Jam sepuluh malam, dan Evan sedang bersantai di kamarnya. Saat dering dari handphone miliknya terdengar, Evan masih terjaga. “Eh?” Evan menatap layar handphone miliknya dengan ekspresi terkejut, juga kaget. Evan mendapati foto Amira terpampang di layar. Amira menghubunginya? Ada apa?“Halo?” Evan langsung menjawab panggilan tersebut. Evan begitu senang sampai dia melupakan satu hal yang penting. “Halo,” sahutan dari seberang terdengar.Bukan suara perempuan yang menyapa telinga Evan. Dia mendengar suara berat laki-laki. “Ini siapa?” Evan sampai menjauhkan layar handphone dari telinganya.Evan memastikan jika dia tidak salah menjawab panggilan. Namun, memang benar itu adalah foto Amira yang terpampang di layar handphone miliknya. “Amira?” Evan memanggil nama Amira. Namun, sekali lagi bukan Amira yang menjawab. Semakin didengar, semakin Evan mengenali suara itu. Dia merasa sering sekali mendengarnya. Entah mengapa suara lelaki di seberang sana membuatnya kesal. Padahal hanya satu
Evan mendesis kesal. Apalagi saat Alex mendorongnya menjauh dari Amira. Sialan. Padahal Raga tidak ada, tapi pengawal ini malah mengganggunya. Suasana di dalam kamar rawat Amira ricuh sesaat ketika Evan mengomel karena teguran Alex. Febby yang kemudian berdiri dan menengahi. “Kok bisa? Ayah lo mau ngurus Laveire?” Febby sangat, sangat penasaran. Febby tahu sendiri bagaimana stressnya Reynald saat ini. Dia ingin memperjuangkan Laveire, tanpa ada yang bisa dilakukan. “Bisa, dong. Ayah gue liat peluang bisnis di Laveire. Dia udah biasa ngurus tempat yang mau bangkrut kayak gitu. Hasilnya kayak yang kalian tau sekarang.” Evan meninggikan dagunya, sombong. Keluarga Evan memang memiliki beberapa hotel terkenal. Evan jelas bisa bersombong karena hal itu. “Tapi kan Laveire enggak punya murid? Guru juga enggak ada.” Febby terus bertanya. Febby tidak menerima jawaban setengah-setengah. Sementara Amira hanya menyimak saja. Dia sudah terlampau senang dengan kabar baik itu. “Nanti sistem L
Amira memegang selimut yang menutupi sebagian kakinya, erat. Dia memang tengah duduk bersandar di atas ranjang di kamar inapnya.“Lo … lagi sibuk banget hari ini?” Tanya Amira, pelan.Sebisa mungkin Amira tidak berucap gugup. Padahal, jantungnya sedang berdebar keras saat ini. Amira susah payah berusaha agar debarannya itu sedikit mereda. Ini pertama kalinya, Amira mengatakan rindu pada Raga. Dia mengajak Raga bertemu lebih dulu. Amira malu, dan juga takut. Dia takut Raga menolaknya. “Kalau lo sibuk, enggak apa-apa besok lagi,” sambung Amira kemudian.Raga bergegas menjawab. “Enggak,” bantahnya. “Buat lo, gue enggak pernah sibuk.”Amira tersenyum. Meski dia tahu Raga hanya sedang bermulut manis, Amira tetap menyukainya. “Bisa tungguin gue nanti malam?” Tanya Raga. “Semalem gue ke tempat lo, tapi lo udah tidur,” sambungnya.Amira terkesiap sesaat. “Lo ke sini?”Semalam, Amira merasa tidak mendengar apa pun. Apa tidurnya memang selelap itu? Apa karena pengaruh obat?“Kenapa lo enggak
“Kakek mau bicara apa?” Raga langsung bertanya setibanya mereka di ruang kerja Heri. Padahal mereka bahkan belum duduk, tapi Raga sudah sangat tidak sabar. Heri menghela. Dia mengabaikan pertanyaan Raga, lebih memilih untuk terus melangkah menuju sofa yang ada di ruang kerjanya. “Kenapa kamu tidak sabaran begitu? Mau ke mana? Ketemu Amira?”Bahkan nama Amira membuat Heri jengah. Dia kesal mendapati Raga yang sebucin itu pada seorang perempuan. “Apa sih yang membuat kamu sebegitu sukanya pada Amira?” Heri sungguh penasaran. Bukannya Heri tidak pernah merasakan jatuh cinta. Dia hanya tidak segila Raga. “Kakek enggak akan ngerti,” sahut Raga singkat. “Pokoknya Amira itu spesial.”Heri mendengus keras. Dia memang tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti!“Jadi, kenapa sekolahnya?” Tanya Raga, mengalihkan pembicaraan. “Kakek udah bantuin masalah keamanan, kan?” Raga sungguh tak ingin membuang waktu. Dia tidak mau berbasa-basi. Dia masuk ke ruangan ini karena Heri membahas tentang
Tidak mau mengganggu Amira lebih lama, Raga memilih untuk berjalan keluar ruangan. Tepat di depan pintu, dia melihat Alex yang sedang menghalangi Leon untuk masuk.“Kenapa saya tidak boleh masuk, Tuan?” tanya Leon pada Raga.Leon merasa kecolongan. Padahal dia cuma menjalankan perintah Raga untuk memesan beberapa bahan baku makanan. “Memangnya apa yang Tuan lakukan di dalam? Apa yang terjadi?” Leon bertanya penasaran. Dia tak berkedip, menunggu jawaban Raga. “Ngisi baterai,” jawab Raga singkat.Seketika, Alex mendelik. Bukan itu yang dia lihat tadi. Raga bukannya sedang mengisi baterai. Tuan mudanya itu bahkan tidak mengeluarkan handphone sama sekali. Baterai mana coba yang diisi?“Baterai apa?” Pertanyaan Leon sama dengan Alex. Alex juga tidak mengerti meski dia menyaksikan sekilas apa yang Raga lakukan. Sungguh, ini bukan tentang baterai. Raga mendengus lelah. Dia menunjuk Leon dan Alex bergantian. “Kalian emang enggak pernah pacaran?”Kedua tangan Raga terlipat di depan dada.
Amira terbangun keesokan harinya dengan perasaan campur aduk. Dia ingat kejadian semalam. Saat Raga datang, lalu memeluknya. Amira mengajak Raga bicara, dan entah bagaimana dia tertidur. “Habis itu apa?” Amira tidak bisa mengingat apa pun. Jadi pasti Raga yang membawanya ke atas ranjang. “Terus?”Amira bertanya-tanya sendiri. Dia tidak ingat lagi apa yang terjadi. Hanya saja, ada satu hal yang sangat membuatnya bingung. Itu adalah mimpinya. “Gue mimpi aneh ….”Tangan Amira bergerak perlahan menuju bibirnya. Semalam, dia bermimpi. Mimpi yang terasa begitu nyata. “Kenapa rasanya nyata banget?” Amira bertanya penasaran.Belum pernah Amira mengalami mimpi yang senyata ini. Dia bahkan masih bisa merasakan hangat bibir Raga di atas bibirnya. “Enggak!” Amira berteriak, kesal. “Gue bukan cewek mesum!” Bisa-bisanya Amira memimpikan hal seperti itu! Amira memang merindukan Raga, tapi ya tidak sebegitunya!“Ada apa Nona Amira?”Amira terlonjak kaget. Dia sampai lupa jika setiap pagi, pas
Raga dan Leon sudah ada di dalam ruangan Heri. Di depan mereka, ada tiga menu yang berhasil Raga buat. “Saya pikir makanan ini tidak akan selesai.”Leon menghela panjang. Memasak memang bukan hal yang mudah baginya, apalagi sepanjang malam dan siang. “Gue yakin ini belum selesai,” sahut Raga. Saat itu, Leon sempat melotot. Dia tidak percaya saat Raga mengatakan belum selesai. Apalagi yang harus dilakukan? Apa belum cukup memasak semalaman? Ini bahkan sudah sore. Hampir 20 jam mereka berkutat dengan makanan! “Kalian sudah di sini?” Sapaan Heri membuat perhatian Raga dan Leon tertuju ke pintu.Keduanya melihat Heri masuk ke dalam ruangan. Tadi, Raga memang datang lebih awal. Dia tidak mungkin terlambat saat membuat janji dengan Heri. “Udah, Kek. Coba Kakek liat apa yang Raga bawa.”Heri tidak membuat ekspresi apa pun saat Raga menunjukkan hasil resep terbarunya. “Raga buat fish cake, cheese prawn ball, sama fish strip.”Heri menatap ketiga makanan di depannya sambil memicing. Dia
Amira duduk di atas sofa di dalam kamar inapnya di rumah sakit. Wajahnya menekuk, dengan bibir cemberut. “Duh!” Keluh Amira. Ingin sekali Amira meneriakkan kekesalannya. Sejak tadi, Amira sudah menunggu kabar dari Raga. Dia khawatir, dan juga cemas. Raga hanya menghubunginya sebentar sekali tadi. Bahkan tidak sampai semenit. Apakah satu menit untuk Amira juga terlalu sulit?“Gue tau dia sibuk, tapi … ugh!” Amira mencengkram sendok yang ada di tangannya kuat-kuat. Dia memang sedang menyantap makan malam sekarang. “Gue jadi malas makan!” Alex tidak mengucapkan apapun saat dia melihat Amira yang menghentak kesal. Dia bisa mengerti perasaan Amira. Namun, Raga juga tidak bisa disalahkan. “Pak!” Seruan Amira membuat Alex terkejut. Dia menoleh seketika, memandang Amira. “Tidur duluan, ya!” Amira berucap tanpa aba-aba. Dia meminum obatnya cepat. Setelah itu, Amira langsung naik ke atas ranjang. Dia menarik selimutnya tinggi-tinggi. Amira memejamkan matanya paksa. Lebih baik dia tidur
Cerita Amira dan Raga selesai sampai di sini. Tak bisa dilanjutkan lagi karena nanti jadi 18+. Hehe 🤭 Yang mau aku melanjutkan Amira dan Raga season dua, berikan like dan komentarnya sebanyak-banyaknya, ya! Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan memberikan dukungan. Cinta banyak-banyak. 🥰 Salam hangat, -Dewiluna-
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu. Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili. “Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.” Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka. Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik. “Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “D
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias itu
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s
“Raga!” Heri akhirnya berteriak menghentikan Raga. Padahal, saat itu Raga baru mengambil dua langkah. Ternyata, cepat juga.“Ya?” Raga menoleh tanpa berbalik. Raga mengira Heri akan menyerah, tapi kakeknya itu tak mengiyakan. “Sembuhkan dulu lukamu.”Raga menggeleng kecewa. “Jawaban yang salah.” Kali ini Raga tidak menunggu lagi. Dia mendahului Evan, berdiri tepat di samping mobil temannya itu. Evan pun menyusul langkah Raga bersama Michelle. Terlihat wajah ayah Evan yang kebingungan. Meski begitu, pria paruh baya itu tetap mengikuti anaknya. “Berhenti!” Tangan Heri menghalangi Raga yang hendak membuka pintu mobil.Raga menoleh. Dia bisa melihat wajah Heri yang masam menahan amarah. Heri terlihat sangat tidak senang kali ini. “Apa, Kek?” Raga menggeleng sekilas. Dia memperbaiki kalimatnya kemudian. “Ada apa Tuan Heri Wijaya?” Tanya Raga, tanpa rasa bersalah. Heri menggeram. Dia
“Kakek lama sekali!” Keluh Raga. Dia menyambut Heri yang datang bersama banyak pengawal di belakang. “Akhirnya ….” Amira menghela lega.Senjata yang sebelum ini selalu dia pegang erat, akhirnya terlepas. Amira terhuyung ke belakang. “Amira!” Raga menangkap Amira tepat sebelum pacarnya itu terjatuh. “Sorry, gue lemes banget,” ucap Amira penuh penyesalan. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya terasa lembek layaknya jelly.“Udah jangan dipaksa.” Raga membawa Amira ke dalam pangkuan. “Pegangan.” Raga berdiri dengan Amira di kedua tangannya. Amira menurut. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher Raga, membiarkan sang pacar menggendongnya. Heri tidak bisa menegur Raga saat itu. Dia sedang sibuk menatap Vivian yang menangis sambil memohon. Suara sirine memecah keheningan. Mobil polisi, juga ambulans datang berturut-turut. Lalu, satu mobil mewah menyusul di belakang.“Evan!” Se
“Tuan Raga! Awas!” Alex berusaha untuk mencegah Raga yang ikut campur dalam pertarungannya. Namun, tuan mudanya itu begitu keras kepala ingin membantu.Buk!Raga menendang Charly sekeras yang dia bisa. Tendangannya tepat mengenai perut pria itu. Namun, Charly tidak bergerak sama sekali.“Gelinya,” sindir Charly pada Raga. Dia meledek tendangan Raga yang menurutnya lembut seperti bantal bulu angsa. “Biar aku ajari cara menendang yang baik.” Charly menggerakkan kakinya. Raga melompat mundur, tapi dia tetap tidak bisa menghindar.“Argh!” Raga terpental. Dia berguling kesakitan di atas tanah yang keras.Alex langsung berdiri. Dia berlari menghampiri Raga. “Tuan!” Alex panik memeriksa keadaan Raga. Dia membantu Raga bangkit. “Gue enggak apa-apa,” ucap Raga, berusaha menenangkan Alex. Raga menunjuk ke arah Charly kemudian. “Fokus aja kalahin dia. Secepatnya.”Alex mengangguk patuh. Dia menunggu sampai Raga berdiri tegak sebelum memasang kuda-kuda untuk menyerang. Buk!Alex mencoba m