“Katakan padaku, bagaimana Elang? Apakah sudah ditemukan cara untuk menyelamatkannya?” Aliya bertanya dengan suara yang bergetar. Dalam ruang tengah itu, duduk Nawidi, Dean, Agni dan ke empat teman-teman elemen lainnya. Kecuali Dean dan Nawidi, semuanya terdiam tanpa ada satupun yang berani mengeluarkan suara. Situasi terasa begitu tegang. Bagaimana tidak. Sudah hampir seminggu ini, Aliya menerima kabar dari Dean, bahwa Elang terhisap dan terjebak ke dalam sebuah lubang misterius yang muncul tiba-tiba. Aliya diberitahu Dean, bahwa Elang menghilang setelah menghadapi sekelompok elemen penganut atau sekte aliran sesat. Dean melakukan penelusuran dan penyelidikan, lalu mendapat informasi bahwa seluruh sekte itu telah habis setelah menghadapi seorang Elemen Air berlevel satu. Tidak mudah bagi Dean untuk mencari tahu keberadaan Elang, namun pula tidak sulit, saat Dean memiliki kekayaan yang melimpah untuk mengerahkan orang-orang mencari informasi mengenai keberadaan Elang. Dan denga
[Sis… can I phone you?] (Sis.. bisakah aku meneleponmu?) Aliya mengirimkan pesan teks melalui media WA kepada Diani. Dengan nama lengkap Windiani, ia adalah seorang rekan kerja saat Aliya masih bekerja sebagai pengajar di sebuah lembaga kursus bahasa Inggris sebelumnya. Di awal pertemuan Aliya dengan Elang, Diani menjadi tempat curhat bagi Aliya. Hampir segalanya yang berkaitan dengan Elang, ia ceritakan pada Diani. Entah bagaimana asal muasalnya, dirinya dan Diani bisa menjadi sedekat itu. Yang Aliya ingat hanyalah, suatu kebetulan yang membuat posisi meja kerja Aliya, pindah ke samping Diani. Sejak itu pula, Aliya mulai berbagi cerita dengan Diani. Dan yang membuat Aliya lebih takjub lagi, Diani tidak pernah meragukan cerita dari Aliya. Semua keanehan tentang diri Aliya, hingga bahkan kisah tentang dunia elemen, dapat Diani terima dengan baik. Bahkan tanpa mempertanyakan kebenaran dari apa yang diceritakan oleh Aliya. Satu ketika Diani akhirnya bercerita pula pada Aliya, bahwa
Keringat dingin mengucur di seluruh tubuh Aliya. Sudah sekitar tiga jam ia duduk diam dan hanya mengatur keluar masuk napas dengan teratur, sesuai yang telah diarahkan oleh Dean pada dirinya. Ia tidak melakukan apapun selain itu, namun dari menit ke menit, ia merasakan rasa lelah yang mulai menyelimuti dirinya. namun teringat pesan yang sekian kali ditekankan oleh Dean, selama tujuh jam Aliya harus melakukan hal yang saat ini tengah ia lakukan dan mengabaikan beberapa hal yang mungkin akan ia rasakan, atau ia lihat. Demikian Dean memperingatkan dirinya. Dan godaan itu mulai datang, di menit ke empat puluh, saat ia memasuki jam ke empat. Kelebatan bayangan-bayangan dalam alam pikiran Aliya mulai menari di pelupuk matanya. Bayangan tentang Elang dan dirinya sejak awal pertemuan mereka. Kenangan manis itu masih bisa diabaikan oleh Aliya, namun tatkala bayangan kenangan pahit mulai menggantikan bayangan kenangan manis, Aliya mulai merasa terusik. Wajah mendiang Ridwan –sahabat sek
Aliya merasakan tubuhnya bergetar, keringat dingin itu sudah mengering dan tidak lagi bercucuran seperti sebelumnya. Suara alarm dari ponselnya berdering nyaring, namun lamat-lamat tertangkap oleh pendengaran Aliya. Tubuhnya sangat lelah, ia menarik napas dalam dan mengembus sangat perlahan demikian pula dengan kedua kelopak matanya. Tujuh jam telah berlalu. Aliya sungguh merasakan seluruh tubuhnya begitu kelelahan, hampir tidak bertenaga lagi, hingga ia terjatuh ke belakang dengan napas agak tersengal. Melakukan posisi duduk bersila, tidak pernah berhasil ia lakukan lebih dari satu jam. Namun, hari ini ia baru saja melakukan duduk bersila dengan kaki melipat di atas paha, selama tujuh jam! Konsentrasi dan melakukan fokus pikiran, benar-benar di luar pemikiran Aliya selama ini-- terasa seperti tubuh telah mengalami benturan kecelakaan. Ringsek, lemas, nyeri seluruh sendi-- dan entah apa lagi kata yang bisa menggambarkan dengan tepat kondisi tubuh yang saat ini ia rasakan. Bagaim
Suara gemuruh angin terdengar. Dedaunan dan kerikil di area sekitar beterbangan dan berputar, terbawa arus pusaran angin. Getaran di tanah terasa kian membesar, nyaris membuat retakan panjang yang bisa meruntuhkan segala sesuatu yang berdiri di atas tanah. Namun area tempat Dean, Agni dan Terry berdiri, tetap utuh. “Om!” Agni berseru lantang ketika kepalanya mendongak ke atas dan melihat titik hitam yang kian membesar. Setelah sebelumnya Terry mengikuti petunjuk Dean dan mengerahkan kemampuannya yang tertutup selama ini dan bahkan tidak Terry sendiri sadari, yakni menemukan di mana titik Lubang Hitam aneh itu akan muncul. “Sir!” Kali ini Terry berseru, saat melihat Lubang hitam itu kian membesar disertai suara gemuruh dan juga angin yang bertiup kencang di sekeliling mereka. “Agni.” Pemuda Api itu segera mendekati Dean dan berdiri tepat di samping kiri Dean. “Kau siap?” Agni mengangguk. “Siap Om.” “Saya akan masuk sekarang,” ucap Dean pada Agni lalu menepuk pundak Agni, me
"Apa yang terjadi?!" Agni berseru panik. Kedua matanya terpatri pada Lubang Hitam yang sedetik lalu mengeluarkan bunyi ledakan nyaring. Terry tidak kalah panik. "We must take them out!!" (Kita harus mengeluarkan mereka!!) "Gue tau!! Tapi gimana caranya! Om minta gue standby di sini untuk leading mereka keluar!" Terry terdiam. Dadanya berdebar, sama dengan Agni, kedua matanya juga tak kunjung lepas dari Lubang Hitam itu. Ia panik dan ingin masuk untuk membantu Dean keluar dari sana. Namun bagaimana caranya? Dan Agni benar, ia pun mendengar dan mengetahui dengan jelas, bahwa Agni bertugas diam di bawah sini, untuk menjadi mercusuar bagi Dean saat akan keluar dari Lubang Hitam itu. Terry bisa saja melempar Agni masuk ke Lubang Hitam yang masih membuka itu, dan kemudian membuat dirinya sendiri juga masuk ke sana. Karena dia seorang elemen Angin. Tapi jika mereka semua berada di dalam dan tersesat di sana, bagaimana mereka akan keluar? Bukankah dirinya dan juga Agni hanya akan m
Baru saja Agni selesai dengan pemikirannya, Lubang hitam itu membesar. “What the heck!!” umpat Terry. Matanya yang membelalak dipenuhi kecemasan yang kian intens. Dengan kian membesarnya Lubang Hitam itu, akan membuat makhluk raksasa itu lebih mudah keluar. Mereka berdua tidak butuh Lubang Hitam itu membesar. Ukuran sebelumnya masih cukup bagi Dean dan Elang keluar dari sana! Terdengar gemuruh lagi. Kali ini samar dan berasal dari dalam Lubang Hitam tersebut. Dua sosok yang saling merapat, terlihat meluncur keluar. “Om!!” Agni berseru girang saat ia melihat sosok itu adalah Dean yang mendekap kuat Elang dan melayang cepat dari dalam lubang. Namun… Jemari raksasa itu bergerak, berusaha menangkap Dean dengan Elang dalam rangkulannya. “No.. No…” Agni bergerak maju dengan tatapan terpancang pada adegan di atas sana. Dean yang berusaha menghindari dan jemari raksasa itu yang berusaha menggapai dan menangkap Dean dan Elang. Sekujur tubuh Agni menegang melihat pemandangan menguras a
Saat itu Matteo tengah mengikuti rapat dewan direksi.Meskipun bukan menjabat sebagai salah satu direktur dan ‘hanya’ seorang manajer, namun Matteo tetap diundang untuk mengikuti rapat para petinggi Starlight Corp.Hal ini jelas dilakukan oleh Direktur Utama, karena mengetahui posisi Matteo yang sejatinya lebih penting dari Direktur Utama sendiri.Sebagai tangan kanan pemilik perusahaan, Matteo tentu menjadi sosok yang paling disegani dan dihormati dalam perusahaan oleh para petinggi tersebut.Satu bunyi ‘beep’ nyaring, memecah keseriusan di dalam ruangan.Mendengar bunyi yang tidak biasanya, Matteo segera mengeluarkan ponsel dan berdiri lalu meninggalkan ruangan rapat yang sedang dipimpin Direktur Utama.Tidak ada yang menegur Matteo, karena mereka yang ada dalam ruangan adalah pejabat tinggi yang tentu saja tahu, ketika Matteo menerima telepon di saat rapat penting seperti ini, artinya hanya satu. Pemilik perusahaan