Dean berdiri di dekat jendela depan. Memandang kepergian Guntur dan Aliya keluar dari halaman depan rumah kemudian menjauh. Beberapa saat tetap berdiri di sana, sebelum akhirnya ia mengerjapkan mata, menunduk dan berbalik.
Sedikit terkejut, ketika ia mendapati Agni telah berdiri di belakangnya.
Mereka kini berhadapan.
“Ya elah Om… sejak kapan lu gak aware ama kemunculan orang di belakang lu? Bahaya noh…” Agni langsung berkomentar.
Dean tersenyum datar. “Mungkin saya belum pulih betul.”
“Om….” Agni menatap lalu bertanya perlahan, “Are you sure, you’re alrite? (Apa kau yakin kau baik-baik saja?)”
“Ya, Agni. Saya baik-baik saja. Tidak ada luka yang terlalu serius. Itu hanya pukulan yang--”
“Lu tau bukan itu maksud gue,” sela Agni memotong perkataan Dean. “Gua gak khawatir tentang luka lu, karena gua tau kekuatan lu,” sambung Agn
Terry kemudian mencoba melakukan penelusuran dan koneksi terhadap sumber aroma itu, yang kemudian membawa dirinya ditemukan dan didatangi oleh sang Api, Radinka Agni.Salah satu Penjaga Inti Ratu Bumi, pria Api kuat yang paling tidak tahan melihat seseorang mencoba mengganggu atau mendekati Ratu Bumi.Keberuntungan lainnya yang terbungkus kesialan, pikir Terry kala itu.Pertarungan antara dirinya dan Agni tentu saja terjadi saat itu, serta ia mendapatkan dua pukulan dari Agni. Sebelum pertarungan itu benar-benar menghasilkan luka serius pada dirinya, Dean datang melerai.Dean akhirnya membawa Terry ke basecamppara Penjaga Ratu Bumi itu.Dan ia pun luar biasa berbangga hati, karena mendengar bahwa Ratu Bumi --Aliya, ‘mengundang’ dirinya secara langsung untuk bergabung dalam tim. Hal itu dibuktikan dengan Terry yang mampu mencium aroma Aliya yang merebak, tepat di saat kedatangan Terry di Bandung.Meskipun Agni satu-
Dean menghela napas. Kini wajah tampannya yang terhias jambang yang tampak menyatu dengan bulu-bulu halus tipisnya di garis dagu, terlihat dingin.Tatapan matanya sangat tajam saat ia berdiri tegap di atas sebuah bukit di tenggara kota itu.Pandangannya turun mengarah pada hutan pinus beberapa ratus meter di hadapannya. Hutan kecil yang berada di bawah kaki bukit tempat Dean berdiri itu tampak tenang.Sementara Agung yang berada sekitar 300 meter di belakang dari lokasi Dean, telah siap dan siaga. Ia mengalirkan perlahan energi di tubuhnya ke kedua lengan dan kakinya.‘Mereka datang, kang,’ bisik Agung. Dirinya yang seorang bumi telah mendeteksi getaran tak normal yang semakin mendekat.Tidak lama angin yang semula terasa cukup kencang, tiba-tiba seperti menghilang tanpa jejak. Tidak tampak lagi daun-daun yang beterbangan di sekitar. Seolah-olah tiupan angin menghindar dan melewati area sekitar hutan pinus tersebut.Lambat laun u
Ketika kepulan debu tanah mereda, tampak kedua laki-laki paruh baya yang masih berdiri namun terengah-engah.Kaos mereka robek di beberapa bagian dengan bekas serupa percikan-percikan api. Meski percikan tersebut langsung bisa mereka padamkan, keringat keduanya mengalir deras.Sementara Agni masih berdiri tegak tanpa jejak lelah berlebihan, meski raut wajahnya tampak memerah marah, seperti ingin memakan hidup-hidup lawan di hadapannya.“Siapapun yang berpikir sesuatu tentang Ratu kami, pantas mati!!” seru Agni tertahan kemudian dia menghentakkan kedua tangannya ke bawah dengan kumpulan energi jauh lebih besar dari kelima pukulan sebelumnya.Agni kemudian melepaskan pukulan tersebut ke arah kedua penyusup paruh baya itu.“Onu!!” Kali ini pemuda penyusup yang berusia 26 tahunan itu berseru lalu bergegas menghampiri kedua laki-laki paruh baya yang di ambang pukulan maut Agni.Pemuda berambut emas itu lalu mengeluarkan en
Kemudian kelebatan dua sosok tersebut telah berubah, berganti menjadi bola api besar yang membungkus mereka.‘Ini pertarungan dua api yang super keren!’ Iyad menatap penuh takjub kedahsyatan gelombang energi yang terasa dari tempat ia berdiri.Meskipun ini bukan pertama kali Iyad melihat pertempuran Agni, namun ia tetap terkagum. Siapa menyangka, pemuda yang biasa bertingkah tengil dan sembrono itu, kian hari kian bertambah kuat.Dirinya juga seorang api, meskipun usia Iyad lebih tua dari Agni, namun secara kekuatan dan keterampilan, ia masih jauh di bawah Agni.Agni memang pantas menjadi Penjaga Inti bagi Ratu Bumi mereka.Api yang membara. Siapapun seharusnya menyesal telah bermain-main dengannya.Terutama jika menyinggung tentang Ratu mereka. Agni-lah elemen yang paling cepat tersulut ketika musuh mengincar dan mengganggu ketenangan Ratu mereka.Ketika Agni mengerahkan energi tempurnya dengan serius, Agni tampa
“Om…” panggil Agni kepada Dean. “Aliya?” tanya Dean begitu Agni hanya berjarak setengah meter darinya. “Sudah kita kawal tadi sampai rumahnya, Om,” jawab Agni. “Setelahnya kita langsung ke sini.” “Guntur di sana untuk temani Aliya dulu sampai kita selesai,” imbuh Iyad. “Kang Nawidi juga masih di sana.” Dean mengangguk. Tentu dirinya cukup tenang mendengar bahwa Nawidi ada bersama Aliya saat ini. Nawidi berada pada Level dan Tingkat yang sama dengan dirinya. Untuk saat ini, di sini --selain Elang sendiri, tidak ada yang bisa menandingi Dean dan Nawidi. “Mereka orang Estonia, bukan Om?” tanya Agni lalu berbalik menatap ke arah bekas lubang tadi. “Sepertinya begitu.” “Mereka bodoh atau apa?” Agni mendengkus. “Mereka pikir bisa sesukanya hanya karena Bang Water kagak ada di sini?” Bang Water yang dimaksud Agni adalah Elang yang memang seorang elemen Air. “Mereka juga ngira kita semua terluka parah,” Iyad ikut menambahkan. Dean terdiam. Lalu menarik jemarinya seolah menggapai s
Aliya menggigit bibirnya. “I know,” lirihnya. “Tapi aku cemas…”Dean tersenyum lalu menyandarkan tubuhnya.“Apa kau terluka?” Aliya bertanya setelah menatap Dean beberapa saat. Mencoba memindai diri Dean yang ia tahu, baru saja mendapatkan pukulan sebelumnya.Namun sebelum Dean menanggapi, Agni lebih dulu bereaksi dengan menunjukkan kaos lengan kirinya yang robek. “Gue, Moony… Gue…”Aliya menoleh ke arah lengan yang disodorkan Agni. Tangannya lantas terangkat menyibak bekas sobekan di kaos bagian lengan Agni.“Sakit?” tanya Aliya hati-hati sambil menyentuh bekas goresan panjang yang ada di balik kaos itu.“Sakiiit…” rengek Agni dengan muka dibuat memelas.“Jiaaaahhhhh!” suara Agung terdengar keras saat masuk ke ruangan itu. Iyad mengikuti di belakang. “Lebay banget kamu dah!”“Iyeee lebay tingkat dew
Dean terkekeh.Pria bermata hazel itu lalu mengulurkan tangannya pada Aliya. “Periksalah sendiri, jika kau masih belum percaya.”Dean tahu ia akan menemui jalan buntu tentang ini. Sehingga ia akan membiarkan Aliya mencari tahu dengan caranya sendiri.Aliya meraih tangan yang terulur padanya. Namun alih-alih memegang denyut nadi Dean, Aliya malah menggenggam tangan Dean.Dean tersentak kaget dan spontan hendak menarik tangannya, namun Aliya mempererat genggamannya. Aliya bahkan menggunakan tangan satunya lagi untuk menangkup tangan Dean.Dean merunduk, melihat tangannya yang di genggam Aliya. Tangan Aliya terasa mungil dan hangat di telapak tangan Dean yang besar. Sejurus kemudian debaran jantung Dean terasa berpacu lebih cepat.Dean mengangkat kepala kembali dan mendapati Aliya tengah menatapnya.Tatapan itu tidak intens, namun cukup untuk mengacaukan fokus Dean.Ditambah dengan genggaman kuat tangan Aliya pada tang
Aliya tertegun. Senyum yang semula terkembang lebar, seketika lenyap. Pria tampan di depan Aliya itu pun tak kalah tersentak. “Maaf..” “Maaf,” ujar Aliya bersamaan dengan Dean. “Maksudku, aku…” “Aku yang minta maaf, Dean. Aku terlalu tidak peka,” potong Aliya cepat. “Aku pulang dulu. Maaf sekali lagi,” Aliya segera membalikkan badannya. Dean masih tertegun. Sesaat kemudian spontan tangan kanan Dean meraih pergelangan tangan Aliya. “Al..” Aliya menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Dean, lalu ke pergelangan tangan yang digenggam Dean. Dean dengan cepat melepaskan pegangannya. “Maaf, Aliya,” ujar Dean. “Aku yang akan mengantarmu sekarang. Tunggu sebentar.” Tanpa menunggu jawaban Aliya, Dean berbalik menuju kamarnya kembali. Di dalam kamar, Dean bersandar di pintu yang telah ia tutup. Ia mengembuskan napas panjang. Sejenak ia pejamkan matanya. ‘Ah bodohnya. Mengapa sampai l