Rafael menoleh sekilas dan melihat Razen bersama dengan Xavier. Mereka berdua bekerjasama untuk membantunya kabur dari istana. Serangan pasukan istana ternyata tak berhenti begitu saja. Pasukan pemanah yang berada di atas benteng pertahanan istana mengarahkan anak panahnya kembali. Meskipun Xavier membantu, beberapa anak panah masih lolos dan melesat ke arah Fury, terutama beberapa pemanah berbakat yang memiliki kemampuan panah energi.
“Fury menghindar!” teriak Rafael yang merasakan panah energi menyerang. Naga hitam itu bermanuver menghindari panah tersebut. Sayangnya satu anak panah mengenai sayap Fury sehingga terbang tidak seimbang.
Angin terasa begitu kencang saat naga hitam itu kehilangan keseimbangan dan meluncur karena tarikan gravitasi yang kuat. Yui berpegang pada leher Fury, sementara Yuan berada di belakangnya memeluk erat. Rafael berusaha melindungi kedua anak kembar tersebut.
“Ugh,” erang Rafael merasakan sakit pada lukanya. Dia merasa pandangannya mulai kabur dan tubuhnya kebas. Sayup-sayup suara seakan menghilang dan berganti dengan ketenangan yang nyaman. Rafael terlepas dari Fury, dia terjatuh.
“Paman!”
Yui melompat, dia kembali menggunakan sayap merah membara Suzaku, terbang dengan kemampuan sang burung api, Phoenix. Dia berusaha menangkap Rafael sebelum jatuh ke tanah. Di saat yang sama tangan lain meraih tubuh Rafael dan mereka berdua mendarat dengan selamat.
“Terima kasih, Yuan.” Yui tersenyum simpul kepada kembarannya yang telah membantu menolong Rafael
“Dia juga pamanku,” balas Yuan yang kemudian berjongkok dan memeriksa Rafael.
“Yui, bukankah tadi dia terkena pecahan es?” Yuan meraba tubuh Rafael, tidak ada pecahan es maupun bekas luka.
“Ya, dia melindungiku tadi,” balas Yui yang juga memperhatikan Rafael dengan seksama. Gadis manis itu meraba bagian dada yang seharusnya ada luka di sana. “Bukankah ini aneh?” lanjut Yui menoleh ke arah Yuan yang sudah berpindah memeriksa Fury. Dia melihat makhluk kecil berwarna biru sedang mengobati naga hitam itu. Luka akibat anak panah mulai tertutup.
Rafael perlahan membuka matanya. Seperti sedang ditiupkan debu sihir, matanya terasa begitu berat untuk terbuka. Enggan rasanya untuk sekadar membiarkan sinar masuk dan melihat dunia. Meskipun berat, siluet seorang gadis di depannya membuat pria malas ini penasaran. Sedikit demi sedikit matanya mampu menangkap gambaran jelas gadis cantik berambut hitam yang tertata rapi dengan aksesoris indah dan elegan. Tanpa sadar dia meraih gadis itu dan membelai wajahnya.
“Putri Yui.”
Kata yang tidak pernah terucap dari mulut Rafael. Seumur hidup dia belum pernah memanggil keponakannya dengan sebutan putri. Seketika matanya terbelalak dan dia bangun.
“Apa tadi yang kukatakan?!” batin Rafael.
“Paman?” Yui yang melihat Rafael seperti orang kebingungan. Mata hitam Rafael terlihat bergerak mencari-cari sesuatu dan keringat sebesar bulir-bulir padi di wajahnya menetes.
“Apa kau mendengar sesuatu?” tanya Rafael kepada Yui.
“Ti ... dak ada,” jawab Yui yang ikut melirik ke kiri dan ke kanan. Namun, tidak ada apapun di tempat itu, hanya sebuah lapang terbuka yang jauh dari istana kegelapan.
Rafael mengusap kepalanya seakan ada sesuatu dalam kepalanya yang bergumam. Dia juga meraba bagian tubuh yang seharusnya terluka tetapi sudah sembuh begitu saja.
“Bukankah tadi aku terluka? Apa Yuan menyembuhkanku?” tanya Rafael.
“Tidak,” jawab Yui. Gadis manis ini memperhatikan pria di depannya yang terlihat semakin pucat.
“Paman sakit?” lanjut Yui.
“Tidak, iya, bukan,” balas Rafael yang bingung mengutarakan rasa dalam dirinya. Matanya melihat Yui dengan cara aneh, gadis yang selalu memanggilnya paman ini terlihat begitu menawan. Rafael mengucek matanya dan berkedip beberapa kali lalu melihat ke arah Yui.
Sepasang mata bulat dengan warna hitam jernih menatapnya penuh tanda tanya. Tanpa suara gadis itu membuat jantung Rafael berdekat sangat kencang. Hal yang tidak biasa terjadi, selama ini dia sudah berusaha menyembunyikan dan bersikap biasa layaknya paman dengan keponakan.
“Yui, menjauhlah dariku,” ucap Rafael tiba-tiba.
“Hah?!”
“Paman, sakit?” Yui bukan menjauh dia justru semakin mendekati Rafael dan menyentuh dahinya dengan punggung telapak tangan.
“Tidak panas,” gumam Yui saat membandingkan suhu dahi Rafael dengan dahinya.
Rafael melepaskan tangan Yui dari dahinya dan berbalik. Dia meletakkan tangannya di dada dan merasakan detakan jantung yang tidak beraturan.
“Putri Yui, bukankah dia cantik?”
Mata Rafael terbelalak, suara itu bukan berasal dari luar, tetapi berasal dari jantungnya. Dia menoleh ke arah Yui, benar dugaannya matanya tidak lagi bisa melihat Yui sebagai keponakannya, tetapi orang lain. Seseorang yang membuat detak jantungnya tak bisa tenang.
“Aku menunggu detak jantung seperti ini, tapi kenapa berdetak saat melihat Yui, kenapa harus dia,” batin Rafael. Kakinya melangkah menjauh selangkah demi selangkah hingga akhirnya dia berlari menjauh dari keponakannya.
“Paman!”
Suara nyaring Yui tidak menghentikan Rafael. Dia tetap berlari menjauh.
“Fury, jaga mereka berdua, bawa mereka ke kediaman Blakdragon” ucap Rafael dalam benaknya, benak yang terhubung dengan naga hitam yang sedang diobati oleh Yuan.
Rafael terus bergerak tanpa menoleh ke belakang. Dia menghindari Yui karena ingin memastikan apa yang terjadi dengan dirinya. Dia berlari hingga kediaman Blackdragon. Malam sudah cukup larut saat dia sampai di rumah megah Blackdragon.
“Kau sudah kembali.” Suara parau dan renta dari Alden mengagetkan Rafael yang masuk mengendap-edap.
“Kakek!”
“Keduanya sudah tidur, lebih baik jangan ganggu mereka. Ikut denganku.” Pria tua itu berbalik dan Rafael mengikutinya hingga mereka masuk ke dalam ruang harta. Seperti namanya, ruangan ini berisi benda-benda berharga yang berasal dari berbagai tempat.
“Kau pasti tahu siapa yang mengumpulkan semua benda ini,” ucap Alden dan Rafael hanya mengangguk.
Sebuah tirai tebal berdebu berwarna merah ditarik pria renta tersebut. Rafael terbatuk karena debu yang begitu tebal hingga dia melihat benda di balik tirai tersebut.
“Cermin?” Rafael menatap kakeknya,
Mata sayu yang terlihat sudah lelah itu berdiri di depan cermin lalu berkata, “Hidupku sudah begitu lama, rasanya aku sudah lelah.”
“Kakek, jangan bicara seperti itu. Kakek masih sehat,” balas Rafael sembari meniup debu di atas sebuah kotak kayu. Dia pun duduk di sana.
“Aku lelah dengan tingkahmu dan juga ayahmu!” Suara kakek tua itu terdengar lebih tinggi dari sebelumnya.
“Jangan bahas itu lagi,” balas Rafael membuang muka dan berharap bisa kabur dari tempat ini secepatnya.
“Bawa cermin ini dan letakkan di kamarmu!” perintah Alden. Pria tua itu berjalan keluar tanpa menghiraukan Rafael. Dia juga tidak memastikan apakah Rafael akan benar-benar menuruti perintahnya atau tidak.
Rafael sekilas melihat cermin besar yang tergantung rapi. Ukiran indah bingkai cermin membuatnya tertarik untuk menyentuhnya. “Kalau Yui melihatnya dia pasti suka, ukirannya bagus,” gumam Rafael.
“Benar, Putri Yui pasti suka.”
Rafael menoleh ke belakang, matanya waspada melihat ke seluruh penjuru. “Siapa kamu, tunjukkan dirimu!”
Sinar matahari menerobos kamar Rafael. Pria jangkung dengan rambut hitam itu menutup wajahnya dengan bantal karena diusik oleh hangatnya cahaya mentari. Sengatan panas sinar sang surya membuat pria yang masih ingin terlelap dalam buaian mimpi menjadi kesal. Kesal dengan perlindungan yang ternyata tidak mempan, dia pun terpaksa bangun. Saat matanya sudah terbiasa dengan cahaya terang kamar, pria ini menatap benda yang baru saja terpasang di dinding kamarnya tadi malam.“Cermin, apa harus membaca mantra seperti ratu jahat. Cermin-cermin di dinding siapakah yang paling cantik di dunia ini ....”Rafael tiba-tiba tertawa sendiri dengan pemikirannya. Dia pun menyibakkan selimut dan mendekati cermin tersebut. Berdiri di depan cermin lalu menyugar rambutnya yang berantakan.“Dilihat dari mana pun aku ini ganteng, lihat saja, sempurna,” ucap Rafael pada cermin di depannya. Bayangan yang menunjukkan dirinya terpantul dengan jelas. Sosok yang dikagumi kaum hawa, hanya saja dirinya sendiri yang m
Yuan menghentikan aktivitasnya setelah mendengar suara derap langkah kaki kuda. Dia mendongak untuk melihat siapa yang datang sepagi ini. Matanya tertuju pada panji-panji yang berkibar. Di bagian paling depan, dua pria berpakaian kontras hitam dan kehijauan. Yuan mengenali keduanya sebagai Jenderal Razen dan Xavier.“Siapa mereka?” Yui yang berada di samping Yuan ikut penasaran. Kereta kuda tersebut melaju dengan kecepatan sedang di kawal dengan pengawal yang mengenakan seragam senada dengan warna panji-panji mereka.“Bukankah itu lambang Pertanian Besar?” Yuan menunjuk salah satu panji yang dia kenal.Keduanya berlari menuju ke gerbang Kediaman Blackdragon. Mereka berdua berhenti dan bergabung dengan Rafael yang sudah berdiri di dekat gerbang. Mereka bertiga menyambut tamu yang datang terlalu pagi. Jenderal Razen dan Xavier turun dari kudanya kemudian memberi salam. Selanjutnya mereka yang berada di dalam kereta kuda turun kemudian memberi salam bersama dengan para pengikutnya. Pelay
“Kalian berdua suka membaca buku ‘kan, pergilah ke perpustakaan,” ucap Alden sembari mengulurkan sebuah token ke arah Yuan. Mereka membawa Rafael dan meninggalkan dua anak kembar yang tidak diperbolehkan ikut.“Lagi-lagi,” gerutu Yui setelah tidak melihat ketiganya di depan mata.“Yui, ayo ke perpustakaan,” ajak Yuan menarik lengan gadis manis di sebelahnya.“Untuk apa? Lihat mereka! Hanya karena kita belum dewasa lalu ....”Yuan menarik Yui dengan paksa dan sedikit menyeret gadis itu, dia tidak peduli dengan kembarannya yang meronta dan berusaha melepaskan pegangan tangannya. Seakan sudah dipersiapkan, seorang pelayan membukakan pintu kereta kuda. Dua orang pengawal berada di sisi kanan dan kiri kereta kuda tersebut.“Silakan, Pangeran dan Putri,” ucap ramah pelayan tersebut.Mata gadis manis itu menatap tajam kemudian memalingkan muka dan mendengkus.“Ke perpustakaan kota,” pinta Yuan dan kusir kereta tersebut menjalankan kereta.“Yuan!” teriak Yui dengan kesal.“Aku tahu kau ingin
Suasana hening, baik Yui maupun Yuan terdiam. Mereka mendengar langkah kaki mendekat dan penjaga perpustakaan mendekat. “Kalian masih punya waktu setengah jam lagi,” ucap penjaga perpustakaan yang langsung pergi kembali setelah memberikan peringatan tersebut. Yuan membuka lembar terakhir buku yang dia baca lalu menyobek kertasnya. “Apa yang kamu lakukan!” protes Yui melihat tindakan Yuan yang tidak bisa dibenarkan. “Aku tidak akan ingat, Yui ini penting,” balas Yuan melipat kertas tersebut lalu menyelipkannya di saku baju. “Yuan, kembalikan!” Yui mencoba mengambil kertas yang diambil Yuan, keduanya saling mempertahankan kehendaknya. “Kembalikan!” seru Yui meminta Yuan mengembalikan kertas tersebut. “Yui, disalin pun aku mungkin tidak bisa menulisnya dengan benar, akan kuceritakan nanti. Lagipula penjaga bilang jangan membawa keluar buku, bukan lembarannya,” ucap Yuan mencari pembenaran atas apa yang dia lakukan. “Yuan!” seru Yui geram. “Kita harus cari tahu tentang paman,” ba
Sebuah tangan kekar menyambut Yui saat menuruni kereta kuda. Gadis itu mengerjap beberapa kali memastikan yang ada di depannya bukanlah bayangan semata.“Paman, kau baik-baik saja?” Yui menatap pria dengan rambut hitam cepak di depannya. Tanpa perlu menjawab pria itu hanya tersenyum.“Kalian berdua pergilah duluan ke tempat latihan, tunggu paman di sana,” ucap Rafael saat salah satu pengawal mereka terlihat memberi kode.“Baik!” balas serempak kedua anak kembar yang langsung berlari ke tempat yang disebutkan Rafael.Tanah lapang dengan rumput hijau tipis, sebuah pohon besar dan aliran sungai kecil yang terlihat jernih. Tempat mereka berlatih merupakan bukit kecil yang berada di belakang kediaman Blackdragon. Kedua anak itu tertarik dengan aliran sungai dan bermain di sana karena bosan menunggu Rafael yang tidak kunjung datang.“Yuan, airnya jernih, apa kau menghilangkan kontaminasinya?” Yui memainkan air dengan kakinya, berjalan perlahan merasakan aliran air yang menggelitik ujung-uj
Angin kencang berhembus, menghempaskan segala yang diterjangnya. Lixue menyugar rambut putih saljunya untuk melihat pemandangan yang tak asing di depan mata. Danau yang dulu menemani hari-harinya kini tak lebih dari hamparan es tipis yang menandakan perairan beku.Pemuda itu menyentuh permukaan danau yang telah beku. Sekelabat bayangan kebersamaan bersama dengan Eirlys kembali muncul. Adik kesayangannya itu terus saja tersenyum dan mengikutinya hingga akhir, hingga dia terpaksa melepaskannya pada hari itu. Hari dimana semua berakhir tragis.“Eirlys,” gumam Lixue menyentuh air danau yang kini semakin tebal lapisan esnya akibat kekuatan es.Seorang pria mendekati pemuda yang kini terdiam mengamati danau beku di depannya. Dia memiliki rambut hitam yang kontras dengan rambut Lixue. Tanpa kata, dia hanya berdiri di sebelah pemuda itu.“Mau apa, kau Blackdragon?” tanya Lixue yang mengenali pria di sebelahnya. Wajahnya sama dengan Rafael, hanya berbeda pada kerutan tipis dan juga kumis tipis
Kedua anak tersebut duduk berdampingan sambil berbisik di ruang baca. Sebuah ruangan yang disediakan untuk membaca. Di sebelah ruangan tersebut terdapat sebuah perpustakaan keluarga Blackdragon. Yui dan Yuan sedang menunggu Rafael mengambil buku. “Liontinnya berpendar, aku melihat gambaran seorang gadis,” ucap Yui menunujukkan sebuah liontin yang terasa dingin seperti es. “Kau yakin seorang gadis, bukan Lixue?” tanya Yuan memastikan. Yui menggelengkan kepalanya. “Seorang gadis, rambutnya putih seperti Lixue mungkin dia Eirlys, adik Lixue,” tebak Yui. Dia hanya tahu ada tiga orang yang memiliki rambut putih seputih salju di dunia bawah, Lixue, Eirlys dan ibu mereka Fey Varsha. “Ngomong-ngomong kenapa paman lama sekali?” Yuan menatap pintu masuk beberapa kali dan tidak melihat sosok yang seharusnya menemani mereka malam ini. “Benar juga,” ucap Yui. Keduanya sepakat untuk mencari Rafael. Perpustakaan berjarak tidak jauh dari ruang baca dan mereka berjalan bersama menyusuri lorong an
Rafael menghela napas berat, dia menutup matanya seakan sedang berpikir sesuatu. Sesaat kemudian pria jangkung itu memijit pelipisnya dan mengerutkan kening. Dia juga sedikit membungkuk dari duduknya dan tampak kesakitan.“Paman!” Yui mendekati Rafael dan menyentuh pundaknya.“Tidak apa-apa,” jawab Rafael. Perlahan dia melepaskan tangannya dari pelipis dan menoleh ke arah Yui.“Sedang apa kau di sini?” tanya Rafael dengan alis terangkat dan nada ketus.“Eh?!” Yui tersentak dan mengangkat kedua tangannya yang berada di pundak Rafael.Rafael beranjak berdiri lalu mengambil buku-buku yang berserakan di lantai. “Ternyata sudah malam, apa aku tertidur tadi?” tanya Rafael sembari mengembalikan beberapa buku ke raknya dan menimbang-nimbang buku untuk di bawa.“Paman ... kurasa tidak tertidur, tetapi pingsan,” Yui kebingungan membedakan antara tertidur dan pingsan. Pasalnya, Rafael tidak mendengar suaranya seperti orang pingsan.“Pingsan? Kurasa tidak, hanya tertidur,” balas Rafael.“Paman,”
Yuasa dengan hati-hati mengeluarkan kunci rune, ukiran kuno yang berdenyut dengan energi mistis, dan mengarahkannya ke ruang kosong di depannya. Udara berdesir dan bergelombang, seperti kain sutra yang ditiup angin, membentuk pusaran energi yang semakin lama semakin pekat. Gerbang dimensi ke dunia bawah, sebuah portal yang menghubungkan dunia kristal dengan alam kegelapan mulai terbuka. Aurum, dengan wujud manusianya yang gagah, berdiri di samping Yuasa, siap untuk melangkah melintasi gerbang dimensi. Sementara itu, Rosaline dengan cekatan menciptakan lapisan-lapisan barrier pelindung di sekitar Yuasa. Tangannya bergerak lincah, menenun barrier pelindung yang tampak seperti kubah transparan dengan rona kemerahan, melindungi Yuasa dari bahaya yang mungkin mengintai.“Cukup Rosaline,” ucap Yuasa dengan lembut. Dia menyentuh tangan Rosaline untuk menghentikan pekerjaannya. “Ini gerbang dimensi, bukan celah dimensi. Kita sudah pernah memasukinya, meskipun ada tekanan, tetapi barrier yan
Rasa syukur dan kekaguman memancar dari wajah-wajah mereka yang telah disembuhkan Yuasa. Mereka menatap sang raja dengan tatapan penuh hormat, seolah melihat dewa yang turun dari langit. Para tabib dan tenaga medis pun tercengang, kekuatan ajaib Yuasa telah melampaui batas pengetahuan mereka, membuka cakrawala baru dalam dunia pengobatan.“Rosaline tidak perlu memapahku, aku tidak apa-apa,” ucap lembut Yuasa melepaskan tangan Rosaline yang mencoba membantunya berjalan. Dia sedikit tidak nyaman dengan penilaian berlebih dari orang-orang di sekitarnya. “Mulai sekarang kau tidak bisa lagi mengenakan gaun, aku akan selalu memerlukanmu untuk menjadi pelindungku.”Rosaline tersenyum, sebuah senyuman yang mengisyaratkan kesetiaan dan kebahagiaan. Ia tidak lagi memapahYuasa, tetapi melingkarkan tangannya dengan mesra di lengan sang raja. “Tidak masalah, Yang Mulia,” jawab Rosaline riang. “Saya akan senang bisa menjadi pengawal Anda lagi.” Balai Pengobatan kini dipenuhi oleh lautan manusia ya
Langkah kaki Yuasa, sang raja, memasuki Balai Pengobatan dengan tegap, seolah lantai marmer pun tunduk di bawahnya.. Semua mata di balai itu, yang tadinya sibuk dengan hiruk pikuk kepanikan dan kesedihan, serempak beralih padanya. Sejenak, waktu seakan berhenti, lalu kembali berdetak. kehidupan di balai kembali berdenyut. Mereka kembali menjalankan aktivitas, mungkin menduga sang raja hanya datang untuk menyampaikan belasungkawa, sebuah tindakan diplomatis yang biasa dilakukan para petinggi kerajaan. Tak ada sorak-sorai, tak ada sambutan meriah, hanya tatapan kosong dan bisu yang menyambut kedatangannya, seolah hati mereka telah membeku, tertutup bagi raja mereka.“Siapa penanggung jawab Balai Pengobatan?” tanya Yuasa, suaranya bergema bagai dentang lonceng di tengah keheningan.Segera seseorang dengan tubuh ramping dan wajah dipenuhi peluh berlari dan membungkuk dalam-dalam di hadapan Yuasa. “Sa … saya, Yang Mulia,” jawab pria tersebut dengan suara bergetar karena takut.“Pisahkan ko
Aurum terbang membelah langit menuju Balai Pengobatan. Gedung itu menggeliat dipenuhi sesak manusia hingga ke serambi dan selasar. Pasien terlalu banyak sementara tenaga medis tidak sesuai jumlahnya. Aroma darah anyir menyeruak di udara, bercampur dengan bau obat-obatan yang menusuk hidung. Di mana-mana, terlihat para penyembuh sibuk membalut luka-luka menganga, bak sayatan pedang tak kasat mata, yang diderita para korban akibat munculnya celah dimensi.“Yang Mulia?” Rosaline menyentuh lengan Yuasa, wajahnya dibayangi kecemasan saat melihat wajah pucat sang Raja. Dia tahu betul pemuda yang dicintainya itu memiliki hati selembut sutra. Melihat rakyatnya terluka parah, hatinya pasti tercabik-cabik, remuk redam bagai dihantam palu godam. “Yang Mulia, Anda harus kuat.”“Rosaline, andai saja,” ucap Yuasa tercekat, tertahan di ujung kerongkongan bagai duri yang menusuk. Kedua tangannya bergetar hebat, menahan gejolak rasa tidak berdaya yang menyesakkan dada. Kehilangan kemampuan penyembuhny
Ibukota Kerajaan Cahaya.Langit bagaikan terbelah, suara retakan terdengar bagaikan suara gaung raksasa. Semua mata menyaksikan bagaimana celah dimensi perlahan-lahan terbuka semakin besar.“Demi dewa, apa yang terjadi?”“Langit! Langit terbelah!”Jeritan panik bercampur dengan hirul pikuk langkah kaki yang kalang kabut. Retakan tersebut perlahan mencapai tanah, seakan membelah langit hingga ke tanahi. Kepanikan melihat fenomena tidak biasa itu terjadi, Ibukota Kerajaan Cahaya yang ramai kini menjadi sepi seketika.Di dalam istana, Raja Yuasa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Kabar tentang retakan dimensi terdengar ke telinganya, membawa angin dingin yang menusuk tulang.“Kerahkan pasukan, lindungi rakyatku!” titah sang raja suaranya bergema di aula istana. Yuasa berjalan keluar dan melihat dari dalam istana, langit terbelah dengan ratakan besar. “Celah dimensi,” gumamnya, hatinya dipenuhi firasat buruk.Seekor naga dengan sisik keemasan mendarat di halaman ist
Langit sudah gelap saat Yuan mencapai batas terluar wilayah Blackdragon. Tenaganya bagai lilin yang hampir padam, nyaris tak tersisai. Sepasang sayap yang selama ini membawanya terbang kini lenyap tanpa jejak, begitu pula dengan tanduk hitam di kepalanya yang menghilang bagai ditelan bumi. Kegelapan menelan kesadaran Yuan. Dia jatuh bebas dari ketinggian, meluncur bagai batu yang terlempar dari langit, ditarik paksa oleh cengkraman gravitasi. Suara dentuman keras terdengar, tubuh Yuan dan Yui menghantam tanah di pinggir hutan perbatasan Blackdragon. Mereka berguling-guling beberapa kali sebelum terhenti tak jauh dari sebuah desa kecil. Keduanya terkapar tak berdaya, tubuh mereka dihiasi luka-luka yang menganga. Seorang kakek tua yang sedang mencari kayu bakar, dikejutkan oleh pemandangan dua remaja yang terbaring tak sadarkan diri di pinggir hutan. Dengan langkah gontai, ia memeriksa mereka, memeriksa denyut nadi keduanya dengan hati-hati. “Mereka masih hidup!”. Kakek itu berlari ke
Seiryu hitam menyadari kedatangan Yui. Asap dan debu tidak mengganngunya sedikitpun. Seiryu hitam dengan kegesitannya yang mengerikan menyambar Yui dengan ekornya. Tubuh Yui terpental bagai boneka kain, menghantam dinding aula istana dengan dentuman keras. “Yui!” teriak Yuan, jantungnya mencelos menyaksikan kembarannya terkapar tak berdaya. Dalam kepanikan, Yuan lengah. Cakar Seiryu menembus tubuhnya, meninggalkan luka menganga yang meneteskan darah. Tubuh ramping Yuan terlempar ke samping Yui, meringkuk kesakitan. Leiz, dengan kesombongannya yang memuakkan, berjalan mendekati kedua anak kembar tersebut. Dia menendang tubuh Yuan yang penuh luka-luka dengan kasar. “Ternyata mudah menghancurkan kalian,” ucap Leiz dengan nada penuh ejekan, “Terima kasih sudah menghilangkan pelindung tongkat kristalku!”Leiz merampas tongkat kristal dari tangan Yuan. Dia mengumpulkan kekuatan untuk membuka kembali celah dimensi. Dia menyimpan Seiryu dan Byakko hitam, yakin bahwa kedua anak kembar itu t
Yuan tidak tinggal diam melihat Yui kesakitan. Dia memanggil pedang es abadi dan menebas tanaman rambat tersebut. Aula istana menjadi dingin sedingin kutub.“Yui, kau tidak apa-apa?” tanya Yuan dengan cemas, suaranya bergetar.Darah terlihat mengalir dari luka di kaki Yui, meninggalkan jejak merah di lantai aula yang dingin. “Tidak apa-apa,” ucap Yui dengan suara tertahan,”Cepat pergi! Selamatkan dirimu!”Leiz yang gagal menghentikan Yui murka. Dia kembali memanggil kekuatan Seiryu hitam. Makhluk itu muncul dengan mengerikan, sisiknya sehitam malam, matanya menyala-nyala bagaikan bara api, menebarkan aura kekuatan yang menggetarkan aula.“Kalian pikir bisa kabur dariku!” Suara Leiz bergema di seluruh ruangan.Dengan gerakan tangan yang cepat, Leiz, yang mengenakan baju kebesaran seorang raja menutup semua pintu keluar dengan tanaman rambat berduri. Tidak ada lagi celah untuk mereka kabur saat ini.“Yuan, kau harus pergi dari sini, bawa kristalnya!” seru Yui memaksakan diri berdiri. Ia
Persiapan yang dilakukan untuk menggabungkan pasukan memakan waktu lama. Satu minggu berlalu sejak hari pertama mereka memutuskan melakukan penyerangan. Rafael sudah terlihat frustrasi melihat percekcokan yang sering terjadi. Hal-hal kecil menjadi perdebatan serius. “Demi apapun, apa kalian tidak bisa lebih cepat! Tidak bisa kah abaikan saja hal remeh seperti itu!” gerutu Rafael kesal dengan perdebatan pasukan.Yui berjalan dengan riang, berjingkat-jingkat seperti kelinci. Tiba-tiba ia berhenti hanya untuk melihat Rafael. Dia sengaja memperhatikan pria itu kemudian tertawa lepas melihat pria tinggi dengan rambut hitam cepak itu mengusap kasar wajahnya. “Lama-lama wajah Paman akan seperti kura-kura seribu tahun yang dipenuhi kerutan,” sindir Yui.Rafael menoleh dan menatap Yui. Matanya melotot ke arah gadis itu. Diam-diam gadis kecil itu mundur dan berlari menyisakan suara nyaring tawanya yang bergema. Ia kabur sebelum Rafael sempat membuka mulut untuk memberinya kuliah pagi.Yui yan