"Maksud Pak Reynald gimana?" Evan bertanya. Saat ini, Evan merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Mungkin saja karena di ruang rawat Amira ini ada banyak orang. Dia jadi tidak bisa mendengar dengan jelas. "Gurunya berhenti semua?" Tanya Evan, sekali lagi. Dia berusaha memastikan. Memang, mereka sudah bisa menduga tentang murid yang pindah. Namun, tidak ada yang menduga jika guru akan melakukan hal yang sama. "Kenapa?!" Evan memekik tak percaya. Reynald hanya bisa angkat bahu. Dia sama tak percaya seperti Evan. Dia juga kaget ketika mendapati pertemuan kemarin yang hanya dihadiri oleh beberapa orang saja. "Kebanyakan tidak mau lagi terlibat dengan Laveire. Mereka tidak mau nama mereka disangkut pautkan." Citra Laveire sudah terlanjur buruk. Meski keluarga Wijaya sudah membantu menutupi kasusnya, tetap saja berita yang beredar dari mulut ke mulut tidak dapat dihentikan. "Kepala sekolah sudah mengundurkan diri, dan kepala yayasan sedang bingung mencari solusi." A
Raga baru selesai membaca tumpukan dokumen di depannya. Lehernya terasa kebas, dan matanya perih. Bahkan kepalanya panas meski sudah berada di bawah pendingin udara.“Gue mau istirahat dulu,” ucap Raga sembari meregangkan tubuhnya. Leon mendapati wajah lelah Raga. Dia dengan perhatian menawarkan Raga secangkir kopi. “Boleh,” sahut Raga mengiyakan. Leon segera beranjak dari tempatnya. Kedua mata Raga mengawasi Leon sampai asisten barunya itu menghilang di balik pintu. Dia langsung mengomel setelah Leon tak bersamanya lagi. “Kakek hebat banget udah nyiapin ruangan baru buat gue,” ucap Raga. Pandangan Raga tertuju ke sekeliling ruangan. Saat dia berangkat tadi pagi, Raga mengira dirinya akan ditempatkan di ruangan Heri seperti biasa. Ternyata, Raga malah mendapatkan ruangannya sendiri. “Kakek bisa nebak kalau gue bakalan kerja di kantor ini. Entah itu tebakan, atau harapan,” sambung Raga, sinis. Raga menghela kemudian. Dia beranjak berdiri, berjalan ke arah jendela yang ada di dal
Raga mengusap wajahnya kasar. Sekarang, dia merasa ruang kerjanya semakin panas saja. Raga menarik kerah kemejanya longgar. Napasnya tiba-tiba jadi sesak. “Ada apa, Tuan Raga?” Tanya Leon, cemas. Leon yang baru datang langsung menghampiri Raga. “Apa Tuan Raga sakit?” Sekilas Leon bisa melihat wajah Raga yang memerah. Leon meletakkan kopi yang ada di tangannya ke atas meja. Dia segera meminta Raga menoleh agar bisa memeriksa, tapi tuan mudanya itu malah berteriak kesal.“Enggak! Gue enggak sakit!” Sungut Raga, penuh emosi. “Gue cuma ma–”Tidak. Tidak mungkin Raga mengaku kalau dia malu.“Gue mau makan! Gue laper! Laper banget! Cepet beliin gue makanan!”Leon mengkerut heran. Dia mendapati Raga yang salah tingkah. Ingin bertanya lebih banyak, tapi tangan Raga malah mendorongnya ke pintu keluar. Raga masih menggerutu kesal. Mulutnya menggumam kata-kata dongkol, tapi semua itu luntur setelah dia mendapatkan satu pesan singkat dari Amira. [Love you, too. Makan yang banyak, Pacar.]Se
Jam sepuluh malam, dan Evan sedang bersantai di kamarnya. Saat dering dari handphone miliknya terdengar, Evan masih terjaga. “Eh?” Evan menatap layar handphone miliknya dengan ekspresi terkejut, juga kaget. Evan mendapati foto Amira terpampang di layar. Amira menghubunginya? Ada apa?“Halo?” Evan langsung menjawab panggilan tersebut. Evan begitu senang sampai dia melupakan satu hal yang penting. “Halo,” sahutan dari seberang terdengar.Bukan suara perempuan yang menyapa telinga Evan. Dia mendengar suara berat laki-laki. “Ini siapa?” Evan sampai menjauhkan layar handphone dari telinganya.Evan memastikan jika dia tidak salah menjawab panggilan. Namun, memang benar itu adalah foto Amira yang terpampang di layar handphone miliknya. “Amira?” Evan memanggil nama Amira. Namun, sekali lagi bukan Amira yang menjawab. Semakin didengar, semakin Evan mengenali suara itu. Dia merasa sering sekali mendengarnya. Entah mengapa suara lelaki di seberang sana membuatnya kesal. Padahal hanya satu
Evan mendesis kesal. Apalagi saat Alex mendorongnya menjauh dari Amira. Sialan. Padahal Raga tidak ada, tapi pengawal ini malah mengganggunya. Suasana di dalam kamar rawat Amira ricuh sesaat ketika Evan mengomel karena teguran Alex. Febby yang kemudian berdiri dan menengahi. “Kok bisa? Ayah lo mau ngurus Laveire?” Febby sangat, sangat penasaran. Febby tahu sendiri bagaimana stressnya Reynald saat ini. Dia ingin memperjuangkan Laveire, tanpa ada yang bisa dilakukan. “Bisa, dong. Ayah gue liat peluang bisnis di Laveire. Dia udah biasa ngurus tempat yang mau bangkrut kayak gitu. Hasilnya kayak yang kalian tau sekarang.” Evan meninggikan dagunya, sombong. Keluarga Evan memang memiliki beberapa hotel terkenal. Evan jelas bisa bersombong karena hal itu. “Tapi kan Laveire enggak punya murid? Guru juga enggak ada.” Febby terus bertanya. Febby tidak menerima jawaban setengah-setengah. Sementara Amira hanya menyimak saja. Dia sudah terlampau senang dengan kabar baik itu. “Nanti sistem L
Amira memegang selimut yang menutupi sebagian kakinya, erat. Dia memang tengah duduk bersandar di atas ranjang di kamar inapnya.“Lo … lagi sibuk banget hari ini?” Tanya Amira, pelan.Sebisa mungkin Amira tidak berucap gugup. Padahal, jantungnya sedang berdebar keras saat ini. Amira susah payah berusaha agar debarannya itu sedikit mereda. Ini pertama kalinya, Amira mengatakan rindu pada Raga. Dia mengajak Raga bertemu lebih dulu. Amira malu, dan juga takut. Dia takut Raga menolaknya. “Kalau lo sibuk, enggak apa-apa besok lagi,” sambung Amira kemudian.Raga bergegas menjawab. “Enggak,” bantahnya. “Buat lo, gue enggak pernah sibuk.”Amira tersenyum. Meski dia tahu Raga hanya sedang bermulut manis, Amira tetap menyukainya. “Bisa tungguin gue nanti malam?” Tanya Raga. “Semalem gue ke tempat lo, tapi lo udah tidur,” sambungnya.Amira terkesiap sesaat. “Lo ke sini?”Semalam, Amira merasa tidak mendengar apa pun. Apa tidurnya memang selelap itu? Apa karena pengaruh obat?“Kenapa lo enggak
“Kakek mau bicara apa?” Raga langsung bertanya setibanya mereka di ruang kerja Heri. Padahal mereka bahkan belum duduk, tapi Raga sudah sangat tidak sabar. Heri menghela. Dia mengabaikan pertanyaan Raga, lebih memilih untuk terus melangkah menuju sofa yang ada di ruang kerjanya. “Kenapa kamu tidak sabaran begitu? Mau ke mana? Ketemu Amira?”Bahkan nama Amira membuat Heri jengah. Dia kesal mendapati Raga yang sebucin itu pada seorang perempuan. “Apa sih yang membuat kamu sebegitu sukanya pada Amira?” Heri sungguh penasaran. Bukannya Heri tidak pernah merasakan jatuh cinta. Dia hanya tidak segila Raga. “Kakek enggak akan ngerti,” sahut Raga singkat. “Pokoknya Amira itu spesial.”Heri mendengus keras. Dia memang tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti!“Jadi, kenapa sekolahnya?” Tanya Raga, mengalihkan pembicaraan. “Kakek udah bantuin masalah keamanan, kan?” Raga sungguh tak ingin membuang waktu. Dia tidak mau berbasa-basi. Dia masuk ke ruangan ini karena Heri membahas tentang
Tidak mau mengganggu Amira lebih lama, Raga memilih untuk berjalan keluar ruangan. Tepat di depan pintu, dia melihat Alex yang sedang menghalangi Leon untuk masuk.“Kenapa saya tidak boleh masuk, Tuan?” tanya Leon pada Raga.Leon merasa kecolongan. Padahal dia cuma menjalankan perintah Raga untuk memesan beberapa bahan baku makanan. “Memangnya apa yang Tuan lakukan di dalam? Apa yang terjadi?” Leon bertanya penasaran. Dia tak berkedip, menunggu jawaban Raga. “Ngisi baterai,” jawab Raga singkat.Seketika, Alex mendelik. Bukan itu yang dia lihat tadi. Raga bukannya sedang mengisi baterai. Tuan mudanya itu bahkan tidak mengeluarkan handphone sama sekali. Baterai mana coba yang diisi?“Baterai apa?” Pertanyaan Leon sama dengan Alex. Alex juga tidak mengerti meski dia menyaksikan sekilas apa yang Raga lakukan. Sungguh, ini bukan tentang baterai. Raga mendengus lelah. Dia menunjuk Leon dan Alex bergantian. “Kalian emang enggak pernah pacaran?”Kedua tangan Raga terlipat di depan dada.
“Siapa yang melakukannya?” Tanya Reynald. Dia masih mengurus kasus penculikan Raga yang terakhir kali. Tersangkanya masih diproses dalam persidangan yang berjalan.“Orang lain lagi? Lo liat?” Febby ikut bertanya. Febby berharap jika Amira mendapatkan sedikit petunjuk. “Enggak, tapi kayaknya gue tau siapa.”Amira melihat beberapa detail yang membuat dia sedikit yakin dengan tuduhannya. “Itu Pak Leon,” sambung Amira. Dia sempat melihat Raga mencari tahu keberadaan Leon, dan Raga di masa depan belum berhasil menemukannya. “Lo lebih baik cari Pak Leon dari sekarang.” Amira terdiam sebentar, lalu menggeleng. “Jangan,” sambungnya sambil membantah ucapan sendiri. “Cari adiknya.”Leon bersembunyi dengan begitu baik, jadi pria itu pasti tidak akan bisa ditemukan dengan mudah. “Lakukan diam-diam. Gue juga bakal pura-pura enggak tau sama rencana dia,” ucap Amira. Raga mengernyit tidak senang. “Maksud lo, gue harus ngeliat lo diculik di depan mata gue?!”“Lo enggak adil banget!” Raga men
“Kalian hebat!” Reynald tak berhenti memberikan pujian. Acara open house sudah selesai, dan bagi Reynald acara kali ini sukses. “Persiapan kita sebentar, tapi kalian bisa melakukannya dengan sangat sangat baik.” Berkali-kali Reynald memuji mereka, sampai Amira mungkin bisa sampai ke atas langit jika pujian itu ditumpuk. “Makasih, Pak. Bapak juga hebat bisa membuat banyak orang datang dan melihat open house sekolah kita.” Reynald mengangguk senang. Dia kemudian merapikan meja di depannya. Ruang kepala sekolah Laveire sudah disulap menjadi ruang perayaan. “Makanannya sudah datang,” ucap Reynald sambil menunjuk ke arah Alex yang baru masuk ke ruangan. Reynald memang meminta bantuan Alex untuk mengambil makanan yang dia pesan secara online. “Ayo kita makan dulu! Saya sudah menyiapkan kue juga.” Evan bersorak gembira. Dia terlihat menutupi rasa kecewa akibat kandasnya perasaan pada Amira. “Potong kuenya, Pak!” Seru Evan bersemangat. Evan, Michelle, Febby, Amira, Raga, Dik
“Jangan ingkar janji.” Senyum Raga melebar sempurna. Dia mengangguk bersemangat sebelum membiarkan Amira pergi menjauh darinya. “Ayo kita berikan tepuk tangan yang meriah!” Sorak-sorai bersahutan saat Amira naik ke panggung. “Amira!” Hal itu membuat Amira cukup tertekan. Apalagi saat Amira mengingat kenyataan tentang skill menyanyi pas-pasan miliknya. “Gue harus coba.” Amira meyakinkan dirinya sendiri. “Karena kesempatan ini mungkin cuma datang sekali, yang pertama juga yang terakhir.” Amira tersenyum lebar. Dia mengangkat kedua tangannya tinggi. “Come on! Sing with me!” Ketukan ceria terdengar. Amira pun mulai menyanyikan baris pertama dari “Price Tag” dengan penuh percaya diri. Saat itu juga, Raga tersenyum. Dia memandang Amira lekat. Harusnya Raga tahu kalau lagu yang dipilih Amira pasti yang seperti ini. “Lagu yang elo banget,” gumamnya pelan. Amira turun dari panggung setelah mendapatkan banyak tepuk tangan. Dia berjalan mendekat pada Raga. Mereka punya waktu k
“Bisa,” balas Amira menantang. “Apa sih yang enggak buat lo?” Karena sudah terlanjur basah, sekalian saja berendam.“Nanti, siap-siap aja.” Raga mengedipkan sebelah mata.Amira hanya bisa tertawa melihat pacarnya itu menjadi genit sekarang. Tiba-tiba saja ponsel Amira bergetar. Ada panggilan masuk dari Evan.Amira mendengarkan suara dari seberang sebelum akhirnya mengangguk. “Gue ke sana sekarang.”Raga tahu arti ucapan Amira. Dia ikut bersiap bersama sang pacar. “Evan mau tampil,” ucap Amira menjelaskan. “Gue juga diminta siap-siap, soalnya gue tampil habis dia.”Raga mengangguk mengerti. Dia menyempatkan diri untuk menghapus sisa air mata di pipi Amira sebelum menggandeng Amira kembali. Saat itu, Amira bukan hanya merasa senang, tapi lega. Setidaknya, Raga ada di sisinya. Keduanya berjalan menyusuri lorong sambil bergandengan, mengabaikan tatapan orang yang memicing pada mereka.“Kalian sudah baikan?” Tanya Evan setibanya Amira dan Raga di belakang panggung. Cowok itu menunjuk
“Bagus!” Amira bisa merasakan pelukan erat Raga. Cowok itu membuatnya hampir tidak bisa bernapas. “Berhenti! Gue bisa mati!” Keluh Amira.“Sorry!” Raga mengurai pelukannya. “Gue cuma seneng banget. Akhirnya lo mau terima gue dengan jawaban yang jelas. Jadi sekarang gue bisa susun rencana selanjutnya.”Amira tersentak sesaat. “Rencana … apa?”Raga tidak menjawab. Dia malah menarik Amira kembali ke pelukan. “Nikahin lo. Secepatnya.” Raga dengan sengaja membungkam mulut Amira dengan memberikan sebuah kecupan. “Nanti gue jelasin,” sambungnya. Raga menarik tangan Amira, hendak membawa gadis itu keluar dari lorong. Namun, Amira menggeleng. “Bilang sekarang, atau enggak usah sama sekali.”Amira tak bersedia menunggu. Dia sudah mengorbankan masa depannya, hanya demi seorang Raga. Mungkin Amira memang sudah gila. Tapi setelah semua yang dia pertaruhkan, setidaknya Amira ingin tahu apa yang terjadi. “Apalagi yang perlu gue kasih biar lo ngomong sekarang?” Desak Amira. Rasanya Amira sud
“Kamu enggak apa-apa?” Tanya Dina. Dia mengajak Amira untuk duduk dan bicara, tapi Amira terlalu malu untuk melakukannya.“Enggak apa-apa,” jawab Amira cepat. “Gue … lagi malas ngomong aja.”Dina cuma angkat bahu. “Oh ….” Dia menarik Amira mendekat. “Ya udah duduk aja, enggak usah ngomong.”Amira jadi tak memiliki alasan untuk menolak. Dia mengambil tempat di sebelah Dina, menghela keras di sana. “Udah lama ya, kita enggak duduk bareng kayak gini,” ucap Dina sambil memasang senyum.“Aku senang kedatangan aku enggak sia-sia.”Dina memandang jauh ke depan, seolah sedang mengingat masa lalu di antara mereka sebelum ini. “Padahal awalnya aku mau nyerah,” sambung Dina. “Apalagi saat tahu kamu punya teman-teman yang ternyata sangat baik, lebih daripada aku.”Kali ini Dina menoleh, menatap Amira. “Mereka–”“Amira!” Raga menangkap tangan Amira, tidak membiarkan gadis itu hilang dari pandangannya lagi. “Kenapa kabur dari gue?!” serunya, dengan tatapan tajam. Amira beringsut sedikit. Baru
“Ini penampilan apa?” Perhatian para tamu undangan langsung tertuju ke arah panggung. Musik tradisional yang mengalun, membuat mereka tertarik. “Apa ini … tarian?”Suasana berubah hening saat Dika dan Dina masuk ke tengah panggung. Kostum mereka, riasan mereka, begitu memukau sampai-sampai tak ada satu pun penonton yang membuka mulutnya. “Ini bagus sekali ….” “Aku baru melihat penampilan seperti ini.”“Ternyata Laveire adalah sekolah yang sangat menarik.”Amira tersenyum puas. Nyatanya, keputusan yang dia ambil sangat tepat. Memilih penampilan Dina dan Dika sebagai yang pertama adalah yang terbaik. Sorakan meriah bergema di aula saat Dika dan Dina mulai menari. Gerakan mereka lincah dan penuh energi, selaras dengan irama musik jaipong yang menggelegar memenuhi ruangan. ‘Udah lama, gue enggak ngeliat yang seperti ini,’ ucap Amira dalam hati. Penampilan Dina dan Dika menarik Amira ke masa lalu. Kehidupan yang damai di desa di saat kedua orang tua Amira masih lengkap. ‘Masa lalu
“Amira?” Raga memicing. “Lo kenapa?” Amira tidak peduli dengan tatapan bingung Raga. Dia sibuk menarik pacarnya itu ke sisinya. “Jangan deket-deket pacar gue!” Bentak Amira kasar. Kedua matanya melotot, dan kakinya menghentak kesal. Luntur semua image yang Amira jaga sampai saat ini. Biasanya, dia selalu bersikap tenang dan tidak peduli di depan Raga, tapi sekarang Amira tidak bisa. “Lo siapa?” Rasanya emosi Amira sudah naik sampai ke ubun-ubun. Tangannya mendorong perempuan itu menjauh. Amira sungguh tidak menyukainya. Perempuan yang datang bersama Raga, sekali lihat saja Amira langsung tahu, jika perempuan itu setara dengan Raga. Keduanya serasi, meski Amira tak ingin mengakui. Amira tidak bisa mengelak dari rasa rendah diri saat ini. Meski begitu, dia tak mau mengalah. Raga adalah pacarnya. “Aku?” Perempuan itu menunjuk dirinya sendiri. “Namaku Celine. Aku pacar Raga.” Tangan Amira terulur sempurna. Dia meraih kerah seragam yang dipakai perempuan itu. Celine meme
“Enggak,” ucap Amira pelan. Ini bukannya Amira yang terlalu banyak berpikir. Raga memang menjauh darinya. Di kantin, Amira duduk bersebelahan dengan Raga, tapi cowok itu tidak perhatian seperti sebelumnya.“Mau makan apa?” Biasanya Raga bertanya seperti itu, tapi kali ini Evan yang bersuara. “Gue pesen sendiri aja,” jawab Amira. Amira memilih untuk beranjak dari kursi. Rasanya sudah lama dia tidak memesan sendiri seperti sekarang. “Enggak apa-apa, kan gue yang minta,” ucap Amira pada dirinya sendiri. “Lebih baik begini, kan. Sewajarnya.” Amira mencoba menghibur diri.Di meja mereka, Amira menatap piringnya, menusuk-nusuk makanannya dengan garpu. Dia sungguh tidak bersemangat. Amira teringat akan sikap Raga sebelum dia memintanya menjauh. Kalau itu dulu, Raga pasti akan menatapnya lekat-lekat, bertanya kenapa Amira tidak nafsu makan, juga menanyakan apa yang Amira mau.