“Nama gue, Raga Kendrick Wijaya. Panggil aja Raga!"Kelas XI-A kedatangan murid baru. Namanya Raga. Dia pindahan dari Bellva School. Suasana di dalam kelas mendadak ricuh. Sepertinya, Raga berhasil mencuri perhatian seluruh penghuni kelas, terkecuali seorang siswi yang duduk di samping jendela baris pertama, tepat di depan meja guru. Siswi itu bernama Amira Putri. Dia adalah murid beasiswa yang menjabat sebagai ketua kelas. “OMG! Dia ganteng banget!”"Mukanya cute kayak oppa-oppa Korea!"Astaga! Bibirnya tebal dan sangat seksi!”"Dia tinggi. Raga pantes jadi kapten basket sekolah!"Amira mendengar celoteh kekaguman dari beberapa siswi. Mungkin saja, Raga akan menjadi siswa terganteng di sekolahnya, Laveire.Sebenarnya, Amira pun mengakui. Semua orang bersemangat menyambut Raga, kecuali dia sendiri. “Raga, kamu duduk di samping Amira, ya!"Sayangnya, takdir suka bercanda. Amira tidak tertarik pada Raga, tapi cowok itu justru duduk di sampingnya. “Ibu harap, kamu bisa bantu Raga ya
"Gue enggak punya musuh.” Raga berucap sinis. “Tapi lo bisa jadi salah satunya kalau mau.”Amira menggeleng. “Enggak, makasih.” Dia memilih untuk kembali pada tugas matematikanya. Amira berusaha berkonsentrasi di kursinya sendiri. Tapi itu tidak bertahan lama.“Gue enggak mungkin salah,” gumam Amira pelan. “Gue enggak pernah salah.”Selama dua tahun, apa yang Amira lihat hanya kenyataan. Tidak pernah ada pengecualian.Amira memang bisa melihat masa depan. Entah itu adalah anugerah atau kutukan. Semua berawal saat Amira kehilangan sang nenek, Ida, di usianya yang ke-16. “Nenek ….” Amira menangis pilu. “Kenapa nenek meninggalkan Amira juga? Ayah dan ibu sudah tidak ada. Nenek juga pergi. Amira sama siapa sekarang?”Sebuah kecelakaan membuat Amira menjadi yatim piatu. Amira pun tinggal bersama dengan sang nenek. Tapi sekarang Ida meninggalkannya juga. “Kenapa kalian pergi? Bawa aku juga …. Aku mau ikut bersama kalian ….” Ya, Amira pernah merasa ingin mati saja. Dia tidak peduli dengan
Raga membiarkan Amira menariknya. Mereka berlari tanpa arah sebelum akhirnya Amira melihat sebuah jalan kecil.“Lewat sini!” Amira berteriak sambil menunjuk ke sisi kiri. Dia menyempatkan diri menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati jika mobil hitam yang mengejar mereka semakin dekat. Mobil itu telah berhenti sempurna di jalan. Lima orang berpakaian hitam lengkap turun dari mobil dan mulai mengejar.“Cepat!” pekik Amira. Dia membuat kedua kakinya melaju lebih kencang. Raga menoleh ke belakang. Kali ini ia melihat dengan kedua matanya sendiri jika nemang ada gerombolan yang mengejar mereka. “Sembunyi!” Raga tidak ragu lagi setelah melihat bukti. Kali ini dia yang menarik Amira.Amira tidak protes saat Raga memimpin dan menariknya melewati jalan kecil berkelok. Dia tahu jika Raga sedang mencoba untuk membuat mereka terbebas dari pengejaran. “Naik!” Perintah Raga membuat Amira melotot. Amira menatap pagar di depannya. Tidak tinggi tapi cukup untuk membuatnya meloncat. Masalahnya
Saat ini, Raga dan Amira sedang duduk di kursi belakang. Keduanya ada di dalam mobil Raga yang tengah melaju di jalan. Suasana hening beberapa detik sebelum akhirnya Amira membuka mulut. “Enggak punya musuh kepala lo!” Cemooh Amira. “Tadi semuanya ngejar kita!”Raga menanggapi Amira santai. Dia bersandar di kursi mobil nyaman, memandang Amira dengan tatapan datar. “Ya mana gue tau. Gue nggak kenal mereka siapa,” jawab Raga jujur. Raga meraih handphone dari saku. Tangannya mengangkat benda itu tinggi, menunjukkan layar yang menyala di depan Amira. “Ini gue baru mau bilang ke bokap gue. Biar dia yang urus. Tapi ….”Ucapan Raga terhenti sesaat. Wajahnya kini menoleh ke Amira, menatap penuh curiga. “Lo sendiri gimana bisa tau kalau ada yang ngejar gue?”Amira mengalihkan pandang, menghindar dari tatapan menyudutkan Raga. Tapi tetap saja, Amira tidak bisa lepas dari cowok itu. “Kok lo bisa tau? Gue penasaran.”Raga terus membuat Amira terdesak. Amira jadi menyesal. Berada di dalam sa
Amira terkejut. Dia tidak suka keputusan Raga untuk mengantar. Amira bergerak gelisah di kursinya, di dalam mobil Raga yang masih melaju cepat di jalan.“Enggak!” Amira menggeleng kuat. “Turunin aja gue di sini. Gue bisa pulang sendiri!”Penolakan yang Amira katakan terdengar aneh di telinga Raga. Kenapa cewek itu mati-matian menolaknya? Padahal ada banyak perempuan yang rela mengantri untuk diantar pulang oleh Raga. Amira tegas menggeleng. Berulang kali dia mengucapkan tidak. Kedua tangannya memegang handle pintu mobil Raga kuat-kuat. “Berhenti! Berhenti di sini!”Raga menyerah dengan teriakan Amira. Dia menuruti Amira dengan meminta supirnya untuk menepi.“Buka pintunya, Raga!” Mohon Amira.Tapi kali ini Raga mengatakan tidak. Dia membuat Amira menoleh, menatapnya.“Kalo lo enggak mau gue anterin, kasih nomor lo.” Raga menyodorkan handphone miliknya. “Gue mau pastiin lo aman sampe di rumah.”Amira menatap lama sebelum dia menerima handphone milik Raga. Jarinya mengetikkan nomor di
Keesokan harinya sebelum bel berbunyi, kelas XI-A di Laveire masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sedang mengobrol atau sekedar bermain handphone di kursi mereka masing-masing. Diantara beberapa siswa itu, ada Raga. Raga sengaja datang lebih awal hari ini. Dia menunggu seseorang. Siapa lagi kalau bukan Amira. “Hai!” Raga menyapa Amira di kursinya. Amira terkejut mendapat sapaan pagi dari Raga. Dia sempat memicing sesaat untuk kemudian menoleh ke belakang. Siapa tahu sapaan itu bukan untuk Amira, tapi untuk orang lain. “Gue ngomong sama elo. Emang siapa lagi?” Raga jadi kesal sendiri. Belum-belum Raga sudah naik darah. Dia sudah cukup diabaikan oleh Amira. Semua panggilan juga pesan singkat yang dikirim Raga sejak kemarin tidak berbalas sama sekali. Sampai seperti itu Amira menghindar darinya. “Itu kuping masih ada, kan?” Sindir Raga. Padahal Raga sudah menurunkan sedikit kadar egonya untuk menyapa Amira duluan, tapi cewek itu malah tidak menggubrisnya sama sekali.
Saat kembali ke kelas XI-A, Amira melirik ke sudut ruangan. Di tempat duduknya, Raga tampak kesal dengan bibir berkerut sempurna. Amira melangkah masuk. Dia berjalan ke tempat duduknya santai. Amira pura-pura tidak melihat wajah Raga yang cemberut. Dia cuek saja mendengar Raga yang menggerutu di sampingnya. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Amira memang sengaja datang bersamaan dengan guru yang masuk ke kelas. “Buka buku kalian!” Guru di depan kelas memberi perintah. Perintah yang menjadi bencana untuk Amira.“Liat, dong! Gue kan belum punya buku!” Nah, ini bencananya. Raga.Raga si murid baru yang belum punya buku. Raga ingin Amira berbagi. Dia dengan sengaja mendekat, membuat kursinya dengan kursi Amira tidak berjarak. Raga memepet Amira, membuat Amira jadi keki sendiri. Andai tidak ada guru di depan sana, dia ingin menempeleng Raga. Puas sekali Raga saat mendengar Amira berdecak kesal. Dia berbohong dengan mengatakan kalau dirinya tidak punya buku. Dia cuma ingin Amira tidak men
Di dalam ruang perpustakaan Laveire, ada Raga yang berjalan tanpa arah. Dia menoleh ke kanan kiri, mencari sosok Amira. “Kemana dia?” Raga mengomel kesal. “Dimana cewek itu?”Mulut Raga menggerutu tanpa henti, sementara kedua kakinya terus melangkah berkeliling. Sudah dua kali Raga mencari di dalam ruang perpustakaan yang besar ini, tapi hasilnya nihil. Amira tidak ada dimanapun!“Amira?” Panggil Raga sambil berbisik. Raga tidak bisa berteriak. Baru saja dia ditegur petugas perpustakaan karena suaranya terlalu keras.“Amira? Lo dimana, sih?” Lelah karena hanya dijawab oleh hening, Raga memilih untuk duduk. Merasa terlanjur, Raga pun memilih beberapa buku yang dia lihat di atas meja di depannya. “Apaan nih?” Tangan Raga meraih satu buku yang memiliki cover berwarna biru tua mencolok. Dia menarik buku tersebut lalu membaca judulnya sekilas. “Indra keenam?” Seketika dahi Raga berkerut. Kedua alisnya kini saling tertaut hampir menyatu. Rasa penasaran membuat Raga membuka sampul buk
Raga mengusap wajahnya kasar. Sekarang, dia merasa ruang kerjanya semakin panas saja. Raga menarik kerah kemejanya longgar. Napasnya tiba-tiba jadi sesak. “Ada apa, Tuan Raga?” Tanya Leon, cemas. Leon yang baru datang langsung menghampiri Raga. “Apa Tuan Raga sakit?” Sekilas Leon bisa melihat wajah Raga yang memerah. Leon meletakkan kopi yang ada di tangannya ke atas meja. Dia segera meminta Raga menoleh agar bisa memeriksa, tapi tuan mudanya itu malah berteriak kesal.“Enggak! Gue enggak sakit!” Sungut Raga, penuh emosi. “Gue cuma ma–”Tidak. Tidak mungkin Raga mengaku kalau dia malu.“Gue mau makan! Gue laper! Laper banget! Cepet beliin gue makanan!”Leon mengkerut heran. Dia mendapati Raga yang salah tingkah. Ingin bertanya lebih banyak, tapi tangan Raga malah mendorongnya ke pintu keluar. Raga masih menggerutu kesal. Mulutnya menggumam kata-kata dongkol, tapi semua itu luntur setelah dia mendapatkan satu pesan singkat dari Amira. [Love you, too. Makan yang banyak, Pacar.]Se
Raga baru selesai membaca tumpukan dokumen di depannya. Lehernya terasa kebas, dan matanya perih. Bahkan kepalanya panas meski sudah berada di bawah pendingin udara.“Gue mau istirahat dulu,” ucap Raga sembari meregangkan tubuhnya. Leon mendapati wajah lelah Raga. Dia dengan perhatian menawarkan Raga secangkir kopi. “Boleh,” sahut Raga mengiyakan. Leon segera beranjak dari tempatnya. Kedua mata Raga mengawasi Leon sampai asisten barunya itu menghilang di balik pintu. Dia langsung mengomel setelah Leon tak bersamanya lagi. “Kakek hebat banget udah nyiapin ruangan baru buat gue,” ucap Raga. Pandangan Raga tertuju ke sekeliling ruangan. Saat dia berangkat tadi pagi, Raga mengira dirinya akan ditempatkan di ruangan Heri seperti biasa. Ternyata, Raga malah mendapatkan ruangannya sendiri. “Kakek bisa nebak kalau gue bakalan kerja di kantor ini. Entah itu tebakan, atau harapan,” sambung Raga, sinis. Raga menghela kemudian. Dia beranjak berdiri, berjalan ke arah jendela yang ada di dal
"Maksud Pak Reynald gimana?" Evan bertanya. Saat ini, Evan merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Mungkin saja karena di ruang rawat Amira ini ada banyak orang. Dia jadi tidak bisa mendengar dengan jelas. "Gurunya berhenti semua?" Tanya Evan, sekali lagi. Dia berusaha memastikan. Memang, mereka sudah bisa menduga tentang murid yang pindah. Namun, tidak ada yang menduga jika guru akan melakukan hal yang sama. "Kenapa?!" Evan memekik tak percaya. Reynald hanya bisa angkat bahu. Dia sama tak percaya seperti Evan. Dia juga kaget ketika mendapati pertemuan kemarin yang hanya dihadiri oleh beberapa orang saja. "Kebanyakan tidak mau lagi terlibat dengan Laveire. Mereka tidak mau nama mereka disangkut pautkan." Citra Laveire sudah terlanjur buruk. Meski keluarga Wijaya sudah membantu menutupi kasusnya, tetap saja berita yang beredar dari mulut ke mulut tidak dapat dihentikan. "Kepala sekolah sudah mengundurkan diri, dan kepala yayasan sedang bingung mencari solusi." A
Amira mengumpulkan kesadarannya yang masih bertebaran di atas ranjang. Dia menguap beberapa kali sebelum menyuruh Alex duduk. Pengawal rajin itu terus saja berdiri di sudut. "Duduk, Pak." Amira menunjuk sofa yang ada di sudut kamarnya. "Aku marah kalau Pak Alex enggak duduk." "Tapi–" Amira menggeleng. Dia tidak menerima penolakan. "Kalau Pak Alex enggak duduk, Pak Alex enggak boleh ada di sini,” ujar Amira sambil menunjuk pintu keluar. Alex kan sama seperti Amira, masih berstatus pasien. Namun, Raga malah menyuruh Alex mengawal Amira. Harusnya Alex beristirahat di kamarnya. “Bapak mau duduk atau balik ke kamar Bapak sendiri?” Ancam Amira. Alex terpaksa menurut. Dia mengambil tempat di atas sofa yang ditunjuk Amira. Amira pun mengangguk puas melihatnya. Dia mengucek matanya sekilas, sebelum menurunkan kaki dari ranjang. Amira hendak beranjak ke toilet sebelum sebuah suara teriakan terdengar. "Amira!" Suara sekencang toa itu sudah jelas siapa pemiliknya. Siapa lagi kalau
Pembicaraan Raga dan Amira terpotong dengan kedatangan perawat yang membawa makan malam. Raga membantu Amira makan seperti biasa. Mereka berbincang sesaat sampai akhirnya Leon memperingatkan Raga untuk segera kembali ke kamarnya sendiri. “Jangan terlalu malam, Tuan Raga. Besok–”Raga mengangkat tangan, mencegah Leon bicara lebih banyak. “Jangan ngeduluin gue ngomong.”Leon gegas menutup mulutnya rapat. Dia tidak melanjutkan kalimatnya lagi. Amira yang mendengar kalimat kesal Raga, menyadari jika ada yang aneh dari sang pacar. Dia bergerak mendekat pada Raga. “Jangan, dong!” Cegah Raga saat Amira berusaha menggapai tangannya. Amira ingin tahu apa yang akan terjadi. Dia hendak melihat masa depan dari tangan Raga. Namun, Raga menepis tangan Amira yang terulur. “Biar gue bilang sendiri.” Raga menolak tangan Amira. Sebagai gantinya, Raga menatap Amira lekat. Kedua bola matanya menelisik netra Amira lembut, mendalami iris coklat di depannya. “Gue sayang sama lo,” ucap Raga tanpa aba
Amira menunggu pacarnya menjawab. Namun, Raga tampak terlalu terkejut hanya untuk berucap. "Raga," panggil Amira sekali lagi. "Enggak apa-apa kan, kalau kita beda sekolah?" Ulang Amira. Amira sampai menggeser tempat duduknya. Dia mendekat pada Raga, dengan sengaja menepuk lengan cowok itu. Amira melakukannya semata agar Raga merespon, tidak hanya terus diam. "Kita masih bisa tetep ketemu, loh," ucap Amira dengan nada lembut, membujuk. Kata-kata Amira mendapatkan sebuah tatapan dari Raga. Cowok itu memandang tak rela. Amira tidak tahu saja, betapa inginnya Raga mengatakan tidak. Raga berniat menyuarakan keberatannya. Tapi melihat Amira yang berusaha membujuk, Raga jadi tak tega. "Habis harus gimana?” Tanya Amira. Kali ini, dia mengangkat bahu, menunjukkan kebingungannya. "Gue kayaknya enggak bisa kalau harus masuk ke sekolah kayak Laveire lagi. Uang gue mungkin enggak cukup."Amira harus berpikir jauh ke depan. Sebenarnya, bukan tidak mungkin jika Amira memilih sekolah seperti L
Raga terdiam. Di dalam ruang rawat inapnya, dia menunggu jawaban dari Heri. Sang kakek, tidak mengucapkan apa pun. Heri hanya memandang Raga, lurus. Raga tidak bisa bertahan lebih lama dalam keheningan. Dia bertanya lagi, kali ini lebih agresif. “Mungkin Kakek bisa mencoba mengambil alih Laveire. Kakek kan selalu sukses dalam segala hal?” Heri berdecih. “Pintar sekali kamu bicara,” cibir Heri, sinis. Raga menggeleng. Dia tidak sekedar memuji. Tentu saja semua itu berdasarkan pada bukti. Perusahaan keluarga Wijaya yang masih berdiri dalam bentuk Exscales adalah bentuk nyata hasil kerja keras Heri.“Tidak bisa. Kakek terlalu sibuk. Exscales yang sedang berada di puncak, membutuhkan lebih banyak tenaga dari yang bisa kamu lihat.”Jawaban Heri sangat masuk akal. Namun, Raga tidak berniat untuk menyerah. “Bagaimana kalau Kakek yang ambil alih tapi orang lain yang mengurusnya?”Usul Raga terdengar buru-buru, tapi dia sudah terlanjur maju. Raga tak berniat untuk mundur tanpa hasil. “Bi
Michelle, Febby, dan Evan pulang di jam makan siang. Raga pun terpaksa berpamitan pada Amira. Leon mengatakan jika Raga harus menjalani beberapa pemeriksaan lanjutan. Beberapa jam Raga habiskan, hanya untuk mendengar pernyataan dokter yang mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Setelah semua pemeriksaan itu, Raga dinyatakan sehat. "Apa Tuan Raga mau langsung pulang ke rumah sekarang?" Tanya Leon pada Raga yang sudah kembali ke kamar inapnya. Tentu saja, Raga bisa keluar dari rumah sakit kapan pun dia mau. Lukanya benar hanya goresan, tidak berbahaya, apalagi mengancam nyawa. "Nanti," sahut Raga singkat. Raga masih ingin menemani Amira. Amira pasti masih galau dengan berita ditutupnya sekolah. Setidaknya, Raga ingin menghibur Amira sampai hari ini. "Tapi Tuan Raga harus menjalankan jadwal yang dibuat oleh Tuan Besar secepatnya." Raga mendengus. Apa yang diucapkan oleh Leon terdengar seperti perintah. "Kalau gitu, ngapain nanya gue masih mau di rumah sakit apa enggak!" Ket
Amira terdiam di atas ranjangnya. Dia terpaku tak bergerak selama beberapa saat. Hening menyergap ruang rawat Amira. "Kenapa?" Michelle yang pertama kali mengeluarkan suara. “Kok sekolah kita ditutup?”Gadis yang satu itu memang memiliki kemampuan nalar yang mungkin kurang dibandingkan teman-temannya. Dia sedikit lamban dalam mencerna informasi."Ya lo pikir aja!" Evan yang tidak sabar menanggapi pertanyaan Michelle. "Emang masih ada orang yang mau sekolah di tempat yang baru aja jadi ladang pembantaian?" Ujar Evan, sinis.Mungkin kata-kata Evan terlalu kasar, tapi dia tidak salah. Faktanya, tidak ada korban jiwa di Laveire. Namun, banyak sekali yang terluka. Laveire sudah ternoda dengan darah. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan itu. "Bener kata Evan.” Febby pun mengiyakan. Nyatanya kredibilitas sekolah mereka, sudah terjun ke dasar jurang. Keamanan adalah hal yang krusial, dan Laveire tidak bisa menjaminnya. “Mana ada orang tua yang mau sekolahin anaknya di tempat yang engga