Kediaman Selir Chu, Paviliun Wuyan
Wang Yang melangkah gontai menuju Paviliun Wuyan. Keputusan raja adalah titah, melawan titah artinya memberontak. Kalimat itu yang terus berdengung di telinganya sejak melangkah keluar dari Aula Huanyang. Bukan karena titah raja yang mengirimnya ke perbatasan dengan dalih menuntut ilmu pedang dan siasat perang, tapi jauh dari ibu dan adiknya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan yang membuatnya gelisah
“Yang Mulia, awas!” Huazhi melesat cepat di antara Wang Yang dan tiang penyangga atap.
Dug.
“Ahh!” rintih Wang Yang kesakitan.
“Huazhi bersalah, Yang Mulia!” Zhou Huazhi segera berlutut meminta maaf.
“Bangunlah,” sahut Wang Yang mengelus kepalanya yang terbentur kepala Huazhi sambil mendesis.
“Apa yang membuat Yang Mulia melamun?” tanya Huazhi, melakukan gerakan yang sama, mengelus kepala.
“Aku sedang memikirkan cara yang tepat untuk memberitahukan keberangkatanku pada Ibu dan A-Yin. Mereka pasti akan sedih.”
Huazhi hanya diam. Dia tahu pasti, titah raja kali ini memberatkan junjungannya.
“Pangeran Wang Yang!” seru penjaga pintu.
Wang Yang bergegas masuk, tapi tak segera menemui ibunya, melainkan berdiri termenung mengamati bahu rapuh yang naik turun karena tangis. Song Lin sedang duduk di tepi ranjang menggenggam tangan adik kandungnya, Wang Yin.
“Ibu, ada apa dengannya?” Yang’er panik menghampiri ibunya, memberikan sentuhan lembut di bahu rapuh itu.
“A-Yin batuk darah lagi. Kali ini lama sekali baru berhenti, Ibu tidak sanggup melihatnya kesakitan. Tolong adikmu, Yang’er.” Song Lin berdiri, memeluk erat pria muda tempatnya bersandar dan berkeluh kesah.
“Ibu, jangan menangis lagi. Aku akan memanggil tabib kerajaan. Dia pasti bisa menyembuhkan A-Yin.” Yang’er berpaling ke samping. “Huazhi, panggilkan tabib dan sampaikan pada Ayahanda bahwa Pangeran Wang Yin jatuh sakit.”
Tanpa berkata-kata lagi, Huazhi mengangguk memberi hormat dan bergegas pergi.
“Ibu, duduklah. Tenangkan dirimu, ada aku di sini.” Penuh sayang, Wang Yang mengusap punggung ibunya.
Song Lin mengibaskan tangan kanannya, memberi isyarat pada semua dayangnya untuk keluar. Ia merapatkan diri pada Yang’er dan berbisik, “A-Yin tidak apa-apa. Kami melakukannya agar Baginda membatalkan titahnya untuk mengirimmu pergi jauh dari kami,” aku Song Lin akhirnya, tak tega melihat raut khawatir di wajah tampan Wang Yang.
Pemuda itu mengernyit, mencoba memahami perkataan ibunya. Namun, sejurus kemudian tersentak kaget karena A-Yin sudah duduk dan tersenyum ke arahnya.
“Kalian?”
“Maaf, Kak. Aku yang mengusulkan hal ini. Aku tidak sengaja mendengar para pejabat yang sedang lewat membahas tentang rapat pagi. Apa benar, ayah ingin mengirimmu ke perbatasan dan belajar di sana?”
Pletak.
Wang Yang menyentil dahi adiknya sedikit keras, membuat remaja itu meringis kesakitan. “Jangan pernah lagi melakukan hal seperti ini!” tegurnya kesal. “Kau membuatku hampir mati karena takut.”
“Ibu hanya ingin bicara bertiga dengan kalian. Ada hal yang harus kalian dengar langsung dariku.” Song Lin menarik lengan Yang’er agar ikut duduk di tepi ranjang.
“Ibu tidak pernah mengajarkan pada kalian untuk berebut kekuasaan, berebut tahta dengan saudaramu, bahkan saling menyakiti. Tapi kalian harus tetap waspada dan pandai melindungi diri agar selamat dan hidup demi Dinasti Wang terus ada.”
“Kenapa berkata begitu? Apa Ibu curiga tentang sesuatu?”
“Yang’er, Ibu hanya takut kamu celaka saat berada di perbatasan. Kanselir dan Ratu tidak akan diam begitu saja. Kalian ingat tentang Selir Gao yang meninggal bersama dengan bayi dalam kandungannya?”
Kedua putra raja itu mengangguk serempak.
“Ibu mendengar dari dayang yang dulu melayani Selir Su, dia tidak sengaja mendengar hasil penyelidikan petugas pengadilan yang mengatakan bahwa ada racun pada sisa makanan Selir Gao. Mengakibatkan dia mengalami serangan jantung dan meninggal.”
Dua pasang mata di depan Song Lin melebar bersamaan.
“Apa Ayah tahu tentang ini?”
Song Lin segera menempelkan telunjuknya pada bibir Yang’er. “Sst, pelankan suaramu. Itu sudah lama berlalu, tidak akan ada yang mengingatnya. Tapi, Ibu harap, kalian lebih berhati-hati saat berada jauh dari istana, terutama kau.” Song Lin mengelus lembut dada putranya.
“Siap tidak siap, raja akan segera mengumumkan siapa yang akan dinobatkan menjadi putra mahkota. Bahkan, para pejabat istana sudah membentuk dua kubu, pendukungmu dan pendukung Wang Su.” Wajah cantik yang mulai dimakan usia itu mengkerut karena cemas.
“Ibu jangan khawatir. Aku akan jaga diri baik-baik.” Yang’er meremas tangan ibunya dengan lembut.
“Baginda Raja Wang Li!”
“Cepat rebahkan tubuhmu!” Yang’er mendorong tubuh adiknya dan menarik selimut menutupinya.
“Lin’er, apa yang terjadi padanya? Segera panggilkan tabib!” seru raja Wang Li panik.
Pria paruh baya itu duduk di tepi ranjang dan mengulurkan tangannya menyentuh dahi putra terkecilnya. “Dia tidak demam, apa yang terjadi padanya?”
“Baginda, A-Yin baru saja meminum ramuan yang tabib bawakan. Dia sempat batuk darah dan lemas tadi, dia baru saja beristirahat.” Song Lin mengelus perlahan lengan pria yang begitu ia cintai.
“Syukurlah, jangan segan mengabariku kalau terjadi sesuatu pada putra kita.” Wang Li berdiri, memeluk bahu kekasih hatinya itu dan menatapnya lama. “Maafkan aku, beberapa hari ini tidak datang mengunjungimu. Banyak masalah yang harus segera aku selesaikan.”
Song Lin mengangguk mengerti. Tangannya menyentuh dada Wang Li yang masih terasa kokoh dengan lembut. “Suamiku, aku sangat bersyukur menjadi rakyatmu. Memiliki raja yang adil dan bertanggungjawab atas nasib rakyatnya.”
“Ya, tapi kalian harus menderita karena jarang bertemu denganku.”
“Tidak masalah. Dahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi.” Song Lin tersenyum penuh pengertian saat mengulang kalimat yang selalu Wang Li ucapkan.
Seketika Wang Yang berlutut di tempatnya berdiri. “Ayah, maafkan keegoisan Yang’er. Yang’er sudah mengecewakan Ayahanda di depan pejabat istana. Yang’er pantas dihukum,” sesalnya.
Wang Li berbalik dan menyentuh bahu Yang’er. “Bangunlah. Ada hal yang harus aku katakan langsung padamu. Alasan di balik titahku mengirimmu ke perbatasan adalah untuk menyelidiki tuduhan penggelapan dana pajak yang Li Daehan dan putranya lakukan.”
“Ayah, itu tuduhan yang tidak mungkin.” Wang Yang bangkit berdiri dengan cepat.
“Maka dari itu, Ayah mengirimmu untuk menyelidikinya dan membuktikan bahwa Li Daehan kesayanganmu tidak bersalah.”
Li Daehan adalah orang pertama yang mengajarkan Wang Yang cara memegang pedang, menunggang kuda dan menggunakan busur panah. Ketika mendiang kakeknya masih menjadi raja, Li Daehan adalah panglima perang Kerajaan Yongjin. Bahkan ia dan Li Deyun—putra sulung Daehan, sempat belajar sastra bersama.
“Baiklah, Yang’er mengerti sekarang. Tapi, mohon Ayah mengabulkan permintaan Yang’er.”
“Katakan.” Wang Li menatap serius pada putranya.
“Yang’er ingin menyamar menjadi putra keluarga bangsawan, bukan Pangeran Dinasti Wang agar lebih mudah membaur dan melakukan penyelidikan.”
“Hmm, baiklah. Aku akan sampaikan pada Tuan Li.”
“Terima kasih, Ayahanda.”
*****
Kediaman Wang Su, Istana TimurRatu Qi selalu saja kesal bila berkunjung ke Istana Timur. Kediaman putra sulungnya itu tak pernah lepas dari aroma arak putih dan pemandangan calon putra mahkota sedang ditemani minu oleh salah satu selir kerajaan. Dengan sekali kibasan lengan hanfu mewahnya, wanita cantik yang sedang memangku kepala Wang Su segera undur diri.“Putraku, ubahlah ritme keseharianmu. Jangan hanya pergi bermain ke Paviliun Qinghe. Sudah saatnya kamu belajar serius tentang pemerintahan. Kamu adalah calon Putra Mahkota, tidak pantas terlalu sering berdiam di antara harem.”“Ah, Ibu. Seorang raja tidak bisa dipisahkan dengan harem. Dinasti ini tidak akan berkembang pesat dan menjadi kuat kalau rajanya tidak memiliki keturunan. Bukan begitu?”“Itu tidak salah, tapi tidak melulu yang kau pikirkan seputar urusan bawah perutmu.” Lan Suying melemparkan saputangan selir tadi yang tertinggal ke sembarang tempat. &ldquo
Halaman Kuil BailongDi hari keberangkatannya, Wang Yang mengunjungi Kuil Bailong untuk memohon perlindungan dan keselamatan, bukan bagi dirinya tetapi bagi ibu dan adiknya. Besar harapannya, langit akan berbelas kasihan padanya dan mengabulkan permohonannya. Di istana yang luas ini, tidak ada yang berani menyentuh ibu dan adiknya, kecuali Ratu Qi.Keluar dari kuil, Wang Yang mengedarkan pandangannya sejenak ke sekitar kuil. Daun pohon mapel mulai berguguran, membuat beberapa biksu sibuk menyapu halaman. Di halaman ini, ia dan Wang Yin sering bermain sembari menunggu ibunya selesai sembahyang. Persis seperti yang dia ingat, kicauan burung, embusan angin sepoi dan daun yang jatuh perlahan.“Kakak!”Wang Yang menoleh ke belakang. Wang Mu Lan—adik beda ibu, sedang berjalan ke arahnya.“Aku kira kamu sudah meninggalkan istana.” Mu Lan menghambur memeluk Wang Yang dengan manja.Wang Yang tersenyum membalas pelukan ad
Kemah Pasukan Taichan, Kota JingzhouKamp pasukan Taichan di perbatasan kota Jingzhou sedang sibuk berbenah dan mempersiapkan kunjungan Menteri Militer, yang tak lain adalah ayah dari Jenderal Besar Li Deyun. Penghuni tenda berwarna ungu dengan tulisan berwarna emas itu lalu lalang mengerjakan tugasnya masing-masing.“Cepat benahi semua pagar pembatas yang rusak karena badai semalam. Juga bereskan arena latihan. Simpan semua senjata dan pastikan dalam keadaan bersih!” Deyun melontarkan banyak perintah sekaligus.“Baik, Jenderal!”“Ji Mong, katakan pada Zening tentang kedatangan Menteri Militer. Peringatkan dia untuk tetap berada di tendanya,” imbuh Deyun dengan raut panik.“Baik, Jenderal!”Deyun duduk di balik meja kerjanya, melanjutkan mempelajari peta kota Wu. Kabar terbaru dari mata-mata yang disebarnya, pemimpin kota Wu sedang merencanakan sebuah pemberontakan. Jumlah tentaranya tidak kala
Kediaman Kanselir Zhao, Paviliun JianshanZhao Ming Lan sedang menyulam sebuah sapu tangan di taman belakang rumah ditemani pelayan setianya. Ketika ayahnya menghampiri dengan langkah lebar dan wajah berbinar, Ming Lan mengerutkan dahinya sambil bangkit berdiri.“Ada hal penting apa yang terjadi di istana hingga membuat wajah tuanya terlihat segar?” gumam Ming Lan.“Ming’er, Ming’er!”“Apa yang terjadi, Yah? Berjalan begitu cepat seperti dikejar hantu.”Ziliang menarik lengan Ming Lan agar ikut duduk di bangku. “Ayah baru saja kembali dari Istana Barat menemui Ratu Qi. Dia meminta ayah mencarikan calon istri untuk pangeran Wang Su dan pada akhirnya meminta Ayah untuk mengirimmu masuk istana untuk mengikuti pelajaran Etika Istana.”“Hahh?” Ming Lan tersentak. “Menikahi siapa? Wang Su?”“Ya. Dengan begitu, jalanmu menjadi permaisuri akan semakin te
Tak terasa sudah enam bulan Xiaoyang tinggal di perbatasan. Karena kecerdasan dan ketekunannya, kemampuannya bermain pedang dan memanah meningkat pesat. Deyun bahkan tidak ragu mempromosikannya naik tingkat.“APA?! Apa tidak terlalu cepat memindahkanya ke pasukan inti, Kak? Belum genap enam bulan dia di sini!” protes Zening tak terima.Butuh waktu satu tahun lebih bagi Zening untuk berhasil diterima sebagai pasukan inti di bawah pimpinan Han Xiu. Sekarang, Xiaoyang yang kalah dalam tiga gerakan olehnya, bisa diterima hanya dalam waktu enam bulan. Kenyataan yang mengoyak kebanggaannya.“Bukan aku yang memutuskan. Kau tahu sendiri bahwa Han Xiu tidak pernah ceroboh dalam memutuskan anggota pasukannya. Dia yang menguji Xiaoyang sendiri.”“Aku akan pergi mencari Han Xiu.”“Aku di sini.” Han Xiu muncul dari balik tirai, berjalan mendekat.“A-Xiu, benar yang Kak Deyun katakan? Pria manja itu su
Kediaman Raja Wang Li, Istana Barat“Ayah.” Wang Yang berlutut memberi hormat yang dibalas lambaian tangan Wang Li, meminta Wang Yang mendekat.“Yang’er,” sapa Wang Li lirih.Pria tampan penuh wibawa itu terbaring lemah di ranjang besar berlapis emas. Wajahnya kurus, ada rona biru kehitaman di bawah mata dan bibirnya yang kering.“Ayah, maafkan putramu yang tidak berbakti. Yang’er tidak mendengar kabar apapun tentang kalian. Beruntung Ibu mengirim surat meminta Yang’er kembali, jadi Yang’er bisa datang mengunjungi Ayah.”Wang Li meremas jemari tangan anaknya dalam genggaman. “Tidak apa-apa. Aku yang mengirimmu untuk pergi ke perbatasan. Aku merindukanmu, tetapi tidak ingin mengganggumu belajar.”Kasim raja masuk membawa cawan dalam nampan. “Baginda, waktunya minum obat,” ucap kasim bertubuh subur itu seraya membungkuk.“Sini, biar aku yang memban
Ru Feng mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi ketika anak panah menembus paha kanannya. Xiaoyang meraih pinggang Zening yang tercengang di bawah kaki Ru Feng.“AWAS!”Brug.Xiaoyang jatuh ke tanah dengan keras bersama Zening di atas tubuhnya.Drap. Drap. Drap.Ru Feng berlari tanpa tujuan, kebingungan dengan rasa sakit di tubuhnya. Tanpa menghiraukan Xiaoyang yang meringis kesakitan, Zening berlari mengejar kudanya sambil terus berteriak memanggilnya.“Ru Feng! Ru Feng! Kembali!”Xiaoyang duduk sambil membersihkan debu di bajunya dengan mata terus mengawasi Zening yang makin menjauh. Tiba-tiba, ekor matanya menangkap pergerakan di antara pohon bambu.Sret. Sret. Sret.Gerakan mereka sangat cepat. Delapan orang berpakaian serba hitam dan menggunakan topi bercadar mengepung Xiaoyang, setiap mereka memegang pedang yang terhunus dan mengkilap.Xiaoyang segera berdiri dan meraih pedangnya.
“Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini, Ning’er? Aku mengirimmu pergi bersamanya untuk menjaganya, kenapa dia bisa terluka?” tanya Deyun dengan tak sabar. “Maafkan aku, Kak. Aku tahu aku salah, tapi ini tidak sepenuhnya kesalahanku. Mereka melukai Ru Feng, lagi pula selama ini kita biasa berkuda melewati hutan bambu ribuan kali dan tidak pernah terjadi hal seperti ini,” kilah Zening membela diri. “Karena yang kau kawal bukan orang biasa,” sahut Deyun singkat sebelum berbalik dan masuk ke dalam kemah Xiaoyang. “Bagaimana kondisinya sekarang?” tanya Deyun pada tabib kepercayaannya. “Beruntung dia sudah mendapatkan pengobatan yang tepat sebelum dibawa kembali. Nyawanya sudah terselamatkan, hanya tinggal menunggu racunnya keluar bersama darah dan dia akan kembali pulih. Staminanya sangat bagus untuk ukuran seorang pria.” “Terima kasih, Tabib. Aku berhutang nyawa padamu.” Deyun mengangkat kedua tangannya dan memberi hormat. “Sudahlah, Jend