"Xuanqing apa kau akan pergi cukup lama?" Tanya Jinsi yang ada dibelakang Xuanqing.
Kini mereka berdua ada didalam kamar utama kediaman. Xuanqing tengah menulis surat dan juga mempersiapkan barang yang akan dia bawa ke Ibu Kota. Pemimpin Keluarga Ye itu tidak bisa terus menghindar dari perintah Ibu Suri, karena itu hari ini juga dia putuskan untuk kembali. "Tidak akan lama, ku harap Ibu Suri tidak banyak mencecar hasil pekerjaan ku." Xuanqing membalikkan badannya dan tersenyum ke arah Jinsi. Xuanqing menggandeng tangan Jinsi dan membawanya duduk. Kondisi perempuan itu masih belum stabil, jadi Xuanqing benar-benar memperlakukannya layaknya barang pecah belah. Dia begitu hati-hati terhadap perempuan yang dia bawa dari Sungai Qilin itu. "Jinsi, selama aku pergi kau tetaplah berada dikediaman. Dengarkan apa kata tabib, dan—" Ucapan Xuanqing langsung terpotong, hal itu terjadi karena Jinsi yang menaruh jari telunjuk dibibir Xuanqing. "Kau terlalu banyak bicara suami ku, tentu saja aku akan tetap berada di kediaman. Ini adalah rumah kita, jadi aku akan menunggu mu kembali di sini. Aku juga akan mendengarkan perkataan tabib dengan baik, ku harap saat kau kembali aku sudah pulih. Jadi bisa menyambut kedatangan mu nanti," ucap Jinsi dengan polos. Dada Xuanqing rasanya nyeri saat mendengar kata-kata penuh ketulusan dari perempuan didepannya itu. Rasa penyesalan menyeruak didalam hatinya, tapi ada kepentingan pribadi yang jauh lebih besar dari rasa penyesalannya. Satu-satunya hal yang bisa Xuanqing lakukan saat ini hanyalah memperlakukan Jinsi dengan baik. Membohongi perempuan itu rupanya membuat Xuanqing semakin gusar. "Perempuan sebaik dirimu harus menjadi korban keegoisanku. Maafkan aku Nona Jinsi," batin Xuanqing menjerit. Akan tetapi diluar hatinya, Xuanqing tetap bersandiwara. Dia tersenyum manis menanggapi perkataan Jinsi. Xuanqing meraih tangan Jinsi yang semula bertengger di bibirnya lalu menggenggamnya erat. "Aku tahu kau pasti akan menurut," balas Xuanqing. Kemudian dia mengeluarkan kotak kayu yang sebelumnya telah dia siapkan. Xuanqing membukanya, dari sana ada sebuah tusuk konde yang terbuat dari tembaga dan juga giok berkualitas tinggi. Ye Xuanqing memasangkan tusuk konde tersebut ke tatanan rambut Jinsi. Perempuan itu terkejut, dia memandang Xuanqing dengan penuh tanda tanya. "Apa ini suami ku?" tanyanya, tangannya menyentuh tusuk konde itu pelan. "Ini hanya pemberian kecil dariku. Ada sedikit sihir pelindung juga didalamnya, itu akan sangat berguna bagimu. Iblis, setan atau bahkan siluman tidak akan bisa melukai mu." Xuanqing mengatakan hal yang jujur. Jinsi mengangguk paham, Xuanqing kemudian bertepuk tangan dua kali. Itu merupakan kode yang diberikan kepada pelayan yang ada dikediaman. Setelahnya ada seorang pelayan wanita yang masuk, dia segera membungkukkan badannya begitu melihat Jinsi dan Xuanqing. "Salam Tuan Adipati, dan Nyonya Muda." Xuanqing mengangguk samar menerima salam itu. Kemudian atensinya tertuju pada Jinsi sepenuhnya. "Jinsi, ini adalah Zenni dia adalah pelayan pribadi mu. Selain itu dia juga bisa bela diri jadi bisa sekalian melindungi mu dari dekat," ucapnya. "Terimakasih suami ku, kau sangat baik." Jinsi tersenyum manis. "Kalau begitu aku berangkat sekarang, kau baik-baik lah di kediaman." Xuanqing bangkit dari duduknya. Setelah berpamitan Ye Xuanqing berserta para rombongan pemburu siluman bertolak menuju Ibu Kota Kekaisaran Sheng. Butuh waktu paling cepat dua hari untuk sampai ke Kota Fanlan. Sebab jarak Ibu Kota dengan Kota Shinjing cukup jauh. Tepat saat matahari diatas kepala, Xuanqing dan para rombongannya tiba di Kota Fanlan. Ye Xuanqing ditemani oleh Fen Rou dan juga Ming Tian segera masuk ke istana Kekaisaran Sheng. "Adipati, apa yang akan anda katakan soal perburuan siluman itu? Kita bahkan tidak menangkap semua siluman yang ada, apalagi meratakan Gunung Jiaguan. Ini benar-benar jauh dari perintah Ibu Suri," bisik Fen Rou dengan gelisah. Saat ini mereka bertiga memang tengah berjalan menuju ruang pertemuan dimana Ibu Suri berada. "Tenang saja, aku sudah mengurus semuanya. Asalkan Ibu Suri tidak datang langsung ke Gunung Jiaguan semuanya akan baik-baik saja," jawab Xuanqing dengan nada yang sama lirihnya. Begitu pintu besar dari kayu terbuka, Xuanqing dan juga dua rekannya bisa berhadapan langsung dengan Ibu Suri Kekaisaran Sheng. Dibalik tirai dengan manik-manik terbaik itu lah seorang Ibu Suri kekaisaran duduk, dialah Zhao Weini. "Seluruh kemurahan tertuju pada anda Ibu Suri!" Ye Xuanqing, Fen Rou, dan Ming Tian kompak memberi salam dengan membungkukkan badan. "Kalian para pemburu siluman, tentu sudah tahu apa tujuan ku memangil kalian ke mari bukan?" Tanya Zhao Weini dengan nada yang dingin. Tatapannya sepenuhnya tertuju pada Ye Xuanqing yang berdiri di jarak lima meter dihadapannya. Xuanqing yang menjadi pemimpin pun mengangguk. "Tentu saja Ibu Suri, maaf atas keterlambatan kami." Zhao Weini menghela nafas berat, dia kemudian berhenti menggunakan kipas lipatnya. Kipas itu ditutup dengan keras hingga menimbulkan suara yang nyaring di seluruh penjuru ruangan. "Hah! Ye Xuanqing, ini adalah kali pertama kau membuatku menunggu cukup lama. Perburuan siluman selesai sejak pekan lalu, tapi kenapa kau baru menghadap ku. Sebenarnya apa yang terjadi di Gunung Jiaguan?" Tanya Zhao Weini dengan geram. Ye Xuanqing mengangkat kepalanya dia menatap lurus ke arah Ibu Suri. Ini merupakan tindakan yang cukup berani dan tidak bermoral. Di kekaisaran sikap seperti itu tidak diperbolehkan, tapi siapa yang berani memprotes Xuanqing? "Aku punya alasan untuk itu Ibu Suri, keterlambatan ku tidak ada hubungannya dengan perintah perburuan siluman." Kening Zhao Weini berkerut dalam, dia tidak bisa menebak apa yang dimaksud Xuanqing. "Lalu, apa yang terjadi?" tanyanya bermaksud mendesak. "Aku hanya tinggal lebih lama di kediaman ku yang lain. Jika anda bertanya dimana, maka jawabannya aku berada di Kota Shinjing beberapa hari terakhir." Xuanqing menjelaskan dengan tenang. Mendengar itu Zhao Weini justru tersenyum mengejek. "Ah apa ini karena perempuan yang kau sebut istri itu?" "Rupanya kabar itu sudah sampai ke telinga anda, syukurlah jika Ibu Suri sudah tahu." Xuanqing menanggapinya dengan santai. Padahal dia sadar betul apa yang dia lakukan pasti akan memantik amarah wanita didepannya ini. "Ye Xuanqing, aku memerintahkan kau untuk memburu semua siluman dan meratakan Gunung Jiaguan. Bukan untuk mengunjungi perempuan yang kau panggil istri itu! Lagi pula harusnya kau ingat kalau aku menganugerahkan pernikahan untuk mu dan Tuan Putri Daiyan!" Zhao Weini berteriak keras, dia sudah kehabisan kesabaran. Bahkan dia sampai harus berdiri. Melihat kemarahan Ibu Suri tidak membuat Ye Xuanqing gentar. Dia masih saja berdiri dengan tegap dan tenang tanpa bergeser sedikit pun atau bahkan mengalihkan pandangannya. Padahal Fen Rou dan Ming Tian sudah was-was saat ini. Mereka takut murka Ibu Suri justru akan menyulitkan Ye Xuanqing yang merupakan pemimpin keduanya. "Perintah perburuan siluman sudah aku lakukan Ibu Suri, anda tidak perlu khawatir." Xuanqing tetap tenang memberikan jawaban. Sang Adipati Muda itu juga sengaja memberikan jeda pada jawabannya. "Lalu untuk anugerah pernikahan, aku dengan tegas menolaknya. Aku Ye Xuanqing menolak untuk menikah dengan Tuan Putri Daiyan!" Salah satu alasan Xuanqing membuat skenario bahwa dirinya telah menikah dengan Jinsi adalah untuk menghindari anugrah pernikahan ini. Ye Xuanqing sadar betul tujuan Ibu Suri ingin menikahkannya, itu demi mengawasi Xuanqing dari jarak dekat. Sebelum mendengar Zhao Weini berbicara lagi, Xuanqing lebih dulu berujar lantang. "Tujuan anda memanggil kami untuk mendapatkan hasil pemburuan siluman bukan? Maka aku katakan semuanya dengan lengkap Ibu Suri," imbuh Xuanqing. "Apa kau bisa membuktikan kalau kau sudah melakukan perintah ku dengan baik Ye Xuanqing?" tanya Zhao Weini menelisik. Ye Xuanqing sudah menebak hal ini, dia hanya tersenyum mendengar todongan pertanyaan seperti itu. "Tentu saja!" —Bersambung—Mata Xuanqing mengedip sebentar, seiring dengan senyuman penuh arti yang muncul di wajahnya. "Kalau begitu tunjukkan, tapi jika kau gagal memenuhi apa yang aku inginkan. Kau harus tetap menikahi Tuan Putri Daiyan!" Ibu Suri Zhao Weini berkata tegas. Wanita dengan sanggul rambut yang tinggi berhiaskan berbagai perhiasan dan giok mahal itu menatap remeh ke arah sang Adipati Muda. Fen Rou dan Ming Tian sudah keringat dingin, mereka yang berdiri dibelakang Xuanqing pun saling tatap. Seolah-olah tengah berdiskusi tentang nasib Tuan mereka saat ini. Sebab keduanya tahu, apa yang diinginkan Ibu Suri Zhao Weini tidak dapat dipenuhi oleh Ye Xuanqing. "Baiklah, tapi jika aku bisa menunjukkan hasil pekerjaan ku. Kau harus membiarkan ku hidup tenang," balas Xuanqing penuh teka-teki. Ibu Suri Zhao Weini diam sebagai bentuk persetujuan. Kemudian Xuanqing mengeluarkan Pagoda Penahan Sembilan Siluman dari balik hanfu hitam yang kini tengah dia kenakan. Pria itu menunjukkan benda pusaka milik Kelu
"Ada baiknya ayah tetap tenang sampai tujuan ku tercapai. Ini semua demi kepentingan ku dan juga rakyat Kekaisaran Sheng," ucap Ye Xuanqing dengan tenang. Saat ini sang Adipati Muda dan Tuan Besar Ye tengah berbincang di salah satu paviliun kediaman besar keluarga Ye. "Xuanqing, seharusnya kau ingat pesan mendiang ibu mu. Jangan pernah mengorbankan orang lain demi kepentingan pribadi." Ye Qingyu bicara dengan nada yang lebih tenang meski masih tetap saja tegas. Ye Xuanqing memalingkan wajahnya ke arah taman bunga, wajah mendiang ibunya kembali terlintas diingatan berkat ayahnya yang menyebut kembali perihal sang ibu. "Aku tidak pernah lupa nasihat Ibu, tapi untuk kali ini aku terpaksa melanggarnya.""Termasuk dengan mengorbankan hidup seseorang?" tanya Ye Qingyu dengan wajah yang serius. Hal itu tentu membuat Xuanqing terdiam, dia segera menyangkal hal tersebut. "Tentu saja tidak ayah!" Xuanqing dengan tegas mengelak. Ye Qingyu lalu tersenyum tipis, dia sempat minum teh yang ter
"Fen Rou, siapkan kereta kuda. Kita akan kembali ke Kota Shinjing besok pagi!" Perintah Ye Xuanqing ketika hampir tengah malam. Fen Rou mengerjapkan matanya, berusaha tetap tenang meski terkejut dengan perintah Ye Xuanqing yang terkesan terburu-buru. "Besok pagi? Bukankah kita baru saja tiba di Kota Fanlan hari ini Adipati. Apa tidak terburu-buru?" Ye Xuanqing yang tengah berjalan langsung berhenti, dia menoleh ke arah Fen Rou yang berdiri dibelakangnya. "Oh rupanya kau masih ingin berada di Ibu Kota rupanya. Tidak masalah, aku akan pergi sendiri.""Bu-bukan begitu Adipati! Saya hanya merasa anda terlalu memaksakan diri, anda baru saja melakukan perburuan siluman besar-besaran. Jadi saya pikir anda perlu beristirahat lebih dulu di sini," jelas Fen Rou yang tidak mau Xuanqing salah paham. "Aku tidak perlu berlama-lama berada di Kota Fanlan. Lagi pula, di sini masih ada ayahku yang bisa mengurus tugas seorang Adipati. Aku akan pergi ke Kota Shinjing untuk melakukan penyelidikan," u
"Tapi Tuan Adipati, semua ini tidak penting. Kita hanya perlu membuat Nyonya Muda sadar terlebih dahulu. Baru setelah itu anda bisa menghukum saya atas kelalaian ini." Tuan Hao memohon. Ye Xuanqing hanya bisa mengangguk, dia kemudian memberi waktu pada Tuan Hao untuk memberikan pengobatan. Adipati Muda itu juga secara khusus meminta para anak buahnya membantu Tuan Hao mencari penawar untuk obat tersebut. "Jadi Nona Jinsi mengalami efek samping dari Mochus?" Fen Rou yang memang tengah menemani Ye Xuanqing pun terheran-heran. Saat ini keduanya memang tengah menunggu kabar keselamatan Jung Jinsi. Mereka berdua ada di depan kamar utama kediaman. Ye Xuanqing mengangguk singkat, sebab memang begitulah adanya. Beberapa pemeriksaan sudah dilakukan, dan hasilnya tetap sama. Jung Jinsi tidak sadarkan diri karena penggunaan kantung sekresi kijang atau mochus. "Ya, aku juga heran kenapa ada manusia yang bisa mengalami efek samping dari mochus." "Biasanya mochus digunakan untuk bahan baku pe
"Adipati!" Satu panggilan membuat Ye Xuanqing yang baru saja keluar dari kamar utama kediaman menoleh ke sumber suara. Rupanya Ming Tian lah yang datang padanya malam ini. "Ada apa Ming Tian?" tanya Ye Xuanqing dengan nada yang tenang. "Maaf Adipati, tapi saya hendak menemui Fen Rou. Hanya saja sejak tadi saya tidak menemukannya di mana pun," jelas Ming Tian dengan sopan. "Coba kau cari dia di kamarnya, jika tidak ada tandanya kau harus pergi ke rumah Tuan Hao. Ku rasa Fen Rou ada di sana malam ini," jelas Ye Xuanqing. "Baik Adipati, kalau begitu saya pamit." Setelah mengatakan itu Ming Tian undur diri dan benar-benar pergi menuju rumah Tuan Hao. Perlu berjalan kaki cukup jauh dari kediaman Ye Xuanqing ke rumah Tuan Hao, karena itu Mung Tian berjalan dengan langkah yang lebar-lebar. Disepanjang jalan, Ming Tian menyadari ada kejanggalan di Kota Shinjing. Pria itu berjalan kaki belum pada jam malam, tetapi suasana kota sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa penduduk yang masih te
"Lancang sekali bicara mu Fen Rou!" tegas Ming Tian yang sudah benar-benar tidak tahan. Dia juga sudah menarik pedang dari sarungnya, bersiap untuk menyerang rekannya sendiri malam ini. Fen Rou yang melihat itu pun tersentak, sejak dulu Ming Tian tidak pernah mengarahkan pedang ke arahnya. "Ming Tian apa kau akan menyerang ku karena masalah ini?" tanya Fen Rou hati-hati. "Jika kau membuat masalah untuk Adipati, tentu aku akan menyerang mu tanpa ragu!" Ming Tian bertekad, dia sudah mengeluarkan pedangnya dan melakukan kuda-kuda. Dia sudah siap menyerang Fen Rou yang ada dihadapannya. "Ming Tian, kita sama-sama memiliki kesetiaan kepada Adipati Muda. Apa yang aku lakukan juga bagian dari kesetiaan ku," ucap Fen Rou dengan tenang. Pria dengan janggut tipis itu tetap tenang dan tidak terprovokasi meski Ming Tian sudah mengeluarkan pedang dari tempatnya. "Kesetiaan apa yang kau bicarakan Fen Rou? Perbuatan mu tadi bisa saja membawa masalah bagi Adipati Muda. Jika terjadi hal buruk pa
Hujan deras dan angin kencang terjadi selama semalam suntuk. Ye Xuanqing yang memang menunggu kedatangan mayat pun sudah memiliki firasat yang buruk. "Adipati, mayat tadi sudah dipindahkan ke ruang pemeriksaan. Beberapa koroner juga sudah siap membantu anda melakukan penyelidikan." Salah satu anggota Departemen Kehakiman setempat memberitahu Ye Xuanqing. Sang Adipati pun mengangguk tanda mengerti, dia menghela nafas panjang terlebih dahulu sebelum melanjutkan kegiatannya. "Kalau begitu, tolong tunjukkan jalannya." Ye Xuanqing bersiap berjalan. "Baik."Ye Xuanqing kemudian diarahkan ke ruang 'Yinwu Shi' yaitu ruangan yang digunakan khusus untuk menyelidiki kematian, melakukan otopsi dan pemeriksaan forensik. Disampingnya ada ruangan untuk menyimpan mayat yang sudah selesai diidentifikasi. "Silahkan, Adipati."Sang Adipati masuk, di sana rupanya sudah ada seorang koroner yang cukup akrab dengannya. Ye Xuanqing tersenyum menyapa pria tersebut. "Anda benar-benar langsung datang ma
Jung Jinsi pagi ini masih harus mendapatkan perawatan dari Tabib Hao. Perempuan dengan warna mata coklat terang itu tengah duduk menunggu Tuan Hao menyelesaikan pekerjaan untuk menumbuk beberapa obat. “Silahkan Nyonya Muda.”Tuan Hao memberikan obat herbal untuk Jung Jinsi minum. Lalu dia berdiri didekat perempuan itu. Sementara di sisi kanan ranjang, tempat Jinsi duduk masih ada Zenni yang setia menemaninya. “Terimakasih Tuan Hao,” jawab Jinsi sembari tersenyum ramah. “Nyonya Muda, saya mohon izin untuk memberi saran pada anda.” Tuan Hao tampak hati-hati dalam berbicara. Jung Jinsi sadar akan hal itu, dia menoleh pada Zenni. “Zenni, aku ingin bicara empat mata saja dengan Tuan Hao. Bisakah kau menunggu didepan pintu saja?”Zenni sempat bersitatap dengan Tuan Hao, dia menelisik sekilas. Lalu pandangannya segera beralih pada Jung Jinsi yang masih duduk diatas ranjang. “Baik Nyonya Muda, panggil saya jika anda memerlukan sesuatu.”“Tentu saja,” balas Jinsi. Setelah itu Ze
“Kau sungguh tidak mengingatnya? Dia saudari mu, Jing Qian mengatakan kalau kalian keluarga siluman rubah yang menetap di Gunung Jiaguan.”Ye Xuanqing mengulang kembali penjelasan yang diberikan oleh Jing Qian padanya. Hawa dingin merambat di sepanjang tulang punggungnya, bukan karena suhu udara, melainkan karena sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertemuan dengan Jing Qian. Saat ini mereka jugab Sudha masuk ke dalam ruang tamu bangunan kediaman.“Apa yang sebenarnya kau ketahui tentang perempuan itu?” Jung Jinsi bertanya dengan nada terkontrol, tetapi ada ketegangan yang kentara di matanya.Ye Xuanqing menghela napas pelan, seolah menyusun kata-kata yang tepat sebelum berbicara. “Jing Qian... dia bukan sembarang siluman rubah. Dia memiliki tujuh ekor, menandakan usianya yang panjang dan kekuatan yang luar biasa. Tapi yang lebih mencurigakan bukanlah kekuatannya, melainkan klaimnya sebagai saudarimu.”Jung Jinsi mengepalkan tangannya. “Aku memang memiliki seorang saudari, tapi a
MEMULAI DARI AWAL?Fajar di gunung belakang kediaman keluarga Ye terasa sunyi, hanya ditemani cahaya matahari yang bersinar samar dan lembut menyinari pepohonan yang menjulang tinggi. Di antara kabut tipis yang menyelimuti hutan, Ye Xuanqing melangkah perlahan dengan hati penuh keraguan. Hembusan angin membawa aroma bunga liar yang bercampur dengan hembusan napasnya yang berat. Ia menggenggam erat kantong kecil berisi makanan hangat yang baru saja ia buat sendiri.Di sebuah batu besar di tengah hutan, seorang perempuan cantik duduk dengan anggun. Jung Jinsi, perempuan siluman rubah berekor sembilan, mengenakan jubah merah yang berkibar lembut tertiup angin. Mata emasnya yang tajam menatap lurus ke arah Ye Xuanqing, seakan mampu menembus isi hatinya."Apa yang kau lakukan di sini, Xuanqing?" suara Jung Jinsi terdengar datar, tanpa emosi.Ye Xuanqing menarik napas dalam sebelum menjawab, "Aku datang untuk menemuimu, Jinsi. Aku ingin bicara... ingin memperbaiki kesalahanku."Jung Jinsi
Kabut tebal menyelimuti pinggiran kota Fanlan. Bulan pucat menggantung lesu di langit, menerangi rumah-rumah reyot yang tampak lebih muram dari biasanya. Di kejauhan, suara lolongan anjing liar menggema, seakan memberi peringatan bahwa sesuatu yang berbahaya mengintai dalam gelap.Di dalam sebuah bangunan tua yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun, Ye Xuanqing berdiri dengan ekspresi tajam. Matanya yang dingin menatap peta yang terbentang di atas meja kayu. Di sekelilingnya, beberapa pengawal berjaga dalam diam.Kali ini mereka berdua sudah berada dipinggiran kota Fanlan, tepat setelah Ye Xuanqing mengobati lukanya sendiri akibat pertarungan denan Jing Qian.Ye Xuanqing dengan suaranya tenang, tapi mengandung ketegasan. "Fen Rou, kau tahu apa yang terjadi di pinggiran Fanlan, bukan?"Fen Rou: mengangguk mengiyakan, ekspresinya serius. "Ya, Adipati. Serangkaian perampokan terjadi dalam satu malam. Semua korban adalah saudagar kaya atau pemilik benda-benda berharga. Tidak ada jejak
Debu beterbangan di udara, bercampur dengan aroma darah dan bunga teratai hitam yang mulai memudar. Jung Jinsi berdiri tegak, napasnya memburu, pedang di tangannya berlumuran darah hitam pekat milik Hei Lian Hua. Siluman teratai hitam itu terhuyung, luka di tubuhnya terus mengeluarkan asap gelap.Jung Jinsi menyipitkan mata, melihat bagaimana Hei Lian Hua berusaha berdiri meski jelas tubuhnya tak mampu lagi menahan pertarungan lebih lama."Hei Lian Hua, permainanmu sudah selesai." Jung Jinsi menatap datar ke arah perempuan siluman itu.Hei Lian Hua justru tersenyum miring, darah hitam mengalir dari sudut bibirnya. Dia kemudian mengusap kasar darah hitam itu dengan punggung tangannya. "Hah! kau pikir kau sudah menang, Jung Jinsi? Heh… Aku bukan seseorang yang bisa dikalahkan dengan mudah."Tiba-tiba, angin kencang berhembus. Langit yang tadinya berwarna merah saga berubah gelap seketika. Aura mencekam menyelimuti tempat itu, membuat Jung Jinsi spontan bersiap dalam posisi b
Di bawah cahaya bulan yang pucat, angin berembus dingin di lembah gunung belakang kediaman Keluarga Ye. Aroma tanah basah bercampur dengan jejak darah yang telah mengering, menjadi saksi bisu atas pertarungan yang baru saja berakhir. Jing Qian berdiri, matanya berkilat-kilat menatap sosok di hadapannya—Ye Xuanqing.Mata rubah ekor tujuh itu memerah, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga kesedihan yang membuncah di dadanya. Napasnya terengah, dadanya naik turun menahan dendam yang berkecamuk.Di hadapan Jing Qian, Ye Xuanqing berdiri tegak dengan jubah berbulunya masih bernoda darah akibat pertarungan tadi.Jing Qian berteriak, suaranya penuh kemarahan dan kesedihan. "Ye Xuanqing! Kau berdiri di sini dengan wajah tak berdosa, seolah-olah kau bukan penyebab kehancuran Gunung Jiaguan! Kau... kau telah membunuh ayahku!""Jing Qian... aku tidak—"Suara Ye Xuanqing melemah, dia ingin segera menjelaskan tapi mendengar korban dari perburuan siluman tiga bulan lalu adalah ayah Jing Qian, y
Malam itu sepeninggal Ye Xuanqing, kabut tebal menyelimuti gunung belakang kediaman Keluarga Ye. Udara dingin berhembus, membawa aroma bunga yang samar, namun ada sesuatu yang janggal—bau teratai hitam yang menusuk, seperti racun yang merayap di udara.Jung Jinsi berdiri masih berdiri di bagian belakang kediaman, matanya tajam menyapu kegelapan di sekelilingnya. Meski dia ditahan di kediaman ini, tapi Jung Jinsi masih bisa bergerak bebas di gunung belakang, hanya saja tidak ada yang bisa melihat keberadaannya.Namun telinganya menangkap suara langkah ringan, terlalu halus untuk manusia biasa, namun cukup jelas bagi pendengaran siluman sekuat dirinya. Pandangannya kemudain tertuju pada hamparan kelopak bunga teratai yang mekar.“Dari mana kelopak-kelopak teratai ini muncul?” gumam Jung Jinsi menyadari keanehan."Akhirnya aku menemukan mu, Jung Jinsi."Dari balik pepohonan, seorang wanita muncul. Rambut hitam panjangnya berkilau di bawah cahaya bulan, dan di sekelilingnya, kelopak terat
Langit berwarna kelam, dihiasi awan gelap yang berputar perlahan, seakan menjadi saksi bisu pertarungan antara dua pendekar hebat. Di tengah lembah yang porak-poranda akibat benturan energi, Jing Qian terhuyung mundur, darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Matanya yang tajam menyipit, menatap lurus ke arah lawannya, Ye Xuanqing yang berdiri tegak dengan pedang Huoguang yang masih berkilau dengan cahaya merah membara.Jing Qian menggertakkan giginya. Tidak mungkin! Ia telah mengerahkan semua tekniknya, namun tetap saja kalah. Tubuhnya terasa berat, aliran energi dalam meridiannya berantakan. Namun yang paling mengejutkannya bukanlah kekalahannya, melainkan sesuatu yang baru saja ia sadari."Itu…" Jing Qian berusaha menarik napas, tangannya bergetar saat menunjuk pedang Huoguang. "Pedang itu… memiliki energi spiritual klan siluman rubah?!"Ye Xuanqing tertegun, sorot matanya menunjukkan rasa tidak percaya. "Tidak mungkin! Pedang Huoguang ini adalah pusaka turun-temurun Keluarga Ye.
Ye Xuanqing kembali memeluk Jung Jinsi sebentar, lalu dia mendorong tubuh Jung Jinsi. Belum sempat mencerna apa yang terjadi Jung Jinsi dibuat terbelalak kaget saat seluruh ruanagn diselimuti energi spirtitual milik Ye Xuanqing yang membentuk sebuah dinding pembatas.“Xuanqing apa yang kau lakukan?” geram Jung Jinsi, dia juga segera menyibak dinding itu dengan kekuatan silumannya. Tapi saying semuanya sia-sia, energi spiritual dari pemburu siluman tingkat lima tdiak bisa diremehkan.“Maaf Jinsi, tapia kau harus menahan mu di sini. Dinding pembatas ini akan membatasi mu dengan dunia luar, orang-orang di luar dinding ini tidak akan pernah bisa melihatmu. Aku tahu ini egosi, tapi aku sangat khawatir, siapa yang bisa menjamin kalau kau akan baik-baik saja selama aku pergi?” Ye Xuanqing berkata penuh penyesalan. Tapi dia tetap menyelesaikan usahanya membentuk dinding perisai untuk melindungi sekaligus menahan Jung Jinsi didalam sana.“Xuanqing lepaskan aku, Xuanqing!” teriak Jung Jinsi yan
Jung Jinsi memandang Ye Xuanqing dengan mata yang penuh dengan luka. Hatinya terasa seperti dihujam oleh ribuan duri. Angin malam berhembus lembut, tapi rasanya seperti badai di dalam dirinya. Perasaan yang dulu ia anggap cinta, kini terasa seperti sebuah tipuan besar. "Jadi... semua ini hanya kebohongan?" tanya perempuan siluman itu dengan suaranya terdengar bergetar, penuh penyesalan yang tak terucapkan. "Kau—kau bukan suamiku? Semua kata-katamu, semua tindakanmu yang begitu penuh perhatian, itu semua hanya... sandiwara?" Ye Xuanqing menundukkan kepala, tak mampu menatapnya. Tak ada kata yang bisa melegakan kebisingan hati mereka berdua. Jung Jinsi menahan air mata yang hampir tumpah, tapi rasa sakit itu terlalu dalam untuk disembunyikan. "Selama ini, aku mengira kita—" Ia terhenti, kata-katanya tersendat. "Aku mengira kita saling mencintai, bahwa kita adalah pasangan suami istri yang bahagia. Kau selalu membuatku merasa aman, membuatku percaya bahwa aku punya tempat di dunia i