Saat itu Matteo tengah mengikuti rapat dewan direksi.Meskipun bukan menjabat sebagai salah satu direktur dan ‘hanya’ seorang manajer, namun Matteo tetap diundang untuk mengikuti rapat para petinggi Starlight Corp.Hal ini jelas dilakukan oleh Direktur Utama, karena mengetahui posisi Matteo yang sejatinya lebih penting dari Direktur Utama sendiri.Sebagai tangan kanan pemilik perusahaan, Matteo tentu menjadi sosok yang paling disegani dan dihormati dalam perusahaan oleh para petinggi tersebut.Satu bunyi ‘beep’ nyaring, memecah keseriusan di dalam ruangan.Mendengar bunyi yang tidak biasanya, Matteo segera mengeluarkan ponsel dan berdiri lalu meninggalkan ruangan rapat yang sedang dipimpin Direktur Utama.Tidak ada yang menegur Matteo, karena mereka yang ada dalam ruangan adalah pejabat tinggi yang tentu saja tahu, ketika Matteo menerima telepon di saat rapat penting seperti ini, artinya hanya satu. Pemilik perusahaan
Agni menyeka peluh yang mengalir dari pelipisnya.Ia menoleh pada Terry yang duduk bersila di sisinya. “Gimana Ter? Lu dah dapat petunjuk?”Pemuda berdarah Jerman itu membuka mata lalu bergumam ragu. “I guess… I think… We have to go to Africa.” (Saya rasa… saya pikir… kita harus ke Afrika)“What??” Kedua mata Agni membesar. “Lu kagak bercanda pan?”Terry menatap bingung Agni.“You’re not kidding, rite?” Agni meralat kalimatnya menjadi kalimat yang lebih bisa dipahami Terry. Terry menggeleng buru-buru. “I dare not do such a thing!” (Saya tidak berani bercanda soal itu!)“Dear God!” Agni mengembus napas kasar. “Italia ke Afrika butuh waktu lama!”“Tujuh belas sampai sembilan belas jam penerbangan,” lirih Terry.Setelah terdiam beberapa detik, Agni mengeluarkan ponsel untuk melakukan panggilan pada Nawidi.“Bang,” Agni menyapa. “Terry dapat petunjuk ke arah Afrika. Gimana?”Agni terlihat menyimak serius. Kemudian ia menganggukkan kepalanya. “Ok Bang.”Pemuda Api Penjaga Inti Aliya itu pu
“Dean?” Nawidi langsung menjawab panggilan yang masuk dari nomor Dean itu.‘Mr. Nawidi, I am Matteo Odhiambo. Saya teman Dean. Dean ada di Asmara, Eritrea. I will send the location to you.’ (Tuan Nawidi, saya Matteo Odhiambo. Saya akan mengirim lokasinya pada Anda.)Nawidi terdiam dengan alis menurun. “Mr. Odhiambo, thank you for informing me this. And you chose me?” (Tuan Odhiambo, terima kasih telah menginformasikan saya hal ini. Dan Anda memilih mengontak saya?)‘Oh, I found your number in his list dan juga kontak Nyonya Aliya. Saya memilih Anda, Mr Nawidi.’Nawidi mengangguk puas. Kalimat yang ia lontarkan sebelumnya adalah kalimat pancingan.Alasan yang harus ia dapatkan dan dengar dari Matteo, mengapa Matteo memilih mengontak dirinya dari beberapa kontak dalam ponsel Dean.Jawaban Matteo akan menjadi penentu apakah Matteo memang layak dipercaya Nawidi, atau sebaliknya.Dan tampaknya Matteo memang benar teman Dean dan mengenal dengan baik Dean. Ia dengan cukup tahu diri, tidak men
Ini adalah hari ketiga setelah Aliya mengetahui Elang dan Dean ditempatkan di tempat khusus untuk mendapatkan perawatan.Namun Nawidi sama sekali belum mengabari dirinya atau bahkan mengatakan melalui Agni dirinya sudah bisa menjenguk Elang.Aliya benar-benar gelisah.“Moony..” Terdengar suara Agni menegur Aliya.Aliya menoleh dan melihat Agni yang berdiri di depannya, menghalangi pandangan Aliya dari televisi besar di belakang Agni.“Kok melamun?” Agni lalu bergerak mendekat dan duduk di sisi Aliya.“Kau baru datang?”Agni mengangguk.“Iyad dan Guntur sudah balik?” tanya Aliya lagi sambil menoleh ke arah pintu pembatas ke halaman belakang.“Belum,” geleng Agni. “Tadi mereka bilang sempet ke dalam, tapi Moony keliatan lagi serius, jadi mereka kagak berani pada ganggu. Makanya nunggu di gazebo belakang lagi.”“Oh ya ampun.” Aliya langsung berdiri dan bergegas menuju halaman belakang.“Mas Gun! Yad!” serunya memanggil kedua teman elemen yang tampak asyik duduk bersila di gazebo.Kedua pe
Lorong gelap itu begitu panjang tak berujung.Dean tertatih berjalan menyusuri tanah lembap di bawah pijakannya. Netra hazel miliknya terus menatap ke depan.Entah dari mana, tiba-tiba kabut asap menumpuk, menghalangi pemandangan di depannya, memenuhi lorong gelap itu.Satu siluet menampak secara samar.Dean memicingkan matanya, berusaha menangkap lebih jelas bayangan di antara kabut pekat itu.“Al…” Bibir kering Dean bergumam, mengucap nama wanita yang begitu dikenalnya.Siluet itu terlihat kian jelas, dan Dean tidak keliru. Siluet tersebut membentuk sosok yang sangat ia cintai, Aliya. Sang Ratu Bumi.Aliya tidak menoleh pada Dean, namun wanita cantik itu berjalan membelakangi Dean.Ia mengenakan gaun putih berlapis yang mengayun lembut, seakan terbuat dari air. Tidak bisa Dean sebutkan bahan itu, gaun tersebut betul-betul terlihat indah membalut tubuh Aliya.Dengan pendaran yang kian menyolok, Aliya
Getaran yang keluar dari hempasan energi dari tubuh Dean, ini bukan getaran yang seperti biasanya.Nawidi tertegun.“Kau… kultivasi ke Level… Satu?” gumamnya tak percaya.Aliya menoleh pada Nawidi. “Kang.. apa maksudnya? Dean naik tingkat? Tapi bagaimana? Bukankah Dean sedang tidak sadarkan diri?”Nawidi menggeleng. Ia maju mendekati ranjang Dean dan kembali memindai seluruh tubuh Dean.Genggaman tangan Dean pada Aliya pun masih saja tak terlepas, erat.Wajah serius Nawidi terlihat berkali lipat. Ia lalu mengerutkan kening. “Tidak terdeteksi…” gumamnya.“Apa, Kang?”“Tidak terdeteksi Level Satu. Namun sesaat lalu, saat terjadi getaran itu, energi Level Satu terdeteksi oleh saya.”Aliya ikut mengerutkan kening. Ia sungguh tidak memahami apa yang terjadi --sesungguhnya ia tidak terlalu memusingkan kenaikan level atau tidaknya diri Dean.Ia hanya butuh Dean segera sadar dan sehat kembali.Aliya baru saja akan membuka mulut, ketika tiba-tiba tangan Dean yang menggenggam erat bergerak ringa
Aliya baru saja tiba kembali di rumahnya.Elang dan Dean tetap menetap di sana, selama Nawidi belum memperbolehkan Aliya membawa pulang Elang.Dan Aliya tidak akan membantah itu, karena ia sendiri menginginkan kesembuhan total Elang.Terakhir ia melihat kondisi Elang sebelum berpamitan, suaminya itu masih tidak sadarkan diri. Pun tidak bereaksi sama sekali, tatkala Aliya mencoba membangunkannya. Hingga akhirnya Aliya kembali pulang ke Bandung bersama Agni.Aliya baru menginjakkan kaki ke dalam kamarnya, tatkala terdengar seruan Agni di ruang keluarga. Ia bergegas keluar.“Agni?”Agni terlihat menggenggam ponsel dan raut wajahnya terlihat serius.“Ada apa?” Aliya mendekat, lalu Agni menutup telepon itu dan memutar tubuh menghadap Aliya.“Ngga ada apa-apa.”“Agni,” Aliya menatap lurus Agni, hingga pemuda Api itu terlihat gugup. “Katakan. Ada apa?”“Emm, bang Einhard.”“Kenapa dengan Elang? Ada apa?” Aliya merangsek mendekat begitu mendengar Agni menyebut Elang.“Duduk dulu, Moony,” Agni
Tiga hari lainnya berlalu.Elang dan Dean sama-sama dalam kondisi tidak sadar dan berulang kali mengigau seperti mengalami mimpi sangat buruk.Namun pada hari keempat, Dean sadar terlebih dahulu dan langsung diperiksa Nawidi kembali. Dean terlihat dalam kondisi normal, namun pria bermata hazel itu tidak berbicara apapun dan tidak menjawab pertanyaan apapun dari Nawidi.Kondisinya terlihat seolah Dean mengalami pengalaman traumatik.Hari berikutnya, Elang akhirnya terbangun. Nawidi melakukan pemeriksaan serupa pada Elang dan Elang terlihat jauh lebih tenang dibanding Dean.Nawidi belum mengizinkan Elang untuk kembali ke Bandung.Dan itu selang satu hari berikutnya, Elang dan Dean beserta tim yang sejak awal berjaga di tempat keduanya dirawat, akhirnya kembali ke Bandung.Guntur telah memastikan keributan warga sekitar saat terjadinya adu hantam energi antara Elang dan Dean, tidak meluas.Bahkan retakan yang terjadi di dalam bang
Teaser untuk S3 RATU BUMI: KELAHIRAN SANG PEWARIS(Entah kapan akan dibuat S3-nya. Tapi Author ingin berikan ini sebagai ekstra saja untuk kalian. Thanks to you all!!)Seorang wanita tengah berada di depan laptop. Sebuah kacamata berbentuk persegi dengan bingkai berwarna biru bertengger di pangkal hidungnya.Terdengar suara tuts pada keyboard yang ditekan cukup keras dan cepat.“Selesai!!” seru wanita itu dengan bibir tersungging senyum yang begitu lebar.Matanya sekali lagi menatap lekat pada layar laptop miliknya. Seolah puas dengan apa yang ia baca, ia mengangguk dan tersenyum lagi.“Mantap memang. Si gue menggambarkan tokohnya begitu nyata. Cakep banget ini. Epik,” ujarnya sambil terus mengangguk-angguk kan kepala. Tiada henti ia memuji dirinya sendiri.“Mungkin karena aku pake namaku sendiri buat tokoh cewek, ini bener-bener terasa seperti kejadian nyata. Tapi kan itu emang tujuanku..”“Sepertinya aku bener-bener jenius… Beberapa potong mimpi ku, bisa kujadikan rangkaian cerita se
Suatu hari di bulan September 2023.Aliya menggeliat lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia merentangkan kedua tangannya dan menguap.Kepalanya menengok ke kiri. Sisi itu kosong.Ia lalu menengadah, melihat ke arah jam dinding dalam kamar itu. 7:15.Aliya kemudian turun dari ranjang-nya. Ia kenakan sandal rumah berbahan kain dengan bordiran inisial A pada bagian tutup kakinya.Dengan langkah malas ia keluar kamar. Kepalanya berputar mencari.Hari itu, setelah ia tadi shalat subuh, ia tertidur kembali, karena semalam ia begadang menyelesaikan pekerjaannya hingga jam 2 dini hari.Kaki Aliya terus melangkah. Kini hidungnya mencium harum masakan berasal dari dapur. Ia pun mengarahkan kakinya ke arah sumber aroma tersebut.Ia terhenti di ambang pintu dapur. Bibirnya tersenyum. Matanya menatap ke depan dengan sorot penuh kasih.Tubuh jangkung dengan masih menggunakan set piyama tidur bermotif salur itu, masih asyik melakukan sesuatu di depan kompor.“Sudah bangun, rupanya…” kata pemilik
Dean menyetir mobil Jeep Cherokee Trackhawk yang terbuka dengan santai, menikmati embusan angin yang hangat di wajahnya sementara Aliya di sampingnya tampak takjub memandangi pemandangan di sekeliling mereka.Sekitar lima belas menit lalu, Aliya dan Dean tiba di Amboseli Airtrip di dalam Taman Nasional Amboseli.Taman Nasional Amboseli ini terletak di selatan Kenya, tepatnya di Kabupaten Kajiado, dekat perbatasan Kenya dengan Tanzania.Taman ini berada sekitar 240 kilometer sebelah tenggara Nairobi, ibu kota Kenya, dan terletak di bawah bayang-bayang Gunung Kilimanjaro yang megah di Tanzania, yang memberikan latar belakang yang ikonik dan terkenal di taman ini.Amboseli terkenal dengan populasi gajah besarnya, serta pemandangan sabana yang menakjubkan.Dean sengaja membawa Aliya ke tempat favorit-nya ini, untuk memberikan pengalaman baru bagi Aliya.Dengan helikopter, mereka terbang sekitar 40 menit dari helipad di atas gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi menuju Kajiado. Se
Aliya paham, yang dimaksud orang Elemen Air itu adalah Elang. Namun yang tidak ia paham, mengapa ia menangkap gestur kemarahan dari sosok Syauqi? Apakah Syauqi dan Elang pernah bertemu sebelumnya?Ini belum waktunya Aliya bertanya lebih jauh tentang itu. Jadi ia kemudian hanya mengalihkan pertanyaan pada hal lain.“Bukankah yang kudengar, bahwa Realm adalah keluarga yang memang bermukim di Tanah Air. Tapi--” Ucapan Aliya terhenti.Syauqi tertawa kecil. “Anda bingung karena saya berwajah campuran di luar Indonesia?”“Ya, jujur aku bingung.” Mau tak mau Aliya pun tertawa kecil.“Nenek saya sedikit memberontak, Madam.”“Eh?”Syauqi terkekeh. “Nenek saya kabur dari Indonesia dan menikah dengan orang Jepang. Lalu ibu saya lahir dan kemudian menikah dengan orang Amerika. Lalu lahirlah saya.”Pria berwajah elok itu menjeda diri sesaat. “Saat saya berumur lima tahun, ibu saya membawa saya kembali ke kakek buyut. Tetua Realm Api dan mengembalikan saya. Kata ibu saya, itu wasiat nenek saya sebel
Aliya bersandar di sofa lounge hotel yang nyaman, menatap tenang pada makanan di depannya.Ia mencoba hidangan khas Nairobi: Nyama Choma, potongan daging panggang yang gurih dan kaya rempah, ditemani dengan kachumbari—salad segar dari tomat, bawang, dan cabai.Rasa pedas dan segar dari kachumbari melengkapi cita rasa daging yang hangat, membuat Aliya semakin larut dalam suasana santai sambil menunggu Dean yang tengah dalam rapat mendadak di ballroom hotel.Saat kunyahan terakhir, Aliya teringat percakapannya tadi dengan Matteo, yang penuh dengan dukungan.Matteo, sahabat Dean itu, mengungkapkan ketulusan hati ketika mengetahui Aliya bersama Dean."Aku sangat bahagia, Nyonya.”“Please, panggil Aliya saja, Matteo.”Matteo tersenyum sumringah. “Baiklah.. Ya.. aku benar-benar merasa bahagia.”“Aku bisa lihat itu. Sejak pertama kita bertemu, wajahmu berseri-seri terus,” Aliya tersenyum lebar.“Ini bukan tentang diriku, Nyonya. Melihatmu akhirnya bersama Dean... itu sungguh yang selama ini
Tak berapa lama limousine yang ditumpangi Dean dan Aliya tiba di satu hotel yang tampak megah.Beberapa greeter dan bellboy tampak menyambut ramah dan penuh hormat saat Aliya dan Dean yang dipimpin Matteo, memasuki area hotel.Dean terlihat sedikit menaikkan alis—tampak berpikir sesuatu, namun tetap dengan santai mengikuti langkah Matteo yang terlihat bersemangat berbicara dengan Aliya.Aliya melangkah masuk ke dalam suite mewah di Helshington Nairobi, tak dapat menahan gumaman kagum yang meluncur pelan.Matanya menyusuri setiap sudut ruangan—sebuah suite yang luas dengan desain butik berkelas, bercampur sentuhan klasik yang elegan.Dindingnya dihiasi karya seni khas Afrika, menambah sentuhan eksotis pada ruangan yang megah namun tetap hangat.Lampu-lampu gantung dari kristal menghiasi langit-langit tinggi, sementara lantai kayu yang mengilap mencerminkan pantulan cahaya lembut dari lampu yang dipasang dengan artistik.Di satu sisi, ada balkon pribadi yang menghadap ke pemandangan perb
Gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi terlihat lebih sibuk dari biasanya.Para karyawan berjalan cepat, membawa berkas-berkas dan peralatan, memastikan setiap detail tertata sempurna untuk menyambut kedatangan CEO mereka, yang nyaris tidak pernah terlihat.Lobi utama yang biasanya hanya dihiasi dengan dekorasi sederhana kini terlihat sedikit berbeda. Tanaman hijau segar diletakkan di beberapa sudut, meja resepsionis dibersihkan hingga berkilau, dan tim keamanan memeriksa ulang setiap titik untuk memastikan semuanya sesuai standar.Di tengah kesibukan tersebut, Direktur cabang melangkah mendekati Matteo, manajer yang selalu tenang di tengah hiruk-pikuk persiapan ini.Dengan ragu, Direktur bertanya, "Mr. Odhiambo, apa benar tidak masalah jika kita melakukan persiapan seperti ini?"Sang Direktur masih teringat akan sikap sang CEO yang cenderung rendah hati dan tidak suka dengan seremoni berlebihan.Pernah sekali waktu saat ia pertama kali menjabat sebagai direktur cabang, ketika
Aliya duduk sendirian di dalam kabin jet pribadi Gulf Stream yang melaju anggun di atas awan menuju Kenya.Interior jet ini tampak begitu mewah dan nyaman, didesain dengan kursi kulit lembut berwarna krem yang berpadu dengan elemen kayu mahoni gelap.Cahaya matahari senja yang masuk dari jendela memberikan kilau hangat ke dalam kabin, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti perjalanan mereka.Aliya menatap keluar jendela, melihat hamparan langit oranye keemasan yang seakan tak berujung, membiarkan pikirannya melayang.Bayangan pertama kali ia melihat pesawat ini, dengan logo Starlight Corp di badan jet, memenuhi benaknya.Kata-kata Agung kembali terngiang di kepalanya, bagaimana Dean memilih nama Starlight, terinspirasi dari panggilan kesayangan yang ia berikan padanya setelah pertama kali melihat Aliya dalam mimpi.Ketika ia iseng berselancar di dunia maya, ia mendapati bahwa Starlight Corp adalah korporasi besar yang dikagumi dunia. Selain Starlight Corp dikenal dengan kebijakan
Dean tersedak lalu terbatuk.“Prrrfffffftttttt.” Agni sukses menyemburkan nasi yang baru saja ia suapkan ke dalam mulutnya.Bi Titin menahan tawa. Ia mengacungkan jempol pada Aliya, lalu melenggang santai kembali ke dapur.Hening.Aliya melotot ke arah Agni.“Jorok, ih!” Aliya menepukkan tangannya ke beberapa nasi semburan Agni yang mampir dan bertengger di bajunya.“So-sorry Moony!” Agni bergegas bangun dan meraih beberapa lembar tissue dan menghampiri Aliya. Tangannya mengelap tangan Aliya.Saat tangan Agni akan berpindah ke bagian baju di bawah dagu Aliya, tangan Dean telah memegang tangan Agni.“Biar saya saja,” kata Dean singkat.Agni memanyunkan mulutnya. “Lu sih, Om…” Lalu kembali ke tempat duduknya dan membersihkan sisa-sisa nasi yang berhamburan di meja sambil nyengir.Dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal, Agni mengambil piring makannya dan memutuskan segera menyingkir dari ruang makan, untuk memberi keleluasaan bagi pasangan itu.“Gue pindah ah. Ini obrolannya udah dua