Raga baru selesai membaca tumpukan dokumen di depannya. Lehernya terasa kebas, dan matanya perih. Bahkan kepalanya panas meski sudah berada di bawah pendingin udara.“Gue mau istirahat dulu,” ucap Raga sembari meregangkan tubuhnya. Leon mendapati wajah lelah Raga. Dia dengan perhatian menawarkan Raga secangkir kopi. “Boleh,” sahut Raga mengiyakan. Leon segera beranjak dari tempatnya. Kedua mata Raga mengawasi Leon sampai asisten barunya itu menghilang di balik pintu. Dia langsung mengomel setelah Leon tak bersamanya lagi. “Kakek hebat banget udah nyiapin ruangan baru buat gue,” ucap Raga. Pandangan Raga tertuju ke sekeliling ruangan. Saat dia berangkat tadi pagi, Raga mengira dirinya akan ditempatkan di ruangan Heri seperti biasa. Ternyata, Raga malah mendapatkan ruangannya sendiri. “Kakek bisa nebak kalau gue bakalan kerja di kantor ini. Entah itu tebakan, atau harapan,” sambung Raga, sinis. Raga menghela kemudian. Dia beranjak berdiri, berjalan ke arah jendela yang ada di dal
Raga mengusap wajahnya kasar. Sekarang, dia merasa ruang kerjanya semakin panas saja. Raga menarik kerah kemejanya longgar. Napasnya tiba-tiba jadi sesak. “Ada apa, Tuan Raga?” Tanya Leon, cemas. Leon yang baru datang langsung menghampiri Raga. “Apa Tuan Raga sakit?” Sekilas Leon bisa melihat wajah Raga yang memerah. Leon meletakkan kopi yang ada di tangannya ke atas meja. Dia segera meminta Raga menoleh agar bisa memeriksa, tapi tuan mudanya itu malah berteriak kesal.“Enggak! Gue enggak sakit!” Sungut Raga, penuh emosi. “Gue cuma ma–”Tidak. Tidak mungkin Raga mengaku kalau dia malu.“Gue mau makan! Gue laper! Laper banget! Cepet beliin gue makanan!”Leon mengkerut heran. Dia mendapati Raga yang salah tingkah. Ingin bertanya lebih banyak, tapi tangan Raga malah mendorongnya ke pintu keluar. Raga masih menggerutu kesal. Mulutnya menggumam kata-kata dongkol, tapi semua itu luntur setelah dia mendapatkan satu pesan singkat dari Amira. [Love you, too. Makan yang banyak, Pacar.]Se
Jam sepuluh malam, dan Evan sedang bersantai di kamarnya. Saat dering dari handphone miliknya terdengar, Evan masih terjaga. “Eh?” Evan menatap layar handphone miliknya dengan ekspresi terkejut, juga kaget. Evan mendapati foto Amira terpampang di layar. Amira menghubunginya? Ada apa?“Halo?” Evan langsung menjawab panggilan tersebut. Evan begitu senang sampai dia melupakan satu hal yang penting. “Halo,” sahutan dari seberang terdengar.Bukan suara perempuan yang menyapa telinga Evan. Dia mendengar suara berat laki-laki. “Ini siapa?” Evan sampai menjauhkan layar handphone dari telinganya.Evan memastikan jika dia tidak salah menjawab panggilan. Namun, memang benar itu adalah foto Amira yang terpampang di layar handphone miliknya. “Amira?” Evan memanggil nama Amira. Namun, sekali lagi bukan Amira yang menjawab. Semakin didengar, semakin Evan mengenali suara itu. Dia merasa sering sekali mendengarnya. Entah mengapa suara lelaki di seberang sana membuatnya kesal. Padahal hanya satu
Evan mendesis kesal. Apalagi saat Alex mendorongnya menjauh dari Amira. Sialan. Padahal Raga tidak ada, tapi pengawal ini malah mengganggunya. Suasana di dalam kamar rawat Amira ricuh sesaat ketika Evan mengomel karena teguran Alex. Febby yang kemudian berdiri dan menengahi. “Kok bisa? Ayah lo mau ngurus Laveire?” Febby sangat, sangat penasaran. Febby tahu sendiri bagaimana stressnya Reynald saat ini. Dia ingin memperjuangkan Laveire, tanpa ada yang bisa dilakukan. “Bisa, dong. Ayah gue liat peluang bisnis di Laveire. Dia udah biasa ngurus tempat yang mau bangkrut kayak gitu. Hasilnya kayak yang kalian tau sekarang.” Evan meninggikan dagunya, sombong. Keluarga Evan memang memiliki beberapa hotel terkenal. Evan jelas bisa bersombong karena hal itu. “Tapi kan Laveire enggak punya murid? Guru juga enggak ada.” Febby terus bertanya. Febby tidak menerima jawaban setengah-setengah. Sementara Amira hanya menyimak saja. Dia sudah terlampau senang dengan kabar baik itu. “Nanti sistem L
Amira memegang selimut yang menutupi sebagian kakinya, erat. Dia memang tengah duduk bersandar di atas ranjang di kamar inapnya.“Lo … lagi sibuk banget hari ini?” Tanya Amira, pelan.Sebisa mungkin Amira tidak berucap gugup. Padahal, jantungnya sedang berdebar keras saat ini. Amira susah payah berusaha agar debarannya itu sedikit mereda. Ini pertama kalinya, Amira mengatakan rindu pada Raga. Dia mengajak Raga bertemu lebih dulu. Amira malu, dan juga takut. Dia takut Raga menolaknya. “Kalau lo sibuk, enggak apa-apa besok lagi,” sambung Amira kemudian.Raga bergegas menjawab. “Enggak,” bantahnya. “Buat lo, gue enggak pernah sibuk.”Amira tersenyum. Meski dia tahu Raga hanya sedang bermulut manis, Amira tetap menyukainya. “Bisa tungguin gue nanti malam?” Tanya Raga. “Semalem gue ke tempat lo, tapi lo udah tidur,” sambungnya.Amira terkesiap sesaat. “Lo ke sini?”Semalam, Amira merasa tidak mendengar apa pun. Apa tidurnya memang selelap itu? Apa karena pengaruh obat?“Kenapa lo enggak
“Kakek mau bicara apa?” Raga langsung bertanya setibanya mereka di ruang kerja Heri. Padahal mereka bahkan belum duduk, tapi Raga sudah sangat tidak sabar. Heri menghela. Dia mengabaikan pertanyaan Raga, lebih memilih untuk terus melangkah menuju sofa yang ada di ruang kerjanya. “Kenapa kamu tidak sabaran begitu? Mau ke mana? Ketemu Amira?”Bahkan nama Amira membuat Heri jengah. Dia kesal mendapati Raga yang sebucin itu pada seorang perempuan. “Apa sih yang membuat kamu sebegitu sukanya pada Amira?” Heri sungguh penasaran. Bukannya Heri tidak pernah merasakan jatuh cinta. Dia hanya tidak segila Raga. “Kakek enggak akan ngerti,” sahut Raga singkat. “Pokoknya Amira itu spesial.”Heri mendengus keras. Dia memang tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti!“Jadi, kenapa sekolahnya?” Tanya Raga, mengalihkan pembicaraan. “Kakek udah bantuin masalah keamanan, kan?” Raga sungguh tak ingin membuang waktu. Dia tidak mau berbasa-basi. Dia masuk ke ruangan ini karena Heri membahas tentang
Tidak mau mengganggu Amira lebih lama, Raga memilih untuk berjalan keluar ruangan. Tepat di depan pintu, dia melihat Alex yang sedang menghalangi Leon untuk masuk.“Kenapa saya tidak boleh masuk, Tuan?” tanya Leon pada Raga.Leon merasa kecolongan. Padahal dia cuma menjalankan perintah Raga untuk memesan beberapa bahan baku makanan. “Memangnya apa yang Tuan lakukan di dalam? Apa yang terjadi?” Leon bertanya penasaran. Dia tak berkedip, menunggu jawaban Raga. “Ngisi baterai,” jawab Raga singkat.Seketika, Alex mendelik. Bukan itu yang dia lihat tadi. Raga bukannya sedang mengisi baterai. Tuan mudanya itu bahkan tidak mengeluarkan handphone sama sekali. Baterai mana coba yang diisi?“Baterai apa?” Pertanyaan Leon sama dengan Alex. Alex juga tidak mengerti meski dia menyaksikan sekilas apa yang Raga lakukan. Sungguh, ini bukan tentang baterai. Raga mendengus lelah. Dia menunjuk Leon dan Alex bergantian. “Kalian emang enggak pernah pacaran?”Kedua tangan Raga terlipat di depan dada.
Amira terbangun keesokan harinya dengan perasaan campur aduk. Dia ingat kejadian semalam. Saat Raga datang, lalu memeluknya. Amira mengajak Raga bicara, dan entah bagaimana dia tertidur. “Habis itu apa?” Amira tidak bisa mengingat apa pun. Jadi pasti Raga yang membawanya ke atas ranjang. “Terus?”Amira bertanya-tanya sendiri. Dia tidak ingat lagi apa yang terjadi. Hanya saja, ada satu hal yang sangat membuatnya bingung. Itu adalah mimpinya. “Gue mimpi aneh ….”Tangan Amira bergerak perlahan menuju bibirnya. Semalam, dia bermimpi. Mimpi yang terasa begitu nyata. “Kenapa rasanya nyata banget?” Amira bertanya penasaran.Belum pernah Amira mengalami mimpi yang senyata ini. Dia bahkan masih bisa merasakan hangat bibir Raga di atas bibirnya. “Enggak!” Amira berteriak, kesal. “Gue bukan cewek mesum!” Bisa-bisanya Amira memimpikan hal seperti itu! Amira memang merindukan Raga, tapi ya tidak sebegitunya!“Ada apa Nona Amira?”Amira terlonjak kaget. Dia sampai lupa jika setiap pagi, pas
“Pukul lebih keras!” Raga berteriak kesal.Entah kenapa kaca mobil itu seperti terbuat dari bahan anti peluru. Sulit sekali untuk dihancurkan. “Tunggu! Biar gue bantuin juga!” Evan akhirnya menemukan sebuah batu besar. Dia hendak berputar ke tempat Raga dan Alex berdiri, tapi langkahnya malah terhenti. “Lo siapa?” Di depannya, berdiri seorang pria. Evan meloncat mundur. Otaknya mengirimkan sinyal bahaya. “Raga! Ada orang lain di sini!” Teriak Evan tanpa ragu. Evan tak mau mengambil resiko untuk menunda. Firasatnya mengatakan jika orang itu berbahaya. “Lo cerewet juga rupanya. Sama kayak temen cewek lo itu,” ucap pria itu. Seketika, Evan langsung teringat pada Amira. Cewek yang dimaksud oleh pria ini, pasti adalah Amira!“Lo siapa?” Evan memicing tajam. “Bilang Lo disuruh sama siapa?!”Pria itu malah tertawa keras. Dia menggeleng lalu mengangkat bahu. “Coba tebak.”Evan tidak bisa melihat dengan jelas apa yang pria itu keluarkan dari dalam sakunya. Benda kecil itu membuat Evan t
“Lo kenapa, deh?!” Evan berteriak tak senang. “Kalau begini kita bisa ketauan, kan!”Siapa yang tidak panik? Mereka datang bermodalkan nekat. Bantuan masih jauh di belakang. Evan jelas tak bisa terus duduk tenang. “Amira dalam bahaya! Kita dalam bahaya!” Raga membalas teriakan Evan dengan teriakan lain yang lebih keras. “Lo enggak sadar jalan yang dari tadi kita lewatin?!”Raga menunjukkan fakta kepada Evan. Dia meminta temannya itu mengingat-ingat.“Apaan?!” Evan bertanya bingung.“Kita dari tadi cuma lewatin jalan naik, turun. Jalannya jelek! Gelap!”Evan tersentak sesaat kemudian. Dia sepertinya mulai menyadari apa yang Raga maksud. “Kita di hutan? Gunung? Atau mungkin … dekat jurang?”Gantian, Evan yang berteriak panik. Ia memukul kursi kemudi, menyerukan hal yang sama seperti Raga. “Cepat! Amira dalam bahaya!”Alex menekan pedal gas tanpa ragu. Dengan bantuan lampu depan yang menyala, dia bisa menyetir lebih baik. Mobil Amira terlihat jelas. Kakinya semakin keras menginjak p
“Ken!” Heri berteriak keras.Dalam sekejap, asisten pribadinya datang mendekat. Heri terduduk di kursi. Dia jelas lelah. Terbakarnya kantor sungguh bukan masalah kecil.“Bagaimana apinya? Apa sudah padam sempurna?” Ken mengangguk. “Petugas pemadam sudah berhasil memadamkan api. Mereka sedang memeriksa sumber kebakaran saat ini.”Heri menghela lelah. Dia juga ingin ikut mencari tahu apa yang terjadi, tapi dia tidak memiliki waktu untuk itu. “Bagaimana keadaan Gavin dan Andini?” Tanya Heri. Dia tak sepenuhnya jujur pada Raga. Gavin dan Andini, orang tua Raga, tidak mengalami luka bakar atau apa, mereka hanya menjadi korban kepanikan. “Keduanya baik, Tuan. Tuan Gavin dan Nyonya Andini sedang diperiksa dokter.”Heri mengangguk mengerti. Baru saja Heri hendak bicara, tapi Ken lebih dulu membuka suara.“Tuan juga sebaiknya diperiksa. Dokter sudah menunggu.”Ken sedikit memaksa. Dia memang terlihat mengkhawatirkan keadaan Heri. Heri akhirnya mengiyakan. Dia juga merasa sesak sejak tadi
“Aduh ….” Amira meringis. Dia akhirnya tersadar. Amira tak ingat kapan dia pingsan. Hanya ada sebagian memori yang terekam di otaknya. Bagian saat Vivian datang dan Leon menjualnya. Lalu ketika kedua orang itu berbincang, Amira sepertinya mulai kehilangan kesadaran.“Lo udah bangun?” Suara di sebelahnya membuat Amira tersadar. Dia tidak sendirian. Bahkan, Amira sedang berada di dalam mobil dengan tubuh terikat.“Siapa? Kenapa gue ada di sini?” Tanya Amira. Pria di samping Amira itu hanya tertawa. Dia melirik ke arah Amira sambil mengedip genit. “Sayang sekali. Gue enggak dibayar lebih buat jawab pertanyaan lo itu.” Amira memicing. Dia menoleh, memeriksa keadaan sekitar. Di dalam mobil itu, ternyata hanya ada mereka berdua. “Kita mau ke mana?” Amira bertanya bingung. Dia tidak mengerti. Bukankah Leon sudah menjualnya? Lantas, kenapa dirinya ditinggalkan? Kenapa wanita yang bernama Vivian itu tidak membawanya?“Bukan kita, tapi lo.” Pria itu tersenyum. “Lo aja.”Wajahnya tampan,
“Masih lurus terus?” Sinar dari layar ponsel memantul di wajah Raga yang tegang. Dalam keheningan malam, hanya deru mesin mobil dan napasnya yang terdengar. Evan duduk di sampingnya, memelototi peta digital yang terus bergeser. Sinyal dari ponsel Amira—lemah dan tidak stabil—masih muncul secara berkala.“Sejauh apa Amira dibawa?” gumam Evan, memijat pelipisnya. “Ikutin aja!” Raga terus memberikan perintah. Alex yang menyetir pun hanya bisa menurut. Dia terus menyusuri jalan tanpa banyak bertanya. Jalan di depan mereka makin sempit, gelap, dan berbatu. Bahkan mobil pun mulai melambat karena tidak ada penerangan sama sekali. Hanya lampu depan yang menerobos kabut tipis di udara.“Di belakang aman?” Tanya Evan, mulai khawatir jika mereka sampai terpisah. Di belakang mereka, ada mobil Reynald. Di mobil itu, Febby, Michelle, Dika, dan Dina ikut serta. “Ada,” sahut Raga setelah menoleh sekilas. Mereka hanya bisa menyusul Amira tanpa bantuan. Amira menghilang begitu cepat. Dika dan
“Buka matamu!” Teriakan Leon menggema di dalam ruang kumuh itu. Amira terpaksa membuka mata, meski tubuhnya sudah mati rasa. “Kamu pikir ini sudah selesai?” Leon tertawa nyaring. “Ini baru dimulai, Amira.”Amira terkejut saat Leon mengangkat tinggi handphone kecil yang Amira sembunyikan. “Kenapa kaget?” Tanya Leon dengan seringai di wajah. “Kamu pikir aku tidak tahu rencanamu?”Leon terkekeh sebentar. Pria itu terlihat sangat menikmati kengerian di wajah Amira. “Kalian sungguh bocah-bocah yang sombong,” ujar Leon, sinis. “Jangan mengira diri kalian pintar. Aku sudah menangani kasus seperti sejak bertahun-tahun yang lalu.”Leon berjalan di depan Amira. Sesekali dia menatap Amira sinis. Terkadang dia tiba-tiba memberikan tendangan–sesuai mood saja. “Kamu tahu pekerjaan apa yang aku urus di keluarga Wijaya, Amira?” Leon mengangguk, seolah membenarkan tebakan yang belum terucap.“Aku mengurus banyak pekerjaan, termasuk yang kotor seperti ini.” Amira tersentak saat wajah Leon tiba-
“Kita … mau ke mana?” Amira bertanya dengan suara cemas. Hari semakin gelap, tapi mobil yang Amira naiki dengan Leon belum juga berhenti. Mereka sudah begitu jauh berkendara. “Kenapa jalannya tidak rata? Apa kita ke hutan?” Amira terus bertanya, membuat Leon berteriak kesal. “Diamlah! Atau aku lempar kau ke jurang di luar sana!” Teriakan Leon membuat Amira terdiam. Dia memilih untuk tidak bicara sampai emosi Leon mereda. Sepertinya, Amira sudah memberikan cukup petunjuk lewat panggilan yang terhubung dengan Raga. Mobil terus berjalan sampai akhirnya berhenti perlahan. Leon memarkir mobil dan keluar lebih dulu. “Turun!” Teriak pria itu, tidak sabaran. Leon menarik Amira cepat. Ia membuat Amira terhuyung sampai akhirnya terjerembab di atas tanah yang keras. “Duh, menyusahkan!” Leon terpaksa membantu Amira. Amira kesulitan berdiri sendiri dengan tangan yang sudah terikat ke belakang. “Astaga, kenapa kamu rapuh sekali!” Leon mengomel saat melihat hidung Amira yang mengeluarkan d
“Semoga semua berjalan sesuai rencana,” lirih Amira. Amira dan teman-temannya mengangguk bersamaan. Mereka sudah siap. Satu-persatu, saling berpamitan, dimulai dari Evan, sampai Raga yang terakhir. “Lo hati-hati,” bisik Raga hampir tak terdengar. Dia menyempatkan diri memeluk Amira erat, sebelum melepaskannya.“Hati-hati di jalan,” seru Amira sambil melambai pada Raga. “Kabarin gue kalo udah sampe.”Raga membalas lambaian tangan Amira sebelum berbalik dan melangkah pergi bersama Alex. Hari sudah gelap, tapi belum terlalu larut. Amira, Dina, dan Dika berjalan bersisian menuju asrama. “Kamu mau langsung tidur?” Tanya Dina.Gedung asrama sudah terlihat. Namun, sampai sekarang, belum ada pertanda apa pun. “Iya, kayaknya,” jawab Amira sambil terus memantau waktu. Dia berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. Amira harus berpura-pura tidak tahu. “Aku juga. Tadi capek banget. Kayaknya malam ini aku bakal tidur nyenyak,” sahut Dina. Mereka akhirnya tiba di depan kamar masing-masin
“Siapa yang melakukannya?” Tanya Reynald. Dia masih mengurus kasus penculikan Raga yang terakhir kali. Tersangkanya masih diproses dalam persidangan yang berjalan.“Orang lain lagi? Lo liat?” Febby ikut bertanya. Febby berharap jika Amira mendapatkan sedikit petunjuk. “Enggak, tapi kayaknya gue tau siapa.”Amira melihat beberapa detail yang membuat dia sedikit yakin dengan tuduhannya. “Itu Pak Leon,” sambung Amira. Dia sempat melihat Raga mencari tahu keberadaan Leon, dan Raga di masa depan belum berhasil menemukannya. “Lo lebih baik cari Pak Leon dari sekarang.” Amira terdiam sebentar, lalu menggeleng. “Jangan,” sambungnya sambil membantah ucapan sendiri. “Cari adiknya.”Leon bersembunyi dengan begitu baik, jadi pria itu pasti tidak akan bisa ditemukan dengan mudah. “Lakukan diam-diam. Gue juga bakal pura-pura enggak tau sama rencana dia,” ucap Amira. Raga mengernyit tidak senang. “Maksud lo, gue harus ngeliat lo diculik di depan mata gue?!”“Lo enggak adil banget!” Raga men