Angin bertiup lembut membawa udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Para prajurit dengan baju tambahan berupa jubah tebal dari bulu binatang membungkus tubuh mereka. Namun, rasa dingin masih saja berhasil menyentuh kulit yang tak terlindung. Salah satu dari mereka melepaskan jubah tebal yang terbuat dari bulu binatang.
“Yang benar saja, danau ini pasti dingin sekali,” protes prajurit yang dipaksa untuk masuk ke dalam danau oleh rekan-rekannya.
Mereka melakukan undian untuk memutuskan siapa yang masuk ke dalam danau. Mereka mencari harpa ajaib yang kabarnya ada di sekitar tempat ini. Sebuah kisah dongeng tentang Istana Es yang tenggelam di danau tersebut membuat mereka dipaksa mencari keberadaannya. Mereka harus memeriksa dasar danau untuk melihat istana tersebut benar-benar ada, termasuk mencari keberadaan harpa.
Kedua prajurit yang kalah saat melakukan undian dengan terpaksa masuk ke dalam air. Sebelumnya keduanya diberikan barrier pelindung untuk melindungi mereka dari dinginnya air dan juga tetap bisa bernapas saat menyelam. Sementara mereka yang berada di permukaan menunggu sambil terus menggosok kedua tangannya untuk mendapatkan kehangatan.
“Apa yang dipikirkan Tuan Leiz, meminta kita mencari harpa di tengah cuaca dingin seperti ini?”
Prajurit di sebelahnya terlihat menghembuskan napasnya di kedua tangan, uap mengepul dari mulutnya. “Dia terus saja berbicara tentang harpa, harpa ajaib katanya,” balas prajurit tersebut.
Helaan napas panjang terdengar dari seorang prajurit. “Aku benar-benar tidak percaya Tuan Leiz mempercayai cerita dongeng.”
Mereka sudah hampir satu bulan berada di benua itu. Sebuah benua yang terpisah dari benua utama. Benua ini tertutup es abadi dan hampir tidak ada penghuni. Banyak prajurit yang menganggap Penasehat Kerajaan Leiz Schwarz sudah kehilangan akal sehatnya karena terus mencari benda dalam dongeng.
Harpa ajaib dari negeri para elf, harpa itu diyakini memiliki kemampuan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Sebuah harapan tanah yang sudah terkontaminasi dapat kembali pulih setelah usahanya memanggil Raja Kegelapan gagal. Suara dentingan harpa yang bernah terdengar di benua tak berpenghuni ini membuat kisah harpa ajaib kembali mencuat. Hal itu pula yang diyakini oleh Leiz hingga dia mengerahkan prajurit kerajaan untuk mencari benda ajaib tersebut.
“Cepat tarik talinya!” seru salah satu dari prajurit tersebut.
Angin semakin kencang saat tali yang mereka ikatkan pada kedua prajurit yang menyelam ke dalam danau bergerak-gerak. Mereka menarik tali tersebut bersama-sama. Sesuatu yang ganjil terasa, tali itu terlalu berat saat ditarik, bahkan ada sepuluh prajurit yang menariknya dengan susah payah.
“Apa itu!” seru mereka yang berada di permukaan.
Kedua prajurit yang menyelam membawa naik sebongkah es seukuran manusia. Mereka membawa makhluk penghuni benua ini. Di dalam balok es tersebut terlihat sosok asing yang berbeda dengan penghuni benua utama.
“Lihat, rambutnya putih,” ucap salah satu prajurit yang mendekati balok es tersebut.
Salah satu dari prajurit tersebut berteriak, “Hubungi Tuan Leiz, katakan kita menemukan apa yang dia cari!”
Dua prajurit mengangguk dan berlari ke arah berlawanan dari danau tempat mereka bekerja. Keduanya menuju sebuah rumah semi permanen yang dibangun mendadak di tempat itu satu bulan yang lalu.
“Tuan ... Tuan Leiz!” teriak prajurit tersebut. Dia memberi salam kepada pria yang menjadi atasannya sebelum melapor.
“Ada apa?” balas pria tersebut saat melihat dua orang prajurit datang menghadap dirinya.
“Kami menemukan sebuah balok es yang di dalamnya terdapat seorang pemuda dengan rambut seputih salju,” jawab salah satu dari keduanya.
Pria yang sudah memiliki usia lebih dari satu abad itu mulai berdiri lalu berjalan mendekati pria pembawa pesan. “Kau bilang apa?”
“Kami menemukan seorang pemuda yang membeku di danau,” ucap pria itu sedikit terbata dan bergetar melihat Leiz yang menatapnya tajam.
Pria dengan rambut mulai memutih sebagian itu berdiri tegak, senyumannya terkembang. Akan tetapi kedua prajurit yang ada di depan Leiz bergidik melihat lengkungan tipis menyerupai seringai yang dilanjutkan dengan tawa lepas.
“Akhirnya ketemu juga,” ucap Leiz dengan senangnya, “apa dia membawa harpa?” tanya Leiz selanjutnya menatap pria yang menyampaikan pesan. Matanya menatap keduanya bergantian. Sementara kedua prajurit itu hanya menggelengkan kepala.
“Tidak ada!” teriak Leiz geram, dia langsung meninggalkan pembawa pesan.
Leiz berjalan tergesa-gesa serta sedikit berlari menuju tempat pemuda yang ditemukan prajuritnya. Leiz berhenti dan mengamati sebuah balok es besar seukuran manusia. Seperti yang dikatakan pembawa pesan, pemuda dalam balok es tersebut memiliki rambut putih seputih salju.
“Lixue,” gumam Leiz memperhatikan bongkahan balok es bening yang membungkus pemuda tersebut. Dia pun mendekat dan menyentuh balok es besar tersebut dan perlahan es tersebut mencair.
“Apa ini, dia bahkan tidak basah meskipun tenggelam,” batin Leiz memperhatikan pakaian pemuda yang diduga sebagai Lixue tersebut. Leiz mendekatkan tangannya hingga menyentuh sesuatu yang tak kasat mata menyelubungi pemuda tersebut.
“Barrier,” gumamnya.
“Tuan Leiz.” Seorang prajurit memberanikan diri memanggil pria dengan rambut yang sebagian sudah memutih. Pria yang dia panggil menoleh dengan kesal.
“Ada apa?” jawab Leiz menoleh ke arah prajurit tersebut.
Prajurit tersebut menunjuk ke arah lain dan mata Leiz mengikuti ke arah yang ditunjukkan, matanya menyipit dan melihat sekelebat bayangan dari jauh.
“Blackdragon, apa yang dia lakukan di sini,” gumam Leiz saat melihat sosok familier yang baru saja masuk ke dalam hutan. Leiz berbalik lalu mengangkat pemuda di depannya seorang diri.
“Siapkan kereta kuda, kita kembali ke istana sekarang!” perintah Leiz.
“Baik!” jawab serentak prajurit yang berada di sekitar Leiz.
Mereka bergegas mengemasi semua perlengkapan dan menyiapkan kereta kuda. Sementara itu Leiz membawa pemuda itu ke tempat peristirahatannya. Dia meletakkan pemuda itu di atas tempat tidur secara perlahan. Tangan Leiz menyentuh sebuah anak panah di punggung pemuda itu.
“Tidak salah lagi, dia pasti Lixue, tetapi di mana harpanya?” gumam Leiz. Dia mencabut anak panah tersebut dan seketika barrier pelindung pemuda itu menghilang.
Leiz memperhatikan pemuda itu perlahan membuka matanya. Dia masih belum merespon keberadaan Leiz yang duduk di pinggir tempat tidurnya.
“Di mana ini?” ucap pemuda itu menoleh ke arah Leiz lalu kembali memindai ruangan asing tempatnya berada saat ini.
“Tenanglah, kau aman,” balas Leiz dengan ramah.
Leiz terlihat seperti seorang kakek yang penyayang dan lembut, dia membelai pemuda itu untuk menenangkannya.
“Tuan Leiz!”
Seorang prajurit masuk tanpa mengetuk pintu membuat pemuda yang baru saja siuman tersebut menjadi waspada. Matanya nyalang dan dalam sekejab dia membekukan prajurit tersebut. Pemuda itu masih siaga saat Leiz ternganga melihat kecepatan serangannya.
“Es, kekuatan es yang luar biasa,” gumam Leiz memperhatikan pemuda di sebelahnya yang saat ini sudah mengubah posisinya. Dia tidak lagi berbaring, tetapi sudah membuat kuda-kuda untuk siap menyerang.
“Tenang,” ucap Leiz berusaha membuat pemuda di depannya tenang. “bisakah kau mengembalikan pria itu? Dia anak buahku,” pinta Leiz berhati-hati bicara karena pemuda di depannya bukanlah orang biasa.
Pemuda itu menatap Leiz. Sesaat kemudian dia kembali rileks dan mengembalikan prajurit tersebut seperti semula. Prajurit itu melihat kode yang diberikan Leiz dan segera meninggalkan ruangan tersebut.
“Siapa namamu?” tanya Leiz perlahan.
Pemuda itu tidak langsung menjawab, dia memperhatikan ruangan tempatnya berada saat ini, setelah merasa aman, pemuda itu duduk kembali di sebelah Leiz.
“Lixue,” jawab pemuda itu, “ada yang mengejarku,” lanjutnya. Pemuda bernama Lixue itu terdiam seperti sedang berpikir. “Aku terjatuh.”
Pemuda itu terlihat bingung, dia kembali menatap Leiz dengan sepasang mata bulat kehitaman lalu bertanya, “Siapa Anda?”
“Namaku Leiz. Anak buahku yang menemukanmu tenggelam di dasar danau,” balas Leiz.
“Kau mencari harpa?” tanya Lixue masih menatap Leiz.
Leiz tersenyum lembut, dia melepas jubah tebal dari bulu binatang dan memakaikannya ke tubuh ramping Lixue. “Lebih baik pulihkan dirimu, kau terlihat kedinginan,” ucap Leiz sebelum melanjutkan menjawab pertanyaan Lixue dia memanggil pelayannya untuk menyiapkan semangkok sup hangat.
“Menurutmu, apa aku mengincar harpamu?” tanya Leiz. dia melihat Lixue mengeratkan jubah pemberiannya. senyuman Leiz terkembang.
Seorang pelayan masuk dengan semangkok sup yang diberikan kepada Leiz. “Makanlah, kau perlu menghangatkan tubuhmu terutama perutmu yang kosong selama ini,” ucap Leiz. Dia hendak menyuapi Lixue, tetapi pemuda itu menolak dan mengambil mangkok tersebut dan memakannya sendiri.
“Terima kasih atas kebaikan Anda,” balas Lixue berusaha memberikan sebuah senyuman. Dia masih belum bisa mempercayai pria tua di depannya. Namun, kebaikan kecil Leiz meluluhkan hati Lixue.
“Aku memerlukan harpa itu untuk rakyatku. Tanah kami tandus dan mereka mulai kelaparan,” lanjut Leiz dengan wajah memelas, menunjukkan kepeduliannya kepada rakyat kecil yang kelaparan.
“Apakah itu benar?” sambung Lixue, dia tidak percaya sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Leiz tersenyum lembut dan menepuk pundak Lixue. “Aku tidak akan memaksamu, kau tidak perlu terburu-buru, satu hal saja yang perlu kau ingat berhati-hatilah dengan keluarga Blackdragon. Merekalah yang mengincar harpamu.” Leiz memberikan informasi palsu tentang keluarga Blackdragon.
Senyuman Leiz mulai terkembang saat Lixue terlihat mulai nyaman bersamanya. “Kau akan memberikan harpa itu untukku tanpa perlu kupinta,” batin Leiz merasa yakin.
Kedua bocah kembar semakin memperhatikan Rafael yang membacakan cerita hingga keduanya menoleh karena suara dehaman di belakang mereka.“Sudah malam, sebaiknya kalian tidur,” ucap Alden dengan lembut membelai puncak kepala kedua anak kembar itu.“Baik, Kek,” sahut kedunya segera bangkit dan berlari menuju kamarnya.Yui menoleh dan melihat Kakek Alden masih berbincang dengan Rafael. Pria jangkung yang lebih tua itu duduk di sebelah Rafael. Entah apa yang mereka bicarakan, paman dari gadis yang kini sedang memperhatikannya terlihat membuang muka seakan apa yang sedang mereka bicarakan bukanlah hal yang menyenangkan.“Yui, ayo!” ajak Yuan memanggil kembarannya untuk segera ke kamar.“Hei, menurutmu apa cerita itu benar?” tanya Yui menyusul Yuan dan mereka berjalan bersama menuju ke kamar mereka.“Aku tidak tahu, tapi ada yang aneh dengan cerita Istana Es. Kisahnya menggantung dengan akhir yang menimbulkan banyak pertanyaan. Mungkin saja itu kisah nyata atau hanya rekaan,” jawab Yuan.Mer
“Kalian sudah siap?” Rafael sudah menunggu keduanya dan membukakan pintu kereta kuda. Sebuah kereta kuda dengan warna hitam pekat disertai ukiran naga berwarna keemasan.“Paman ikut?” sahut Yui menatap pria jangkung di depannya. Sebuah anggukan membuat gadis kecil itu tersenyum senang. Dia memasuki kereta kuda dan membuka sedikit tirai dari dalam, memperhatikan pria yang baru saja membantunya menaiki kereta. Rafael, di mata Yui terlihat begitu tampan. Sementara pemuda di sebelahnya berpikir hal lain. Yuan, dia hanya bisa menghela napas berat dan duduk di sebelah Yui. “Mau sampai kapan dia mencuri pandang seperti itu, kenapa tidak terus terang saja,” batin Yuan. Wajah memerah Yui cukup mengganggu pikirannya.“Yuan, apa Kak Razen tidak berlebihan?” ucap Yui melihat sekelompok orang datang di pimpin oleh Razen.Razen dengan pasukan di belakangnya telah siap mengantar Pangeran Yuan dan Putri Yui ke istana. Dia adalah salah satu jenderal di Kerajaan Kegelapan yang telah mendapatkan posisi
“Dan kandidat lain untuk menjadi raja, aku mencalonkan diriku sendiri,” ucap Leiz dengan lantang.Sorakan pendukung Leiz terdengar riuh memenuhi ruangan, hanya sebagian kecil saja yang tetap diam. Mereka diam-diam memihak kubu yang lain.“Tuan Leiz, kita memilih raja bukan berdasarkan suara, tapi kepantasannya,” sela Razen hingga suara sorakan tiba-tiba menjadi hening.“Apa maksudmu, Jenderal Razen?” Mata Leiz menatap Razen seakan ingin menembus jantungnya dan menghakimi pria ini yang telah berani bersuara.Semua mata kini memandang Razen yang sengaja membuat perselisihan dengan Penasehat Kerajaan Leiz Schwarz. Mereka menunggu penjelasan dari Razen.“Pangeran Yuan, dia pantas menjadi raja, bukan Anda, Tuan Leiz Schwarz,” ucap Razen dengan berani mendekat ke arah podium supaya terlihat jelas oleh seluruh tamu undangan. “Karena dia memiliki kemampuan yang sudah kita tunggu selama ini, kekuatan pemurnian,” lanjut Razen dengan lantang sehingga semua orang mendengar dengan jelas ucapannya.
“Apa kau ingin menipu kami?” Razen menatap Leiz, sudut bibirnya tertarik sedikit seakan dia sedang mendapatkan sesuatu yang menarik.Sementara pria dengan jubah menjuntai dan rambut yang sudah mulai berubah warna tersenyum ramah menatap Razen penuh arti. “Apa yang kau pikirkan, Jenderal Razen?” Leiz nampak santai dengan ucapan Razen.“Bunga itu, yang kau lakukan bukan pemurnian!” ucap lantang Razen hingga terdengar ke jelas. Aula menjadi riuh oleh suara-suara bisikan para tamu undangan.“Kalau begitu seperti apa pemurnian yang benar? Sudah 200 tahun dunia ini tidak tersentuh kekuatan raja,” balas Leiz. Pria ini sengaja, dia sengaja ingin menjebak Yuan untuk menunjukkan kekuatannya. Dia tahu kontaminasi di sekitar istana tidak akan bisa dimurnikan dengan kekuatan Yuan saat ini. Pekatnya kontaminasi bahkan membuat udara di sekitar istana terasa berat.Razen menatap Yuan, dia merasa salah langkah dan terlihat gugup dengan ucapan Leiz. Sorot matanya mengisyaratkan permintaan maaf dan d
Rafael menoleh sekilas dan melihat Razen bersama dengan Xavier. Mereka berdua bekerjasama untuk membantunya kabur dari istana. Serangan pasukan istana ternyata tak berhenti begitu saja. Pasukan pemanah yang berada di atas benteng pertahanan istana mengarahkan anak panahnya kembali. Meskipun Xavier membantu, beberapa anak panah masih lolos dan melesat ke arah Fury, terutama beberapa pemanah berbakat yang memiliki kemampuan panah energi.“Fury menghindar!” teriak Rafael yang merasakan panah energi menyerang. Naga hitam itu bermanuver menghindari panah tersebut. Sayangnya satu anak panah mengenai sayap Fury sehingga terbang tidak seimbang.Angin terasa begitu kencang saat naga hitam itu kehilangan keseimbangan dan meluncur karena tarikan gravitasi yang kuat. Yui berpegang pada leher Fury, sementara Yuan berada di belakangnya memeluk erat. Rafael berusaha melindungi kedua anak kembar tersebut.“Ugh,” erang Rafael merasakan sakit pada lukanya. Dia merasa pandangannya mulai kabur dan tubuhn
Sinar matahari menerobos kamar Rafael. Pria jangkung dengan rambut hitam itu menutup wajahnya dengan bantal karena diusik oleh hangatnya cahaya mentari. Sengatan panas sinar sang surya membuat pria yang masih ingin terlelap dalam buaian mimpi menjadi kesal. Kesal dengan perlindungan yang ternyata tidak mempan, dia pun terpaksa bangun. Saat matanya sudah terbiasa dengan cahaya terang kamar, pria ini menatap benda yang baru saja terpasang di dinding kamarnya tadi malam.“Cermin, apa harus membaca mantra seperti ratu jahat. Cermin-cermin di dinding siapakah yang paling cantik di dunia ini ....”Rafael tiba-tiba tertawa sendiri dengan pemikirannya. Dia pun menyibakkan selimut dan mendekati cermin tersebut. Berdiri di depan cermin lalu menyugar rambutnya yang berantakan.“Dilihat dari mana pun aku ini ganteng, lihat saja, sempurna,” ucap Rafael pada cermin di depannya. Bayangan yang menunjukkan dirinya terpantul dengan jelas. Sosok yang dikagumi kaum hawa, hanya saja dirinya sendiri yang m
Yuan menghentikan aktivitasnya setelah mendengar suara derap langkah kaki kuda. Dia mendongak untuk melihat siapa yang datang sepagi ini. Matanya tertuju pada panji-panji yang berkibar. Di bagian paling depan, dua pria berpakaian kontras hitam dan kehijauan. Yuan mengenali keduanya sebagai Jenderal Razen dan Xavier.“Siapa mereka?” Yui yang berada di samping Yuan ikut penasaran. Kereta kuda tersebut melaju dengan kecepatan sedang di kawal dengan pengawal yang mengenakan seragam senada dengan warna panji-panji mereka.“Bukankah itu lambang Pertanian Besar?” Yuan menunjuk salah satu panji yang dia kenal.Keduanya berlari menuju ke gerbang Kediaman Blackdragon. Mereka berdua berhenti dan bergabung dengan Rafael yang sudah berdiri di dekat gerbang. Mereka bertiga menyambut tamu yang datang terlalu pagi. Jenderal Razen dan Xavier turun dari kudanya kemudian memberi salam. Selanjutnya mereka yang berada di dalam kereta kuda turun kemudian memberi salam bersama dengan para pengikutnya. Pelay
“Kalian berdua suka membaca buku ‘kan, pergilah ke perpustakaan,” ucap Alden sembari mengulurkan sebuah token ke arah Yuan. Mereka membawa Rafael dan meninggalkan dua anak kembar yang tidak diperbolehkan ikut.“Lagi-lagi,” gerutu Yui setelah tidak melihat ketiganya di depan mata.“Yui, ayo ke perpustakaan,” ajak Yuan menarik lengan gadis manis di sebelahnya.“Untuk apa? Lihat mereka! Hanya karena kita belum dewasa lalu ....”Yuan menarik Yui dengan paksa dan sedikit menyeret gadis itu, dia tidak peduli dengan kembarannya yang meronta dan berusaha melepaskan pegangan tangannya. Seakan sudah dipersiapkan, seorang pelayan membukakan pintu kereta kuda. Dua orang pengawal berada di sisi kanan dan kiri kereta kuda tersebut.“Silakan, Pangeran dan Putri,” ucap ramah pelayan tersebut.Mata gadis manis itu menatap tajam kemudian memalingkan muka dan mendengkus.“Ke perpustakaan kota,” pinta Yuan dan kusir kereta tersebut menjalankan kereta.“Yuan!” teriak Yui dengan kesal.“Aku tahu kau ingin
Yuasa dengan telaten memisahkan racun dari aliran darah Yui. Tidak seperti luka fisik yang bisa dengan mudah disembuhkan. Racun duri tanaman rambat ini telah menyusup ke dalam inti kehidupan Yui, bercampur dalam setiap nadinya. Dengan kemampuannya yang bagai mata air jernih, Yuasa menyelami setiap aliran darah Yui, memisahkan racun yang mengancam jiwa. Waktu merayap perlahan, detik demi detik terasa bagai siksaan bagi mereka yang menunggu.Rafael mondar-mandir bagai singa yang terkurung dalam sangkar, hatinya dipenuhi kecemasan yang menggerogoti. Penjelasan Rosaline bagai angin lalu, tak mampu meredakan badai keraguan dalam dirinya. Ia masih meragukan kemampuan Yuasa, meskipun secerca harapan telah menyala kembali. Sesekali, ia melirik Yui yang terbaring lemah, wajahnya pucat pasi bagai rembulan yang tertutup awan.“Paman, percayalah pada Kakak,” ucap Yuan, suaranya lembut namun penuh keyakinan. Meskipun Yuan masih belum yakin, dia percaya dengan instingnya. Aura Yuasa berbeda dari bi
Yuasa dengan hati-hati mengeluarkan kunci rune, ukiran kuno yang berdenyut dengan energi mistis, dan mengarahkannya ke ruang kosong di depannya. Udara berdesir dan bergelombang, seperti kain sutra yang ditiup angin, membentuk pusaran energi yang semakin lama semakin pekat. Gerbang dimensi ke dunia bawah, sebuah portal yang menghubungkan dunia kristal dengan alam kegelapan mulai terbuka. Aurum, dengan wujud manusianya yang gagah, berdiri di samping Yuasa, siap untuk melangkah melintasi gerbang dimensi. Sementara itu, Rosaline dengan cekatan menciptakan lapisan-lapisan barrier pelindung di sekitar Yuasa. Tangannya bergerak lincah, menenun barrier pelindung yang tampak seperti kubah transparan dengan rona kemerahan, melindungi Yuasa dari bahaya yang mungkin mengintai.“Cukup Rosaline,” ucap Yuasa dengan lembut. Dia menyentuh tangan Rosaline untuk menghentikan pekerjaannya. “Ini gerbang dimensi, bukan celah dimensi. Kita sudah pernah memasukinya, meskipun ada tekanan, tetapi barrier yan
Rasa syukur dan kekaguman memancar dari wajah-wajah mereka yang telah disembuhkan Yuasa. Mereka menatap sang raja dengan tatapan penuh hormat, seolah melihat dewa yang turun dari langit. Para tabib dan tenaga medis pun tercengang, kekuatan ajaib Yuasa telah melampaui batas pengetahuan mereka, membuka cakrawala baru dalam dunia pengobatan.“Rosaline tidak perlu memapahku, aku tidak apa-apa,” ucap lembut Yuasa melepaskan tangan Rosaline yang mencoba membantunya berjalan. Dia sedikit tidak nyaman dengan penilaian berlebih dari orang-orang di sekitarnya. “Mulai sekarang kau tidak bisa lagi mengenakan gaun, aku akan selalu memerlukanmu untuk menjadi pelindungku.”Rosaline tersenyum, sebuah senyuman yang mengisyaratkan kesetiaan dan kebahagiaan. Ia tidak lagi memapahYuasa, tetapi melingkarkan tangannya dengan mesra di lengan sang raja. “Tidak masalah, Yang Mulia,” jawab Rosaline riang. “Saya akan senang bisa menjadi pengawal Anda lagi.” Balai Pengobatan kini dipenuhi oleh lautan manusia ya
Langkah kaki Yuasa, sang raja, memasuki Balai Pengobatan dengan tegap, seolah lantai marmer pun tunduk di bawahnya.. Semua mata di balai itu, yang tadinya sibuk dengan hiruk pikuk kepanikan dan kesedihan, serempak beralih padanya. Sejenak, waktu seakan berhenti, lalu kembali berdetak. kehidupan di balai kembali berdenyut. Mereka kembali menjalankan aktivitas, mungkin menduga sang raja hanya datang untuk menyampaikan belasungkawa, sebuah tindakan diplomatis yang biasa dilakukan para petinggi kerajaan. Tak ada sorak-sorai, tak ada sambutan meriah, hanya tatapan kosong dan bisu yang menyambut kedatangannya, seolah hati mereka telah membeku, tertutup bagi raja mereka.“Siapa penanggung jawab Balai Pengobatan?” tanya Yuasa, suaranya bergema bagai dentang lonceng di tengah keheningan.Segera seseorang dengan tubuh ramping dan wajah dipenuhi peluh berlari dan membungkuk dalam-dalam di hadapan Yuasa. “Sa … saya, Yang Mulia,” jawab pria tersebut dengan suara bergetar karena takut.“Pisahkan ko
Aurum terbang membelah langit menuju Balai Pengobatan. Gedung itu menggeliat dipenuhi sesak manusia hingga ke serambi dan selasar. Pasien terlalu banyak sementara tenaga medis tidak sesuai jumlahnya. Aroma darah anyir menyeruak di udara, bercampur dengan bau obat-obatan yang menusuk hidung. Di mana-mana, terlihat para penyembuh sibuk membalut luka-luka menganga, bak sayatan pedang tak kasat mata, yang diderita para korban akibat munculnya celah dimensi.“Yang Mulia?” Rosaline menyentuh lengan Yuasa, wajahnya dibayangi kecemasan saat melihat wajah pucat sang Raja. Dia tahu betul pemuda yang dicintainya itu memiliki hati selembut sutra. Melihat rakyatnya terluka parah, hatinya pasti tercabik-cabik, remuk redam bagai dihantam palu godam. “Yang Mulia, Anda harus kuat.”“Rosaline, andai saja,” ucap Yuasa tercekat, tertahan di ujung kerongkongan bagai duri yang menusuk. Kedua tangannya bergetar hebat, menahan gejolak rasa tidak berdaya yang menyesakkan dada. Kehilangan kemampuan penyembuhny
Ibukota Kerajaan Cahaya.Langit bagaikan terbelah, suara retakan terdengar bagaikan suara gaung raksasa. Semua mata menyaksikan bagaimana celah dimensi perlahan-lahan terbuka semakin besar.“Demi dewa, apa yang terjadi?”“Langit! Langit terbelah!”Jeritan panik bercampur dengan hirul pikuk langkah kaki yang kalang kabut. Retakan tersebut perlahan mencapai tanah, seakan membelah langit hingga ke tanahi. Kepanikan melihat fenomena tidak biasa itu terjadi, Ibukota Kerajaan Cahaya yang ramai kini menjadi sepi seketika.Di dalam istana, Raja Yuasa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Kabar tentang retakan dimensi terdengar ke telinganya, membawa angin dingin yang menusuk tulang.“Kerahkan pasukan, lindungi rakyatku!” titah sang raja suaranya bergema di aula istana. Yuasa berjalan keluar dan melihat dari dalam istana, langit terbelah dengan ratakan besar. “Celah dimensi,” gumamnya, hatinya dipenuhi firasat buruk.Seekor naga dengan sisik keemasan mendarat di halaman ist
Langit sudah gelap saat Yuan mencapai batas terluar wilayah Blackdragon. Tenaganya bagai lilin yang hampir padam, nyaris tak tersisai. Sepasang sayap yang selama ini membawanya terbang kini lenyap tanpa jejak, begitu pula dengan tanduk hitam di kepalanya yang menghilang bagai ditelan bumi. Kegelapan menelan kesadaran Yuan. Dia jatuh bebas dari ketinggian, meluncur bagai batu yang terlempar dari langit, ditarik paksa oleh cengkraman gravitasi. Suara dentuman keras terdengar, tubuh Yuan dan Yui menghantam tanah di pinggir hutan perbatasan Blackdragon. Mereka berguling-guling beberapa kali sebelum terhenti tak jauh dari sebuah desa kecil. Keduanya terkapar tak berdaya, tubuh mereka dihiasi luka-luka yang menganga. Seorang kakek tua yang sedang mencari kayu bakar, dikejutkan oleh pemandangan dua remaja yang terbaring tak sadarkan diri di pinggir hutan. Dengan langkah gontai, ia memeriksa mereka, memeriksa denyut nadi keduanya dengan hati-hati. “Mereka masih hidup!”. Kakek itu berlari ke
Seiryu hitam menyadari kedatangan Yui. Asap dan debu tidak mengganngunya sedikitpun. Seiryu hitam dengan kegesitannya yang mengerikan menyambar Yui dengan ekornya. Tubuh Yui terpental bagai boneka kain, menghantam dinding aula istana dengan dentuman keras. “Yui!” teriak Yuan, jantungnya mencelos menyaksikan kembarannya terkapar tak berdaya. Dalam kepanikan, Yuan lengah. Cakar Seiryu menembus tubuhnya, meninggalkan luka menganga yang meneteskan darah. Tubuh ramping Yuan terlempar ke samping Yui, meringkuk kesakitan. Leiz, dengan kesombongannya yang memuakkan, berjalan mendekati kedua anak kembar tersebut. Dia menendang tubuh Yuan yang penuh luka-luka dengan kasar. “Ternyata mudah menghancurkan kalian,” ucap Leiz dengan nada penuh ejekan, “Terima kasih sudah menghilangkan pelindung tongkat kristalku!”Leiz merampas tongkat kristal dari tangan Yuan. Dia mengumpulkan kekuatan untuk membuka kembali celah dimensi. Dia menyimpan Seiryu dan Byakko hitam, yakin bahwa kedua anak kembar itu t
Yuan tidak tinggal diam melihat Yui kesakitan. Dia memanggil pedang es abadi dan menebas tanaman rambat tersebut. Aula istana menjadi dingin sedingin kutub.“Yui, kau tidak apa-apa?” tanya Yuan dengan cemas, suaranya bergetar.Darah terlihat mengalir dari luka di kaki Yui, meninggalkan jejak merah di lantai aula yang dingin. “Tidak apa-apa,” ucap Yui dengan suara tertahan,”Cepat pergi! Selamatkan dirimu!”Leiz yang gagal menghentikan Yui murka. Dia kembali memanggil kekuatan Seiryu hitam. Makhluk itu muncul dengan mengerikan, sisiknya sehitam malam, matanya menyala-nyala bagaikan bara api, menebarkan aura kekuatan yang menggetarkan aula.“Kalian pikir bisa kabur dariku!” Suara Leiz bergema di seluruh ruangan.Dengan gerakan tangan yang cepat, Leiz, yang mengenakan baju kebesaran seorang raja menutup semua pintu keluar dengan tanaman rambat berduri. Tidak ada lagi celah untuk mereka kabur saat ini.“Yuan, kau harus pergi dari sini, bawa kristalnya!” seru Yui memaksakan diri berdiri. Ia