Di kelas XI-A, suara batuk Amira menggema. Amira merasa tenggorokannya terkoyak saking kerasnya dia terbatuk.“Minum lagi,” ucap Raga sambil menyodorkan botol yang terbuka. Amira pun refleks menyambut botol dan langsung meminumnya. Sebelum Amira sadar, jika dirinya jatuh ke dalam lubang yang sama. Ya, Amira minum dari botol Raga lagi. Cepat-cepat, dia meletakkan botol itu.“Lanjut aja kalau masih haus,” ucap Raga memperbolehkan.Jelas Amira tidak mau. Tatapannya tertuju pada dua botol yang ada di hadapan. Satu botol kosong milik Amira yang memang sudah tamat isinya, sementara satu lagi botol milik Raga yang masih menyisakan jus. “Enggak papa. Nanti gue beli lagi,” sambung Raga santai. Tapi Amira tidak bisa, dia menunjuk Raga kesal.“Kenapa lo enggak bilang dari tadi kalo itu punya lo!” Amira menggerutu. Raga hanya angkat bahu menanggapi. “Lo enggak nanya,” jawabnya enteng.Amira menggeleng keras. Ini bukan hal yang bisa dianggap ringan olehnya. Itu botol Raga. Mereka minum dari te
Keesokan hari, Raga sedang duduk di kursinya, di dalam kelas. Pelajaran selesai, dan bel istirahat telah berbunyi. Guru baru saja beranjak keluar kelas, tapi Michelle sudah menunggu di depan pintu. “Jangan pergi,” ucap Raga saat Amira menoleh padanya. Kedua mata Raga memandang penuh harap pada Amira. Tentu saja Raga juga sudah melihat sosok Michelle yang menunggu Amira. Dia juga tahu, jika setelah ini Amira pasti akan langsung menghampiri Michelle. Karena itulah, barusan Amira menoleh padanya, seolah meminta izin. “Jangan tinggalin. Temenin gue aja,” sambung Raga dengan suara lirih. Amira langsung menautkan alis. Dia merasa geli sendiri mendengar Raga yang memohon manja padanya. “Elo mabok?” Ledek Amira. Amira merasa aneh mendapati wajah memelas Raga. Biasanya kan cowok itu hobi marah-marah dan memaksa. “Gue cuma mau ke kantin,” sambung Amira kemudian. Memang benar, Amira hanya ingin menghabiskan waktu istirahat bersama Michelle di kantin Laveire, bukannya mau pergi ke
Sejak mengibarkan bendera perang pada Claudia, Amira jadi lebih berhati-hati. Kemarin, mereka tidak jadi makan di kantin dan memilih untuk membeli roti isi untuk dinikmati di taman belakang Laveire. Di sana lebih tenang, dan tanpa Claudia tentu saja. Saat itu, Michelle terus saja menggumamkan maaf pada Amira sampai jam istirahat selesai. Jelas sekali jika Michelle sungguh merasa bersalah pada Amira. Padahal Amira sudah mengatakan, jika itu bukan salah Michelle. Kring!“Pelajaran hari ini kita lanjutkan minggu depan, ya.” Guru menutup pelajaran tepat saat bel berbunyi. Siswa-siswi di kelas XI-A ikut beranjak. Mereka juga ingin menikmati waktu istirahat. “Lo mau ke kantin sama temen lo lagi?” Tanya Raga saat Amira bergeser dari kursinya. Kemarin, Raga sudah menahan kesal. Dia masih mencoba bersabar saat Amira lebih memilih Michelle daripada dirinya. Sekarang, Amira sepertinya masih akan melakukan hal yang sama. Raga jadi menyimpan dongkol sendiri. Dia ingin Amira memilih dirinya,
Amira menarik tangan Michelle. Dia tidak bisa membiarkan temannya menangis di depan toilet. Lorong sekolah masih ramai di jam istirahat. Michelle bisa menjadi pusat perhatian nanti. Langkah kaki Amira membawa mereka menuju ke kursi yang ada di taman samping Laveire. Di sana, suasana lebih sepi, tak banyak orang lalu lalang. Suara mereka pun tak akan terdengar jika mereka tidak berteriak. “Maafin gue, Amira ….” Michelle masih terisak. Berkali-kali Michelle menghapus air mata yang jatuh di pipi. Dia pun terus menggumamkan kata maaf. “Kenapa minta maaf?” Tanya Amira kesal. Amira tak bisa lagi hanya diam menyaksikan Michelle yang terus tenggelam dalam kesedihan. Dia tahu ada yang salah, dan kali ini, dia tak akan tinggal diam. “Bilang ke gue. Apa yang terjadi?” Pertanyaan Amira terabaikan. Michelle masih tergugu. Gadis itu menangis lirih, membuat hati Amira panas. “Lo diapain sama Claudia?” Tanya Amira tanpa berpikir panjang. Dia sudah menetapkan satu nama itu sebagai te
Jam istirahat kali ini berbeda. Di kantin Laveire, ada tontonan yang menarik. Dua kelompok siswi sedang berdebat, kelompok Amira dan kelompok Claudia. Mereka adu mulut, lalu beralih pada adu fisik. Brak! Amira terjatuh, tubuhnya menghantam lantai yang dingin. Kepala Amira membentur sudut meja besi yang ada di dekat mereka. “Duh!” Amira mengeluh. Sekarang, kepala Amira terasa pening. “Amira!” Michelle berteriak panik. Dia segera berlutut menghampiri Amira. Tangan Michelle terulur, membantu Amira berdiri. Dia memekik saat melihat sudut kepala Amira yang berdarah. “Maaf!” Seru Michelle dengan wajah penuh rasa bersalah. Amira hanya mengucap kata tak apa yang singkat dan segera bangkit. “Salah lo!” Claudia tiba-tiba saja berteriak. “Lo yang narik gue duluan!” Tentu saja Claudia tidak mau disalahkan, meski dia yang mendorong. Amira yang memulainya, bukan dia! Salah satu teman Claudia menyenggolnya. “Ayo pergi, nanti ada guru.” Amira hanya bisa melengos saat melihat ketiga oran
Amira tidak berpikir panjang. Kakinya melangkah cepat mengikuti ke arah Michelle pergi. Dia terus berjalan ke taman belakang Laveire, sampai ke sudut titik buta CCTV. “Heh, item!” Belum-belum, Amira sudah kesal. Suara cempreng Claudia yang menghina temannya, sungguh membuat Amira meradang. “Item, item terus!” Balas Amira sambil melangkah mendekat. “Mata lo buta, ya? Kulit dia tuh cokelat, bukan item!” Amira jadi menyela di antara mereka. Dia berdiri di depan Michelle, lalu menarik gadis itu ke sisinya. “Kalo buta warna, bilang! Jangan malah jelekin orang!” Ketus Amira. Tangannya menunjuk ke sekeliling. “Lagian ngapain sih kalian main di rumput begini? Mau saingan sama kambing, apa gimana?” Claudia memicing tajam. Dia tidak suka ucapan Amira yang menyamakannya seperti kambing. “Lo terus aja cari masalah sama gue!” Jerit Claudia keras. Kedua kaki Claudia menghentak marah. Dia mengulurkan tangan, merebut kembali Michelle ke sisinya. “Argh!” Michelle memekik kesakitan. Ki
Amira meloncat kaget. Bayangan masa depan yang dia lihat langsung membuatnya berlari mundur. Beruntung lorong sekolah di jam pulang sangat sepi, jadi Amira tidak menabrak siapapun. “Lah? Bapak?” Amira menunjuk Reynald bingung. “Kok bisa?” Dalam sekejap, Amira jadi melupakan tentang Claudia yang mengejarnya seperti orang gila. Dia berubah haluan. Tatapannya memicing pada Reynald. “Ada apa? Kenapa kalian kejar-kejaran di sekolah?” Otak Claudia ternyata sudah kembali. Cewek itu sempat menyembunyikan gunting yang dia bawa. Entah ke mana benda itu sekarang. “Itu, Pak!” Claudia menyela lebih dulu. “Dia jambak rambut saya sampai copot!” Amira melotot. Dia kecolongan. Semua karena Amira terlalu sibuk kaget dengan masa depan Reynald yang dia lihat. “Tapi dia juga dorong saya! Sampai kepala saya luka!” Amira menunjukkan darah yang mengering di dahinya. Reynald jadi pusing sendiri mendengar teriakan keduanya. Dia sungguh tidak pandai menghadapi murid perempuan, apalagi yang bertengka
Ruang guru di Laveire kembali memanas. Di depan sebuah meja bundar, seorang guru dan lima siswi sedang berdiskusi untuk mencari pemecahan dari masalah yang mereka hadapi. Hanya ada mereka, di saat yang lain sudah pulang karena jam sekolah telah berakhir. “Setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya kan, Pak?” Claudia terus menyudutkan Amira. Memang, bagi Claudia tidak masalah jika dia mendapatkan satu baris kasus di dalam buku rapornya. Tapi bagi Amira, ini bisa menjadi masalah besar. “Saya menarik tangannya karena dia mengejek saya duluan, Pak.” Amira masih berusaha membela diri. Sungguh, hari ini benar-benar hari sial untuk Amira. Kenapa juga dia mencari masalah? Kenapa dia menyerang duluan? Dan kenapa pula dia ketahuan? “Pak, saya mau bicara sebentar.” Hari ini adalah hari paling gila dalam hidup Amira, jadi mungkin Amira bisa menjadi gila juga. Tangan Amira menarik Reynald mendekat. Dia berbisik tepat di telinga guru itu. “Jangan laporkan kasus ini, atau saya akan melapo
Di tempat yang tidak Amira kenali ini, dia melihat kedekatan antara Raga dengan Catherine. Hati Amira terasa dongkol. Kedua matanya enggan menatap. Meski begitu, Amira tak bisa mengabaikan tangan Catherine yang terulur. Rasanya tidak sopan jika Amira mengabaikan perkenalan tulus dari Catherine. “Hai,” sapa Amira. “Salam kenal, Kak.” Amira menyapa sopan. Dia menyambut tangan Catherine. Saat tangan Amira dan Catherine bersentuhan, Amira bisa melihat sekilas bayangan masa depan. Seketika dia menoleh ke arah Raga. Raga tersenyum miring. Dia bisa menebak jika Amira sudah mengetahui semuanya. “Udah liat?” Sindir Raga pada Amira. Amira mendengus. Bibirnya cemberut, kesal. Tatapannya memicing sinis. “Kenapa enggak bilang dari tadi?”Andai saja Raga mengatakan tentang Catherine, Amira tidak perlu menggalau segala. “Ada apa?” Catherine yang mendengar pembicaraan keduanya, jadi bertanya. “Terjadi sesuatu?” Dia penasaran.Raga menggeleng. “Enggak ada.” Tangan Raga menunjuk ke bagian dalam g
“Hari ini lo lembur,” ucap Raga pada Amira. Bel pulang baru saja berbunyi, dan Raga sudah menentukan apa yang harus Amira lakukan. Amira tidak akan bisa lolos darinya sama sekali. “Enggak usah sampai begitu,” sahut Amira tenang. “Gue juga emang enggak berniat buat Nerima ajakan Evan, kok.” Sayang sekali, Amira melakukan hal yang salah. Harusnya Amira tidak membantah Raga. Setelah jam istirahat tadi, Raga sudah mati-matian menahan emosinya sendiri. Amira tidak tahu saja, jika Raga sudah ingin memutar balikkan meja di detik Evan mengutarakan ajakannya untuk nonton bersama Amira. “Emang seharusnya gitu,” sindir Raga kesal. “Lo pasti bakalan nyesel kalau terima ajakan dia.” Raga menarik tangan Amira kemudian. Dia tidak berniat menunggu lebih lama. “Udah beres, kan? Kita pergi sekarang!” Raga memimpin jalan menuju ke tempat parkir. Amira menghela kesal karena diseret begini. Namun, dia memilih untuk tidak mengajukan protes lagi. Lewat tangan mereka yang tertaut, Amira bisa
Setelah insiden pengering rambut, Raga mencoba bersikap biasa saja. Dia tidak mau sampai Amira tahu tentang otaknya yang tidak bersih. Cukup dirinya dan Tuhan yang tahu. Beruntungnya, setelah semua kerusuhan itu, mereka tidak terlambat. Raga dan Amira sampai di Laveire, tepat sebelum bel masuk berbunyi. Mereka pun belajar dengan tenang di kelas, sampai sekarang. “Untuk persamaan yang ini–”Penjelasan guru yang ada di depan kelas disela oleh bunyi bel istirahat. Semua siswa di kelas XI-A berseru senang.Guru yang ada di depan kelas pun memilih untuk sadar diri. Beliau mengakhiri pembelajaran dan menutup kelas, seperti yang murid-muridnya inginkan. “Elo makan sama temen lo lagi?” Tanya Raga setelah guru mereka berjalan ke luar. Amira mengangguk. “Iya.” Tangannya menunjuk ke depan pintu. “Itu udah ditungguin.”Raga menghela saat melihat Michelle yang sudah menunggu di depan kelas XI-A seperti biasa. Helaan itu semakin keras saat Evan muncul di belakang Michelle. “Lo mau ikut ke kant
Di sudut kamar kontrakan Amira, Alex mengulum senyum. Tuan mudanya tampak sangat senang saat ini. “Pelit banget, sih!” Raga mengomel saat Amira menyumpalkan semua isi piring ke dalam mulutnya. Gadis itu dengan sengaja tidak menyisakan sama sekali.“Terus buat apa lo nawarin kalau enggak mau ngasih, heh?”Amira tak menjawab. Dia hanya mendengus. Sungguh, Raga adalah orang yang tak mengerti basa-basi.“Udah kering belum rambut gue? Udah telat, nih.”Sengaja, Amira mengalihkan pembicaraan. Berdebat dengan Raga, jelas tak akan ada habisnya. “Belum, lah!” Raga baru pertama kali mengeringkan rambut seorang perempuan. Ternyata memakan waktu yang lama, apalagi rambut Amira panjang dan tebal. Lutut Raga juga sudah terasa sakit. Raga terpaksa harus menggunakan lutut sebagai tumpuan di lantai, agar tingginya bisa sesuai dengan Amira yang duduk di depannya.“Maju dikit, coba!” Ketus Amira. Kabel pengering rambut yang Amira miliki memang tidak panjang. Jadi mereka tak bisa bergeser sama seka
Di saat Amira merasa canggung dengan suasana pembicaraan mereka. Terdengar suara dari pintu yang diketuk. Ruang VIP di restoran yang mereka tempati, sepertinya memiliki tamu.Raga mengalah dengan ketukan tersebut. Dia berseru memberikan izin. “Masuk aja.” Pintu terbuka, dan sebuah kereta dorong makanan terlihat. Para pelayan datang, membawa makanan yang mereka pesan. “Permisi, Tuan, Nona,” ucap salah satu pelayan. “Kami akan menyiapkan makanannya.”Raga tak repot merespon lebih banyak. Dia memilih untuk membiarkan para pelayan itu melakukan tugasnya. “Selamat menikmati, Tuan, Nona.”Para pelayan berpamitan pergi. Mereka sudah selesai mengisi meja sampai penuh dengan makanan. Seketika, perhatian Raga dan Amira beralih pada semua makanan itu. Tampilannya yang menggiurkan, juga harum yang menggelitik hidung, membuat mulut mereka berliur. “Makan, yuk.” Ajak Raga pada Amira. Tangannya dengan sigap mengambil sendok dan garpu. “Semuanya?” Amira menatap tak percaya. “Ini pesenan elo? Ba
Amira gelagapan. Dia mendorong kursinya mundur. Kedua mata Amira langsung tertuju ke arah pintu keluar. Dia ingin segera pergi dari ruang VIP restoran mewah ini. Secepatnya!“Jangan!” Ujar Raga saat Amira hendak beranjak. Tangan Raga terulur, mencegah Amira pergi. “Gue cuma bercanda,” ucapnya kemudian.Tangan Amira menepis Raga kasar. “Bercandaan elo enggak lucu!”Amira menatap Raga dengan wajah memerah. Sungguh, Amira benar-benar panik. Memori buruknya tentang lelaki, seketika menyeruak keluar bagai air bah. Terus membanjir membuatnya hilang arah.“Sorry ….” Raga mengucapkan maaf. Sudut mata Amira yang berair, membuat Raga semakin serba salah. Raga bergerak mendekat. Tangannya terulur pada Amira. “Gue enggak tau kalau lo bakalan takut begini.”Amira menunduk. Dia tidak mengucapkan satu kata pun. Tangannya sibuk meremas ujung roknya sendiri, begitu kencang sampai kusut tak berbentuk. Raga tidak bisa terus diam. Dia beranjak dari kursi, berlutut di samping Amira. “Maafin gue ….”Tak
Amira melihat ke segala arah. Di restoran mewah bernuansa merah ini, petunjuk yang Amira dapatkan hanyalah jenis makanannya. Pasti makanan oriental, karena ada tulisan Mandarin yang terukir pada dinding di hadapan mereka. “Raga, kenapa kita ke sini?” Tanya Amira cemas. Raga menoleh, menatap Amira. Namun, dia tidak menjawab. Hanya tangannya saja yang bergerak, mengangkat tangan Amira yang sedang tertaut dengannya. Benar, Amira sudah mengeceknya tadi. Mereka akan makan di tempat ini. “Gue pesen ruang VIP, biar aman.” Jari Raga menunjuk ke kening Amira. “Otak lo aja yang kotor.” “Enak aja!” Bantah Amira sambil menepis tangan Raga. “Gue juga enggak mikir apa-apa!” Amira menutupi rasa malunya dengan memalingkan wajah. Sayang sekali, di sisi lain malah ada Alex. Raga tidak melihat, tapi jadi Alex yang melihatnya. Sungguh memalukan! “Silakan, Tuan, Nona.” Untungnya sambutan para pelayan mengalihkan perhatian Raga dan Alex. Para pelayan itu membukakan pintu kayu di hadapan mereka.
Situasi saat ini sungguh berbahaya. Di atas kursi mobil yang sempit ini, Amira menindih Raga. Amira tidak peduli dengan kakinya yang sudah naik ke atas kursi dengan begitu kurang ajarnya. Wajah Amira menatap Raga, tapi tatapannya kosong entah kemana.Raga tahu apa yang terjadi. Amira sedang melihat masa depan, dengan pose yang menantang begini.“Gue bukan orang yang bisa tahan godaan,” ucap Raga pelan. Tangan Raga menarik Amira yang masih melamun. Dia meraih pinggang Amira, menjauhkan tubuh gadis itu. Raga mendudukkan Amira kembali ke tempatnya semula.“Kalau lo begitu lagi, gue enggak bisa jamin kelanjutannya bakal sama kayak sekarang ….”Amira tersentak. Dia yang baru sadar dari lamunan, hanya mendengar sebagian kalimat Raga. “Udahan liat masa depannya?” Tanya Raga pelan.Meski jantungnya serasa akan meledak, Raga memilih untuk bersikap biasa saja. Dia duduk bersandar di kursi, mencoba menenangkan kegilaannya sendiri. “Lo … cuma mau ngajak gue makan?” Tanya Amira heran. Raga ber
Amira terdiam. Dia tidak mampu menjawab. Melihat respon Amira, Raga tak bisa menahan kecewa. Tangannya terulur, menggeser Amira ke sisi. Kali ini, Amira tidak menahan Raga pergi. Lorong yang dijalani Raga seketika terasa penuh duri. Dia tak bisa terus melangkah, tapi juga tak mau kembali. “Bukan gitu,” lirih Amira pelan. Bagi Amira, Raga memang teman, tapi bukan juga sekedar teman. Amira berbalik. Dia melihat Raga yang masih berjalan di lorong Laveire sendirian. Cowok itu terus melangkah, tapi semakin lama semakin pelan. Sampai akhirnya berhenti. Raga berbalik begitu saja. Tatapan mereka pun bertemu tanpa menunggu. “Lo … enggak mau kejar gue?” Tidak keras, tapi Amira bisa mendengar suara Raga. Begitu jelasnya, membuat Amira langsung berlari menghampiri. “Lo mau nunggu gue jalan sampai sejauh apa?” Amira terdiam. Bibirnya terkatup rapat. Dia tak bisa menjawab, tak ingin salah berucap. Amira tak mau membuat Raga semakin kecewa padanya. Diamnya Amira membuat Raga menghela le