Elang mengirim lagi pesan itu di status Aliya.
Diani memberitahu Aliya saat ia membaca status milik Aliya.
[Liebling, aku ingin bertemu denganmu.]
[I miss you]
[Talk to me]
Aliya memandangi deretan huruf-huruf di statusnya itu lalu meminta pada Diani untuk menyampaikannya pada Dean.
[Sudah. Gue sudah forward capturan status mu, Bu.]
[Thanks, Sis..]
[Nih, jawaban Pak Dean, gue forward ya] Diani mengirim pesan pada Aliya.
Tak lama, muncul pesan terusan ke nomor Aliya.
[Kau akan menemuinya? Jika ya, beritahu aku kapan. Aku akan menyiapkan pengawalan untukmu.]
Kemudian Aliya pun menunggu.
Benar saja, tak lama muncul status di akun Aliya dari Elang yang menyebutkan waktu dan tempat. Aliya pun meminta Diani memberikan waktu dan tempat yang disebutkan Elang itu pada Dean.
[Ok.] Jawaban singkat dari Dean yang diteruskan oleh Diani juga telah masuk ke pesan instan Aliya.
Ia menarik napas dan men
Aliya lalu mengangguk pada manajer itu, lalu bertanya “kalau di luar, bisa kah?” sambil menunjuk selasar samping area itu yang dibatasi pintu-pintu kaca tinggi.Manajer mengangguk cepat. “Bisa, bu. Di luar memang favorit tamu-tamu kami, karena pemandangan mengarah kota Bandung tampak dari sana.”“Ya, saya tahu,” gumam Aliya. Lalu dengan isyarat tangannya, Aliya menghentikan manajer itu untuk mengantarnya.Aliya melangkah ke selasar luar area makan cafe itu. Tampak terbentang olehnya pemandangan kota Bandung dengan bukit-bukitnya. Ini pemandangan yang indah, dan bisa dipastikan jika malam, ketika lampu-lampu perkotaan menyala, pemandangan itu akan menjadi spektakuler.. dan romantis.Aliya mengeluarkan ponselnya lalu membidikkan kamera ke depan. Segera ia kirimkan foto itu ke Diani.[Aku sudah di lokasi. Tapi dia belum datang]Aliya lalu memilih sebuah meja dengan sofa rotan panjang dengan dua kursi rotan bu
Tangannya segera meletakkan gelas minuman yang baru saja ia cicipi tadi.“Hati-hati,” ujar Elang lalu menyodorkan selembar tisu yang ia ambil dari meja di depannya.“Terima kasih,” balas Aliya lalu mengambil tisu dari tangan Elang. Ia menyeka sudut bibirnya dengan cepat.Namun sudut matanya sempat menangkap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Elang saat menyodorkan tisu tadi padanya.‘Ah astaga…. Itu Panerai 1616! Apa itu asli?’ ‘Asli. Itu pasti asli…’Aliya menelan ludah.Jam tangan berbahan karbon dan kaca yang terbuat dari batu safir itu, adalah jam tangan yang pernah ia kagumi juga belum lama ini.Harganya di kisaran US 16.000 dolar. Jika di kurs-kan ke rupiah, sekitar dua ratus empat puluh jutaan lebih.Pikirannya sedikit bingung saat ini.Elang yang ia kenal, meskipun dengan latar belakang seorang ayah yang miliarder, Elang bukanlah tipe orang yang suka memakai barang dengan ha
Aliya menatap sedih semua makanan yang terhidang di hadapannya. Bagaimana ia akan memakan semuanya?Ini bentuk pemubaziran. Meski hidangan itu sungguh sangat terlihat menarik, lezat dan Aliya yakin berharga mahal, namun ia tidak akan sanggup menghabiskan seluruhnya.“Kau bisa cicipi saja satu per satu, dan hanya memakan yang benar-benar enak menurutmu. It’s ok, Liebling,” Elang menambahkan.Aliya menggeleng pelan. Sekalipun perutnya sanggup menghabiskan semua itu, tapi bagaimana ia bisa makan dalam kondisi dan suasana hati seperti ini?Elang sungguh tak paham kah, bahwa dirinya telah jauh berbeda? Elang terlihat santai, bahkan jika harus membuang makanan. Ini yang membuat Aliya merasa sedih.“Aku…. kita selesaikan dulu saja bahasan kita, Elang.”Elang mengangkat bahunya. “Ok, then.”“Kau…..” Aliya terhenti sesaat. Menarik napas dalam, ia melanjutkan “Apa alasanmu menjatuhkan talak padaku?”Elang tanpa berkedip memandang Aliya.
“You know what your problem was, Elang?” Aliya bertanya dan menatap lurus pada Elang. (Apa kau tahu masalahmu, Elang?)“Kau tidak pernah mencoba berbagi denganku. Kau selalu memendam dan menanggung beban sendiri. Aku ini apa? Aku waktu itu adalah istrimu! Bukan hanya saat senang aku ingin mendampingimu, namun juga berbagi kesulitan denganmu!”“Aliya…”“Tapi kau seolah tidak pernah menganggapku. Aku mungkin tidak sehebat dirimu sebagai seorang elemen. Tapi aku juga bukan pajangan! Tidak ada yang tidak dapat kita bicarakan! Dan selalu… saat itu kau menjadikanku merasa sebagai bebanmu…”“Kau bukan bebanku, Liebling…”“But you made me feel so!!” kali ini Aliya berteriak, tak lagi sanggup menahan dirinya. Kedua matanya memerah dan terasa perih serta panas. (Tapi kau membuatku merasa seperti itu!)“Liebling…..”“Aku bilang, berhenti panggil aku Liebling!!” jerit Aliya.Elang tertegun. Wajahnya langsung pias. Ia menatap wajah wanita d
Aliya menyela. “Kau… juga meninggalkan teman-teman. Agni… Agung… mereka…”“Kurasa aku cukup dalam mendidik mereka. Mereka tetap dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik selama ini. Bukankah begitu?” potong Elang tanpa ekspresi.Bibir Aliya bergerak-gerak hendak mengatakan sesuatu, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.Elang yang kini berdiri di hadapannya, kembali menjadi Elang asing yang sangat mengintimidasi dan setiap ucapannya terasa seperti suatu otoritas yang tidak bisa ditolak.“Aku tidak memerlukan rengekan ini, Liebling,” Elang melanjutkan. “Listen. Ya, aku mungkin melukaimu. Tapi itu tetap akan kupilih meski hal itu terulang, jika itu satu-satunya pilihanku untuk memastikan aku bisa tetap melihatmu hidup!”“Dengan… membiarkan dan meninggalkanku?” Aliya bertanya lirih.“Aku tidak meninggalkanmu!” Elang menyahut tegas. “Aku akan mendatangimu dan membawamu bersamaku kembali!”“Membawaku..?” Aliya tersenyum
Kamis, 1 Desember 2022Pertemuan dengan Elang menjadi ingatan yang membuat Aliya kesulitan menetralkan perasaan gelisah dan juga bersalah memenuhi seluruh rongga dadanya dan juga pikirannya.Aliya berguling di atas kasur.Entah berapa kali ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang terjadi pada dirinya dan Elang kemarin, bukan sesuatu yang direncanakan.‘Kecelakaan’ kecil itu bukan pula hal yang diinginkan Aliya untuk terjadi.Namun hal itu terus menghantui Aliya, hingga bahkan semalam wanita itu tidak berani menemui Dean di alam sukma mereka.Tangan Aliya meraih ponsel yang ia letakkan di samping bantal. Ia ingin menghubungi Diani, namun terhenti.Perasaan bersalah ini benar-benar mengganggu, sampai ia merasa enggan untuk menelepon Diani.Aliya sangat bisa menduga apa yang sekiranya akan dikatakan Diani, jika ia bercerita tentang kegundahannya kali ini.Diani akan menyarankan Aliya untuk menemui Dean
Rumah kayu ini terlihat begitu kokoh dengan satu lajur bagian yang tertutup tanaman rambat hingga ke lantai dua.Tanaman rambat itu pun dipenuhi aneka warna bunga. Aliya tidak tahu persis nama-nama bunga itu. Yang ia tahu hanya satu kata. Indah.Aliya lalu memalingkan kepalanya ke kanan, mendengar suara gemericik yang begitu menggoda.Matanya lagi-lagi membelalak takjub.Ia melihat kolam sepanjang rumah itu dengan bebatuan kali yang tertata begitu artistik. Dengan lebar sekitar dua meter, seolah sebuah sungai kecil mengelilingi rumah mereka.“Ini… rumah kita?” Aliya berbisik pelan.Belum sempat dia mengagumi bagian lain dari halaman belakang rumah miliknya dan Dean, ia kembali teringat tujuan semula hingga ia setengah berlari keluar rumah melalui pintu belakang tadi.Mengejar Dean.‘Ya. Dean. Kemana dia?’Kini kepala Aliya menoleh mencari-cari keberadaan suami sukmanya.Sete
Namun, ketika Dean berdiri kembali, Aliya langsung mendekat dengan kedua tangan terulur ke arah pinggang Dean.Jemarinya lalu menggelitiki pinggang Dean.“Senyum…. ayo senyum…” bujuk Aliya sambil jemarinya terus menggelitiki pinggang Dean.Dean sempat sekali meliukkan tubuhnya karena kaget dan geli. Tangan kirinya yang memegang sebuah botol, terangkat dan meletakkan botol itu di sisi wastafel.“Aliya….” Suara rendah Dean yang memanggil Aliya agak tersendat karena menahan geli.Aliya lalu menghentikan tangannya yang menggelitiki pinggang Dean.“Habisnya, kau cuekin aku dari tadi. Sedih tau….” lirih Aliya berujar. Ia menampilkan mimik muka se-menyedihkan mungkin. Berharap dengan begitu, Dean akan luluh.Serentetan kalimat pun ia siapkan dalam kepalanya, apabila Dean akan mulai berbicara dengannya atau bahkan beradu argumentasi dengannya.Namun Aliya hanya melihat Dea