yang sudah membuatnya kehilangan separuh waktu istirahatnya dalam sepuluh tahun terakhir. 

Mungkin ide yang saat ini terlintas di kepalanya bukanlah ide yang baik, sangat buruk malah. Namun, sepertinya dia akan melakukannya. Dia ingin mencari tahu siapa laki-laki di dalam mimpinya, dan apa hubungan mereka. Setelah tahu, mungkin saja dia bisa kembali mendapatkan kenyamanan tidur yang sangat diimpikannya. 

Untuk masalah orang tuanya, dia akan memikirkannya nanti di dalam perjalanan. Yang penting sekarang memesan tiket untuk penerbangan besok pagi. 

Dengan semangat yang kembali menyala, Diva meraih ponsel. Jari-jari rampingnya bergerak lincah di atas layar benda pipih persegi panjang itu. Tak sampai satu menit, senyum mengembang di bibirnya yang tanpa polesan apa-apa. Dia sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. 

Selembar tiket atas nama Diva Sandora Wijaya, penerbangan menuju Indonesia dengan jadwal keberangkatan pertama, sudah dikantonginya. Sekarang yang harus dilakukannya adalah membereskan beberapa barang yang akan dibawa. 

Tidak semua, hanya beberapa. Dia tidak menetap di tanah airnya, pasti akan kembali ke sini juga. Mungkin. Entahlah, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan. 

Meskipun demikian, Diva tetap hanya memasukkan yang penting saja menurutnya. Dia juga tidak membawa pakaian, hanya yang akan dikenakannya saja. Di dalam koper kecil yang akan dibawanya hanya berisi surat-surat penting saja. 

Hampir satu jam Diva berbenah. Angka lima tertera di jam digital di atas nakas sebelah kanannya ketika dia sudah menyelesaikan semuanya. Diva berlari kecil ke kamar mandi, dia hanya perlu mencuci muka sebelum berangkat ke bandara. 

Indonesia, I'm coming!

Bab terkait

  • Remember Me, BE!   Bab 3. Aku Pulang

    Jakarta dengan segala kemacetan dan kesibukannya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi warganya. Mereka tidak akan heran lagi. Begitu juga dengan Diva. Ini adalah pertama kali dia menginjakkan kaki di ibu kota tanah air setelah sekian tahun lamanya tidak pernah pulang. Meski baru sekali tapi rasanya sudah sangat familiar. Tentu saja seperti itu, 'kan? Dia lahir dan dibesarkan di sini. Diva merentangkan kedua tangan lebar, menghirup udara ibu kota yang dirindukannya. Udara Jakarta begitu berbeda dengan New York. Meski sama-sama kota sibuk dan tidak pernah tidur, udara Jakarta memiliki arti lebih baginya. Dia merasa lebih nyaman. Diva menstop sebuah taksi yang kebetulan memang singgah di depannya. Meminta sopir mengantar ke tempat yang disebutkannya. Sungguh, semua ini terasa tidak asing. Diva merasa dia sudah sering melewati setiap jalanan yang kini dilewatinya. Diva memijit pelipis saat taksi yang ditumpanginya melintas di depan sebuah gedung apartemen mewah. Samar sebuah bayangan

  • Remember Me, BE!   Bab 4. Hanya Ingatan Masa Kecil

    Tergopoh pria itu memasuki rumahnya. Ia bahkan memerlukan bantuan sopirnya untuk membukakan pintu mobil. Ronny Wijaya juga memerlukan bantuan Sang Sopir untuk memapahnya masuk. Kabar mengejutkan dari asisten rumah tangganya membuatnya nyaris syok. Bagaimana mungkin putri tunggalnya berada di rumah? Sungguh, Diva sangat nekat, pulang ke tanah air tanpa memberitahu. Entah apa yang ada di dalam pikiran putrinya. Apakah Diva tidak tahu betapa mereka yang berada di sini selalu mengkhawatirkannya? Bukannya ia tak ingin berkumpul bersama putri tunggalnya kembali, ia hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Diva. Seperti kejadian ini, misalnya. Sungguh, ia tak dapat memaafkan dirinya sendiri kalau putrinya sampai kenapa-kenapa."Gimana Diva, Ma?" tanya Ronny setengah berteriak kepada Della, bahkan ia belum mencapai lantai dua masih berusaha menaiki tangga. "Diva beneran pulang?" Della bergegas keluar kamar mendengarnya, semakin panik melihat suaminya yang dipapah oleh Pak Tono, sopir

  • Remember Me, BE!   Bab 5. Mimpi Yang Terhubung

    Sudah lebih dari sepuluh tahun, tetapi ia masih belum dapat melupakannya. Mimpi buruk itu selalu datang berulang, bagai kaset rusak yang akan selalu memutar adegan yang sama. Adegan di mana ia kehilangan perempuan yang paling dicintainya. William Arjuna Dirgantara mengusap wajah kasar. Sama seperti malam-malam biasanya setelah mimpi itu datang, ia pasti terbangun dan tak pernah bisa lagi memejamkan mata. Kali ini pun sama, mimpi buruk itu membawa kantuknya pergi. membuat keinginannya untuk tidur sudah tidak ada lagi. Juna mengulurkan tangan ke arah nakas, meraih dua buah benda yang ada di sana. Jam digital dan sebuah pigura berukuran sedang dengan bingkai emas. Foto seorang gadis mengenakan seragam sekolah tersenyum manis menghiasi pigura itu. Juna meletakkannya di dada, memeluk erat seolah memeluk gadis yang ada di dalam foto. Tak peduli dengan dadanya yang kembali terasa ditindih bongkahan batu besar, juga bulir-bulir bening yang menuruni sudut matanya yang terpejam, ia akan terus

  • Remember Me, BE!   Bab 6. Mimpi Yang Lain

    "Hitam kayak arang!"Juna mendelik. Ia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Yang pasti bukan Arsyi Genero Wirata. Sahabatnya sejak SMP itu bukan seorang yang banyak bicara. Sejak dulu sampai sekarang Arsyi tetap urut kata. Hanya Kevin Januar yang boros kata-kata. Pria itu selalu mengomentari setiap penampilannya, sejak SMA tidak pernah berubah. Yang paling menyebalkan adalah Kevin bekerja sebagai sekretarisnya. Entah kenapa pria itu melamar pekerjaan di perusahaannya, padahal Ayah Kevin juga mempunyai perusahaan sendiri. Kevin menolak untuk memimpin perusahaan miliknya dan memilih bekerja padanya. Alasannya sangat konyol, Kevin tak ingin meninggalkannya seorang diri. Seolah ia anak kecil saja. "Pasti lu nggak tidur, 'kan, tadi malam?"Tebakan yang nyaris tepat. Bukan tidak tidur, ia hanya terbangun dan tidak bisa melanjutkan tidur lagi. Juna memutar bola mata. "Sok tau!" ketusnya. "Eh, gue bukan sok tau, ya, Jun, tapi gue emang beneran tau." Kevin tidak mau kalah. Ia duduk di kursi t

  • Remember Me, BE!   Bab 7. Baik-baik Saja

    "Kamu mimpi apa, sih, Sayang, tadi malam? Kok, kayaknya kaget banget pas Mama bangunin." Seperti biasa, sarapan mereka selalu diwarnai dengan percakapan hangat Seputra yang terjadi tadi malam.Diva meringis, kepalanya menggeleng. Sebenarnya dia ingin menceritakan mimpinya, tetapi baik Mama maupun Papa pasti tidak akan percaya. Mereka juga tidak akan mau menanggapi, seperti yang sudah-sudah, apalagi mimpinya tetap saja seperti dulu, tentang seseorang yang memanggilnya 'Be'. Seorang pria tanpa sosok, hanya suaranya saja yang terdengar. Suara yang terasa familiar, tetapi dia tidak ingat di mana pernah mendengarnya. Orang tuanya akan menganggap mimpinya tidak berarti apa-apa. Mereka selalu mengatakan itu hanyalah bunga tidur saja. Padahal dia yakin mimpinya pasti berhubungan dengan masa lalunya. Seolah kedua orang tuanya menutupi. Tak ingin membuat Mama khawatir, Diva menyunggingkan senyum. "Nggak apa-apa, kok, Ma. Diva nggak mimpi. Cuman kaget aja pas liat Mama udah ada di samping Div

  • Remember Me, BE!   Bab 8. BE

    Tidak ada yang lebih menjengkelkan bagi Juna daripada mendapat pesan dari Tasya, pagi-pagi seperti ini. Ketika ia membuka mata, mengecek ponselnya kalau-kalau ada pesan atau panggilan telepon yang penting, dari sekian pesan yang masuk, salah satunya adalah dari Tasya. Juna tidak mengerti apa yang dipikirkan wanita itu. Sudah ditolak berkali-kali Tasya tetap kekeuh. Dia tipe wanita yang pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu. Sangat keren memang, dan sebenarnya ia membutuhkan wanita seperti itu sebagai pendamping. Dalam berbisnis, bukan sebagai pasangan hidup. Juna yakin, sepanjang harinya akan buruk nantinya. Apalagi hari ini ia tidak ke mana-mana. Maksudnya, tidak ada pertemuan yang harus dihadirinya sehingga ia akan berada di kantornya seharian. Tasya mengajaknya untuk makan siang. Ajakan yang tak bisa diterimanya. Ia tak berminat untuk makan berdua dengan wanita mana pun kecuali rekan bisnisnya, itu pun jika memang ada pembicaraan bisnis penting yang mereka lakukan. Jika tid

  • Remember Me, BE!   Bab 9. Panggilan Kesayangan?

    Diva tidak dilarikan ke rumah sakit. Dia terbangun lima belas menit kemudian, tanpa ada yang tahu apa yang sudah terjadi padanya. Tidak ada seorang pun yang mendatanginya ke dalam kamar, semuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, termasuk Mama yang katanya akan pergi keluar sebentar lagi. Kemungkinan Mama masih merias diri di kamarnya, dan Papa yang belum pulang dari kantor. Diva bangkit perlahan, tangan kanannya berpegangan pada sofa untuk menopang berat tubuhnya. Tangan kirinya terangkat mengusap hidungnya yang terasa lembap, dia ingat tadi hidungnya mimisan sebelum dia pingsan. Dia harus segera membersihkannya sebelum ada yang melihat. Tidak ada yang boleh tahu apa yang tadi dialaminya, dia tak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir. Diva menarik kakinya menuju kamar mandi dengan tergesa. Dia berdiri di depan cermin besar di atas wastafel, menatap wajahnya yang terpantul di sana. Wajahnya terlihat, darah yang mulai mengering di lubang hidungnya tampak kontras dengan

  • Remember Me, BE!   Bab 10. Rindu

    "Om Juna!" Eveline Romansa Wiraatmadja berlari kecil menghampiri pria kesayangannya. Melompat ke pelukannya ketika pria dewasa itu membungkukkan badan menyambutnya. "Om kenapa baru ke sini? 'Kan, Roma kangen."Juna tersenyum lebar melihat bibir mungil itu mengerucut. Tangannya terangkat mengacak sayang poni rata gadis kecil berusia sembilan tahun itu. Memang sudah hampir sebulan ia tidak berkunjung ke rumah sahabatnya, dan selama itu juga tidak bertemu dengan Roma, gadis kecil yang selalu mengingatkannya kepada Diva.Bukan karena kesamaan fisik, melainkan sifat Roma yang sedikit banyak mirip dengan almarhumah kekasihnya. Satu lagi, Roma lahir beberapa bulan setelah kematian Diva."Om kamu itu sibuk, nggak cuman ngurusin kamu, ya, Ro!" Helen yang menyahut. Sebagai seorang sahabat, dia mengerti bagaimana sibuknya Juna. Ke sana kemari, Juna hampir tidak pernah berdiam diri. Dia tahu, Juna sengaja menyibukkan dir

Bab terbaru

  • Remember Me, BE!   Extra Part

    Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s

  • Remember Me, BE!   Bab 134. The Wedding (END)

    Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da

  • Remember Me, BE!   Bab 133. Juna Posesif

    Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons

  • Remember Me, BE!   Bab 132. Keputusan Akhir

    Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di

  • Remember Me, BE!   Bab 131. Restu

    "Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam

  • Remember Me, BE!   Bab 130. Hilda Pelakunya

    Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas

  • Remember Me, BE!   Bab 129. Penyesalan

    Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah

  • Remember Me, BE!   Bab 128. Tentang Teman dan Hilda

    Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p

  • Remember Me, BE!   Bab 127. Terungkap

    Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop

DMCA.com Protection Status