Aliya menggigit bibirnya. “I know,” lirihnya. “Tapi aku cemas…”
Dean tersenyum lalu menyandarkan tubuhnya.
“Apa kau terluka?” Aliya bertanya setelah menatap Dean beberapa saat. Mencoba memindai diri Dean yang ia tahu, baru saja mendapatkan pukulan sebelumnya.
Namun sebelum Dean menanggapi, Agni lebih dulu bereaksi dengan menunjukkan kaos lengan kirinya yang robek. “Gue, Moony… Gue…”
Aliya menoleh ke arah lengan yang disodorkan Agni. Tangannya lantas terangkat menyibak bekas sobekan di kaos bagian lengan Agni.
“Sakit?” tanya Aliya hati-hati sambil menyentuh bekas goresan panjang yang ada di balik kaos itu.
“Sakiiit…” rengek Agni dengan muka dibuat memelas.
“Jiaaaahhhhh!” suara Agung terdengar keras saat masuk ke ruangan itu. Iyad mengikuti di belakang. “Lebay banget kamu dah!”
“Iyeee lebay tingkat dew
Dean terkekeh.Pria bermata hazel itu lalu mengulurkan tangannya pada Aliya. “Periksalah sendiri, jika kau masih belum percaya.”Dean tahu ia akan menemui jalan buntu tentang ini. Sehingga ia akan membiarkan Aliya mencari tahu dengan caranya sendiri.Aliya meraih tangan yang terulur padanya. Namun alih-alih memegang denyut nadi Dean, Aliya malah menggenggam tangan Dean.Dean tersentak kaget dan spontan hendak menarik tangannya, namun Aliya mempererat genggamannya. Aliya bahkan menggunakan tangan satunya lagi untuk menangkup tangan Dean.Dean merunduk, melihat tangannya yang di genggam Aliya. Tangan Aliya terasa mungil dan hangat di telapak tangan Dean yang besar. Sejurus kemudian debaran jantung Dean terasa berpacu lebih cepat.Dean mengangkat kepala kembali dan mendapati Aliya tengah menatapnya.Tatapan itu tidak intens, namun cukup untuk mengacaukan fokus Dean.Ditambah dengan genggaman kuat tangan Aliya pada tang
Aliya tertegun. Senyum yang semula terkembang lebar, seketika lenyap. Pria tampan di depan Aliya itu pun tak kalah tersentak. “Maaf..” “Maaf,” ujar Aliya bersamaan dengan Dean. “Maksudku, aku…” “Aku yang minta maaf, Dean. Aku terlalu tidak peka,” potong Aliya cepat. “Aku pulang dulu. Maaf sekali lagi,” Aliya segera membalikkan badannya. Dean masih tertegun. Sesaat kemudian spontan tangan kanan Dean meraih pergelangan tangan Aliya. “Al..” Aliya menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Dean, lalu ke pergelangan tangan yang digenggam Dean. Dean dengan cepat melepaskan pegangannya. “Maaf, Aliya,” ujar Dean. “Aku yang akan mengantarmu sekarang. Tunggu sebentar.” Tanpa menunggu jawaban Aliya, Dean berbalik menuju kamarnya kembali. Di dalam kamar, Dean bersandar di pintu yang telah ia tutup. Ia mengembuskan napas panjang. Sejenak ia pejamkan matanya. ‘Ah bodohnya. Mengapa sampai l
Dengan membonceng Aliya, Dean melajukan motornya dengan kecepatan sedang.Matahari telah mulai jatuh ke Barat, mulai membias langit hingga berwarna jingga keemasan. Sementara Aliya yang berada di belakang Dean, diam menatap punggung Dean.Kedua tangannya bertahan memegang lututnya.Sebenarnya ada perasaan takut, saat Dean membelokkan motornya. Bagaimana tidak, jalanan di wilayah Lembang ini berbelok-belok dan banyak turunan serta tanjakan.Terutama wilayah Cikahuripan ini. Ada beberapa turunan yang terbilang curam dan cukup licin.Meski Dean tidak melaju kencang dan berbelok hati-hati, Aliya tidak terlalu terbiasa dengan motor besar dan cukup tinggi itu dibanding motor berjenis matic biasa.Sekalipun sebelumnya ia pernah membonceng di atas motor sport ini, ia selalu melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Elang dan mendekap Elang erat-erat, sehingga ia merasa aman, meskipun Elang berbelok tajam.Atau saat dengan Agni di motor sport
Dean lalu menoleh pada Agung. “Gung, apa kau sudah amankan senjata yang hampir melukai Agni dari celana saya?”Agung memandang Dean dan mengatupkan bibirnya. Kepalanya lalu mengangguk pelan. “Sudah kang.”“I found a kind of dagger in your trousers’ pocket, Sir. Then I gave it back to Agung,” sanggah Terry. (Saya menemukan semacam belati di dalam saku celanamu, Tuan. Dan saya kembalikan ke Agung)Agung melirik kesal pada Terry.Dean menghela napas lalu bertanya pada Agung lagi. “Dimana sekarang benda itu, Gung?”“Ada kang. Di kamar akang, di laci meja,” jawab Agung.Sesaat memandang Agung, Dean lalu berdiri dan berpindah untuk duduk di dekat Agung.“Berbalik,” perintah Dean pada Agung.Agung lalu memutar tubuhnya dan membelakangi Dean. Tangan kanan Dean terangkat lalu melakukan gerakan seperti memindai tubuh Agung, dari mulai kepala sampai tulang ekor
Siang itu Aliya tengah berkutat di dapur, membuat cemilan sehat untuk Fayza, ketika ia mendengar bel pintu berbunyi.Bi Sumi tengah keluar untuk berbelanja bulanan, sementara pengasuh Fayza tengah mengeloni putri Aliya itu untuk tidur siangnya.Aliya mencuci dan mengeringkan kedua tangannya lalu bergegas ke ruang depan untuk membukakan pintu.Pintu terbuka.Ia terkesiap melihat sosok tinggi dan tampan yang ada di hadapannya.“Elang?” Aliya langsung mendekat dan hendak memeluk suaminya itu, namun pria itu bergerak mundur satu langkah.“Liebling, aku kotor,” ucap Elang memberikan alasan. “Biarkan aku membersihkan diriku dulu.”Aliya bergeming sepersekian detik sebelum akhirnya ia mengangguk lalu bergeser menyisi agar Elang bisa masuk ke dalam.Pria tampan itu masuk dan langsung berjalan menuju kamar mereka. Aliya mengikutinya dari belakang.“Kapan kau landing? Mengapa tidak kabari aku?” Aliya bertanya spontan pada sang suami. Matanya turun memandang tangan Elang yang menenteng travel ba
Beberapa minggu berlalu dengan cukup tenang, setelah kejadian elemen penyusup yang datang dan mencari Aliya.Elang telah pergi lagi ke luar negeri --setidaknya itu yang dikatakan pria itu pada Aliya dan hanya bisa diterima Aliya dengan anggukan pasrah dan kesabarannya menunggu kepulangan Elang kembali.Ia kini berada di depan pintu basecamp teman-teman elemennya dan menatap lekat daun pintu tersebut.Aliya ragu untuk mengetuk pintu itu. Pertama, karena ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya datang ke tempat ini. Kedua, Aliya ‘kabur’ dari Agni dan Guntur yang menjaga dirinya di rumah.Ia pergi tanpa sepengetahuan kedua penjaganya itu. Dan ini akan menimbulkan masalah, tentunya.Entah teman-temannya nanti akan mengomel padanya.Dan Aliya memikirkan tindakan Dean, jika mengetahui dirinya kabur dari penjagaan. Akan semarah apa Dean padanya nanti?Mengingat itu, Aliya merasa ciut.Tangannya yang tadi sudah terulur untuk m
Sejenak Aliya terdiam.Dengan penuh kepenasaran, Aliya bertanya. “Dean, apakah Nawidi memang belum pernah mengikuti masa sekolah? Bukankah dia berada di Level Dua? Kalau tidak salah, itu level yang sangat tinggi, kan?”Dean mengangguk pelan. “Ya. Nawidi belum pernah mendapatkan undangan untuk ‘bersekolah’. Itu ia dapatkan setelah bergabung denganmu.”“Bagaimana bisa… tanpa ‘sekolah’ khusus itu, dia bisa sampai pada level hebat seperti ini?”“Tentu saja bisa. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan jika kita berusaha dengan sepenuh hati dan tidak mengenal kata menyerah. Intinya, niat dan tekad yang kuat untuk belajar itu, benar-benar mengakar kuat dalam diri kita.”“Elang bilang…”“Aku tahu. Memang benar, sangat sulit bagi seorang elemen untuk mencapai tingkat demi tingkat. Tapi Nawidi juga berasal dari keluarga spesial, Realm Air. Dan ia bukan baru saja menerima atau mempelajari kekuatan elemen-nya.”Aliya mengangguk-angguk. “Ya. Kau benar…” Ia menarik napas dalam. “Berapa lama lagi kang
Elang berdiri tegak. Mata tajamnya menghunus ke depan, tanpa berkedip, menghantar sengatan dingin yang bisa membekukan. Bila tatapan itu mewujud, maka ia akan menjadi mata pisau yang akan mencabik-cabik apapun yang dilalui tatapan itu. Tangannya terangkat ke atas dan suara gemuruh terdengar segera setelahnya. Gelombang air raksasa tercipta di belakang Elang --pria tampan itu terlihat tenang, namun tidak dengan aura yang menguar dari tubuhnya. Getaran disertai tekanan luar biasa berat menerpa sekeliling. “Ka-kau… seorang Le-level satu?!” Suara seruan tercekik itu berasal dari seorang laki-laki paruh baya di hadapannya. Laki-laki itu tidak sendiri, ada sekitar tiga puluh lebih laki-laki lain, namun semuanya dalam kondisi mengenaskan dan terkapar di atas tanah yang terlihat bergenang. “Katakan padaku, dari mana dan di mana benda itu?!” Elang hanya membuka sedikit bibirnya, namun suara itu seakan menggelegar, mengguncang seluruh bukit tempat mereka berada. “Ti-tidak… Kami tidak tah