Beranda / Fantasi / Raja Terakhir Dinasti Wang / Bab 8 Teror Di Hutan Bambu

Share

Bab 8 Teror Di Hutan Bambu

Ru Feng mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi ketika anak panah menembus paha kanannya. Xiaoyang meraih pinggang Zening yang tercengang di bawah kaki Ru Feng.

“AWAS!”

Brug.

Xiaoyang jatuh ke tanah dengan keras bersama Zening di atas tubuhnya.

Drap. Drap. Drap.

Ru Feng berlari tanpa tujuan, kebingungan dengan rasa sakit di tubuhnya. Tanpa menghiraukan Xiaoyang yang meringis kesakitan, Zening berlari mengejar kudanya sambil terus berteriak memanggilnya.

“Ru Feng! Ru Feng! Kembali!”

Xiaoyang duduk sambil membersihkan debu di bajunya dengan mata terus mengawasi Zening yang makin menjauh. Tiba-tiba, ekor matanya menangkap pergerakan di antara pohon bambu.

Sret. Sret. Sret.

Gerakan mereka sangat cepat. Delapan orang berpakaian serba hitam dan menggunakan topi bercadar mengepung Xiaoyang, setiap mereka memegang pedang yang terhunus dan mengkilap.

Xiaoyang segera berdiri dan meraih pedangnya. ‘Sial, mereka sengaja memancing Zening menjauh.’

“Siapa kalian?!”

Pertanyaan yang sia-sia. Alih-alih menjawab pertanyaan Xiaoyang, delapan pria bercadar itu maju serentak menyerang Xiaoyang dari berbagai arah. Mereka menggunakan formasi menyerang yang sulit dihadapi dengan kemampuan ilmu pedang Xiaoyang.

Ting. Ting. Sret.

Xiaoyang menangkis serangan dua pria di sisi kanan sambil memutar menghindari serangan pria lainnya. ‘Aku harus keluar dari formasi. Hutan bambu.’

Xiaoyang berlari masuk ke dalam hutan bambu untuk mempersempit ruang gerak dan memecah formasi melingkar. Benar, delapan pria itu tidak bisa menyerangnya bersamaan karena Xiaoyang menggunakan pohon bambu untuk melindungi diri.

Krakk. Brakk.

Beberapa kali pedang mereka mengenai bambu dan tiap kali itu pula, bambu akan tumbang dalam sekali tebas. Xiaoyang mulai kewalahan menghadapi pria bercadar, sampai satu ketika sebilah pedang berhasil mengenai lengan kiri dan dadanya.

Sret. Sret. Serr.

“Argh!” Xiaoyang terhuyung dan jatuh bersandar pada batang bambu yang sudah patah. Darah mengalir dari lengan dan dadanya yang tersayat pedang.

Seorang pria bercadar yang berdiri paling dekat dengannya mengangkat pedang ke samping, bersiap menebas kepala Xiaoyang.

Zleb. Zleb. Brukk.

Dua orang pria tumbang dengan anak panah tertancap di dada kiri, tepat di jantung. Mereka terkapar di tanah dengan mata terbuka. Enam pria lain mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari arah serangan.

Zleb. Ting. Ting.

“Argh!” Satu anak panah berhasil melukai paha satu pria bercadar, melumpuhkan gerakannya.

Tap. Tap. Tap.

Suara orang berlari di antara pohon bambu begitu ringan. Dari belakang Xiaoyang muncul Zening dengan pedang sudah terhunus, terbang menghampiri lima pria yang tersisa. Terjadilah perkelahian sengit.

Zening bergerak dengan gesit, berputar sambil mengayun pedang dan menendang musuh. Gerakannya gemulai namun mematikan. Pedangnya berhasil melukai dua pria, tersisa tiga pria yang saling pandang dan menyadari kemampuan Zening jauh di atas mereka. Salah satunya menggerakkan kepala mengisyaratkan untuk mundur.

“HEI! Jangan kabur!” teriak Zening saat tiga pria itu melesat cepat masuk lebih jauh ke dalam hutan.

Zening berbalik, memeriksa kelima pria yang berhasil dia kalahkan. Empat diantaranya meninggal terkena anak panah dan sabetan pedang miliknya. Satu pria yang terkena panah di paha sedang bersandar kesakitan. Zening dengan cepat menghampirinya.

Sret.

Ujung tajam pedang Zening terarah ke leher pria itu. Zening menarik kasar cadar yang menutupi wajahnya. “Katakan, siapa yang menyuruhmu?”

“Ning’er,” lirih Xiaoyang kesakitan.

Zening berpaling menatap Xiaoyang yang sudah merosot ke tanah. Ekor matanya menangkap gerakan pria di depannya memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.

Bug.

Zening memukul punggung pria bercadar untuk mengeluarkan benda yang ditelannya, tapi terlambat. Mulut pria itu sudah berbusa dan tak lama kemudian, tubuhnya menggelepar sebelum akhirnya terkulai lemas.

“Sial! Dia menelan racun.”

Zening bergegas menghampiri Xiaoyang dan menariknya ke pangkuan. “Buka matamu. Biar aku periksa lukamu.”

Bret.

Zening merobek lengan baju Xiaoyang untuk memeriksa luka sabetan pedang. Daging di sekitar luka mulai membiru. “Pedangnya beracun!”

Sret. Brett. Brett.

Tangannya sigap merobek pinggiran bawah hanfunya dan mengikatkannya pada luka di lengan Xiaoyang. “Kita harus segera mencari pertolongan. Ayo, aku bantu kamu berdiri.”

Uhukk. Uhukk.

Xiaoyang terbatuk, keluar darah dari mulutnya. “Zening, aku tidak sanggup berjalan,” lirihnya. “Pergilah, cari bantuan. Aku akan menunggumu di sini.” Tangannya lemah mendorong Zening menjauh.

“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu. Ayo, aku akan membawamu di punggungku.” Zening berlutut membelakangai Xiaoyang. Dua tangannya menarik lengan pria itu agar melingkari lehernya.

Selisih tinggi badan mereka lumayan jauh. Meskipun Zening sudah berdiri tegak, tapi kedua kaki Xiaoyang masih menapak tanah membuat gerakan Zening makin terhambat. Namun, Zening terus berjalan membawa Xiaoyang di punggungnya dengan tertatih.

Pelan namun pasti, mereka sampai ke tepi jalan setapak. Beruntung, dua orang pria melintas membawa gerobak jerami yang ditarik kuda. Zening segera melambaikan tangannya meminta pertolongan.

“Nona, apa yang terjadi?” tanya pria yang lebih tua.

“Pak Tua, kami baru saja dirampok. Tolong bantu kami mencari tabib terdekat,” pinta Zening.

“Naiklah.”

Pria yang lebih muda turun dari gerobak dan membantu Zening mengangkat Xiaoyang naik. Bibir pria itu mulai membiru. Zening menempelkan telinganya ke dada Xiaoyang, tangannya menyentuh leher memeriksa denyut nadi di sana. ‘Dia masih hidup.’

“Pak Tua, tolong bergegaslah. Nyawanya sedang dalam bahaya.”

Tanpa banyak bicara, lelaki tua pemilik gerobak itu menarik tali kekang, memacu kudanya berlari lebih cepat. Mereka sampai di gerbang desa terdekat. Gerobak itu berhenti di depan toko obat.

“Tolong!” teriak Zening.

Seorang pria tua dengan jenggot putih panjang keluar tergopoh-gopoh dari dalam. “Kenapa dia?” tanyanya dengan suara serak.

“Kami diserang perampok. Dia terkena sabetan pedang beracun.”

Tabib tua memeriksa pergelangan tangan Xiaoyang dengan dahi berkerut dalam. “Segera bawa masuk!” perintahnya. “Nona, masuklah ke dalam. Aku perlu bantuanmu.”

Zening tercengang. “Hahh, anda menyuruhku ikut masuk ke dalam?”

Tabib tua itu tidak menggubris pertanyaan Zening, malah masuk lebih dulu ke dalam tokonya, meninggalkan gadis muda yang sedang bingung bersikap. Xiaoyang terbaring di atas dipan kayu beralas tikar anyam dari jerami. Di sampingnya, tabib tua sedang membersihkan luka dan membalur ramuan buatannya.

“Nona, temanmu ini akan sadar petang nanti. Sebaiknya kalian tinggal di sini untuk sementara waktu. Besok pagi, kalau kalian ingin melanjutkan perjalanan, aku tidak akan menghalangi.”

“Hmm,” sahut Zening canggung.

“Ada apa? Apa kau juga terluka?” tanya tabib tua.

“Tidak, tapi bisakah aku merepotkan anda lagi?”

“Katakan, apa yang bisa aku bantu untukmu?” tabib tua menyeduh obat ke dalam mangkuk.

“Adakah ruang lain yang terpisah dari sini?”

Tabib itu mendekati Zening seraya mengangsurkan mangkuk obat. “Sebaiknya kalian tetap berada satu ruangan. Lebih aman.”

Setelah berkata demikian, tabib tua keluar dari pintu belakang. Zening masih termenung memikirkan bagaimana caranya dia akan tidur malam ini di ruang yang sama dengan Xiaoyang, ketika pria yang sedang ia pikirkan itu mulai menggigil.

“Xiaoyang, Xiaoyang, bangun.”

Zening menarik selimut menutupi dada telanjang, kemudian berjalan untuk menutup pintu. Tak lupa, ia mengedarkan pandangan ke sekitar toko, memastikan tidak ada yang mencurigakan atau sedang mengawasi mereka.

“Engh,” lenguh Xiaoyang lirih.

Zening menutup pintu rapat dan segera berbalik. “Hei, Yangyang. Syukurlah, kau sudah sadar.”

“Bantu aku bangkit.” Xiaoyang mengulurkan tangannya agar Zening menariknya duduk. “Di mana kita?”

“Kita di sebuah toko obat di ujung hutan bambu. Bagaimana perasaanmu?”

“Aku haus.”

Zening menoleh ke atas meja, meraih mangkuk obat dan menyendok isinya. “Minum ini, menghilangkan haus sekaligus menyembuhkan lukamu.”

Dalam tiga kali teguk, obat di dalam mangkuk sudah berpindah ke perut Xiaoyang. “Apa yang terjadi dengan para bandit itu?”

Zening mendekatkan wajahnya. “Aku pikir, mereka bukan bandit. Kantong uang milikmu masih aman. Mereka mengincarmu.”

Xiaoyang tidak bisa berpikir jernih. Suara lembut Zening memanjakan telinganya, hembusan hangat napas gadis cantik itu menggelitik pipinya dan aroma tubuh Zening singgah di hidungnya, perpaduan tiga hal itu membuat kuduknya meremang.

“Apa kau mendengarku?” tanya Zening seraya menjauh.

“Ya, aku dengar. Lalu apa rencanamu?”

“Kita bermalam di sini, besok sebelum hari terang, kita lanjutkan perjalanan. Semoga saja Ru Feng segera kembali,” lirih Zening sendu.

“Apa kau tidak bisa mengejarnya?”

“Aku berhasil mengejarnya, tapi saat aku mencabut anak panah yang melukainya dan menaburkan bubuk obat, dia meringkik marah dan berlari meninggalkanku.”

“Serbuk obat yang Paman Li berikan padamu? Bukankah itu obat mahal? Kenapa kau berikan pada seekor kuda?”

Zening memicingkan matanya. “Memang kenapa? Mana aku tahu kalau kau akan diserang bandit dan terluka?! Itu pertanda ilmu pedangmu masih harus dilatih dengan tekun.”

Xiaoyang hanya mendesah dan kembali merebahkan tubuhnya.

“Sudahlah, aku akan berbaring di kursi itu sambil menunggu pagi.” Zening manarik dua buah kursi dan menyatukannya agar lebih panjang dan cukup untuk menampung tubuhnya.

Srek.

Suara daun bambu kering terinjak, membangunkan Xiaoyang dari tidur ayamnya. Ia menajamkan telinganya, memastikan bahwa yang sedang bergerak adalah manusia.

Srek. Srek. Srek.

“Hustt, hustt, Zening. Bangun,” panggil Xiaoyang lirih.

“Hmm, hoaam ….” Zening menguap seraya mengerjapkan matanya. “Ada apa?” yanyanya tak kalah lirih.

“Stt … ada orang.” Xiaoyang menempelkan telunjuknya di bibir.

Zening mengangguk paham, perlahan turun dari kursi dan berjinjit mengintip dari sela tembok kayu. Tangan kirinya memberitahu Xiaoyang jumlah orang yang sedang mengendap di luar rumah dengan menekuk ibu jarinya.

Brakk!

Satu pria bercadar menendang pintu dengan kasar disusul tiga pria lain yang berlari masuk dengan pedang terhunus di tangan. Empat pria itu menargetkan pria yang setengah telanjang dengan kain putih membalut dadanya.

Zening menumpukan kedua lengannya pada meja di dekatnya, dalam dua kali lompatan ia sudah berdiri di depan empat pria yang bersiap menyerang Xiaoyang.

Sring.

“Siapa kalian?” tanya Zening seraya menghunus pedangnya. “Katakan sebelum aku paksa kalian!” geramnya marah.

“Serang!”

Pertempuran tak terelakkan. Empat pria itu menyerang Zening bersamaan tanpa ada rasa sungkan. Dentingan pedang beradu, suara perabotan rusak dan patah terkena sabetan pedang membuat suasana sepi malam, menjadi riuh.

Ting. Ting. Bug. Brak.

“Hiyaat …!” Zening mengayunkan pedangnya dengan cepat sambil menghindari tebasan pedang lawan.

Sret. Sret. Zleb.

Dua orang tumbang ke lantai setelah Zening berhasil menggorok leher dan menusuk perutnya. Melihat dua kawannya tewas, dua pria lainnya berbalik melarikan diri setelah melempar bom asap yang menghalangi pandangan mata Zening.

“Sial! Mereka kabur.”

Zening berlutut di samping pria dengan luka tusuk di bagian perutnya, dengan kasar menarik baju pria itu dan membuka cadarnya. “Katakan, siapa kalian. Siapa yang menyuruhmu?!” bentaknya.

Pria itu bergerak cepat meraih pedang Zening yang masih terhunus dan mengarahkannya ke leher, menggorok lehernya sendiri.

Kkresh.

Darah segar mengalir membasahi baju depan pria itu bersamaan dengan matanya yang mulai terpejam.

“Haish!” Zening mendorong tubuh tak bernyawa di tangannya dengan kasar. “Mereka bukan pembunuh bayaran biasa.”

Zening berdiri seraya menggosokkan pedangnya pada pakaian pria di depannya, membersihkannya dari noda darah pria itu. Tak sengaja, matanya menangkap sebuah gambar di sisi leher mayat.

“Apa ini?” Zening mendekar, mencermati gambar di leher mayat. “Kelompok Bulan Sabit,” gumamnya.

“Apa katamu?”

“Ayo, kita harus segera pergi dari sini. Seseorang menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh kita.” Zening membantu Xiaoyang berpakaian dan turun dari ranjang.

Senyumnya mengembang saat melihat kuda putih besar kesayangannya sudah berdiri di halaman toko obat. “Kau memang selalu bisa diandalkan!” pekiknya senang. “Merunduk!” Ru Feng segera melipat dua kaki depannya dan merendahkan tubuhnya saat mendengar perintah Zening.

“Ayo, aku bantu kau naik ke atas kuda.”

Ketika sudah berada di punggung kuda, Zening mengikatkan tubuhnya pada tubuh Xiaoyang yang duduk di belakangnya agar pria itu tidak jatuh saat ia memacu kuda dengan cepat.

“Tahanlah, ini akan sakit dan tidak nyaman. Berusahalah untuk tidak tertidur selama perjalanan. Aku perkirakan, tengah hari nanti kita sudah memasuki perbatasan.” Xiaoyang hanya mengangguk lemah.

Mereka berkuda dengan cepat meninggalkan hitam bambu menuju perbatasan. Tepat seperti perkiraan, mereka memasuki kemah pasukan Taichan saat matahari berada tepat di atas kepala. Dua orang pria keluar dari dalam kemah dengan raut wajah terkejut saat melihat siapa yang datang.

“Apa yang terjadi pada kalian?!” Deyun bergegas mendekat dan membantu Xiaoyang turun dari punggung kuda. Hatinyakebat-kebit tak karuan melihat junjungan yang sedang menyamar tampak pucat dan lemah.

“Kami di serang kelompok Bulan Sabit di tengah hutan bambu," jawab Zening singkat.

“Bulan Sabit?!”

*****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rayhana Rajwa
menarik untuk di baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status