Kediaman Wang Su, Istana Timur
Ratu Qi selalu saja kesal bila berkunjung ke Istana Timur. Kediaman putra sulungnya itu tak pernah lepas dari aroma arak putih dan pemandangan calon putra mahkota sedang ditemani minu oleh salah satu selir kerajaan. Dengan sekali kibasan lengan hanfu mewahnya, wanita cantik yang sedang memangku kepala Wang Su segera undur diri.
“Putraku, ubahlah ritme keseharianmu. Jangan hanya pergi bermain ke Paviliun Qinghe. Sudah saatnya kamu belajar serius tentang pemerintahan. Kamu adalah calon Putra Mahkota, tidak pantas terlalu sering berdiam di antara harem.”
“Ah, Ibu. Seorang raja tidak bisa dipisahkan dengan harem. Dinasti ini tidak akan berkembang pesat dan menjadi kuat kalau rajanya tidak memiliki keturunan. Bukan begitu?”
“Itu tidak salah, tapi tidak melulu yang kau pikirkan seputar urusan bawah perutmu.” Lan Suying melemparkan saputangan selir tadi yang tertinggal ke sembarang tempat. “Su’er, Baginda sudah membangun dinasti ini begitu megah dan berkuasa untuk kau lanjutkan. Pikirkan masa depan kita.”
“Anak laki-laki di kerajaan ini tidak hanya aku, Bu. Masih ada adik Yang, adik Yoo dan adik Yin. Mereka juga laki-laki, sama sepertiku. Jangan hanya membebankan masa depan kerajaan ini di bahuku,” sahut Wang Su malas.
“Tapi kau anak sulung dinasti ini, sudah seharusnya gelar Putra Mahkota jatuh ke tanganmu.”
“Bagaimana kalau kau saja yang dinobatkan menjadi Putra Mahkota? Aku emlihat minatmu menguasai dinasti ini sungguh tak terbendung,” sinis Wang Su kesal.
“Anak kurang ajar! Apa maumu sebenarnya?!” bentak Suying tak kalah kesalnya.
“Aku ingin menjadi raja,” jawab Wang Su asal.
“Ambil satu selir dan minta dia melahirkan seorang anak untukmu. Bila dia melahirkan bayi laki-laki, aku akan menjadikannya ratu masa depan. Tapi, kalau yang dia lahirkan bayi perempuan, aku sendiri yang akan mengirimnya menghadap para leluhur.”
Wang Su bangkit dari tidurnya. “Ibu tidak bercanda? Ibu akan menjadikan aku raja kalau aku memiliki seorang putra?” tanyanya penuh semangat.
“Hanya bila melahirkan bayi laki-laki,” tandas Suying tegas. “Namun sebelum itu, kamu akan mengikuti ke mana pun Kanselir pergi. Kamu akan belajar tentang pemerintahan darinya. Aku tidak ingin Yang’er lebih hebat darimu.”
“Adik Yang? Ibu, kau terlalu khawatir padanya. Dia hanya tertarik pada pedang dan kuda. Sejak kecil aku selalu bersamanya, belajar dan bermain bersama. Dia bahkan tidak berani memukulku dengan pedang kayu miliknya.” Wang Su tersenyum miring karena pemikiran Suying yang dinilainya konyol.
“Dasar bodoh! Tahta tidak punya mata dan hati. Jangan jadi pria lemah! Kau harus menjadi raja yang hebat dan tidak terkalahkan agar posisiku tidak tergantikan. Susah payah aku mendapatkan gelar ratu, melakukan banyak hal agar bisa mengalahkan Song Lin.” Suying kesal karena sikap Wang Su yang lemah menurutnya.
“Hhh, rasa dengkimu akan membawa penyakit untukmu, Bu.” Wang Su mendesah bosan menyadari ambisi ibunya tentang kekuasaan belum juga pudar.
“Diam! Tidak tahu sopan santun. Berani mengutukku?!”
“Lagipula, tidak ada peraturan yang menuliskan bahwa seorang raja harus cerdas dan pandai berperang. Raja hanya perlu orang-orang cerdas dan hebar di sekitarnya agar dapat melakukan banyak hal untuk raja.” Wang Su menuang arak lagi ke dalam cawannya.
“Kalau raja masih harus berperang dan memikirkan segala urusan, maka urusan harem akan terbengkalai dan istana ini akan kehilangan warnanya. Bukankah istana harem yang paling menarik untuk dibahas. Banyak intrik dan persaingan untuk memperebutkan kasih sayang raja, di dalamnya.”
Suying kesal melihat reaksi putranya, selalu saja abai dengan keadaan sekitarnya. Terlalu lemah dan tidak memiliki daya juang. Di pikirannya hanya tahu tentang bermain wanita dan bersantai.
“Lelah aku berdebat denganmu. Lebih baik aku mengunjungi Baginda.” Suying melengos seraya berlalu.
‘Aku harus menemukan cara yang tepat untuk melecut semangatmu. Dan satu-satunya cara adalah dengan kenikmatan dunia. Aku tidak rela kau menghancurkan semua yang sudah aku bangun,’ batin Suying gemas.
Wang Su hanya menggelengkan kepala. Sejak kecil, ibu kandungnya ini selalu menjejalkan tentang ambisi, tahta, kekuasaan ke otaknya, membuatnya mual dan sakit kepala tiap kali mendengarnya. Berbeda dengan yang Song Lin ajarkan padanya, selir ayahnya itu tak bosan mengingatkan tentang persaudaraan dan kasih sayang.
*****
Kediaman Raja, Istana Barat
“Yang Mulia,” sapa Suying seraya merendahkan tubuhnya.
“Ratu Qi,” balas Wang Li. “Kebetulan sekali kau datang berkunjung. Ada yang ingin aku bicarakan berdua denganmu.”
Suying duduk di depan Wang Li dengan sikap khidmat. ‘Aku tahu, saat-saat seperti ini akan datang. Saat di mana kau akan menyerahkan posisi putra mahkota pada Wang Su.’
“Ada hal penting apa kiranya, Yang Mulia?”
“Aku ingin membahas tentang Wang Su.”
Suying berbinar mendengarnya.
“Bagaimana bisa, seorang pangeran sebuah kerajaan besar hanya berkutat seputar arak dan harem?” Wang Li menatap marah ke arah Suying, membuat senyuman manis wanita itu seketika pudar berganti raut terkejut.
“Aku tidak pernah memaksa putra-putriku untuk melakukan hal-hal yang menjadi tanggung jawab pangeran dan putri sebuah kerajaan, karena aku pikir, pada usianya mereka akan mengerti beban yang harus mereka pikul.”
“Yang Mulia,”
“Dengarkan aku bicara.” Wang Li makin menajamkan pandangannya. “Kau lihat Wang Yang sibuk belajar tentang aturan dan keterampilan berperang. Wang Yin, walau tubuhnya lemah, dia tetap bersedia belajar sastra bersama Wang Yoo. Mu Lan begitu senang bermain alat musik dan belajar etika kerajaan. Wang Su, di mana dia saat semua adiknya belajar?”
Suying menundukkan pandangannya. Di balik lengan hanfunya yang lebar, jarinya sibuk meremas saputangan. ‘Anak ini benar-benar membuatku kehilangan muka di depan Baginda,’ batin Suying geram.
“Aku ingin kau urus dengan baik putramu, walau tidak bisa sebaik Song Lin, aku yakin kau bisa merubah kebiasaan buruk Wang Su. Hhh!” desah Wang Li kesal.
“Yang Mulia, Suying berencana menikahkan Pangeran Wang Su untuk mengajarinya bertanggungjawab. Bagaimana menurut Anda?”
“Bertanggungjawab pada dirinya sendiri saja belum sanggup, bagaimana bertanggungjawab pada keluarga dan kerajaan ini? Kalau Wang Su tetap seperti ini, bukan tidak mungkin aku menobatkan Wang Yang sebagai Putra Mahkota sekaligus penerusku.”
“Yang Mulia, itu tidak mungkin. Itu menentang aturan dan tradisi yang ada.”
“Tradisi dan aturan yang aku junjung tinggi, tidak pernah melahirkan calon penerus raja yang malas dan egois.” Wang Li bangkit dari kursinya. “Pergilah, aku masih harus bertemu Menteri Militer Li untuk membahas tentang pengajaran Wnag Yang di perbatasan.”
Wang Li membuka sebuah buku di depannya untuk mencegah Suying membuka pembicaraan, ia bahkan mengabaikan hormat istrinya itu saat berpamitan. Di luar kediaman raja, Suying begitu marah dan malu hingga sanggup membakar istana dengan tatapan matanya.
“Aku tidak akan tinggal diam begini. Sudah saatnya aku bertindak,” geramnya menahan marah.
*****
Halaman Kuil BailongDi hari keberangkatannya, Wang Yang mengunjungi Kuil Bailong untuk memohon perlindungan dan keselamatan, bukan bagi dirinya tetapi bagi ibu dan adiknya. Besar harapannya, langit akan berbelas kasihan padanya dan mengabulkan permohonannya. Di istana yang luas ini, tidak ada yang berani menyentuh ibu dan adiknya, kecuali Ratu Qi.Keluar dari kuil, Wang Yang mengedarkan pandangannya sejenak ke sekitar kuil. Daun pohon mapel mulai berguguran, membuat beberapa biksu sibuk menyapu halaman. Di halaman ini, ia dan Wang Yin sering bermain sembari menunggu ibunya selesai sembahyang. Persis seperti yang dia ingat, kicauan burung, embusan angin sepoi dan daun yang jatuh perlahan.“Kakak!”Wang Yang menoleh ke belakang. Wang Mu Lan—adik beda ibu, sedang berjalan ke arahnya.“Aku kira kamu sudah meninggalkan istana.” Mu Lan menghambur memeluk Wang Yang dengan manja.Wang Yang tersenyum membalas pelukan ad
Kemah Pasukan Taichan, Kota JingzhouKamp pasukan Taichan di perbatasan kota Jingzhou sedang sibuk berbenah dan mempersiapkan kunjungan Menteri Militer, yang tak lain adalah ayah dari Jenderal Besar Li Deyun. Penghuni tenda berwarna ungu dengan tulisan berwarna emas itu lalu lalang mengerjakan tugasnya masing-masing.“Cepat benahi semua pagar pembatas yang rusak karena badai semalam. Juga bereskan arena latihan. Simpan semua senjata dan pastikan dalam keadaan bersih!” Deyun melontarkan banyak perintah sekaligus.“Baik, Jenderal!”“Ji Mong, katakan pada Zening tentang kedatangan Menteri Militer. Peringatkan dia untuk tetap berada di tendanya,” imbuh Deyun dengan raut panik.“Baik, Jenderal!”Deyun duduk di balik meja kerjanya, melanjutkan mempelajari peta kota Wu. Kabar terbaru dari mata-mata yang disebarnya, pemimpin kota Wu sedang merencanakan sebuah pemberontakan. Jumlah tentaranya tidak kala
Kediaman Kanselir Zhao, Paviliun JianshanZhao Ming Lan sedang menyulam sebuah sapu tangan di taman belakang rumah ditemani pelayan setianya. Ketika ayahnya menghampiri dengan langkah lebar dan wajah berbinar, Ming Lan mengerutkan dahinya sambil bangkit berdiri.“Ada hal penting apa yang terjadi di istana hingga membuat wajah tuanya terlihat segar?” gumam Ming Lan.“Ming’er, Ming’er!”“Apa yang terjadi, Yah? Berjalan begitu cepat seperti dikejar hantu.”Ziliang menarik lengan Ming Lan agar ikut duduk di bangku. “Ayah baru saja kembali dari Istana Barat menemui Ratu Qi. Dia meminta ayah mencarikan calon istri untuk pangeran Wang Su dan pada akhirnya meminta Ayah untuk mengirimmu masuk istana untuk mengikuti pelajaran Etika Istana.”“Hahh?” Ming Lan tersentak. “Menikahi siapa? Wang Su?”“Ya. Dengan begitu, jalanmu menjadi permaisuri akan semakin te
Tak terasa sudah enam bulan Xiaoyang tinggal di perbatasan. Karena kecerdasan dan ketekunannya, kemampuannya bermain pedang dan memanah meningkat pesat. Deyun bahkan tidak ragu mempromosikannya naik tingkat.“APA?! Apa tidak terlalu cepat memindahkanya ke pasukan inti, Kak? Belum genap enam bulan dia di sini!” protes Zening tak terima.Butuh waktu satu tahun lebih bagi Zening untuk berhasil diterima sebagai pasukan inti di bawah pimpinan Han Xiu. Sekarang, Xiaoyang yang kalah dalam tiga gerakan olehnya, bisa diterima hanya dalam waktu enam bulan. Kenyataan yang mengoyak kebanggaannya.“Bukan aku yang memutuskan. Kau tahu sendiri bahwa Han Xiu tidak pernah ceroboh dalam memutuskan anggota pasukannya. Dia yang menguji Xiaoyang sendiri.”“Aku akan pergi mencari Han Xiu.”“Aku di sini.” Han Xiu muncul dari balik tirai, berjalan mendekat.“A-Xiu, benar yang Kak Deyun katakan? Pria manja itu su
Kediaman Raja Wang Li, Istana Barat“Ayah.” Wang Yang berlutut memberi hormat yang dibalas lambaian tangan Wang Li, meminta Wang Yang mendekat.“Yang’er,” sapa Wang Li lirih.Pria tampan penuh wibawa itu terbaring lemah di ranjang besar berlapis emas. Wajahnya kurus, ada rona biru kehitaman di bawah mata dan bibirnya yang kering.“Ayah, maafkan putramu yang tidak berbakti. Yang’er tidak mendengar kabar apapun tentang kalian. Beruntung Ibu mengirim surat meminta Yang’er kembali, jadi Yang’er bisa datang mengunjungi Ayah.”Wang Li meremas jemari tangan anaknya dalam genggaman. “Tidak apa-apa. Aku yang mengirimmu untuk pergi ke perbatasan. Aku merindukanmu, tetapi tidak ingin mengganggumu belajar.”Kasim raja masuk membawa cawan dalam nampan. “Baginda, waktunya minum obat,” ucap kasim bertubuh subur itu seraya membungkuk.“Sini, biar aku yang memban
Ru Feng mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi ketika anak panah menembus paha kanannya. Xiaoyang meraih pinggang Zening yang tercengang di bawah kaki Ru Feng.“AWAS!”Brug.Xiaoyang jatuh ke tanah dengan keras bersama Zening di atas tubuhnya.Drap. Drap. Drap.Ru Feng berlari tanpa tujuan, kebingungan dengan rasa sakit di tubuhnya. Tanpa menghiraukan Xiaoyang yang meringis kesakitan, Zening berlari mengejar kudanya sambil terus berteriak memanggilnya.“Ru Feng! Ru Feng! Kembali!”Xiaoyang duduk sambil membersihkan debu di bajunya dengan mata terus mengawasi Zening yang makin menjauh. Tiba-tiba, ekor matanya menangkap pergerakan di antara pohon bambu.Sret. Sret. Sret.Gerakan mereka sangat cepat. Delapan orang berpakaian serba hitam dan menggunakan topi bercadar mengepung Xiaoyang, setiap mereka memegang pedang yang terhunus dan mengkilap.Xiaoyang segera berdiri dan meraih pedangnya.
“Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini, Ning’er? Aku mengirimmu pergi bersamanya untuk menjaganya, kenapa dia bisa terluka?” tanya Deyun dengan tak sabar. “Maafkan aku, Kak. Aku tahu aku salah, tapi ini tidak sepenuhnya kesalahanku. Mereka melukai Ru Feng, lagi pula selama ini kita biasa berkuda melewati hutan bambu ribuan kali dan tidak pernah terjadi hal seperti ini,” kilah Zening membela diri. “Karena yang kau kawal bukan orang biasa,” sahut Deyun singkat sebelum berbalik dan masuk ke dalam kemah Xiaoyang. “Bagaimana kondisinya sekarang?” tanya Deyun pada tabib kepercayaannya. “Beruntung dia sudah mendapatkan pengobatan yang tepat sebelum dibawa kembali. Nyawanya sudah terselamatkan, hanya tinggal menunggu racunnya keluar bersama darah dan dia akan kembali pulih. Staminanya sangat bagus untuk ukuran seorang pria.” “Terima kasih, Tabib. Aku berhutang nyawa padamu.” Deyun mengangkat kedua tangannya dan memberi hormat. “Sudahlah, Jend
“Adalah?” Han Xiu melanjutkan ucapan Deyun yang lenyap ditiup udara perbatasan.“Siapa dia sebenarnya? Aku merasa dia begitu penting untukmu dan ayah. Apa dia anggota keluarga istana?” ulang Zening.“Ayah selalu mengajarkan pada kita semua, setinggi apapun kedudukan keluarga di masyarakat, setelah dia melangkah masuk ke kamp pasukan Taichan maka dia hanya seorang tentara, tidak lebih.”“Terserah kau saja,” sungut Zening kesal. “Asal kau tahu, Kak. Jawabanmu semakin membuatku penasaran.” Zening melengos pergi.“Karena sudah begini, hanya kamu yang bisa aku harapkan. Bantu Xiaoyang menyamar. Tidak ada satu orangpun yang tahu bahwa kita membawa Xioayang masuk istana.”“Kak, kali ini aku sependapat dengan Ning’er. Siapa dia, hingga pantas membuatmu dan Zening bertengkar?”“Maafkan aku, A-Xiu. Aku tidak bisa memberitahukannya padamu. Nyawanya sangat be