Baru saja Agni selesai dengan pemikirannya, Lubang hitam itu membesar. “What the heck!!” umpat Terry. Matanya yang membelalak dipenuhi kecemasan yang kian intens. Dengan kian membesarnya Lubang Hitam itu, akan membuat makhluk raksasa itu lebih mudah keluar. Mereka berdua tidak butuh Lubang Hitam itu membesar. Ukuran sebelumnya masih cukup bagi Dean dan Elang keluar dari sana! Terdengar gemuruh lagi. Kali ini samar dan berasal dari dalam Lubang Hitam tersebut. Dua sosok yang saling merapat, terlihat meluncur keluar. “Om!!” Agni berseru girang saat ia melihat sosok itu adalah Dean yang mendekap kuat Elang dan melayang cepat dari dalam lubang. Namun… Jemari raksasa itu bergerak, berusaha menangkap Dean dengan Elang dalam rangkulannya. “No.. No…” Agni bergerak maju dengan tatapan terpancang pada adegan di atas sana. Dean yang berusaha menghindari dan jemari raksasa itu yang berusaha menggapai dan menangkap Dean dan Elang. Sekujur tubuh Agni menegang melihat pemandangan menguras a
Saat itu Matteo tengah mengikuti rapat dewan direksi.Meskipun bukan menjabat sebagai salah satu direktur dan ‘hanya’ seorang manajer, namun Matteo tetap diundang untuk mengikuti rapat para petinggi Starlight Corp.Hal ini jelas dilakukan oleh Direktur Utama, karena mengetahui posisi Matteo yang sejatinya lebih penting dari Direktur Utama sendiri.Sebagai tangan kanan pemilik perusahaan, Matteo tentu menjadi sosok yang paling disegani dan dihormati dalam perusahaan oleh para petinggi tersebut.Satu bunyi ‘beep’ nyaring, memecah keseriusan di dalam ruangan.Mendengar bunyi yang tidak biasanya, Matteo segera mengeluarkan ponsel dan berdiri lalu meninggalkan ruangan rapat yang sedang dipimpin Direktur Utama.Tidak ada yang menegur Matteo, karena mereka yang ada dalam ruangan adalah pejabat tinggi yang tentu saja tahu, ketika Matteo menerima telepon di saat rapat penting seperti ini, artinya hanya satu. Pemilik perusahaan
Agni menyeka peluh yang mengalir dari pelipisnya.Ia menoleh pada Terry yang duduk bersila di sisinya. “Gimana Ter? Lu dah dapat petunjuk?”Pemuda berdarah Jerman itu membuka mata lalu bergumam ragu. “I guess… I think… We have to go to Africa.” (Saya rasa… saya pikir… kita harus ke Afrika)“What??” Kedua mata Agni membesar. “Lu kagak bercanda pan?”Terry menatap bingung Agni.“You’re not kidding, rite?” Agni meralat kalimatnya menjadi kalimat yang lebih bisa dipahami Terry. Terry menggeleng buru-buru. “I dare not do such a thing!” (Saya tidak berani bercanda soal itu!)“Dear God!” Agni mengembus napas kasar. “Italia ke Afrika butuh waktu lama!”“Tujuh belas sampai sembilan belas jam penerbangan,” lirih Terry.Setelah terdiam beberapa detik, Agni mengeluarkan ponsel untuk melakukan panggilan pada Nawidi.“Bang,” Agni menyapa. “Terry dapat petunjuk ke arah Afrika. Gimana?”Agni terlihat menyimak serius. Kemudian ia menganggukkan kepalanya. “Ok Bang.”Pemuda Api Penjaga Inti Aliya itu pu
“Dean?” Nawidi langsung menjawab panggilan yang masuk dari nomor Dean itu.‘Mr. Nawidi, I am Matteo Waltz. Saya teman Dean. Dean ada di Asmara, Eritrea. I will send the location to you.’ (Tuan Nawidi, saya Matteo Waltz. Saya akan mengirim lokasinya pada Anda.)Nawidi terdiam dengan alis menurun. “Mr Waltz, thank you for informing me this. And you chose me?” (Tuan Waltz, terima kasih telah menginformasikan saya hal ini. Dan Anda memilih mengontak saya?)‘Oh, I found your number in his list dan juga kontak Nyonya Aliya. Saya memilih Anda, Mr Nawidi.’Nawidi mengangguk puas. Kalimat yang ia lontarkan sebelumnya adalah kalimat pancingan.Alasan yang harus ia dapatkan dan dengar dari Matteo, mengapa Matteo memilih mengontak dirinya dari beberapa kontak dalam ponsel Dean.Jawaban Matteo akan menjadi penentu apakah Matteo memang layak dipercaya Nawidi, atau sebaliknya.Dan tampaknya Matteo memang benar teman Dean dan mengenal dengan baik Dean. Ia dengan cukup tahu diri, tidak menghubungi Aliy
Ini adalah hari ketiga setelah Aliya mengetahui Elang dan Dean ditempatkan di tempat khusus untuk mendapatkan perawatan.Namun Nawidi sama sekali belum mengabari dirinya atau bahkan mengatakan melalui Agni dirinya sudah bisa menjenguk Elang.Aliya benar-benar gelisah.“Moony..” Terdengar suara Agni menegur Aliya.Aliya menoleh dan melihat Agni yang berdiri di depannya, menghalangi pandangan Aliya dari televisi besar di belakang Agni.“Kok melamun?” Agni lalu bergerak mendekat dan duduk di sisi Aliya.“Kau baru datang?”Agni mengangguk.“Iyad dan Guntur sudah balik?” tanya Aliya lagi sambil menoleh ke arah pintu pembatas ke halaman belakang.“Belum,” geleng Agni. “Tadi mereka bilang sempet ke dalam, tapi Moony keliatan lagi serius, jadi mereka kagak berani pada ganggu. Makanya nunggu di gazebo belakang lagi.”“Oh ya ampun.” Aliya la
Lorong gelap itu begitu panjang tak berujung.Dean tertatih berjalan menyusuri tanah lembap di bawah pijakannya. Netra hazel miliknya terus menatap ke depan.Entah dari mana, tiba-tiba kabut asap menumpuk, menghalangi pemandangan di depannya, memenuhi lorong gelap itu.Satu siluet menampak secara samar.Dean memicingkan matanya, berusaha menangkap lebih jelas bayangan di antara kabut pekat itu.“Al…” Bibir kering Dean bergumam, mengucap nama wanita yang begitu dikenalnya.Siluet itu terlihat kian jelas, dan Dean tidak keliru. Siluet tersebut membentuk sosok yang sangat ia cintai, Aliya. Sang Ratu Bumi.Aliya tidak menoleh pada Dean, namun wanita cantik itu berjalan membelakangi Dean.Ia mengenakan gaun putih berlapis yang mengayun lembut, seakan terbuat dari air. Tidak bisa Dean sebutkan bahan itu, gaun tersebut betul-betul terlihat indah membalut tubuh Aliya.Dengan pendaran yang kian menyolok, Aliya
Getaran yang keluar dari hempasan energi dari tubuh Dean, ini bukan getaran yang seperti biasanya.Nawidi tertegun.“Kau… kultivasi ke Level… Satu?” gumamnya tak percaya.Aliya menoleh pada Nawidi. “Kang.. apa maksudnya? Dean naik tingkat? Tapi bagaimana? Bukankah Dean sedang tidak sadarkan diri?”Nawidi menggeleng. Ia maju mendekati ranjang Dean dan kembali memindai seluruh tubuh Dean.Genggaman tangan Dean pada Aliya pun masih saja tak terlepas, erat.Wajah serius Nawidi terlihat berkali lipat. Ia lalu mengerutkan kening. “Tidak terdeteksi…” gumamnya.“Apa, Kang?”“Tidak terdeteksi Level Satu. Namun sesaat lalu, saat terjadi getaran itu, energi Level Satu terdeteksi oleh saya.”Aliya ikut mengerutkan kening. Ia sungguh tidak memahami apa yang terjadi --sesungguhnya ia tidak terlalu memusingkan kenaikan level atau tidaknya diri Dean.Ia hanya butuh Dean segera sadar dan sehat kembali.Aliya baru saja akan membuka mulut, ketika tiba-tiba tangan Dean yang menggenggam erat bergerak ringa
Aliya baru saja tiba kembali di rumahnya.Elang dan Dean tetap menetap di sana, selama Nawidi belum memperbolehkan Aliya membawa pulang Elang.Dan Aliya tidak akan membantah itu, karena ia sendiri menginginkan kesembuhan total Elang.Terakhir ia melihat kondisi Elang sebelum berpamitan, suaminya itu masih tidak sadarkan diri. Pun tidak bereaksi sama sekali, tatkala Aliya mencoba membangunkannya. Hingga akhirnya Aliya kembali pulang ke Bandung bersama Agni.Aliya baru menginjakkan kaki ke dalam kamarnya, tatkala terdengar seruan Agni di ruang keluarga. Ia bergegas keluar.“Agni?”Agni terlihat menggenggam ponsel dan raut wajahnya terlihat serius.“Ada apa?” Aliya mendekat, lalu Agni menutup telepon itu dan memutar tubuh menghadap Aliya.“Ngga ada apa-apa.”“Agni,” Aliya menatap lurus Agni, hingga pemuda Api itu terlihat gugup. “Katakan. Ada apa?”“Emm, bang Einhard.”“Kenapa dengan Elang? Ada apa?” Aliya merangsek mendekat begitu mendengar Agni menyebut Elang.“Duduk dulu, Moony,” Agni