Amira berjalan di lorong sekolah. Langkahnya semakin lama semakin cepat. Di belakang Amira, ada Raga yang mengejar. “Ih! Jangan ngikutin melulu, kenapa sih?” Gerutu Amira.Belum sehari berlalu, tapi rasanya Amira sudah tidak kuat. Permintaan Raga untuk mengecek apa yang terjadi di masa depan sejam sekali, membuat Amira jengah. Raga terus saja mengulurkan tangan, di sepanjang pelajaran, di jam istirahat, di setiap hela napasnya. “Berhenti!” Amira berseru keras. Dia berbalik dan mendapati Raga di depannya. “Jangan ikutin gue lagi!” Raga hanya angkat bahu. Dia menatap sok bingung. “Kenapa? Kan gue cuma mau mempermudah tugas lo?”Amira menghentakan kakinya kesal. Rasanya percuma saja bicara pada Raga. Cowok itu akan terus berpura-pura polos sambil mengikuti langkahnya. Hanya ada satu tempat di mana Amira bisa bebas dari Raga. Brak! Amira masuk ke dalam satu ruangan, lalu menutup pintunya keras. Di tempat ini, Raga tak akan berani mengganggu. Toilet perempuan adalah tempat paling aman
Hari masih pagi, tapi suasana sudah panas. Di kantin Laveire yang sepi, Amira tampak panik. Dia tidak bisa menghindari tatapan Michelle yang tertuju lurus padanya.“Serius, lo enggak pacaran sama dia?” Tanya Michelle penasaran.Amira tahu jika kedekatannya dengan Raga pasti akan membuat asumsi seperti itu. Padahal, dia tidak memiliki hubungan apapun dengan Raga. “Enggak,” jawab Amira singkat. Dia terus membantah.Namun, Michelle juga sama. Dia tidak menyerah, malah melanjutkan pertanyaannya.“Tapi elo sama dia terus? Sambil gandengan juga?”Dahi Amira mengernyit. Dia berpikir keras, mencoba mencari jawaban yang sekiranya tak akan membuat dirinya semakin dicurigai. “Kita cuma teman sebangku aja, kok. Tadi pas dateng, kebetulan aja bareng,” sahut Amira sekenanya. Meski sudah mendengar jawaban, Michelle masih menatap Amira lekat. Jelas terlihat jika gadis itu belum puas dengan apa yang Amira katakan.“Gandengannya?” Tanya Michelle lagi. Terus saja Michelle penasaran dengan gandengan
Di lorong sekolah, Amira membuat Michelle menunduk dalam. Pertanyaan Amira sanggup membuat Michelle tersedu.“Ck!” Amira berdecak kesal. “Jangan nangis di sini!” Bel masuk sebentar lagi berbunyi, membuat lorong sekolah cukup ramai. Amira tidak mungkin membuat Michelle menjadi tontonan.“Kita ke toilet dulu,” sambung Amira kemudian. Amira menggandeng Michelle masuk ke dalam toilet perempuan yang tak jauh dari mereka. Di dalam ruang bernuansa putih dengan wastafel berjajar itu, Amira menenangkan Michelle.“Udah, jangan nangis,” ucap Amira lembut.Kedua tangan Amira terulur mengusap pelan lengan Michelle, tapi sepertinya gadis itu belum puas menangis. “Emang lo diapain aja sama mereka?”Amira tidak tahu apa yang terjadi pada Michelle sebelum ini. Mungkin begitu buruk, sampai-sampai Michelle menangis pilu hanya di saat Amira menyinggungnya sedikit. “Udah enggak apa-apa. Kan sekarang elo sama gue ….”Amira terkejut sendiri dengan ucapannya. Tidak, harusnya dia tidak mengucapkan kalimat
Amira memandang sinis. Kali ini, dia tidak repot-repot mengulurkan tangan. “Gue Amira!” Suara Amira menggema di lorong sekolah, membuat beberapa siswa yang sedang melintas sampai menoleh. Satu-persatu bahkan berhenti dan mendekat karena penasaran. Jam masuk sekolah yang sebentar lagi dimulai, membuat lorong jadi ramai.“Ish! Suara lo kenceng banget, sih!” Salah satu dari tiga perempuan itu menggerutu kesal. Perempuan itu tidak nyaman karena mereka sudah menjadi pusat perhatian sekarang. Sementara itu, Amira tidak peduli sama sekali. Kenapa harus takut? Dia kan cuma menyebutkan nama saja. “Suara gue emang kenceng. Terus kenapa? Gue sengaja, biar lo denger. Lo kan tadi budek. Gue udah bilang mau makan sama Michelle, masih aja maksa!” Senyum Amira mengembang sinis. Dia semakin senang saat melihat banyak siswa yang berkumpul.“Butuh apaan sih dari temen gue? Maksa banget!”Ketiga perempuan itu kesal sendiri. Mereka resah dengan tatapan dari siswa yang mengerubungi. “Apa lo mau ikut
Di kantin sekolah, sekali lagi Raga menghadapi Amira yang sedang sibuk bertengkar. Padahal di waktu istirahat ini, mereka bisa makan berduaan. Namun, Amira memilih untuk mencari masalah daripada kedamaian. “Temen mata lo!” Amira berteriak marah. Raga yang ada di sebelahnya hanya bisa menghela. Tangannya terulur menarik Amira mundur. “Biarin aja, sih,” sinis Raga. “Dia juga yang mau, kok.” Meski Raga sudah mengatakan hal seperti itu, Amira tidak bisa mundur. “Gara-gara lo!” Bentak Amira pada Raga yang menariknya. Heran sekali jadi Raga yang disalahkan, padahal dia itu memberikan saran yang baik. “Kenapa jadi gue, sih?” Balas Raga jengkel. Dia tak terima ditunjuk begitu. Yang buat masalah kan Michelle, bukan dirinya. “Ya gara-gara elo, gue jadi peduli lagi sama orang lain!” Padahal sebelum bertemu Raga, Amira sudah dalam tahap nyaman dengan hidupnya. Meski tanpa teman, atau siapapun yang dekat dengannya. Amira tidak memiliki masalah sama sekali. Sekolahnya baik, nilainya
Raga tak bisa menutupi wajah kesalnya. Dia memicing penuh permusuhan. Raga tak peduli jika siswa di dalam kantin mulai berbisik. Dia memang sudah terkenal bersikap kasar. “Gue mau ngomong sama Amira. Gue perlu minta maaf,” ucap Michelle lirih. Michelle sudah berhati-hati dalam berucap, tapi Raga tetap tidak merasa senang. Cowok itu melengos keras. Namun, Michelle tidak menyerah. “Gue tau gue salah. Amira pasti kecewa banget sama gue.” Michelle menatap Raga dengan air mata yang menggantung di pelupuk. Meski begitu, dia menunjukkan tekadnya. “Terserah,” ucap Raga pada akhirnya. Raga menyerah. Dia memilih untuk kembali ke kelas. Biarkan Michelle yang memutuskan mau mengikutinya atau tidak. Di dalam kelas XI-A, langkah Michelle berubah canggung. Meski dia masuk bersama Raga, Michelle tak bisa berhenti memandang sekitar. Dia merasa tidak nyaman dengan tatapan yang dia dapatkan. “Amira?” Panggil Raga sambil menyenggol lengan Amira pelan. “Mau makan dulu, gak?” Amira langsung
Di kelas XI-A, suara batuk Amira menggema. Amira merasa tenggorokannya terkoyak saking kerasnya dia terbatuk.“Minum lagi,” ucap Raga sambil menyodorkan botol yang terbuka. Amira pun refleks menyambut botol dan langsung meminumnya. Sebelum Amira sadar, jika dirinya jatuh ke dalam lubang yang sama. Ya, Amira minum dari botol Raga lagi. Cepat-cepat, dia meletakkan botol itu.“Lanjut aja kalau masih haus,” ucap Raga memperbolehkan.Jelas Amira tidak mau. Tatapannya tertuju pada dua botol yang ada di hadapan. Satu botol kosong milik Amira yang memang sudah tamat isinya, sementara satu lagi botol milik Raga yang masih menyisakan jus. “Enggak papa. Nanti gue beli lagi,” sambung Raga santai. Tapi Amira tidak bisa, dia menunjuk Raga kesal.“Kenapa lo enggak bilang dari tadi kalo itu punya lo!” Amira menggerutu. Raga hanya angkat bahu menanggapi. “Lo enggak nanya,” jawabnya enteng.Amira menggeleng keras. Ini bukan hal yang bisa dianggap ringan olehnya. Itu botol Raga. Mereka minum dari te
Keesokan hari, Raga sedang duduk di kursinya, di dalam kelas. Pelajaran selesai, dan bel istirahat telah berbunyi. Guru baru saja beranjak keluar kelas, tapi Michelle sudah menunggu di depan pintu. “Jangan pergi,” ucap Raga saat Amira menoleh padanya. Kedua mata Raga memandang penuh harap pada Amira. Tentu saja Raga juga sudah melihat sosok Michelle yang menunggu Amira. Dia juga tahu, jika setelah ini Amira pasti akan langsung menghampiri Michelle. Karena itulah, barusan Amira menoleh padanya, seolah meminta izin. “Jangan tinggalin. Temenin gue aja,” sambung Raga dengan suara lirih. Amira langsung menautkan alis. Dia merasa geli sendiri mendengar Raga yang memohon manja padanya. “Elo mabok?” Ledek Amira. Amira merasa aneh mendapati wajah memelas Raga. Biasanya kan cowok itu hobi marah-marah dan memaksa. “Gue cuma mau ke kantin,” sambung Amira kemudian. Memang benar, Amira hanya ingin menghabiskan waktu istirahat bersama Michelle di kantin Laveire, bukannya mau pergi ke
“Kamu enggak apa-apa?” Tanya Dina. Dia mengajak Amira untuk duduk dan bicara, tapi Amira terlalu malu untuk melakukannya.“Enggak apa-apa,” jawab Amira cepat. “Gue … lagi malas ngomong aja.”Dina cuma angkat bahu. “Oh ….” Dia menarik Amira mendekat. “Ya udah duduk aja, enggak usah ngomong.”Amira jadi tak memiliki alasan untuk menolak. Dia mengambil tempat di sebelah Dina, menghela keras di sana. “Udah lama ya, kita enggak duduk bareng kayak gini,” ucap Dina sambil memasang senyum.“Aku senang kedatangan aku enggak sia-sia.”Dina memandang jauh ke depan, seolah sedang mengingat masa lalu di antara mereka sebelum ini. “Padahal awalnya aku mau nyerah,” sambung Dina. “Apalagi saat tahu kamu punya teman-teman yang ternyata sangat baik, lebih daripada aku.”Kali ini Dina menoleh, menatap Amira. “Mereka–”“Amira!” Raga menangkap tangan Amira, tidak membiarkan gadis itu hilang dari pandangannya lagi. “Kenapa kabur dari gue?!” serunya, dengan tatapan tajam. Amira beringsut sedikit. Baru
“Ini penampilan apa?” Perhatian para tamu undangan langsung tertuju ke arah panggung. Musik tradisional yang mengalun, membuat mereka tertarik. “Apa ini … tarian?”Suasana berubah hening saat Dika dan Dina masuk ke tengah panggung. Kostum mereka, riasan mereka, begitu memukau sampai-sampai tak ada satu pun penonton yang membuka mulutnya. “Ini bagus sekali ….” “Aku baru melihat penampilan seperti ini.”“Ternyata Laveire adalah sekolah yang sangat menarik.”Amira tersenyum puas. Nyatanya, keputusan yang dia ambil sangat tepat. Memilih penampilan Dina dan Dika sebagai yang pertama adalah yang terbaik. Sorakan meriah bergema di aula saat Dika dan Dina mulai menari. Gerakan mereka lincah dan penuh energi, selaras dengan irama musik jaipong yang menggelegar memenuhi ruangan. ‘Udah lama, gue enggak ngeliat yang seperti ini,’ ucap Amira dalam hati. Penampilan Dina dan Dika menarik Amira ke masa lalu. Kehidupan yang damai di desa di saat kedua orang tua Amira masih lengkap. ‘Masa lalu
“Amira?” Raga memicing. “Lo kenapa?”Amira tidak peduli dengan tatapan bingung Raga. Dia sibuk menarik pacarnya itu ke sisinya. “Jangan deket-deket pacar gue!” Bentak Amira kasar. Kedua matanya melotot, dan kakinya menghentak kesal.Luntur semua image yang Amira jaga sampai saat ini. Biasanya, dia selalu bersikap tenang dan tidak peduli di depan Raga, tapi sekarang Amira tidak bisa. “Lo siapa?” Rasanya emosi Amira sudah naik sampai ke ubun-ubun. Tangannya mendorong perempuan itu menjauh. Amira sungguh tidak menyukainya.Perempuan yang datang bersama Raga, sekali lihat saja Amira langsung tahu, jika perempuan itu setara dengan Raga. Keduanya serasi, meski Amira tak ingin mengakui. Amira tidak bisa mengelak dari rasa rendah diri saat ini. Meski begitu, dia tak mau mengalah. Raga adalah pacarnya. “Aku?” Perempuan itu menunjuk dirinya sendiri. “Namaku Celine. Aku pacar Raga.”Tangan Amira terulur sempurna. Dia meraih kerah seragam yang dipakai perempuan itu. Celine memekik, membua
“Enggak,” ucap Amira pelan. Ini bukannya Amira yang terlalu banyak berpikir. Raga memang menjauh darinya. Di kantin, Amira duduk bersebelahan dengan Raga, tapi cowok itu tidak perhatian seperti sebelumnya.“Mau makan apa?” Biasanya Raga bertanya seperti itu, tapi kali ini Evan yang bersuara. “Gue pesen sendiri aja,” jawab Amira. Amira memilih untuk beranjak dari kursi. Rasanya sudah lama dia tidak memesan sendiri seperti sekarang. “Enggak apa-apa, kan gue yang minta,” ucap Amira pada dirinya sendiri. “Lebih baik begini, kan. Sewajarnya.” Amira mencoba menghibur diri.Di meja mereka, Amira menatap piringnya, menusuk-nusuk makanannya dengan garpu. Dia sungguh tidak bersemangat. Amira teringat akan sikap Raga sebelum dia memintanya menjauh. Kalau itu dulu, Raga pasti akan menatapnya lekat-lekat, bertanya kenapa Amira tidak nafsu makan, juga menanyakan apa yang Amira mau.
“Enggak,” jawab Raga. Tentu saja Amira bisa menebak jika itu adalah jawaban yang akan Raga berikan. “Kalau begitu … kasih tau gue batasnya.” Raga mencoba mengalah. Di saat kesabaran Amira hampir habis, akhirnya cowok itu sadar dan peka. Amira menjawab dengan sebuah tatapan lekat. “Sewajarnya, Raga. Mungkin kayak dulu ke mantan-mantan lo sebelumnya?”Pastinya Raga lebih tahu, karena cowok itu pernah punya pacar. Tidak seperti Amira. “Jangan terlalu deket pokoknya. Gue risih!” Tukas Amira. Amira memilih untuk menyudahi pembicaraan dan mulai menyiapkan makanan dari Raga. “Ayo makan dulu.” Dia mengucapkan terima kasih, lalu mulai melahap. Keduanya tidak bicara lagi setelahnya.Raga hanya menunggu Amira bersiap. Mereka kemudian berjalan ke kelas bersama-sama, sementara Alex menunggu di luar gedung utama.Peraturan Laveire tetap sama. Supir dan pengantar menunggu di tempat yang dite
“Bantu apa?” Tanya Dina penasaran. Dika pun ikut menyimak. “Isi acara. Gue yakin kalian pasti bisa ngelakuin itu.”Amira duduk mendekat. Dia membisikkan permintaannya pada kakak beradik itu. “Mulai besok bisa, kan?” Tanya Amira dengan kedua mata penuh pengharapan. Dika dan Dina saling pandang. Mereka tampak ragu. “Memangnya enggak apa-apa? Orang-orang kan enggak suka sama kita.” Dina tidak mau mempermalukan Amira, juga dirinya sendiri.“Ngomong apa sih? Gue minta karena gue suka,” sahut Amira. “Lagian juga beda bukan berarti benci, kan?”Amira mencoba meyakinkan keduanya, sampai mereka mengucapkan kata iya. Dika yang mengangguk pertama. “Kalau Kak Amira yang nyuruh, aku mau.”Amira tersenyum senang. “Bagus! Besok kalian ikut sama gue.”Ketiganya berbincang tentang kegiatan esok sampai akhirnya Amira berpamitan. Camilan mereka sudah habis, dan hari sudah malam.
“Mau apa?” Amira bertanya bingung. Dilihatnya Raga mengambil handphone dan malah sibuk sendiri. Tak lama, Amira merasakan getaran dari ponselnya. Dia mengeluarkan handphone dari saku dan melihat kontak yang menghubungi. “Ngapain lo nelpon gue?!” Amira menunjukkan layar handphone miliknya yang menyala. Tertulis kontak Raga di sana.Amira tak mengerti. Untuk apa Raga menghubungi dia? Mereka kan saling berhadapan begini. “Jangan tutup telepon dari gue,” ancam Raga saat cowok itu berpamitan. “Pokoknya jangan matiin sampai lo tidur.”“Hah?” Amira mengernyit bingung. Dia tidak mengerti. “Hari pertama lo di tempat baru. Gue enggak mau sampai terjadi apa-apa sama pacar gue.”Amira menilik wajah Raga. Dia menarik tangan cowok itu penasaran. Seketika, sekelebat bayangan masa depan terlihat dalam benaknya. “Lo cemburu?” Amira menghela. “Mau tau gue ngapain aja?” Raga cuma menunjukkan satu jari. “Ha
“Siapa?” Raga ikut melongok keluar, dan dia mendapati Dika dan Dina di pintu masuk. Seketika, tatapan Raga berubah tajam. Dia mendelik tidak suka. “Kalian ngapain di sini?” Tanya Raga, sinis. Dika dan Dina saling pandang. Mereka malah menunjuk kamar Amira. “Murid yang mau tinggal di sini itu kamu?” Tanya Dina tak percaya. Dina melihat kamar yang terbuka, dan dia langsung tahu jika dugaannya benar. “Wah, keren! Kak Amira tinggal sama kita!” Seru Dika, sangat bersemangat. Sebaliknya, Raga langsung menarik Amira. Dengan sengaja, Raga menyembunyikan Amira di balik badannya. “Enggak,” ucap Raga sambil menggeleng. “Kita mau pergi.”Namun, Amira tidak menurut. Dia dengan sengaja melepaskan tangannya dari Raga. “Gue tinggal di sini, kok.” Amira berdiri di samping Raga, membiarkan dirinya terlihat oleh Dika dan Dina. Raga tidak bisa membantah lagi. Dia membiarkan Amira bicara.
“Mau nyaingin lo,” jawab Amira. Raga memasang wajah bingung. Dia tidak mengerti. Menyaingi apa? Kenapa mereka harus bersaing?Amira tidak sabar melihat ekspresi Raga yang bingung. Dia mengulurkan tangan, mengambil garpu yang ada di atas mangkuk mi. Raga menggeleng saat Amira menunggu mulutnya terbuka untuk menyuapkan makanan. “Enggak,” tolak Raga. “Jawab dulu.”Amira bergeming. “Makan atau gue colok ke hidung lo.”Ancaman itu membuat Raga berdecak. Mau tak mau dia membuka mulutnya. Amira mengangguk puas saat Raga mulai mengunyah. “Gue enggak mau kalah sama lo.”“Masa pacar gue pewaris, gue cuma meringis? Enggak lucu, kan?” Amira meminta Raga untuk memahami keadaannya. “Gue enggak mau jadi orang enggak pantes berdiri di samping lo.”Mungkin Raga tidak merasa ada masalah, tapi Amira tak bisa begitu. Dia tidak mau malu dan memalukan. “Tapi gue–” Amira kembali menyuapkan ma