Seperti biasa, Alex mengawasi Raga dan Amira dari sudut yang tak terlihat. Meski dia ingin menyimak dengan seksama pembicaraan serius keduanya, Alex tidak bisa lengah. Matanya tajam mengawasi keadaan sekitar. “Gue nolong lo sekali, tapi lo terus-terusan bantu gue. Rasanya aneh,” protes Amira. Amira mengingat hari pertama mereka bertemu. Saat itu Amira memang menolong Raga. Itu pertama kalinya Amira menggunakan kelebihannya untuk membantu orang lain, bukan sekedar mencari keuntungan sendiri. “Kenapa bantuin gue terus? Apa yang lo mau dari gue?” Berulang kali Amira memikirkannya, tapi dia tidak tahu apa yang Raga inginkan. “Di dunia ini enggak ada yang gratis, Raga ….” Setidaknya, hal itulah yang Amira pahami. Pelajaran yang dia dapatkan dari kesendirian, bahwa kebaikan datang dengan mengharapkan balasan. “Jadi lo punya trust issue?” Raga menebak Amira dengan sangat tepat. Sekarang Amira tampak terkejut. Gadis itu menghindar dari tatapan Raga. “Enggak semua orang itu bajin
Guru menjelaskan pelajaran di depan kelas. Semua siswa di kelas XI-A memperhatikan, kecuali satu orang. “Mana?” Tangan Raga sibuk menuntut. Amira menghela. Di bawah meja, dia memberikan tangannya pada Raga. Sebentar lagi jam pulang sekolah, jadi Amira memang harus mengecek apa yang akan terjadi nanti. “Eh?” Amira menggumam heran. Kali ini tidak seperti biasanya. Di hari lain Amira hanya akan menjawab aman, atau tidak ada apa-apa. “Kenapa?” Raga langsung menoleh. Raga merasakan tangan Amira yang menggenggamnya semakin erat. Bahkan sekarang gadis itu sedang memejamkan mata, mencoba fokus pada sesuatu. “Pelajaran hari ini sampai di sini. Kita lanjutkan minggu depan!” Amira terpaksa menyela kegiatannya sesaat. Dia harus memimpin teman-teman sekelas untuk memberikan salam pada guru. “Lo liat apa?” Raga langsung bertanya saat guru beranjak pergi. Keduanya tidak peduli pada hiruk pikuk kelas di jam pulang sekolah. Baik Amira maupun Raga tidak bergerak dari kursi mereka. A
Di tempat parkir Laveire, Raga sibuk adu urat leher dengan Alex. Meski sudah menggunakan statusnya sebagai majikan, Alex masih keras kepala. “Ini menyalahi tugas saya, Tuan,” ucap Alex setengah memohon. Alex paham jika apa yang Raga katakan benar, tapi dia tidak bisa membiarkan tuan muda yang harusnya dia jaga pergi sendirian. “Gue bakal baik-baik aja selama gue sama Amira.” Kepercayaan Raga pada Amira membuat gadis itu gelisah. Begitu mudahnya Raga menyerahkan nasib hidupnya pada Amira. “Kalo lo? Percaya sama gue enggak?” Pertanyaan Raga membuat Alex memalingkan wajah. Alex tak mampu menjawab. “Tuan Raga, ini sangat sulit untuk saya,” sahut Alex pelan. Nada bicara Alex merendah. Suaranya terus mengecil hingga tak bersisa. Amira yang sejak tadi hanya melihat, tak bisa terus diam. Dia akhirnya angkat bicara diantara perdebatan dua lelaki itu. “Saya yang akan bertanggung jawab atas Raga, Pak Pengawal!” Seru Amira tegas. “Saya akan menjamin keselamatan Raga. Dia engg
“Enggak!” Teriakan Amira menggema di dalam taksi yang sedang mereka tumpangi. Supir taksi yang mengantar mereka bahkan sampai terkejut. Beruntung mobil tidak oleng. “Lo gila, ya? Sakit kuping gue!” Protes Raga kesal. Dia mengusap telinganya yang berdengung. Amira hanya bisa memberikan senyum canggung. Semua karena Raga mengatakan hal yang mengejutkan. Pergi ke rumah Raga? Tidak, terima kasih. “Biar gue cek.” Secepat kilat Amira menarik tangan Raga. Dia terdiam sebentar untuk melihat masa depan. “Enggak akan ada yang terjadi. Semua aman, jadi gue turun di sini, ya!” Raga mendelik sinis. Dia tidak percaya semudah itu Amira berubah sikap padanya. “Perasaan tadi ada yang bilang sampe mau bertaruh nyawa buat mastiin gue aman,” sindir Raga. “Belum ada satu jam udah berubah lagi ucapannya.” Amira mendengus. Memang sebelum ini dia yang memberikan janji-janji itu. Amira mengatakan bahwa dia yang akan menjamin keamanan Raga. Amira bahkan berjanji tidak akan membiarkan Raga terluka sed
Amira yakin jika Raga sengaja. Di ruang tamu kediaman keluarga Wijaya, di mana hanya ada mereka, Raga membuat Amira salah tingkah begini. “Lo yang pertama, Amira. Belum pernah ada seorang pun yang gue bawa ke rumah. Apalagi cewek ….” Sepak terjang Raga dalam menghadapi perempuan memang sangat buruk. Meski begitu, Raga memiliki paras yang luar biasa tampan. Rasanya tidak mungkin jika Raga tak pernah dekat dengan perempuan manapun. “Enggak percaya, ya?” ucap Raga saat melihat wajah penuh curiga dari Amira. Amira memang tidak menutupi sama sekali ekspresinya. Dia memicing dengan ujung alis terangkat. “Gue enggak bohong ….” Raga berucap pelan. Suaranya berubah lembut. “Gue serius, Amira ….” Perlahan, Raga bergerak mendekat. Dia membuat jarak di antara mereka terkikis habis, menyisakan sejengkal ruang tersisa. “Dalam banyak hal, elo jadi yang pertama di hidup gue ….” Amira bisa merasakan detak jantungnya yang berubah menggila. Raga yang biasanya bersikap menyebalkan, sekarang ta
Raga memandang langit-langit kamarnya kesal. Dia hanya menatap tanpa berkedip. Otaknya masih sibuk memutar ingatan perdebatannya dengan Amira. Hatinya masih merasa kesal dan kecewa luar biasa. Tok tok. Raga mendengar suara yang mengetuk pintu kamarnya. Dia berteriak bertanya. “Siapa?” Jawaban di luar sana adalah suara dari orang yang sangat Raga kenal. “Saya Alex, Tuan Raga.” Saat ini Raga sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Dia bahkan malas hanya untuk sekedar bergerak. “Saya mau melaporkan tentang orang yang berusaha mengejar Tuan Raga tadi,” ucap Alex dari luar kamar. Raga masih terdiam. Dia berusaha mengumpulkan motivasi untuk bangkit dan membuka pintu kamarnya yang terkunci. “Saya juga membawa pesan yang dititipkan Nona Amira,” sambung Alex. Raut wajah Raga seketika berubah. Dia yang sebelumnya enggan, sekarang mulai penasaran. Meski begitu, rasa kesal yang masih bercokol dalam hati, membuat Raga tak langsung menjawab. “Apa Tuan Raga sedang beristirahat? Ka
Hari masih pagi, tapi Amira sudah resah. Sejak kemarin dia tidak menghubungi Raga lagi. Untuk kesekian kalinya mereka berdebat tanpa ada ujung. “Dia bakal masuk sekolah, kan?” Gumam Amira pada dirinya sendiri.Berbagai macam dugaan masuk ke dalam benak Amira. Mulai dari mereka yang saling membuang muka, atau Raga tidak datang ke sekolah sama sekali.“Mikirin gue, ya?” Belaian lembut di puncak kepala Amira membuat gadis itu mendongak. Dia mendapati wajah Raga yang tersenyum ke arahnya.“Enggak,” bantah Amira singkat. Amira sengaja mengubah ekspresi menjadi datar. Dia menatap lurus ke arah Raga, menunjukkan kalau dia serius. Amira tidak mau Raga menyadari jika jantungnya sedang berdegup kencang sekarang.“Percaya,” sahut Raga.Raga mengambil tempat untuk duduk di samping Amira. Dia menatap Amira yang sibuk mengalihkan pandang.“Liat apa?” Raga memanjangkan tangan, melambai di depan Amira.Amira terpaksa menoleh saat wajah Raga muncul di depannya.“Jam kerja lo udah mulai,” ujar Raga.
Amira berjalan di lorong sekolah. Langkahnya semakin lama semakin cepat. Di belakang Amira, ada Raga yang mengejar. “Ih! Jangan ngikutin melulu, kenapa sih?” Gerutu Amira.Belum sehari berlalu, tapi rasanya Amira sudah tidak kuat. Permintaan Raga untuk mengecek apa yang terjadi di masa depan sejam sekali, membuat Amira jengah. Raga terus saja mengulurkan tangan, di sepanjang pelajaran, di jam istirahat, di setiap hela napasnya. “Berhenti!” Amira berseru keras. Dia berbalik dan mendapati Raga di depannya. “Jangan ikutin gue lagi!” Raga hanya angkat bahu. Dia menatap sok bingung. “Kenapa? Kan gue cuma mau mempermudah tugas lo?”Amira menghentakan kakinya kesal. Rasanya percuma saja bicara pada Raga. Cowok itu akan terus berpura-pura polos sambil mengikuti langkahnya. Hanya ada satu tempat di mana Amira bisa bebas dari Raga. Brak! Amira masuk ke dalam satu ruangan, lalu menutup pintunya keras. Di tempat ini, Raga tak akan berani mengganggu. Toilet perempuan adalah tempat paling aman
“Kamu enggak apa-apa?” Tanya Dina. Dia mengajak Amira untuk duduk dan bicara, tapi Amira terlalu malu untuk melakukannya.“Enggak apa-apa,” jawab Amira cepat. “Gue … lagi malas ngomong aja.”Dina cuma angkat bahu. “Oh ….” Dia menarik Amira mendekat. “Ya udah duduk aja, enggak usah ngomong.”Amira jadi tak memiliki alasan untuk menolak. Dia mengambil tempat di sebelah Dina, menghela keras di sana. “Udah lama ya, kita enggak duduk bareng kayak gini,” ucap Dina sambil memasang senyum.“Aku senang kedatangan aku enggak sia-sia.”Dina memandang jauh ke depan, seolah sedang mengingat masa lalu di antara mereka sebelum ini. “Padahal awalnya aku mau nyerah,” sambung Dina. “Apalagi saat tahu kamu punya teman-teman yang ternyata sangat baik, lebih daripada aku.”Kali ini Dina menoleh, menatap Amira. “Mereka–”“Amira!” Raga menangkap tangan Amira, tidak membiarkan gadis itu hilang dari pandangannya lagi. “Kenapa kabur dari gue?!” serunya, dengan tatapan tajam. Amira beringsut sedikit. Baru
“Ini penampilan apa?” Perhatian para tamu undangan langsung tertuju ke arah panggung. Musik tradisional yang mengalun, membuat mereka tertarik. “Apa ini … tarian?”Suasana berubah hening saat Dika dan Dina masuk ke tengah panggung. Kostum mereka, riasan mereka, begitu memukau sampai-sampai tak ada satu pun penonton yang membuka mulutnya. “Ini bagus sekali ….” “Aku baru melihat penampilan seperti ini.”“Ternyata Laveire adalah sekolah yang sangat menarik.”Amira tersenyum puas. Nyatanya, keputusan yang dia ambil sangat tepat. Memilih penampilan Dina dan Dika sebagai yang pertama adalah yang terbaik. Sorakan meriah bergema di aula saat Dika dan Dina mulai menari. Gerakan mereka lincah dan penuh energi, selaras dengan irama musik jaipong yang menggelegar memenuhi ruangan. ‘Udah lama, gue enggak ngeliat yang seperti ini,’ ucap Amira dalam hati. Penampilan Dina dan Dika menarik Amira ke masa lalu. Kehidupan yang damai di desa di saat kedua orang tua Amira masih lengkap. ‘Masa lalu
“Amira?” Raga memicing. “Lo kenapa?”Amira tidak peduli dengan tatapan bingung Raga. Dia sibuk menarik pacarnya itu ke sisinya. “Jangan deket-deket pacar gue!” Bentak Amira kasar. Kedua matanya melotot, dan kakinya menghentak kesal.Luntur semua image yang Amira jaga sampai saat ini. Biasanya, dia selalu bersikap tenang dan tidak peduli di depan Raga, tapi sekarang Amira tidak bisa. “Lo siapa?” Rasanya emosi Amira sudah naik sampai ke ubun-ubun. Tangannya mendorong perempuan itu menjauh. Amira sungguh tidak menyukainya.Perempuan yang datang bersama Raga, sekali lihat saja Amira langsung tahu, jika perempuan itu setara dengan Raga. Keduanya serasi, meski Amira tak ingin mengakui. Amira tidak bisa mengelak dari rasa rendah diri saat ini. Meski begitu, dia tak mau mengalah. Raga adalah pacarnya. “Aku?” Perempuan itu menunjuk dirinya sendiri. “Namaku Celine. Aku pacar Raga.”Tangan Amira terulur sempurna. Dia meraih kerah seragam yang dipakai perempuan itu. Celine memekik, membua
“Enggak,” ucap Amira pelan. Ini bukannya Amira yang terlalu banyak berpikir. Raga memang menjauh darinya. Di kantin, Amira duduk bersebelahan dengan Raga, tapi cowok itu tidak perhatian seperti sebelumnya.“Mau makan apa?” Biasanya Raga bertanya seperti itu, tapi kali ini Evan yang bersuara. “Gue pesen sendiri aja,” jawab Amira. Amira memilih untuk beranjak dari kursi. Rasanya sudah lama dia tidak memesan sendiri seperti sekarang. “Enggak apa-apa, kan gue yang minta,” ucap Amira pada dirinya sendiri. “Lebih baik begini, kan. Sewajarnya.” Amira mencoba menghibur diri.Di meja mereka, Amira menatap piringnya, menusuk-nusuk makanannya dengan garpu. Dia sungguh tidak bersemangat. Amira teringat akan sikap Raga sebelum dia memintanya menjauh. Kalau itu dulu, Raga pasti akan menatapnya lekat-lekat, bertanya kenapa Amira tidak nafsu makan, juga menanyakan apa yang Amira mau.
“Enggak,” jawab Raga. Tentu saja Amira bisa menebak jika itu adalah jawaban yang akan Raga berikan. “Kalau begitu … kasih tau gue batasnya.” Raga mencoba mengalah. Di saat kesabaran Amira hampir habis, akhirnya cowok itu sadar dan peka. Amira menjawab dengan sebuah tatapan lekat. “Sewajarnya, Raga. Mungkin kayak dulu ke mantan-mantan lo sebelumnya?”Pastinya Raga lebih tahu, karena cowok itu pernah punya pacar. Tidak seperti Amira. “Jangan terlalu deket pokoknya. Gue risih!” Tukas Amira. Amira memilih untuk menyudahi pembicaraan dan mulai menyiapkan makanan dari Raga. “Ayo makan dulu.” Dia mengucapkan terima kasih, lalu mulai melahap. Keduanya tidak bicara lagi setelahnya.Raga hanya menunggu Amira bersiap. Mereka kemudian berjalan ke kelas bersama-sama, sementara Alex menunggu di luar gedung utama.Peraturan Laveire tetap sama. Supir dan pengantar menunggu di tempat yang dite
“Bantu apa?” Tanya Dina penasaran. Dika pun ikut menyimak. “Isi acara. Gue yakin kalian pasti bisa ngelakuin itu.”Amira duduk mendekat. Dia membisikkan permintaannya pada kakak beradik itu. “Mulai besok bisa, kan?” Tanya Amira dengan kedua mata penuh pengharapan. Dika dan Dina saling pandang. Mereka tampak ragu. “Memangnya enggak apa-apa? Orang-orang kan enggak suka sama kita.” Dina tidak mau mempermalukan Amira, juga dirinya sendiri.“Ngomong apa sih? Gue minta karena gue suka,” sahut Amira. “Lagian juga beda bukan berarti benci, kan?”Amira mencoba meyakinkan keduanya, sampai mereka mengucapkan kata iya. Dika yang mengangguk pertama. “Kalau Kak Amira yang nyuruh, aku mau.”Amira tersenyum senang. “Bagus! Besok kalian ikut sama gue.”Ketiganya berbincang tentang kegiatan esok sampai akhirnya Amira berpamitan. Camilan mereka sudah habis, dan hari sudah malam.
“Mau apa?” Amira bertanya bingung. Dilihatnya Raga mengambil handphone dan malah sibuk sendiri. Tak lama, Amira merasakan getaran dari ponselnya. Dia mengeluarkan handphone dari saku dan melihat kontak yang menghubungi. “Ngapain lo nelpon gue?!” Amira menunjukkan layar handphone miliknya yang menyala. Tertulis kontak Raga di sana.Amira tak mengerti. Untuk apa Raga menghubungi dia? Mereka kan saling berhadapan begini. “Jangan tutup telepon dari gue,” ancam Raga saat cowok itu berpamitan. “Pokoknya jangan matiin sampai lo tidur.”“Hah?” Amira mengernyit bingung. Dia tidak mengerti. “Hari pertama lo di tempat baru. Gue enggak mau sampai terjadi apa-apa sama pacar gue.”Amira menilik wajah Raga. Dia menarik tangan cowok itu penasaran. Seketika, sekelebat bayangan masa depan terlihat dalam benaknya. “Lo cemburu?” Amira menghela. “Mau tau gue ngapain aja?” Raga cuma menunjukkan satu jari. “Ha
“Siapa?” Raga ikut melongok keluar, dan dia mendapati Dika dan Dina di pintu masuk. Seketika, tatapan Raga berubah tajam. Dia mendelik tidak suka. “Kalian ngapain di sini?” Tanya Raga, sinis. Dika dan Dina saling pandang. Mereka malah menunjuk kamar Amira. “Murid yang mau tinggal di sini itu kamu?” Tanya Dina tak percaya. Dina melihat kamar yang terbuka, dan dia langsung tahu jika dugaannya benar. “Wah, keren! Kak Amira tinggal sama kita!” Seru Dika, sangat bersemangat. Sebaliknya, Raga langsung menarik Amira. Dengan sengaja, Raga menyembunyikan Amira di balik badannya. “Enggak,” ucap Raga sambil menggeleng. “Kita mau pergi.”Namun, Amira tidak menurut. Dia dengan sengaja melepaskan tangannya dari Raga. “Gue tinggal di sini, kok.” Amira berdiri di samping Raga, membiarkan dirinya terlihat oleh Dika dan Dina. Raga tidak bisa membantah lagi. Dia membiarkan Amira bicara.
“Mau nyaingin lo,” jawab Amira. Raga memasang wajah bingung. Dia tidak mengerti. Menyaingi apa? Kenapa mereka harus bersaing?Amira tidak sabar melihat ekspresi Raga yang bingung. Dia mengulurkan tangan, mengambil garpu yang ada di atas mangkuk mi. Raga menggeleng saat Amira menunggu mulutnya terbuka untuk menyuapkan makanan. “Enggak,” tolak Raga. “Jawab dulu.”Amira bergeming. “Makan atau gue colok ke hidung lo.”Ancaman itu membuat Raga berdecak. Mau tak mau dia membuka mulutnya. Amira mengangguk puas saat Raga mulai mengunyah. “Gue enggak mau kalah sama lo.”“Masa pacar gue pewaris, gue cuma meringis? Enggak lucu, kan?” Amira meminta Raga untuk memahami keadaannya. “Gue enggak mau jadi orang enggak pantes berdiri di samping lo.”Mungkin Raga tidak merasa ada masalah, tapi Amira tak bisa begitu. Dia tidak mau malu dan memalukan. “Tapi gue–” Amira kembali menyuapkan ma