Pagi ini, Raga bersiap lebih cepat. Dia sudah siap bahkan sebelum Alex muncul di depan pintu kamarnya. “Elo telat,” sindir Raga sambil menyipitkan mata pada Alex yang baru berjalan mendekat. Padahal cuma beda beberapa detik, tapi Raga menyindirnya sampai seperti ini. “Saya sudah datang lebih awal dari biasanya. Tuan Raga yang terlalu cepat,” balas Alex tak mau kalah. Raga tersenyum dengan jawaban Alex. Awalnya dia sempat cemas jika Alex ditekan oleh Heri, tapi mungkin pengalihan topik yang Raga lakukan semalam cukup berhasil. “Kakek nanya semalem?” Tanya Raga sambil memimpin jalan. Raga melangkah menuju dapur, dengan Alex yang setia di sisinya. “Tidak, Tuan Raga,” jawab Alex singkat. Alex tidak ingin membuat Raga khawatir, jadi dia berbohong. Namun, Raga tentu saja menyadari jawaban singkat Alex yang terdengar pelan. “Bikin dua sandwich, ya,” ucap Raga begitu sampai di dapur. Salah satu asisten rumah tangga mengangguk mendengar permintaan Raga. Dia pergi sesaat seb
Kelas XI-A heboh lagi. Saat ini, seluruh perhatian kelas tertuju pada meja Raga. Padahal bel pulang sudah berbunyi, tapi masih banyak siswa yang enggan beranjak. Mereka ingin mendapatkan tontonan gratis dari cowok most wanted di Laveire. “Raga!” Panggilan itu membuat Raga menoleh. Dia mendapati dua orang perempuan yang berdiri di depannya. “Mau ngapain?” Tanya Raga sinis. Raga bisa menebak jika keduanya akan mencari masalah dengannya. “Lo kok gitu sama temen sekelas sendiri?” Salah satu dari mereka berucap. “Padahal Angel udah baik banget sama lo! Dia cuma mau pastiin lo enggak ketinggalan info di kelas, makanya dia minta nomor lo!” Raga menatap kedua perempuan itu sekilas. Dia baru sadar kalau salah satunya adalah cewek yang mengganggunya kemarin. Cewek yang mendapatkan tendangan meja dari Raga. “Emangnya semua orang yang minta nomor lo itu suka sama lo? Jangan kepedean!” Raga menatap keduanya muak. Dia sungguh tidak punya waktu untuk hal ini. Raga sudah punya janji untuk
Raga sabar menunggu. Dia duduk di lantai kamar Amira yang dingin tanpa mengajukan keluhan. Amira pun kembali padanya setelah selesai menjemur pakaiannya di pinggir teras rumah. “Jadi mau ngapain lagi ke sini?” Tanya Amira sambil mengambil tempat duduk di depan Raga. Amira bisa melihat Raga yang cemberut. Cowok itu pasti kesal karena sudah menunggunya lama. “Capek gue dianggurin!” Raga mengeluh sambil merajuk. Sikap manja Raga membuat Amira menghela. Tuan muda di depannya ini ternyata haus perhatian. “Gue juga capek!” Balas Amira dengan wajah sama cemberut. “Gue habis keluar beli sayuran, bumbu masak, minyak goreng. Habis itu gue langsung nyuci. Eh, lo malah dateng!” Raga balas emosi. “Jadi lo enggak seneng gue dateng?” Amira ingin menjawab iya. Namun, dia teringat jika Raga adalah majikannya. “Gue laper!” Sahut Amira sambil beranjak. Amira memilih untuk mengakhiri perdebatan tak penting mereka. Hari sudah sore, lebih baik menyiapkan makanan. Entah keberuntungan atau kebe
Amira memicing. Tatapannya tertuju tajam pada Raga, menunjukkan ketidaksukaan. Suasana rumah kontrakan Amira yang sebelumnya damai, sekarang jadi panas membara. “Enggak usah,” tolak Amira tegas. “Ngapain jemput? Buat apa nganterin? Gue bisa pergi sendiri.” Tidak mau lagi Amira merepotkan Raga. Lagipula Amira bukan sekarat atau apa. “Tapi gue mau,” balas Raga tak kalah tegas. “Dan gue yang nentuin, bukan lo.” Amira meringis. Dia tidak menyangka jika Raga akan seenak udel seperti ini padanya. “Jangan lupa kalau elo kerja sama gue,” sinis Raga. “Emang gue belum bahas masalah ini, tapi kebetulan sekarang waktunya udah pas.” Makanan di depan mereka terabaikan. Raga lebih fokus berbicara dengan Amira. “Elo udah setuju kerja sama gue. Kita udah deal dengan harganya, tapi gue belum bilang apa aja kerjaan lo.” Amira melotot tak percaya. Waktu itu dia memang langsung setuju saat Raga memintanya jadi bodyguard, tapi Amira belum tahu detailnya. “Lo jangan manfaatin keadaan gue, dong!”
Tidur Raga tidak nyenyak semalam. Dia terbangun dari ranjangnya dengan suasana hati yang buruk karena penolakan Amira. “Padahal dia yang lebih butuh gue!” Sungut Raga kesal. Daripada terus jengkel, Raga memilih untuk bersiap. “Selamat pagi, Tuan Raga,” sapaan dari Alex menyambut Raga ketika dia membuka pintu kamar. Seperti biasa, mereka berjalan bersisian ke dapur. Raga memilih roti isi sebagai sarapan sebelum berangkat. “Ke rumah Amira dulu,” ucap Raga pada Alex sebelum supirnya itu mulai menyetir. Saat Alex sibuk mengemudi, Raga mengirimkan pesan pada Amira. “Jam kerja lo dimulai sekarang. Gue otw ke sana.” Raga membaca ulang isi pesannya sebelum dikirim. Amira bisa menolak, tapi Raga juga punya kuasa untuk memaksa. Dia bosnya. Tak sampai semenit, balasan untuk pesan Raga sampai. “Tunggu di depan gang.” Raga tersenyum miring. Benar, kan? Raga bisa membuat Amira mematuhi apa yang dia katakan. Di ujung gang, Raga bisa melihat sosok Amira yang menunggu. Gadis itu
“Lo sengaja, kan?” Amira menghentakkan kaki kesal. Di depan meja guru piket, Raga dan Amira sedang menunggu surat izin dari sekolah. Amira, memang jujur dengan mengatakan jika dia ingin memeriksakan diri ke dokter, sementara Raga membual dengan penyakitnya. “Lo enggak kenapa-kenapa pas di kelas tadi!” Tuduh Amira sambil menunjuk. Raga ini selalu saja ingin ikut Amira kemanapun. Seolah tak rela membiarkan Amira sendirian. “Duh, gue pusing banget!” Raga berpura-pura kesakitan. Amira menendang Raga kesal. Dia jengkel sendiri melihat akting Raga yang begitu buruk. “Ini suratnya,” ucapan dari guru piket mengalihkan perhatian Raga dan Amira. “Semoga cepat sembuh, ya.” Amira dan Raga mendapatkan masing-masing satu surat. Mereka pun pergi setelah Amira mengucapkan terima kasih. Alex sudah menunggu mereka dengan pintu mobil yang terbuka. Sepertinya Raga sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Amira menghela. Dia pun menurut masuk ke dalam mobil, membiarkan Raga mengantarny
Alex menyetir mobil dengan kecepatan rendah. Dia tidak mau memanasi Raga yang sedang emosi saat ini. Mereka keluar dari rumah Amira dengan Raga yang memaki kesal. Amira bahkan sampai memohon pada Alex untuk menerima uang yang dia berikan untuk Raga. “Kenapa, sih?” Teriak Raga kesal. Berkali-kali dia menendang kursi di depannya sampai mobil bergetar. “Bukannya cewek itu seneng kalau dikasih hadiah?” Pertanyaan Raga yang tiba-tiba membuat Alex panik. Dia tidak menduga kalau Raga akan bertanya. Sebelumnya, Raga hanya berteriak marah dan mengamuk tidak jelas. Alex berpikir cepat. Dia mencoba memberikan jawaban yang tidak akan membuat Raga semakin menggila. “Kebanyakan seperti itu, Tuan,” jawab Alex pelan. Dia berusaha untuk tidak membantah, tapi juga tak mengiyakan. “Namun, untuk kasus Nona Amira, Tuan Raga yang lebih mengerti. Tuan Raga memahami Nona Amira lebih dari saya.” Kalimat Alex sukses membuat Raga terdiam. Alex benar, harusnya Raga yang lebih mengerti Amira. Kenapa
Seperti biasa, Alex mengawasi Raga dan Amira dari sudut yang tak terlihat. Meski dia ingin menyimak dengan seksama pembicaraan serius keduanya, Alex tidak bisa lengah. Matanya tajam mengawasi keadaan sekitar. “Gue nolong lo sekali, tapi lo terus-terusan bantu gue. Rasanya aneh,” protes Amira. Amira mengingat hari pertama mereka bertemu. Saat itu Amira memang menolong Raga. Itu pertama kalinya Amira menggunakan kelebihannya untuk membantu orang lain, bukan sekedar mencari keuntungan sendiri. “Kenapa bantuin gue terus? Apa yang lo mau dari gue?” Berulang kali Amira memikirkannya, tapi dia tidak tahu apa yang Raga inginkan. “Di dunia ini enggak ada yang gratis, Raga ….” Setidaknya, hal itulah yang Amira pahami. Pelajaran yang dia dapatkan dari kesendirian, bahwa kebaikan datang dengan mengharapkan balasan. “Jadi lo punya trust issue?” Raga menebak Amira dengan sangat tepat. Sekarang Amira tampak terkejut. Gadis itu menghindar dari tatapan Raga. “Enggak semua orang itu bajin
“Kamu enggak apa-apa?” Tanya Dina. Dia mengajak Amira untuk duduk dan bicara, tapi Amira terlalu malu untuk melakukannya.“Enggak apa-apa,” jawab Amira cepat. “Gue … lagi malas ngomong aja.”Dina cuma angkat bahu. “Oh ….” Dia menarik Amira mendekat. “Ya udah duduk aja, enggak usah ngomong.”Amira jadi tak memiliki alasan untuk menolak. Dia mengambil tempat di sebelah Dina, menghela keras di sana. “Udah lama ya, kita enggak duduk bareng kayak gini,” ucap Dina sambil memasang senyum.“Aku senang kedatangan aku enggak sia-sia.”Dina memandang jauh ke depan, seolah sedang mengingat masa lalu di antara mereka sebelum ini. “Padahal awalnya aku mau nyerah,” sambung Dina. “Apalagi saat tahu kamu punya teman-teman yang ternyata sangat baik, lebih daripada aku.”Kali ini Dina menoleh, menatap Amira. “Mereka–”“Amira!” Raga menangkap tangan Amira, tidak membiarkan gadis itu hilang dari pandangannya lagi. “Kenapa kabur dari gue?!” serunya, dengan tatapan tajam. Amira beringsut sedikit. Baru
“Ini penampilan apa?” Perhatian para tamu undangan langsung tertuju ke arah panggung. Musik tradisional yang mengalun, membuat mereka tertarik. “Apa ini … tarian?”Suasana berubah hening saat Dika dan Dina masuk ke tengah panggung. Kostum mereka, riasan mereka, begitu memukau sampai-sampai tak ada satu pun penonton yang membuka mulutnya. “Ini bagus sekali ….” “Aku baru melihat penampilan seperti ini.”“Ternyata Laveire adalah sekolah yang sangat menarik.”Amira tersenyum puas. Nyatanya, keputusan yang dia ambil sangat tepat. Memilih penampilan Dina dan Dika sebagai yang pertama adalah yang terbaik. Sorakan meriah bergema di aula saat Dika dan Dina mulai menari. Gerakan mereka lincah dan penuh energi, selaras dengan irama musik jaipong yang menggelegar memenuhi ruangan. ‘Udah lama, gue enggak ngeliat yang seperti ini,’ ucap Amira dalam hati. Penampilan Dina dan Dika menarik Amira ke masa lalu. Kehidupan yang damai di desa di saat kedua orang tua Amira masih lengkap. ‘Masa lalu
“Amira?” Raga memicing. “Lo kenapa?”Amira tidak peduli dengan tatapan bingung Raga. Dia sibuk menarik pacarnya itu ke sisinya. “Jangan deket-deket pacar gue!” Bentak Amira kasar. Kedua matanya melotot, dan kakinya menghentak kesal.Luntur semua image yang Amira jaga sampai saat ini. Biasanya, dia selalu bersikap tenang dan tidak peduli di depan Raga, tapi sekarang Amira tidak bisa. “Lo siapa?” Rasanya emosi Amira sudah naik sampai ke ubun-ubun. Tangannya mendorong perempuan itu menjauh. Amira sungguh tidak menyukainya.Perempuan yang datang bersama Raga, sekali lihat saja Amira langsung tahu, jika perempuan itu setara dengan Raga. Keduanya serasi, meski Amira tak ingin mengakui. Amira tidak bisa mengelak dari rasa rendah diri saat ini. Meski begitu, dia tak mau mengalah. Raga adalah pacarnya. “Aku?” Perempuan itu menunjuk dirinya sendiri. “Namaku Celine. Aku pacar Raga.”Tangan Amira terulur sempurna. Dia meraih kerah seragam yang dipakai perempuan itu. Celine memekik, membua
“Enggak,” ucap Amira pelan. Ini bukannya Amira yang terlalu banyak berpikir. Raga memang menjauh darinya. Di kantin, Amira duduk bersebelahan dengan Raga, tapi cowok itu tidak perhatian seperti sebelumnya.“Mau makan apa?” Biasanya Raga bertanya seperti itu, tapi kali ini Evan yang bersuara. “Gue pesen sendiri aja,” jawab Amira. Amira memilih untuk beranjak dari kursi. Rasanya sudah lama dia tidak memesan sendiri seperti sekarang. “Enggak apa-apa, kan gue yang minta,” ucap Amira pada dirinya sendiri. “Lebih baik begini, kan. Sewajarnya.” Amira mencoba menghibur diri.Di meja mereka, Amira menatap piringnya, menusuk-nusuk makanannya dengan garpu. Dia sungguh tidak bersemangat. Amira teringat akan sikap Raga sebelum dia memintanya menjauh. Kalau itu dulu, Raga pasti akan menatapnya lekat-lekat, bertanya kenapa Amira tidak nafsu makan, juga menanyakan apa yang Amira mau.
“Enggak,” jawab Raga. Tentu saja Amira bisa menebak jika itu adalah jawaban yang akan Raga berikan. “Kalau begitu … kasih tau gue batasnya.” Raga mencoba mengalah. Di saat kesabaran Amira hampir habis, akhirnya cowok itu sadar dan peka. Amira menjawab dengan sebuah tatapan lekat. “Sewajarnya, Raga. Mungkin kayak dulu ke mantan-mantan lo sebelumnya?”Pastinya Raga lebih tahu, karena cowok itu pernah punya pacar. Tidak seperti Amira. “Jangan terlalu deket pokoknya. Gue risih!” Tukas Amira. Amira memilih untuk menyudahi pembicaraan dan mulai menyiapkan makanan dari Raga. “Ayo makan dulu.” Dia mengucapkan terima kasih, lalu mulai melahap. Keduanya tidak bicara lagi setelahnya.Raga hanya menunggu Amira bersiap. Mereka kemudian berjalan ke kelas bersama-sama, sementara Alex menunggu di luar gedung utama.Peraturan Laveire tetap sama. Supir dan pengantar menunggu di tempat yang dite
“Bantu apa?” Tanya Dina penasaran. Dika pun ikut menyimak. “Isi acara. Gue yakin kalian pasti bisa ngelakuin itu.”Amira duduk mendekat. Dia membisikkan permintaannya pada kakak beradik itu. “Mulai besok bisa, kan?” Tanya Amira dengan kedua mata penuh pengharapan. Dika dan Dina saling pandang. Mereka tampak ragu. “Memangnya enggak apa-apa? Orang-orang kan enggak suka sama kita.” Dina tidak mau mempermalukan Amira, juga dirinya sendiri.“Ngomong apa sih? Gue minta karena gue suka,” sahut Amira. “Lagian juga beda bukan berarti benci, kan?”Amira mencoba meyakinkan keduanya, sampai mereka mengucapkan kata iya. Dika yang mengangguk pertama. “Kalau Kak Amira yang nyuruh, aku mau.”Amira tersenyum senang. “Bagus! Besok kalian ikut sama gue.”Ketiganya berbincang tentang kegiatan esok sampai akhirnya Amira berpamitan. Camilan mereka sudah habis, dan hari sudah malam.
“Mau apa?” Amira bertanya bingung. Dilihatnya Raga mengambil handphone dan malah sibuk sendiri. Tak lama, Amira merasakan getaran dari ponselnya. Dia mengeluarkan handphone dari saku dan melihat kontak yang menghubungi. “Ngapain lo nelpon gue?!” Amira menunjukkan layar handphone miliknya yang menyala. Tertulis kontak Raga di sana.Amira tak mengerti. Untuk apa Raga menghubungi dia? Mereka kan saling berhadapan begini. “Jangan tutup telepon dari gue,” ancam Raga saat cowok itu berpamitan. “Pokoknya jangan matiin sampai lo tidur.”“Hah?” Amira mengernyit bingung. Dia tidak mengerti. “Hari pertama lo di tempat baru. Gue enggak mau sampai terjadi apa-apa sama pacar gue.”Amira menilik wajah Raga. Dia menarik tangan cowok itu penasaran. Seketika, sekelebat bayangan masa depan terlihat dalam benaknya. “Lo cemburu?” Amira menghela. “Mau tau gue ngapain aja?” Raga cuma menunjukkan satu jari. “Ha
“Siapa?” Raga ikut melongok keluar, dan dia mendapati Dika dan Dina di pintu masuk. Seketika, tatapan Raga berubah tajam. Dia mendelik tidak suka. “Kalian ngapain di sini?” Tanya Raga, sinis. Dika dan Dina saling pandang. Mereka malah menunjuk kamar Amira. “Murid yang mau tinggal di sini itu kamu?” Tanya Dina tak percaya. Dina melihat kamar yang terbuka, dan dia langsung tahu jika dugaannya benar. “Wah, keren! Kak Amira tinggal sama kita!” Seru Dika, sangat bersemangat. Sebaliknya, Raga langsung menarik Amira. Dengan sengaja, Raga menyembunyikan Amira di balik badannya. “Enggak,” ucap Raga sambil menggeleng. “Kita mau pergi.”Namun, Amira tidak menurut. Dia dengan sengaja melepaskan tangannya dari Raga. “Gue tinggal di sini, kok.” Amira berdiri di samping Raga, membiarkan dirinya terlihat oleh Dika dan Dina. Raga tidak bisa membantah lagi. Dia membiarkan Amira bicara.
“Mau nyaingin lo,” jawab Amira. Raga memasang wajah bingung. Dia tidak mengerti. Menyaingi apa? Kenapa mereka harus bersaing?Amira tidak sabar melihat ekspresi Raga yang bingung. Dia mengulurkan tangan, mengambil garpu yang ada di atas mangkuk mi. Raga menggeleng saat Amira menunggu mulutnya terbuka untuk menyuapkan makanan. “Enggak,” tolak Raga. “Jawab dulu.”Amira bergeming. “Makan atau gue colok ke hidung lo.”Ancaman itu membuat Raga berdecak. Mau tak mau dia membuka mulutnya. Amira mengangguk puas saat Raga mulai mengunyah. “Gue enggak mau kalah sama lo.”“Masa pacar gue pewaris, gue cuma meringis? Enggak lucu, kan?” Amira meminta Raga untuk memahami keadaannya. “Gue enggak mau jadi orang enggak pantes berdiri di samping lo.”Mungkin Raga tidak merasa ada masalah, tapi Amira tak bisa begitu. Dia tidak mau malu dan memalukan. “Tapi gue–” Amira kembali menyuapkan ma