Kediaman Raja Wang Li, Istana Barat
“Ayah.” Wang Yang berlutut memberi hormat yang dibalas lambaian tangan Wang Li, meminta Wang Yang mendekat.
“Yang’er,” sapa Wang Li lirih.
Pria tampan penuh wibawa itu terbaring lemah di ranjang besar berlapis emas. Wajahnya kurus, ada rona biru kehitaman di bawah mata dan bibirnya yang kering.
“Ayah, maafkan putramu yang tidak berbakti. Yang’er tidak mendengar kabar apapun tentang kalian. Beruntung Ibu mengirim surat meminta Yang’er kembali, jadi Yang’er bisa datang mengunjungi Ayah.”
Wang Li meremas jemari tangan anaknya dalam genggaman. “Tidak apa-apa. Aku yang mengirimmu untuk pergi ke perbatasan. Aku merindukanmu, tetapi tidak ingin mengganggumu belajar.”
Kasim raja masuk membawa cawan dalam nampan. “Baginda, waktunya minum obat,” ucap kasim bertubuh subur itu seraya membungkuk.
“Sini, biar aku yang membantunya minum obat.” Wang Yang mengulurkan tangannya.
Perlahan, Cheng Zhaolin maju, mengantarkan nampan berisi cawan di tangannya. Wang Yang meraih cawan keramik berlukiskan pemandangan istana dengan hati-hati. Keningnya berkerut melihat warna cairan di dalam cawan, sangat tidak biasa.
“Ambilkan aku jarum akupunktur.”
Zhaolin sedikit tersentak mendengarnya. “Ma-maaf, Yang Mulia. Kalau boleh tahu, untuk apa Anda menginginkannya?”
“Aku hanya ingin menguji minuman ini,” sahut Wang Yang tenang. “Warnanya tak biasa,” imbuhnya.
Zhaolin segera merunduk, bersujud menempelkan dahinya ke lantai. “Ampun, Yang Mulia. Zhaolin pantas mati!”
“Bangunlah, kenapa harus bersujud begitu. Aku hanya ingin memeriksa minuman ini, bukan menuduhmu meracuni ayahku.”
“Yang’er, Zhaolin sudah bersamaku puluhan tahun. Dia tidak akan mungkin melakukannya.”
“Ayah, Yang’er hanya sedang waspada,” Yang’er tersenyum pada ayahnya. “Cepat, bawakan jarumnya!” titahnya dengan suara lebih tinggi.
Zhaolin bangkit segera, berjalan cepat menuju kotak obat milik tabib kerajaan yang sengaja ditinggal untuk mengobati raja. Tangan tuanya gemetar saat menyerahkan kotak jarum akupunktur pada Wang Yang.
“Ada apa denganmu? Kenapa menjadi ketakutan? Apa kau melakukan kesalahan?”
“Ampuni Hamba!” Zhaolin mengangkat tangannya ingin memberi hormat.
Prang!
Tangan gemetar itu menyenggol cawan obat di tangan Wang Yang, mengakibatkan cawan itu jatuh ke lantai. Ramuan herbal itu tumpah seluruhnya mengenai pakaian Wang Yang.
“Yang Mulia …!” Zhaolin tersungkur ke lantai dengan tubuh gemetaran. “Yang Mulia, Zhaolin pantas mati!” seru kasim itu sambil terus bersujud. “Hamba pantas mati.”
Wang Yang meraih gagang pedangnya di tangan kiri, bersiap menghunus. Melihat itu, Wang Li segera meraih ujung hanfu putranya dan menariknya. Wang Yang berpaling menatap ayahnya yang sedang menggeleng lemah ke arahnya.
“Keluarlah,” lirih Wang Li.
“Terima kasih, Baginda.” Zhaolin segera bangkit dan setengah berlari ia keluar menyelamatkan diri.
“Ayah, tapi dia –.”
“Yang’er, Zhaolin sudah melayaniku selama hampir dua puluh tahun. Dia rela menjadi kasim dan masuk istana untuk menjadi pelayanku. Jangan menakutinya.”
“Ayah, Yang’er yakin di dalam ramuan tadi terdapat racun yang dapat membahayakan nyawa. Izinkan Yang’er menyelidikinya.”
“Anakku, ingatlah kata-kataku ini. Kejahatan tidak akan sirna, bila kau hanya berkutat pada ekornya, sedangkan kepalanya kau biarkan terus ada.”
Yang’er terdiam sejenak, berusaha memahami apa yang ayahnya sampaikan. Sejurus kemudian, ia mulai mengangguk mengerti. “Baik, Yang’er akan selalu mengingatnya, Ayah.”
“Aku tahu semua yang terjadi di istana ini, hanya saja, aku harus mengutamakan rakyatku. Kita tidak bisa serakah, harus ada yang kita korbankan untuk menyelamatkan lainnya. Pada dasarnya, rakyat adalah raja kita yang sebenarnya. Langit akan murka dan mengutuk kita bila kita lalai.”
Mata tua itu mulai basah. “Bagaimana kabar adikmu? Aku belum bisa menjenguknya.”
“A-Yin sudah membaik. Ayah tidak perlu khawatir, ada aku di sini. Aku akan menjaga kalian semua.”
Raja tersenyum mendengarnya. “Kalian harus saling menjaga. Tahta tidak punya mata, tapi manusia punya mata dan hati. Bisa membedakan baik dan buruk, kawan dan lawan. Kau harus terus membantu saudara-saudaramu, terutama Putra Mahkota.”
Raja menghela napas sejenak. “Maafkan aku, karena sakitku, aku terpaksa menobatkan kakakmu menjadi Putra Mahkota karena desakan pejabat istana dari kubu kanselir. Aku harap, kau tidak sakit hati dan tetap mendukung Wang Su.”
“Ya, Ayah. Yang’er mengerti dan akan selalu ingat pesan Ayah.”
“Bagus, kau tidak pernah mengecewakanku. Belajarlah yang rajin, jangan sia-siakan waktumu di perbatasan. Aku akan menunggumu pulang.”
“Ya, Yang’er akan rajin belajar dan segera kembali ke istana.”
Setelah raja tertidur, Wang Yang keluar menemui Huazhi yang sejak tadi berdiri di depan pintu. “Kau awasi Zhaolin, sikapnya mencurigakan,” bisik Wang Yang lirih.
****
Kediaman Menteri Militer, Paviliun Houxiang
“Apa kau tidak lelah? Setelah berkuda cukup lama, langsung menuju dapur dan memasak berbagai macam makanan kesukaan Ayah.” Daehan menarik ujung lengan bajunya agar tidak terkena kuah makanan.
“Tidak, aku tidak lelah. Kebetulan aku bisa kembali ke istana dan mengunjungi Ayah.” Zening mengambil sepotong daging ayam dan meletakkannya ke dalam mangkuk Daehan. “Cobalah, Yah.”
Daehan mengikuti permintaan Zening, menyuap dan mengunyah perlahan. “Hmm, kemampuanmu memasak makin meningkat. Apa di perbatasan kau punya banyak waktu luang?”
“Ayah … tentu saja tidak. Aku hanya memasak saat ingin memakan masakan tertentu dan mereka tidak mengerti cara memasaknya.” Zening bergelayut manja di lengan kokoh ayahnya. “Jangan khawair, aku masih ingat tugas utamaku. Belajar giat dan membantu Kak Deyun menjaga perbatasan.”
Daehan mencubit lembut ujung hidung Zening. “Ayah tidak khawatir tentang itu. Justru yang Ayah khawatirkan adalah tentang jodohmu. Kalau kau terus berada di antara pria kasar, kau akan mudah terpengaruh dan lupa bahwa kau seorang wanita dari keluarga bangsawan.”
Zening menjauh. “Ish, harusnya Ayah katakan itu pada Kak Deyun. Dia yang harus menikah lebih dulu,” sungutnya kesal.
Sejak usianya genap tujuh belas tahun, kerapkali Daehan menyinggung soal pernikahan di hadapan Zening, membuatnya kesal. Zening menyuapkan lauk banyak-banyak ke dalam mulutnya hingga pipinya menggembung.
“Ning’er, apa yang kau lakukan? Pelan-pelan saja, tidak akan ada yang berebut denganmu.”
“Biarkan saja, biar aku berubah menjadi gemuk dan tidak ada pria yang menyukaiku. Dengan begitu, Ayah akan berhenti membahas pernikahan denganku,” sahutnya dengan mulut penuh makanan.
“Ya, ya, ya. Ayah tidak lagi membicarakannya. Makanlah perlahan.” Daehan hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya.
Seorang pelayan datang dan menekuk lututnya memberi hormat. “Maaf, Tuan, Nona. Seorang pemuda bernama Xiaoyang ingin bertemu.”
“Cepat juga dia datang,” gumam Zening.
“Antarkan dia ke ruang baca. Sebentar lagi kami selesai,” ucap Daehan pada pelayan rumahnya.
“Baik, Tuan.” Pelayan itu mengangguk dan pergi.
“Ayah, sebenarnya siapa dia? Kenapa Selir Chu ingin bertemu dengannya? Bukankah Ayah katakan bahwa dia putra dari seorang pejabat rendahan? Dan apa yang terjadi di sini? Begitu sepi dan dingin.”
“Terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab. Ikutlah menemui Xiaoyang, dengan begitu, rasa ingin tahumu akan terjawab.” Daehan beranjak lebih dulu.
“Untuk apa aku menemui pria menyebalkan itu? Lebih baik aku diam di sini menggemukkan badan.”
“Paman Li,” sapa Xiaoyang hormat saat
“Duduklah. Apa kau sudah bertemu dengan keluargamu?”
“Sudah, Paman. Banyak hal yang ingin aku tanyakan tentang yang terjadi di istana.”
“Tunggu.” Daehan menutup pintu di belakangnya dan meniup lilin dan lentera yang menerangi ruang baca, kemudian melangkah mendekati Xiaoyang.
“Ada apa, Paman?” tanya Xiaoyang heran.
“Hanya memberikan isyarat pada Zening bahwa yang sedang kita bahas adalah hal rahasia.” Daehan menuntun bahu Xiaoyang agar mengikutinya.
“Apa dia akan menerimanya?”
“Kami punya kesepakatan bahwa setiap orang berhak menyimpan rahasianya dan meniup lentera adalah salah satu tandanya, walau tidak bisa memadamkan rasa ingin tahu dan amarahnya,” kekeh Daehan. “Lanjutkan ucapanmu tadi.”
Mereka duduk berhadapan, saling berpandangan dalam gelap.
“Paman, apa yang terjadi selama aku tidak ada?” tanya Wang Yang dengan suara lirih.
“Pangeran, banyak yang terjadi di sini. Para pejabat tidak takut lagi melakukan kecurangan sejak raja jatuh sakit. Kanselir memegang kendali atas pemerintahan mewakili raja, sehingga terjadi pergunjingan yang berujung pada desakan untuk segera mengangkat Pangeran Wang Su sebagai Putra Mahkota.”
“Apa mereka sudah tidak waras?!”
“Saya tidak punya kesempatan untuk menghadap raja dan menanyakan langsung padanya. Ratu Qi membatasi pengunjung dengan alasan kondisi kesehatan Raja Wang Li. Apa Anda sudah bertemu dengan Baginda?”
“Ya, aku sudah bertemu dengannya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Bahkan sepertinya beliau tahu bahwa dia sedang diracuni oleh orang terdekatnya.”
Daehan terbeliak kaget. “Apa?!”
“Ayah berpesan padaku untuk menangkap kepalanya, bukan hanya memotong ekornya. Paman, bantu aku melindungi ayah dan A-Yin. Kirim orang untuk menyelidiki yang terjadi di sana.”
“Apakah tidak sebaiknya Anda tinggal lebih lama di istana?”
Wang Yang menggeleng. “Ayah memintaku untuk belajar giat dan segera kembali ke istana membantu Putra Mahkota.”
Daehan mengangguk mengerti, kemudian menyalakan semua lilin dan mulai menulis surat.
“Pangeran, istirahatlah dengan nyenyak malam ini. Besok pagi-pagi sekali, Anda harus segera kembali ke perbatasan. Tunjukkan surat ini pada Li Deyun, dia akan mengerti.”
“Baik, terima kasih bantuanmu, Paman Li.”
****
Pagi-pagi sekali, seperti yang dipesan Daehan, Wang Yang pergi berpamitan pada ayah dan ibunya. Menyempatkan menemui Wang Yin sambil menunggu laporan penyelidikan dari Huazhi. Namun, setelah lama menunggu, Huazhi tak kunjung menampakkan batang hidungnya hingga Wang Yang memutuskan untuk segera pergi.
Di tengah perjalanan, tepat di tengah hutan bambu, Ru Feng menunjukkan kegelisahan yang tak biasa. Zening memutuskan untuk berhenti sejenak memeriksa kondisi kuda kesayangannya.
Zening turun dari punggung kuda, berjalan pelan ke depan Ru Feng. “Hei, ada apa denganmu? Kenapa kau gelisah begini, Anak Pintar?” tanya Zening sambil mengelus kepala berbulu putih di depannya. “Apa yang membuatmu ketakutan?”
“Sepertinya dia kesakitan. Coba periksa kakinya.”
“Sok tahu!” ucap Zening ketus.
Tidak sabar melihat perlakuan Zening pada kudanya, Xiaoyang turun dari kudanya dan dengan cepat menarik kaki kanan bagian belakang Ru Feng. Benar saja, sebuah pasak kecil tertancap di sana.
“Astaga! Siapa yang tega melakukan ini padamu, Nak?!”
“Dia tidak akan menjawabmu.”
Zening melotot marah pada Xiaoyang. “Bisa tidak kamu berlaku sedikit lembut padanya? Dia sudah bersamaku hampir dua tahun. Jangan kasar padanya!”
“Kita harus mencabut pasaknya agar dia bisa kembali berlari. Kalau tidak, kita akan –.”
Zleb!
Hhiieekk ….
Sebuah anak panah melesat mengenai paha kanan Ru Feng, membuat kuda itu meringkik kesakitan dan mengangkat dua kaki depannya. Zening yang berada tepat di bawah kaki kuda hanya bisa ternganga kaget karena kejadian itu begitu cepat.
“AWAS!”
Brug!
*****
Ru Feng mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi ketika anak panah menembus paha kanannya. Xiaoyang meraih pinggang Zening yang tercengang di bawah kaki Ru Feng.“AWAS!”Brug.Xiaoyang jatuh ke tanah dengan keras bersama Zening di atas tubuhnya.Drap. Drap. Drap.Ru Feng berlari tanpa tujuan, kebingungan dengan rasa sakit di tubuhnya. Tanpa menghiraukan Xiaoyang yang meringis kesakitan, Zening berlari mengejar kudanya sambil terus berteriak memanggilnya.“Ru Feng! Ru Feng! Kembali!”Xiaoyang duduk sambil membersihkan debu di bajunya dengan mata terus mengawasi Zening yang makin menjauh. Tiba-tiba, ekor matanya menangkap pergerakan di antara pohon bambu.Sret. Sret. Sret.Gerakan mereka sangat cepat. Delapan orang berpakaian serba hitam dan menggunakan topi bercadar mengepung Xiaoyang, setiap mereka memegang pedang yang terhunus dan mengkilap.Xiaoyang segera berdiri dan meraih pedangnya.
“Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini, Ning’er? Aku mengirimmu pergi bersamanya untuk menjaganya, kenapa dia bisa terluka?” tanya Deyun dengan tak sabar. “Maafkan aku, Kak. Aku tahu aku salah, tapi ini tidak sepenuhnya kesalahanku. Mereka melukai Ru Feng, lagi pula selama ini kita biasa berkuda melewati hutan bambu ribuan kali dan tidak pernah terjadi hal seperti ini,” kilah Zening membela diri. “Karena yang kau kawal bukan orang biasa,” sahut Deyun singkat sebelum berbalik dan masuk ke dalam kemah Xiaoyang. “Bagaimana kondisinya sekarang?” tanya Deyun pada tabib kepercayaannya. “Beruntung dia sudah mendapatkan pengobatan yang tepat sebelum dibawa kembali. Nyawanya sudah terselamatkan, hanya tinggal menunggu racunnya keluar bersama darah dan dia akan kembali pulih. Staminanya sangat bagus untuk ukuran seorang pria.” “Terima kasih, Tabib. Aku berhutang nyawa padamu.” Deyun mengangkat kedua tangannya dan memberi hormat. “Sudahlah, Jend
“Adalah?” Han Xiu melanjutkan ucapan Deyun yang lenyap ditiup udara perbatasan.“Siapa dia sebenarnya? Aku merasa dia begitu penting untukmu dan ayah. Apa dia anggota keluarga istana?” ulang Zening.“Ayah selalu mengajarkan pada kita semua, setinggi apapun kedudukan keluarga di masyarakat, setelah dia melangkah masuk ke kamp pasukan Taichan maka dia hanya seorang tentara, tidak lebih.”“Terserah kau saja,” sungut Zening kesal. “Asal kau tahu, Kak. Jawabanmu semakin membuatku penasaran.” Zening melengos pergi.“Karena sudah begini, hanya kamu yang bisa aku harapkan. Bantu Xiaoyang menyamar. Tidak ada satu orangpun yang tahu bahwa kita membawa Xioayang masuk istana.”“Kak, kali ini aku sependapat dengan Ning’er. Siapa dia, hingga pantas membuatmu dan Zening bertengkar?”“Maafkan aku, A-Xiu. Aku tidak bisa memberitahukannya padamu. Nyawanya sangat be
“Jawab pertanyaanku dengan jujur. Apa yang kamu masukkan ke dalam ramuan obat Ayahanda? Kenapa kamu begitu gugup dan ketakutan saat aku memintamu mengambil jarum akupunktur?”“Ampun, Yang Mulia. Hamba pantas mati.” Zhaolin tersungkur ke tanah, bersujud memohon pengampunan.“Dengar, aku tidak akan menghukummu kalau kau jawab pertanyaanku dengan jujur.”Perlahan, Zhaolin mengangkat kepalanya dan memandang Wang Yang takut-takut. “Hamba tidak tahu, Yang Mulia. Hari itu, tabib kerajaan sudah menyiapkan ramuan obat dalam mangkuk. Hamba hanya mengantarkannya pada Baginda,” jawabnya dengan suara gemetar ketakutan.“Bohong! Kau sengaja menumpahkannya agar tidak ketahuan olehku bahwa ramuan itu beracun. Benar?!” bentak Wang Yang mulai kehabisan kesabarannya.Brug.Zhaolin kembali tersungkur. “Ampun, Yang Mulia! Hamba gemetar karena sudah menumpahkan obat dan mengotori pakaian Anda. Hamb
Kediaman Menteri Militer Li, Paviliun Houxiang“Ayah, apa benar yang Kakak katakan, Xiaoyang akan tinggal sementara di istana?” tanya Zening penasaran.“Ya, benar. Dia akan tinggal sementara waktu di istana, kalian bisa percayakan pelajaran untuknya pada Ayah.”“Aku tidak memikirkan tentang kelanjutan belajarnya. Aku hanya penasaran, siapa dia sebenarnya? Apa hubungannya dengan Selir Chu? Sudah dua kali selir memintanya kembali ke istana. Apa dia salah satu pangeran kerajaan Yongjin?”Tuk.Daehan menyentil hidung Zening, membuat gadis itu mengelus hidungnya sambil mengerucutkan bibir. “Kau terlalu banyak membaca cerita misteri. Lebih baik, waktu luangmu kau gunakan untuk belajar bagaimana bersikap lembut khas gadis bangsawan dan menjadi istri yang baik.”Mendengar perkataan Daehan, Deyun dan Han Xiu membuang muka agar senyum lebar mereka tidak terlihat Zening.“Ayah!”
Kediaman Raja, Istana SelatanSetelah mendapat kabar dari pengawal penjaga penjara bawah tanah, Wang Yang segera menjemput Song Lin dan membawanya menemui raja. Tak hanya itu, Wang Yang juga mengeluarkan titah untuk melarang orang lain keluar masuk guna mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.“Minggir! Kenapa kalian menghalangi jalanku?! Sudah tidak sayang pada nyawa kalian?! Menyingkir kataku!” Suying berteriak marah di depan pintu Istana Barat. Pasalnya, sepuluh pengawal berdiri berjajar memblokir pintu.“Maafkan kami, Yang Mulia Ratu. Raja Wang Li sedang tidak ingin diganggu,” ucap kepala penjaga.“Apa maksudmu tidak ingin diganggu? Aku datang untuk menjenguk Yang Mulia, bukan untuk mengganggu. Cari mati kalian!” Suying berkata penuh ancaman.“Sekali lagi, kami mohon maaf. Ini adalah titah raja.” Pria bertubuh tegap itu mengangkat kedua tangannya ke depan dada memberi hormat.“Baik,
FlashbackKediaman Ratu Qi, Istana Barat, empat bulan setelah kepergian Wang Yang.“Baginda, sudah empat bulan Wang Yang dikirim ke perbatasan dan selama itu pula belum ada bukti yang menunjukkan bahwa Li Daehan tidak menggelapkan dana pajak. Bukankah sudah saatnya Baginda bertindak?”“Jangan ikut campur urusan negara!” tegur Wang Li dengan kasar, tanpa memandang pada Suying.“Baginda, Suying tidak bermaksud ikut campur, hanya mengingatkan tugas yang belum berhasil Pangeran Wang Yang selesaikan.”“Berhasil atau tidak, aku sudah menemukan bukti bahwa tuduhan itu tidak benar. Aku sudah menyiapkan upacara penobatan Wang Yang menjadi putra mahkota bila masa belajarnya sudah selesai.”Darah Suying mendidih mendengar perkataan suaminya. “Baginda, Wang Su lebih pantas menjadi putra mahkota. Dia adalah putra pertama dinasti Wang. Dia juga putra tertua kerajaan ini. Bukankah melanggar tradisi bila
Wang Yang segera mengangkat tubuh Song Lin ke dalam pelukannya, membawanya ke luar menuju kereta kuda. Dayang istana yang mengikuti mereka terkejut melihat junjungannya pingsan. “Yang Mulia, Yang Mulia!” “Kita kembali ke istana!” teriaknya dari dalam kereta. “Panggil tabib istana ke kediaman selir.” Wang Yang berpaling pada ibunya. Wajah cantiknya mengkerut menahan sedih, kedua tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih. Bulir keringat sebesar bulir jagung membasahi pelipisnya. “Ibu, jangan begini, Bu. Ada Wang Yang di sini yang akan menjagamu,” bisiknya seraya mengusap peluh Song Lin. Tabib istana sudah menunggu di samping ranjang ketika Wang Yang masuk membawa Song Lin. “Apa yang terjadi pada Selir Chu, Yang Mulia?” “Entahlah, tiba-tiba Ibu jatuh pingsan saat merapal doa.” “Biarkan hamba periksa lebih dulu.” Tabib itu meraih pergelangan tangan Song Lin dan meraba nadinya, diam sejenak merasakan irama denyut nadi k