-Ayra terancam. Setelah semalaman dikunci di dalam gudang, akhirnya Ajeng menyuruh Ayu membukakan pintu untuk Lastri. Tubuh Lastri penuh dengan luka lebam karena amukan Ajeng, Ajeng masih enggan menemuinya, ia masih dipenuhi amarah sekaligus rasa bersalah pada putri sulungnya itu. "BR*****K kamu Ayu,aku ini kakakmu tapi kamu berani melakukan ini padaku," ucap Lastri menyumpah pada Ayu, ia sangat marah mengingat apa yang dilakukan Ayu padanya kemarin. "Terus aku harus bilang WOOOW gitu ke kamu?" Ayu malah mengejek Lastri sebelum meninggalkannya, Lastri menatap marah ke arah punggung Adiknya itu, tubuhnya belum kuat berkelahi untuk saat ini. Lastri menuju kamarnya dengan tergopoh-gopoh karena sakit yang ia rasakan, ketika dia membuka pintu terlihat Romi sedang menelpon seseorang dengan sangat akrab, dia tertawa bahkan memanggilnya dengan sebutan sayang. Emosi Lastri tiba-tiba kembali meluap, bagaimana mungkin suaminya bisa berselingkuh disaat dia sedang disiksa dan dikurung dalam gu
-Kedatangan Om Malik. Aku memesan taksi untuk pulang, namun saat aku membuka layar Hp Ku begitu banyak Telepon dan pesan masuk, beberapa dari Mas Azka. Bahkan dia menelponku lebih dari dua puluh kali. Tak biasanya Mas Azka seperti ini, aku menggumam dalam hati. Setelah memesan taksi aku berniat menelpon balik Mas Azka tapi Hpku malah mati total, batraiku habis dan aku lupa menchargenya tadi. Kedatangan Mas Romi yang tiba-tiba membuat jantungku berdebar sangat kuat, aku benar-benar tak tau apa yang membuat mereka sekeluarga ingin melukaiku. Bukankah masalah bersumber dari Kak Lastri? lalu kenapa aku dan Mas Azka yang menjadi sasaran mereka, lalu jendela kaca yang pecah apakah semua itu juga ulah salah satu dari keluarga Mas Azka? Aku memikirkan banyak hal sampai tak sadar bahwa taksi yang ku tumpangi sudah sampai di depan rumahku, aku segera membayar dan turun dengan menenteng belanjaanku. Pandanganku teralihkan pada seorang lelaki tua yang saat ini berada di kursi teras rumah, aku
-Rafi datang. Lastri baru akan keluar mencari Romi yang tak pulang semalaman, namun jantungnya berhenti sesaat ketika melihat orang yang dicarinya sedang terbaring tak sadarkan di depan rumahnya. "MAS ROMI, KENAPA BEGINI? MAS BANGUN!" Lastri berteriak dengan kuat sambil menggoyangkan tubuh suaminya, namun Romi tak kunjung sadar. Ayu dan Ajeng yang sedang berada di kamar mereka masing-masing segera keluar menghampiri Lastri yang saat ini sedang menangis di depan tubuh Romi. "Ayo kita angkat dia ke dalam dulu," ucap Ajeng memberi perintah pada Ayu dan Lastri, mereka pun mulai mengangkat Romi bersama-sama."Ini pasti ulah Azka dan Ayra, aku yakin!" Lastri mengepalkan tangannya dengan sangat kuat, namun Ajeng hanya tersenyum memperhatikan Lastri. Belum hilang syok mereka, pintu diketuk. Ayu yang membukakan pintu rumah terlihat sangat terkejut. "Selamat pagi, apa benar ini rumah Pak Romi?" Salah satu anggota Polisi bertanya pada Ayu yang menjawabnya dengan gelagapan. "Benar Pak, Rom
-Lastri kena batunya. "Dasar tak berguna bagaimana mungkin kamu kalah dari anak pungut itu." Tampak seorang laki-laki sedang dipukul oleh seorang wanita separuh baya namun terlihat masih sangat sehat dan kuat. Budi namanya adalah Budi, seorang laki-laki yang telah lama jatuh cinta pada Ajeng. Dia bahkan siap melakukan apa saja asal bisa memiliki Ajeng, termasuk saat Ajeng memintanya menyeret Ayra untuk meminta maaf pada wanita yang dicintainya itu. "Maafkan aku Jeng, aku sudah berusaha namun mereka berdua memergokiku, aku kalah jumlah," ucap Budi merasa bersalah pada wanitanya, namun Ajeng tak sama sekali iba. "Pergi kamu dari sini, kamu membuatku jengah," ucap Ajeng, ia mengusir Budi, namun Budi menarik Ajeng kedalam pelukannya. "Aku sudah dipukuli seperti ini, bagaimana mungkin kamu mengabaikanku." Budi mulai menciumi Ajeng dengan penuh nafsu. "Lepaskan aku BR*****K." Ajeng mendorong Budi kuat, membuatnya terlepas dari cengkeraman lelaki tua yang sedang mabuk cinta itu. "Oke,
-Kekacauan dimulai lagi. Mas Azka berbaring di pangkuanku, selama dua tahun menikah baru hari ini aku merasakan hidupku sangat damai. Teringat ketika dulu tinggal dirumah Ibu, dari bangun pagi sampai tidur lagi pekerjaanku tak pernah selesai selalu ada saja yang diributkan. "AYRA, AZKA!" Suara teriakan di luar rumah membuatku dan Mas Azka berpandangan. Mas Azka bangun untuk melihat siapa yang datang, dan betapa terkejutnya kami ketika melihat Ibu, Kak Lastri, dan Ayu datang dengan membawa koper mereka masing-masing."Maaf ini ada apa ya? Kenapa kalian bawa koper segala?" Mas Azka menanyai mereka yang nampak acuh dan akan memasuki rumah kami, namun aku dengan sigap menarik pintu dan menghalangi mereka. "Maaf, suami saya yang merupakan tuan rumah disini sedang bertanya dan kami tak merasa memiliki tamu undangan hari ini." Aku memposisikan diriku di depan pintu agar mereka tak bisa melewatiku. "Minggir, saya mau masuk. Rumah ini sekarang akan menjadi kediaman kami juga," ucap Ibu, ia
-Mas Azka berubah.Aku bangun dengan perasaan tak bersemangat hari ini, membayangkan kegaduhan yang tadi malam terjadi di luar kamar membuatku menebak bagaimana keadaan rumahku sekarang. Aku membuka pintu kamar dengan pelan, dan ternyata apa yang terjadi lebih parah dari apa yang kubayangkan. Piring, gelas, dan mangkuk kotor masih berada di meja makan. Penggorengan bekas mereka memasak pun masih bertengger di kompor tak dibersihkan, baju kotor yang mereka kenakan waktu datang kesini sudah bertumpuk di keranjang cucian. Aku mengusap kasar wajahku, ingin rasanya saat ini aku berteriak sekeras-kerasnya. Hatiku sangat kesal rumahku yang bersih dan rapi kini dengan sekejap berubah menjadi kapal pecah berserakan dan yang membuatku semakin kesal adalah karena sang pembuat onar sedang tidur dengan nyenyaknya. Tapi aku tak ingin menjadi babu mereka lagi, ini rumahku dan ini istanaku. Bagaimana mungkin ratu diperlakukan layaknya pembantu di istana mereka sendiri. Aku tersenyum manis lalu mel
-Kedatangan Keluarga Ayra "Ayra yakin besok gak papa di rumah dengan para monster di luar?" Azka nampak ragu ketika akan pergi ke kantor, sebenarnya dia sangat enggan meninggalkan Ayra, namun rapat besok sangat penting dan dia harus menghadirinya tanpa bisa diwakilkan."Insyaa Allah nggak apa Mas, lagian mereka bukan kanibal kan?" Ayra berusaha meyakinkan Azka bahwa dia akan baik-baik saja, namun jauh di lubuk hatinya ia merasa sangat takut. "Ayra ikut Mas aja ke kantor ya? Mas cuma sebentar aja," pinta Azka, ia masih merasa tak tenang. "Mas nggak liat perut Ayra dah segede ini, capek Mas kalau kesana kesini. Ayra nggak apa kok, yakin deh! Kalau ada apa-apa Ayra janji langsung menghubungi Mas," jawab Ayra menangkup kedua pipi suaminya itu dan menciumnya dengan sayang. Azka mengalah dan mereka pun mulai tidur. Sementara di luar kamar, ketiga trio lampir sedang berdebat tentang siapa yang tidur di luar. Kipas angin yang berada di kamar mereka sudah dipindahkan oleh Azka ke gudang,
-Ajeng dilabrak. Ajeng sedang berada di rumah Ilham sepupunya, dia menceritakan segalanya pada Ilham dengan wajah memelas dan tangis yang tersedu-sedu mengharapkan iba. Ilham merasa sedih mendengar cerita Ajeng. Ia pun mengusap punggung Ajeng lembut. "Yang sabar ya Mbak, Aku nggak nyangka Azka bisa berbuat seperti itu sama Mbak dan anak-anak," ucap Ilham membuat Ajeng merasa berhasil memainkan triknya. "Surat tanahnya nggak usah Mbak gadai ke aku, uangnya nanti sore aku transfer ya." Ilham berpikir akan meminjamkan uang pada Ajeng karena merasa kasihan padanya. "Makasih ya Ham, Mbak janji kalau tanah yang di kota sudah laku Mbak pasti langsung bayar hutang Mbak ke kamu," ucap Ajeng sembari mengusap air mata buayanya. "Nggak usah dipikirin Mbak, kapan Mbak ada uang aja gantinya," jawab Ilham, ia tersenyum hangat pada Ajeng. Ting, bunyi notifikasi Wa masuk.[Sayang, kapan kita melepas rindu? Aku sudah menunggu di tempat biasa.]Senyum Ajeng mengembang, kekasihnya yang merupakan s