Halaman Kuil Bailong
Di hari keberangkatannya, Wang Yang mengunjungi Kuil Bailong untuk memohon perlindungan dan keselamatan, bukan bagi dirinya tetapi bagi ibu dan adiknya. Besar harapannya, langit akan berbelas kasihan padanya dan mengabulkan permohonannya. Di istana yang luas ini, tidak ada yang berani menyentuh ibu dan adiknya, kecuali Ratu Qi.
Keluar dari kuil, Wang Yang mengedarkan pandangannya sejenak ke sekitar kuil. Daun pohon mapel mulai berguguran, membuat beberapa biksu sibuk menyapu halaman. Di halaman ini, ia dan Wang Yin sering bermain sembari menunggu ibunya selesai sembahyang. Persis seperti yang dia ingat, kicauan burung, embusan angin sepoi dan daun yang jatuh perlahan.
“Kakak!”
Wang Yang menoleh ke belakang. Wang Mu Lan—adik beda ibu, sedang berjalan ke arahnya.
“Aku kira kamu sudah meninggalkan istana.” Mu Lan menghambur memeluk Wang Yang dengan manja.
Wang Yang tersenyum membalas pelukan adiknya. “Tidak, aku masih berdoa. Setelah dari kuil, rencananya aku akan mengunjungimu untuk berpamitan.”
“Aku tidak sabar ingin menemuimu. Aku bahkan meninggalkan kelas sastra hanya untuk mengantar keberangkatanmu,” aku Mu Lan.
Wang Yang mendorong bahu Mu Lan menjauh. “Aku kecewa padamu, jangan lagi keluar di tengah pelajaran berlangsung. Itu tidak sopan dan menyinggung. Kalau sampai Ratu dengar, kau akan dihukum.”
Wang Mu Lan cemberut. “Aku tidak peduli. Siapa yang berani melaporkan sikapku? Mereka lebih memilih menyelamatkan kepalanya daripada marah karena sikapku,” bantah Mu Lan congkak.
“Kakak, segeralah pulang. Aku akan memohon pada ayah untuk menikahkanku denganmu. Dengan begitu, kau tak perlu lagi pergi berperang atau membuktikan kemampuanmu.”
Mu Lan adalah adik kandung Wang Su, saudara satu ayah beda ibu dengan Wang Yang. Sejak kecil, keinginan terbesar Mu Lan adalah menikahi Wang Yang, yang hanya dianggapnya sebagai gurauan anak kecil.
Wang Yang menggeleng lembut. “Aku akan sangat berterima kasih padamu, bila kau bersedia menjaga ibuku dan A-Yin selama aku tidak ada.”
Mu Lan memeluk Wang Yang lagi. “Tenang saja, serahkan mereka padaku. Aku akan menjaga mereka baik-baik. Sebagai imbalannya, kau harus segera pulang dan menikahiku.”
Tiba-tiba, Mu Lan memisahkan diri. “Aku akan mengantarmu sampai ke perbatasan, kalau perlu aku akan tinggal di kemah pasukan Taichan,” ucap Mu Lan mengagetkan.
Wang Yang tersentak mendengarnya. “Barusan kau bilang apa?!”
“Aku akan ikut ke perbatasan bersamamu. Belajar bela diri, memanah dan berkuda, belajar apa saja yang kau pelajari. Terutama belajar menjadi istri yang baik untukmu.”
“Itu sangat tidak mungkin. Kau tidak akan betah tinggal di sana.” Wang Yang mulai gerah menghadapi sikap adiknya. “Lagi pula, ayahanda tidak akan memberimu izin.”
“Aku tidak ingin ada wanita yang main mata dengan calon suamiku,” rengeknya manja pada Wang Yang.
“Apa kau pikir kamp pasukan Taichan itu sama seperti Paviliun Qinghe yang dihuni banyak selir? Jangan bercanda, Mu Lan. Di sana hanya ada pria kasar yang memegang pedang dan panah.”
Dengan berat hati, Mu Lan melepaskan pelukannya. “Baiklah, aku percaya ucapanmu. Belajarlah dengan giat agar ayah segera memanggilmu pulang dan memberiku izin untuk menikahimu.”
Wang Yang tidak begitu memperhatikan perkataan Mu Lan sebab matanya menangkap gerak-gerik mencurigakan di pintu gerbang Kuil Bailong.
‘Siapa itu? Dayang Ratu Qi dan tabib kerajaan? Ada apa mereka bertemu di tempat sepi?’ batin Wang Yang penasaran.
“Kak, Kak Yang’er.” Mu Lan menggoyangkan lengan kakaknya dengan keras.
“Heh? Ya, pasti,” jawab Yang’er asal.
“Yang Mulia, sudah waktunya berangkat.” Huazhi memberi hormat yang dibalas tatapan menusuk Mu Lan.
“Ayo.” Wang Yang melompat naik ke atas kuda, menghentak pelan perut gendut hewan berwarna cokelat dengan kedua kakinya dan memacunya menuju gerbang istana.
Setelah keluar dari gerbang istana, Wang Yang menarik tali kekangnya. “Aku rasa, cukup sampai sini kau mengantarku. Kembalilah ke istana. Jaga ibu dan A-Yin untukku.”
“Tapi, Yang Mulia –.”
“Tidak ada yang boleh mengenaliku selama aku berada di perbatasan. Paman Li dan pasukannya akan pergi bersamaku, jadi kau tenang saja.”
Wang Yang paham betul kekhawatiran Huazhi. Selain karena kedudukannya sebagai pangeran, kemampuan bela diri Wang Yang masih jauh di bawah Huazhi.
“Baik, Yang Mulia!”
“Dan satu lagi, awasi tabib kerajaan dan dayang ratu. Aku melihat gelagat mencurigakan dari mereka. Aku teringat cerita ibuku tentang peristiwa kematian beberapa selir kesayangan raja yang diduga karena keracunan.”
Huazhi mengangguk mengerti. “Maksud Anda, ini ada hubungannya dengan tabib kerajaan dan dayang kepercayaan ratu?”
“Entahlah, belum bisa memastikan. Saat aku berniat menyelidikinya, Ayahanda keburu mengeluarkan dekrit mengirimku ke perbatasan. Dan juga, kau perketat penjagaan di sekitar Paviliun Wuyan. Aku khawatir meninggalkan ibu dan adikku.”
“Baik, Yang Mulia!” sekali lagi Huazhi mengangkat tangannya memberi hormat.
“Aku percayakan ibu dan adikku padamu. Jangan lupa, hubungan dekat antara dayang ratu dan dayang selir, juga kasim. Selidiki mereka dan keterkaitan mereka. Jangan sampai ada yang terlewat.”
“Baik, Yang Mulia.”
“Aku berangkat.” Wang Yang menarik kekang kudanya dan mulai memacunya menjauhi gerbang istana.
Andaikata Wang Yang tahu, kepergiannya akan membuatnya kehilangan orang-orang yang dia sayangi, tentu Wang Yang lebih memilih ditangkap dan dicap sebagai pemberontak. Seandainya dia tahu yang akan terjadi.
*****
Kemah Pasukan Taichan, Kota JingzhouKamp pasukan Taichan di perbatasan kota Jingzhou sedang sibuk berbenah dan mempersiapkan kunjungan Menteri Militer, yang tak lain adalah ayah dari Jenderal Besar Li Deyun. Penghuni tenda berwarna ungu dengan tulisan berwarna emas itu lalu lalang mengerjakan tugasnya masing-masing.“Cepat benahi semua pagar pembatas yang rusak karena badai semalam. Juga bereskan arena latihan. Simpan semua senjata dan pastikan dalam keadaan bersih!” Deyun melontarkan banyak perintah sekaligus.“Baik, Jenderal!”“Ji Mong, katakan pada Zening tentang kedatangan Menteri Militer. Peringatkan dia untuk tetap berada di tendanya,” imbuh Deyun dengan raut panik.“Baik, Jenderal!”Deyun duduk di balik meja kerjanya, melanjutkan mempelajari peta kota Wu. Kabar terbaru dari mata-mata yang disebarnya, pemimpin kota Wu sedang merencanakan sebuah pemberontakan. Jumlah tentaranya tidak kala
Kediaman Kanselir Zhao, Paviliun JianshanZhao Ming Lan sedang menyulam sebuah sapu tangan di taman belakang rumah ditemani pelayan setianya. Ketika ayahnya menghampiri dengan langkah lebar dan wajah berbinar, Ming Lan mengerutkan dahinya sambil bangkit berdiri.“Ada hal penting apa yang terjadi di istana hingga membuat wajah tuanya terlihat segar?” gumam Ming Lan.“Ming’er, Ming’er!”“Apa yang terjadi, Yah? Berjalan begitu cepat seperti dikejar hantu.”Ziliang menarik lengan Ming Lan agar ikut duduk di bangku. “Ayah baru saja kembali dari Istana Barat menemui Ratu Qi. Dia meminta ayah mencarikan calon istri untuk pangeran Wang Su dan pada akhirnya meminta Ayah untuk mengirimmu masuk istana untuk mengikuti pelajaran Etika Istana.”“Hahh?” Ming Lan tersentak. “Menikahi siapa? Wang Su?”“Ya. Dengan begitu, jalanmu menjadi permaisuri akan semakin te
Tak terasa sudah enam bulan Xiaoyang tinggal di perbatasan. Karena kecerdasan dan ketekunannya, kemampuannya bermain pedang dan memanah meningkat pesat. Deyun bahkan tidak ragu mempromosikannya naik tingkat.“APA?! Apa tidak terlalu cepat memindahkanya ke pasukan inti, Kak? Belum genap enam bulan dia di sini!” protes Zening tak terima.Butuh waktu satu tahun lebih bagi Zening untuk berhasil diterima sebagai pasukan inti di bawah pimpinan Han Xiu. Sekarang, Xiaoyang yang kalah dalam tiga gerakan olehnya, bisa diterima hanya dalam waktu enam bulan. Kenyataan yang mengoyak kebanggaannya.“Bukan aku yang memutuskan. Kau tahu sendiri bahwa Han Xiu tidak pernah ceroboh dalam memutuskan anggota pasukannya. Dia yang menguji Xiaoyang sendiri.”“Aku akan pergi mencari Han Xiu.”“Aku di sini.” Han Xiu muncul dari balik tirai, berjalan mendekat.“A-Xiu, benar yang Kak Deyun katakan? Pria manja itu su
Kediaman Raja Wang Li, Istana Barat“Ayah.” Wang Yang berlutut memberi hormat yang dibalas lambaian tangan Wang Li, meminta Wang Yang mendekat.“Yang’er,” sapa Wang Li lirih.Pria tampan penuh wibawa itu terbaring lemah di ranjang besar berlapis emas. Wajahnya kurus, ada rona biru kehitaman di bawah mata dan bibirnya yang kering.“Ayah, maafkan putramu yang tidak berbakti. Yang’er tidak mendengar kabar apapun tentang kalian. Beruntung Ibu mengirim surat meminta Yang’er kembali, jadi Yang’er bisa datang mengunjungi Ayah.”Wang Li meremas jemari tangan anaknya dalam genggaman. “Tidak apa-apa. Aku yang mengirimmu untuk pergi ke perbatasan. Aku merindukanmu, tetapi tidak ingin mengganggumu belajar.”Kasim raja masuk membawa cawan dalam nampan. “Baginda, waktunya minum obat,” ucap kasim bertubuh subur itu seraya membungkuk.“Sini, biar aku yang memban
Ru Feng mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi ketika anak panah menembus paha kanannya. Xiaoyang meraih pinggang Zening yang tercengang di bawah kaki Ru Feng.“AWAS!”Brug.Xiaoyang jatuh ke tanah dengan keras bersama Zening di atas tubuhnya.Drap. Drap. Drap.Ru Feng berlari tanpa tujuan, kebingungan dengan rasa sakit di tubuhnya. Tanpa menghiraukan Xiaoyang yang meringis kesakitan, Zening berlari mengejar kudanya sambil terus berteriak memanggilnya.“Ru Feng! Ru Feng! Kembali!”Xiaoyang duduk sambil membersihkan debu di bajunya dengan mata terus mengawasi Zening yang makin menjauh. Tiba-tiba, ekor matanya menangkap pergerakan di antara pohon bambu.Sret. Sret. Sret.Gerakan mereka sangat cepat. Delapan orang berpakaian serba hitam dan menggunakan topi bercadar mengepung Xiaoyang, setiap mereka memegang pedang yang terhunus dan mengkilap.Xiaoyang segera berdiri dan meraih pedangnya.
“Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini, Ning’er? Aku mengirimmu pergi bersamanya untuk menjaganya, kenapa dia bisa terluka?” tanya Deyun dengan tak sabar. “Maafkan aku, Kak. Aku tahu aku salah, tapi ini tidak sepenuhnya kesalahanku. Mereka melukai Ru Feng, lagi pula selama ini kita biasa berkuda melewati hutan bambu ribuan kali dan tidak pernah terjadi hal seperti ini,” kilah Zening membela diri. “Karena yang kau kawal bukan orang biasa,” sahut Deyun singkat sebelum berbalik dan masuk ke dalam kemah Xiaoyang. “Bagaimana kondisinya sekarang?” tanya Deyun pada tabib kepercayaannya. “Beruntung dia sudah mendapatkan pengobatan yang tepat sebelum dibawa kembali. Nyawanya sudah terselamatkan, hanya tinggal menunggu racunnya keluar bersama darah dan dia akan kembali pulih. Staminanya sangat bagus untuk ukuran seorang pria.” “Terima kasih, Tabib. Aku berhutang nyawa padamu.” Deyun mengangkat kedua tangannya dan memberi hormat. “Sudahlah, Jend
“Adalah?” Han Xiu melanjutkan ucapan Deyun yang lenyap ditiup udara perbatasan.“Siapa dia sebenarnya? Aku merasa dia begitu penting untukmu dan ayah. Apa dia anggota keluarga istana?” ulang Zening.“Ayah selalu mengajarkan pada kita semua, setinggi apapun kedudukan keluarga di masyarakat, setelah dia melangkah masuk ke kamp pasukan Taichan maka dia hanya seorang tentara, tidak lebih.”“Terserah kau saja,” sungut Zening kesal. “Asal kau tahu, Kak. Jawabanmu semakin membuatku penasaran.” Zening melengos pergi.“Karena sudah begini, hanya kamu yang bisa aku harapkan. Bantu Xiaoyang menyamar. Tidak ada satu orangpun yang tahu bahwa kita membawa Xioayang masuk istana.”“Kak, kali ini aku sependapat dengan Ning’er. Siapa dia, hingga pantas membuatmu dan Zening bertengkar?”“Maafkan aku, A-Xiu. Aku tidak bisa memberitahukannya padamu. Nyawanya sangat be
“Jawab pertanyaanku dengan jujur. Apa yang kamu masukkan ke dalam ramuan obat Ayahanda? Kenapa kamu begitu gugup dan ketakutan saat aku memintamu mengambil jarum akupunktur?”“Ampun, Yang Mulia. Hamba pantas mati.” Zhaolin tersungkur ke tanah, bersujud memohon pengampunan.“Dengar, aku tidak akan menghukummu kalau kau jawab pertanyaanku dengan jujur.”Perlahan, Zhaolin mengangkat kepalanya dan memandang Wang Yang takut-takut. “Hamba tidak tahu, Yang Mulia. Hari itu, tabib kerajaan sudah menyiapkan ramuan obat dalam mangkuk. Hamba hanya mengantarkannya pada Baginda,” jawabnya dengan suara gemetar ketakutan.“Bohong! Kau sengaja menumpahkannya agar tidak ketahuan olehku bahwa ramuan itu beracun. Benar?!” bentak Wang Yang mulai kehabisan kesabarannya.Brug.Zhaolin kembali tersungkur. “Ampun, Yang Mulia! Hamba gemetar karena sudah menumpahkan obat dan mengotori pakaian Anda. Hamb