“Ha? Pasar malam?” tanya Katha setelah mobil berhenti. Dia terkekeh, kemudian melepas seat belt. “Gila. Kapan ya, gue terakhir ke pasar malam?”
Rabu mengulas senyum. Dia suka melihat raut Katha yang jauh lebih menyala kali ini. Karena kasus Shae, istrinya itu lebih banyak terlihat murung. Auranya jadi banyak negatifnya. Maka dari itu, tiba-tiba saja tadi sewaktu bekerja dia kepikiran untuk bawa Katha ke pasar malam.
“Masih inget nggak pertama kali lo ajak gue ke pasar malam?” tanya Katha. Matanya berbinar di dalam keremangan mobil.
“Inget,” sahut Rabu. Dia tertawa kala kenangan itu melintas lagi di kepalanya.
“Kalau diingat sekarang, malu banget, Bu.” Katha tertawa nyaring. “Bisa-bisanya gue sok jijik gitu, ya.”
Dulu saat pertama Rabu mengajak Katha ke pasar malam sewaktu masih tinggal di Malang, Katha memang pernah marah-marah. Hari itu kebetulan hujan deras. Jadi sewaktu mala
“Gue bisa pulang ke rumah, Tha,” ujar Shae dari kursi belakang. Katha menoleh, lalu menggelengkan kepala. “Udah, pokoknya lo tinggal sama kita,” ujar Katha. Shae memang pagi ini keluar dari rumah sakit. Berhubung ini hari Minggu, jadi Rabu dan Katha bisa menjemput Shae bersama. Dan atas keputusan Katha, dia ingin Shae tinggal bersamanya dan Rabu sampai waktu yang tidak ditentukan. “Rumah lo masih perbaikan.” Rabu angkat bicara. “Theo memang udah dalam proses hukum dan sedang ditahan. Tapi, ada di rumah itu nggak akan bikin kondisi lo membaik.” Shae menghela napas kasar, kesal karena apa yang dibilang Rabu benar adanya. Bahkan saat memejamkan mata, dia bisa ingat jelas bagaimana perlakuan Theo padanya, juga saat Rendra tertusuk pisau. “Rendra ada nemuin lo lagi?” tanya Rabu setelah keheningan beberapa menit. Katha otomatis menengok ke belakang, dan Rabu menoleh dari spion tengah mobil. Shae menggelengkan kepala. “Nggak. Dia ngga
“Eh, Sha?” Katha otomatis berdiri dari posisi duduknya. Sementara Langit menatap waspada. Khawatir kalau Shae mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, dan jadi tersinggung. Shae melebarkan matanya. “Kalian tau apa yang barusan gue lihat?” tanyanya. Langit dan Katha seketika mengernyit. ‘Lihat’ artinya Shae tidak mendengar pembicaraan mereka. Maka diam-diam mereka menghela napas lega Sedangkan Rabu sejak tadi tenang. Dia terlalu lemas untuk ikut berbicara sebab terlalu lama menahan lapar. “Apa?” tanya Langit akhirnya, memecah suasana hening yang sebetulnya dirasa canggung olehnya dan Katha. “Habis dari toilet, gue kayak lihat Sakha,” ujar Shae. “Tapi aneh deh. Dia kayak merhatiin sekitar banget. Kayak lagi waspada,” lanjutnya. Ucapan itu seketika membuat Langit dan Shae saling berpandangan. Apa yang mereka berdua sembunyikan, ternyata akhirnya dilihat juga oleh Shae. Lalu, ekor mata Katha berusaha melihat Rabu. Lelaki itu yang semula cuek, k
“Udah hilang sebelnya?” tanya Rabu saat turun dari mobil. Katha yang sudah lebih dulu turun akhirnya mengangguk. “Capek juga diteror,” jawabnya. Rabu terkekeh. Lalu berjalan bersama Katha masuk ke rumah. Begitu pintu terbuka, ada aroma sedap yang tercium. Keduanya refleks langsung menuju dapur usai mengucap salam. “Wih, gila banget,” komentar Katha ketika melihat Shae memakai celemek di dapur. Shae menoleh dengan mata terbelalak. “Kalian udah pulang?” tanyanya sambil melirik jam dinding yang ada di dapur. Jam masih menunjukkan pukul tiga sore, tapi keduanya sudah pulang dari kantor. Sebuah keadaan yang cukup aneh. “Kalian ada masalah?” tanyanya. Seketika Katha memutar matanya malas. “Masalahnya elo, nih,” ujarnya sambil menyodorkan tas karton berukuran kecil. “Apa ini?” tanya Shae dengan kening berkerut. “Handphone,” jawab Katha. Karena Shae tak kunjung mengambil alih tas karton itu dari tangannya, akhirnya dia letakkan tas itu
“Gue mau jenguk Rendra.” Berbekal kalimat itu, kini Katha, Rabu dan Shae berada di rumah sakit. Mereka berjalan menyusuri lorong bersama. Di tangan Shae, ada paper bag yang isinya satu kotak sop ayam yang dibuatnya tadi. “Gue sama Rabu nunggu di sini, ya,” ujar Katha ketika mereka sampai di depan ruangan Rendra. “Kata dia juga Tante Rena lagi nggak ada. Jadi, gue tenang lepas lo berduaan dia doang di dalam.” Shae tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih. Setelah itu dia membuka pintu ruang rawat Rendra. Rabu lagi-lagi mengusap rambut Katha. “Good girl,” ujarnya. “Kita tunggu di lorong, yuk!” ajaknya kemudian. Sayangnya Katha menggeleng. “Gue mau nunggu di luar. Rumah sakit nggak pernah enak buat dikunjungi.” Rabu terkekeh, lalu mengangguk. Dia akhirnya membawa Katha ke bagian depan rumah sakit. Mereka duduk di bangku yang tidak jauh dari pitu UGD. Terlihat di sana tidak sesibuk yang Katha lihat sewaktu membawa Rendra ke sini. “
Sakha menyadari tatapan Rabu yang berubah menajam. Dia kemudian dengan sengaja menahan tangan Katha yang masih ada di keningnya. "Eh, masih panas, ya?" tanyanya pura-pura heran. Bahkan dia mengernyit. Katha mengangguk. "Kamu kenapa emangnya?" Dia tanpa sadar masih membiarkan tangannya berada di bawah telapak tangan Sakha. "Kecapekan kayaknya. Tadi aku pingsan di kantor, terus dibawa ke sini," jawab Sakha sambil melirik Rabu yang matanya fokus pada dirinya. Dia tertawa tertahan, lalu melepaskan tangannya dari tangan Shae. Menyadari Sakha menahan tawa, Katha kini merasa heran sekaligus jengkel. "Kamu tuh gimana, sih? Kabur, ya, padahal belum dikasih pulang sama dokter?" tanyanya curiga sambil menjauhkan tangannya dari dahi Sakha. Sakha akhirnya tertawa. Dia mengangguk, lalu berbisik, "Katanya aku harus dirawat, dan harus cek lab. Takutnya tifus." Katha tak bisa menahan diri dari memukul lengan Sakha. Hal yang selalu dia lakuk
Sudah beberapa hari sejak Shae bekerja di salah satu toko Rabu. Keadaannya jauh lebih baik dalam suasana baru itu. Bahkan sikap usil dan bar-barnya mulai muncul kembali. Dia juga sudah memantapkan hati untuk menjebloskan Theo ke penjara, agar kakaknya itu jera. Ya, meski prosesnya panjang dan rumit, Rabu meyakinkan Shae bahwa dia dan Katha akan saling membantu.Namun, lain halnya dengan Shae yang sudah membaik, justru Katha yang berulang kali gusar. Dia masih tidak bisa menerima sahabatnya keluar dari pekerjaan yang menurutnya baik dan menjanjikan. Apalagi posisi Shae sudah bisa dibilang stabil di perusahaan itu."Kayaknya dia mau protes lagi, deh, Bu," ujar Shae sambil menunjuk Katha yang tidak bisa menyembunyikan ekspresi penasarannya bila mereka bertiga berkumpul seperti hari ini.Sekarang memang sudah jam enam sore, jam di mana Katha benar sudah seharusnya di rumah, dan Rabu mengikuti. Sedangkan Shae sudah pulang sejak jam lima sore. Rabu sengaja membiarkann
Celetukan yang baru saja disampaikan Agung langsung menarik semua atensi orang yang ada di ruang makan. Sedangkan dua orang yang dijadikan objek, terbelalak, tidak menyangka akan diserang, bahkan sebelum—lebih tepatnya hendak—makan malam dimulai.Bahkan Dewi yang baru masuk ke ruang makan pun langsung heran dengan topik yang diangkat suaminya. Namun, dia berpikir bahwa apa yang diucapkan suaminya itu tidaklah salah.“Kalau Mama sih, setuju,” ujar Dewi akhirnya. Dia mengambil piring kosong, lalu mengisinya dengan nasi.Mendengar persetujuan mamanya, Kandara langsung protes. “Ma ….”“Nah, kan? Menurut Mama itu ide yang bagus, kan? Lagian kalian sama-sama nggak punya pasangan.” Agung berkata cerita. Dia kemudian menerima piring yang sudah diisi berbagai lauk.Katha yang menyadari itu, langsung berdiri dan mengisi piring Rabu sebelum diprotes papanya. Tanpa menanyakan lauk apa yang ingin dimakan Ra
Percakapan panas di meja makan akhirnya padam juga. Ternyata Dewi hanya pura-pura tahu siapa yang sedang dibicarakan Katha hanya agar Kandara mau jujur. Namun, strateginya tetap gagal, hingga akhirnya percakapan itu lewat begitu saja.Kini Shae dan Katha sudah masuk ke kamar. Mereka memang menginap malam ini, sedangkan Rabu memilih pulang. Tidak enak juga kalau keluarga Katha melihat Katha tidur dengan sahabatnya, sedangkan Rabu tidur di kamar tamu. Maka untuk menghindari itu, Rabu beralasan bahwa dia harus mempersiapkan materi untuk presentasi di depan klien besar besok.“Sha, gue mau ngomong hal serius deh sama lo. Kita pillow talk, yuk!” ajak Katha. Dia sudah berbaring di tempat tidur, dan baru saja meletakkan gawai di atas nakas.Shae yang tadinya duduk di depan meja rias mengoleskan beberapa krim perawatan diri, akhirnya bangkit dan berbaring di samping Katha.“Kasiha Rabu. Gara-gara gue dia nggak bisa tidur bareng lo,” gurau
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya