Desing suara anak panah menembus angin bersamaan dengan salju yang turun. Para pemanah memburu tiga orang yang diduga memiliki harpa ajaib. Mereka ras yang berbeda di antara para kristal hitam. Ketiganya memiliki rambut seputih salju. Mereka tengah berlari menghindari hujan anak panah.
“Eirlys, jangan menengok ke belakang, teruslah berlari!” teriak seorang pemuda kepada gadis di depannya.
Pemuda yang jauh lebih tinggi dari gadis yang dipanggil Eirlys tersebut berhenti dan berbalik, merapalkan mantra membentuk bunga-bunga es yang menghambat laju anak panah tersebut.
“Terus berlari!” teriak pemuda tersebut kepada dua orang perempuan yang bersamanya.
Napas mereka tersengal-sengal, kepulan uap air seperti asap di setiap napas yang mereka hembuskan karena udara yang begitu dingin. Bernapas saja terasa begitu berat, sementara salju turun perlahan membuat rambut putih mereka semakin putih tertutup salju.
“Kak Lixue!” Gadis yang bernama Eirlys menoleh dan memanggil pemuda tersebut.
“Menuju ke jembatan cepat!” perintah pemuda itu.
Pemuda itu berlari menyusul kedua perempuan yang telah mendahuluinya. Berlari di atas tumpukan salju tidak mudah, setiap langkah kaki mereka melesak ke dalam salju dan perlu tenaga ekstra untuk mengangkatnya.
“Jangan biarkan mereka kabur, tangkap mereka!” seruan dari pihak lawan yang mengejar mereka. Gerombolan pria berpedang mulai melompat dan turun untuk mengejar mereka bertiga. Sementara para pemanah masih tetap di tempatnya, menarik busur mereka untuk menghalangi ketiganya mencapai istana es.
“Ambil harpanya!” seru salah satu dari mereka disertai teriakan balasan tanda setuju dengan ucapan rekannya.
“Serang mereka jangan sampai lolos!”
Desing anak panah kembali terdengar, kali ini jauh lebih sedikit dari sebelumnya. Lixue kembali merapalkan mantra. Dia menghentikan laju anak panah tersebut dengan kekuatan es, satu persatu anak panah jatuh karena membeku di udara. Beberapa dari para pemanah mulai membeku akibat mantra dari Lixue mempengaruhi mereka juga.
Kepulan uap yang keluar dari napasnya berwarna putih seperti asap putih yang terus keluar masuk setiap kali tarikan napas dan hembusannya. Udara semakin dingin. Namun, ketiga orang itu tidak merasakan dingin sama sekali, kondisi yang begitu menegangkan antara hidup dan mati membuat tubuh mereka cukup panas.
“Eirlys!” seru Lixue saat melihat gadis berambut putih itu terjatuh, terjerembab dalam tumpukan salju. Pemuda yang bersamanya langsung membantu gadis itu untuk segera berdiri sementara wanita yang jauh lebih tua diantara keduanya menghadang dan bernyanyi hingga sebuah badai terbentuk. Badai itu menyapu orang-orang yang membawa pedang hingga terdorong dan tidak terlihat lagi karena tertimbun tumpukan salju.
“Cepat, itu hanya akan menghalangi mereka sementara!”
Wanita itu adakah ratu dari istana es, Fey Varsha. Sebuah istana yang berada jauh di sebelah utara dunia bawah. Wilayah yang selalu tertutup salju sepanjang tahun hingga sebuah keajaiban terjadi beberapa tahun yang lalu. Seorang pangeran elf datang dengan harpa ajaib dan membuat wilayah bersalju ini bersemi. Untuk pertama kalinya dataran es ditumbuhi bunga-bunga indah layaknya musim semi.
“Eirlys kau tidak apa-apa?” Lixue memapah Erilys dan membawanya berlari bersamanya. Pemuda itu melepaskan liontin berbentuk harpa dan memberikannya kepada gadis berambut putih seputih salju. “Jaga ini, Eirlys!”
Gadis dengan rambut putih itu menoleh ke arah kakak laki-lakinya. Dia menggelengkan kepala. Firasat buruk tiba-tiba terasa saat menerima liontin itu, sebuah firasat akan perpisahan di antara keduanya.
“Cepat, kita kembali ke istana!” Fey Varsha memimpin dan menarik Eirlys bersamanya sementara Lixue justru terdiam dan memandang keduanya yang berlari menuju ke sebuah danau besar dengan istana es di tengahnya.
“Tunggu, Ibunda, Kak Lixue masih di belakang!” seru Eirlys. Namun, wanita dengan gaun putih seputih rambutnya tidak mengindahkan dan terus menarik tangan anak perempuannya. Dia tidak berhenti dengan semua ucapan Eirlys.
“Maaf, Eirlys, maaf,” batin Fey Varsha. Dia sudah membuat kesepakatan dengan anak laki-lakinya. Jika kondisi memaksa dan mereka tidak bisa selamat, setidaknya harpa tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka menginginkan harpa untuk kepentingan diri sendiri, menginginkan harpa untuk memperkaya diri mereka.
“Selamat tinggal Ibunda, Eirlys,” ucap Lixue dengan lirih seakan hanya berupa desiran angin. Dia berbalik menghadang para pengejarnya. Pangeran es itu kembali menyerukan mantra dan memanggil makhluk setinggi tiga meter yang terbuat dari salju. Monster salju tersebut dikendalikan oleh Lixue. Monster itu meraung dan menyerang para pria berpedang yang telah berhasil keluar dari tumpukan salju.
“Kalian ingin bertarung, ayo lawan aku!” seru Lixue.
Eirlys menoleh dan melihat monster salju yang dipanggil kakaknya. Dari sudut matanya bulir bening mulai mengalir. Air mata Eirlys jatuh membasahi pipinya.
“Kuatkan dirimu Eirlys,” ucap Fey Varsha di sela-sela derap langkah mereka. Jembatan sudah terlihat, keduanya melewati jembatan, berlari sepanjang jembatan yang melengkung di atas danau dingin sedingin es lalu mereka masuk ke dalam istana yang terbuat dari kristal es.
“Ibunda, kita tunggu kakak,” pinta Eirlys memohon. Mata gadis itu berkaca-kaca, dia tidak bisa meninggalkan kakaknya di luar bersama dengan musuh mereka.
Fey Varsha menatap anak perempuannya yang sudah sembab karena menangis. Suara teriakan terdengar. Dia melihat sebuah harapan saat makhluk salju itu telah menghentikan para pria berpedang dan tidak ada lagi hujan anak panah yang terlihat.
“Kita tunggu, Lixue.” Fey Varsha yang melihat secerca harapan menghentikan mantra yang akan dia gunakan. “Lixue, cepat masuk!” teriak Fey Varsha.
Eirlys mengangguk dengan senyuman merekah di bibirnya. “Kakak, cepat!” teriak Eirlys.
Lixue yang mendengar suara adiknya berbalik, dia merasa aman setelah para pengguna pedang sudah tertimbun salju. Dia berlari menuju jembatan. Tiba-tiba saat di tengah-tengah jembatan dia mendengar suara. Suara desingan anak panah yang mengarah pada dirinya lalu menembus tubuh remaja pemuda yang tengah berlari ke arah istana es. Anak panah yang lain dengan api membara menancap tepat di atas jembatan es yang kini menjadi pijakannya. Retakan terjadi di atas jembatan tersebut.
“Ibunda ... Eirlys,” ucap Lixue menatap keduanya. Kedua wanita itu sama terkejutnya saat melihat anak panah melesat ke arah Lixue.
“Kakak!” teriak Eirlys yang ingin berlari ke arah kakaknya.
Fey Varsha menarik Eirlys hingga gadis itu terduduk di lantai. Gadis itu hanya bisa memandangi tubuh kakaknya yang kini mulai roboh, ikut terjatuh bersama dengan runtuhnya jembatan es yang membentang dari pinggir danau menuju ke Istana Es.
“Kak Lixue!” teriak Eirlys.
Sebuah lingkaran sihir terbentuk dan menyelubungi tubuh Lixue, lingkaran sihir yang dibuat oleh Ratu Es, Fey Varsha. Sihir itu melindungi Lixue, setidaknya itulah yang diharapkan Fey untuk putranya.
“Masuklah, Eirlys!” perintah Fey Varsha.
Gerbang tertutup, sang ratu mengeluarkan tongkat sihir. Sebuah tongkat yang panjang hingga setinggi manusia dewasa, dia pun mengetukan tongkat tersebut ke lantai dan sebuah lingkaran sihir terbentuk, menyebar ke seluruh penjuru. Getaran seperti gempa bumi terasa, semakin lama semakin kencang. Istana Es mulai bergerak turun, masuk ke dalam danau perlahan-lahan.
Para pemburu yang mengejar mereka bertiga hanya bisa menyaksikan tenggelamnya istana es hingga tidak terlihat lagi. Istana Es masuk ke dalam danau dan tidak menyisakan sedikit pun keberadaannya. Sementara Lixue, tenggelam ke dalam danau yang dingin dan membeku dalam es abadi, diselimuti selubung tipis yang mempertahankan nyawanya.
Sejak hari itu Istana Es tidak ada lagi, mereka mulai melupakan akan adanya ratu penguasa es di bagian utara dunia bawah. Mereka juga melupakan adanya harpa yang pernah menjadi incaran semua makhluk karena kekuatannya. Mereka terlupakan dan hanya meninggalkan cerita yang disebut dalam dongeng. Kisah indah sang Ratu Es yang bertemu dengan Pangeran Elf hingga menjadikan dunia seindah musim semi.
Sebuah buku berwarna biru dengan gambaran istana salju ditutup bersamaan dengan lembaran terakhir cerita yang telah dibacakan. Pemuda dengan rambut hitam pendek dan mata sekelam malam menatap heran kedua anak kembar yang menatapnya. Alisnya mengerut dan mulutnya berdecak.
“Ceritanya sudah selesai,” ucap Rafael seakan mengerti tatapan keduanya.
Yui dengan cekatan menarik buku yang dipegang Rafael seakan tidak percaya dengan apa yang diucapkan pria itu.
“Tapi seharusnya berakhir bahagia, kan,” protes Yui membongkar dan mencari halaman selanjutnya. Nihil, tidak ada lembaran lain selain cerita yang telah selesai dibacakan oleh Rafael.
“Apa harpa itu benar-benar ajaib?” tanya Yuan menatap lurus ke arah Rafael yang tengah bersandar pada kursi.
“Entahlah,” jawaban Rafael seakan menggantung di udara. Pria itu kemudian terdiam lalu bangkit dan memilih tumpukan buku yang ada di meja. “Aku ingat sesuatu,” lanjutnya.
Rafael tesenyum dan memperlihatkan sebuah buku kepada kedua anak kembar di depannya, “Ini dia.”
“Bacakan lagi!” Kedua anak kembar duduk kembali di hadapan Rafael dan bersiap untuk mendengarkan kembali sebuah cerita tentang harpa ajaib seperti dalam judul buku yang dipegang Rafael.
Angin bertiup lembut membawa udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Para prajurit dengan baju tambahan berupa jubah tebal dari bulu binatang membungkus tubuh mereka. Namun, rasa dingin masih saja berhasil menyentuh kulit yang tak terlindung. Salah satu dari mereka melepaskan jubah tebal yang terbuat dari bulu binatang.“Yang benar saja, danau ini pasti dingin sekali,” protes prajurit yang dipaksa untuk masuk ke dalam danau oleh rekan-rekannya.Mereka melakukan undian untuk memutuskan siapa yang masuk ke dalam danau. Mereka mencari harpa ajaib yang kabarnya ada di sekitar tempat ini. Sebuah kisah dongeng tentang Istana Es yang tenggelam di danau tersebut membuat mereka dipaksa mencari keberadaannya. Mereka harus memeriksa dasar danau untuk melihat istana tersebut benar-benar ada, termasuk mencari keberadaan harpa.Kedua prajurit yang kalah saat melakukan undian dengan terpaksa masuk ke dalam air. Sebelumnya keduanya diberikan barrier pelindung untuk melindungi mereka dari dinginny
Kedua bocah kembar semakin memperhatikan Rafael yang membacakan cerita hingga keduanya menoleh karena suara dehaman di belakang mereka.“Sudah malam, sebaiknya kalian tidur,” ucap Alden dengan lembut membelai puncak kepala kedua anak kembar itu.“Baik, Kek,” sahut kedunya segera bangkit dan berlari menuju kamarnya.Yui menoleh dan melihat Kakek Alden masih berbincang dengan Rafael. Pria jangkung yang lebih tua itu duduk di sebelah Rafael. Entah apa yang mereka bicarakan, paman dari gadis yang kini sedang memperhatikannya terlihat membuang muka seakan apa yang sedang mereka bicarakan bukanlah hal yang menyenangkan.“Yui, ayo!” ajak Yuan memanggil kembarannya untuk segera ke kamar.“Hei, menurutmu apa cerita itu benar?” tanya Yui menyusul Yuan dan mereka berjalan bersama menuju ke kamar mereka.“Aku tidak tahu, tapi ada yang aneh dengan cerita Istana Es. Kisahnya menggantung dengan akhir yang menimbulkan banyak pertanyaan. Mungkin saja itu kisah nyata atau hanya rekaan,” jawab Yuan.Mer
“Kalian sudah siap?” Rafael sudah menunggu keduanya dan membukakan pintu kereta kuda. Sebuah kereta kuda dengan warna hitam pekat disertai ukiran naga berwarna keemasan.“Paman ikut?” sahut Yui menatap pria jangkung di depannya. Sebuah anggukan membuat gadis kecil itu tersenyum senang. Dia memasuki kereta kuda dan membuka sedikit tirai dari dalam, memperhatikan pria yang baru saja membantunya menaiki kereta. Rafael, di mata Yui terlihat begitu tampan. Sementara pemuda di sebelahnya berpikir hal lain. Yuan, dia hanya bisa menghela napas berat dan duduk di sebelah Yui. “Mau sampai kapan dia mencuri pandang seperti itu, kenapa tidak terus terang saja,” batin Yuan. Wajah memerah Yui cukup mengganggu pikirannya.“Yuan, apa Kak Razen tidak berlebihan?” ucap Yui melihat sekelompok orang datang di pimpin oleh Razen.Razen dengan pasukan di belakangnya telah siap mengantar Pangeran Yuan dan Putri Yui ke istana. Dia adalah salah satu jenderal di Kerajaan Kegelapan yang telah mendapatkan posisi
“Dan kandidat lain untuk menjadi raja, aku mencalonkan diriku sendiri,” ucap Leiz dengan lantang.Sorakan pendukung Leiz terdengar riuh memenuhi ruangan, hanya sebagian kecil saja yang tetap diam. Mereka diam-diam memihak kubu yang lain.“Tuan Leiz, kita memilih raja bukan berdasarkan suara, tapi kepantasannya,” sela Razen hingga suara sorakan tiba-tiba menjadi hening.“Apa maksudmu, Jenderal Razen?” Mata Leiz menatap Razen seakan ingin menembus jantungnya dan menghakimi pria ini yang telah berani bersuara.Semua mata kini memandang Razen yang sengaja membuat perselisihan dengan Penasehat Kerajaan Leiz Schwarz. Mereka menunggu penjelasan dari Razen.“Pangeran Yuan, dia pantas menjadi raja, bukan Anda, Tuan Leiz Schwarz,” ucap Razen dengan berani mendekat ke arah podium supaya terlihat jelas oleh seluruh tamu undangan. “Karena dia memiliki kemampuan yang sudah kita tunggu selama ini, kekuatan pemurnian,” lanjut Razen dengan lantang sehingga semua orang mendengar dengan jelas ucapannya.
“Apa kau ingin menipu kami?” Razen menatap Leiz, sudut bibirnya tertarik sedikit seakan dia sedang mendapatkan sesuatu yang menarik.Sementara pria dengan jubah menjuntai dan rambut yang sudah mulai berubah warna tersenyum ramah menatap Razen penuh arti. “Apa yang kau pikirkan, Jenderal Razen?” Leiz nampak santai dengan ucapan Razen.“Bunga itu, yang kau lakukan bukan pemurnian!” ucap lantang Razen hingga terdengar ke jelas. Aula menjadi riuh oleh suara-suara bisikan para tamu undangan.“Kalau begitu seperti apa pemurnian yang benar? Sudah 200 tahun dunia ini tidak tersentuh kekuatan raja,” balas Leiz. Pria ini sengaja, dia sengaja ingin menjebak Yuan untuk menunjukkan kekuatannya. Dia tahu kontaminasi di sekitar istana tidak akan bisa dimurnikan dengan kekuatan Yuan saat ini. Pekatnya kontaminasi bahkan membuat udara di sekitar istana terasa berat.Razen menatap Yuan, dia merasa salah langkah dan terlihat gugup dengan ucapan Leiz. Sorot matanya mengisyaratkan permintaan maaf dan d
Rafael menoleh sekilas dan melihat Razen bersama dengan Xavier. Mereka berdua bekerjasama untuk membantunya kabur dari istana. Serangan pasukan istana ternyata tak berhenti begitu saja. Pasukan pemanah yang berada di atas benteng pertahanan istana mengarahkan anak panahnya kembali. Meskipun Xavier membantu, beberapa anak panah masih lolos dan melesat ke arah Fury, terutama beberapa pemanah berbakat yang memiliki kemampuan panah energi.“Fury menghindar!” teriak Rafael yang merasakan panah energi menyerang. Naga hitam itu bermanuver menghindari panah tersebut. Sayangnya satu anak panah mengenai sayap Fury sehingga terbang tidak seimbang.Angin terasa begitu kencang saat naga hitam itu kehilangan keseimbangan dan meluncur karena tarikan gravitasi yang kuat. Yui berpegang pada leher Fury, sementara Yuan berada di belakangnya memeluk erat. Rafael berusaha melindungi kedua anak kembar tersebut.“Ugh,” erang Rafael merasakan sakit pada lukanya. Dia merasa pandangannya mulai kabur dan tubuhn
Sinar matahari menerobos kamar Rafael. Pria jangkung dengan rambut hitam itu menutup wajahnya dengan bantal karena diusik oleh hangatnya cahaya mentari. Sengatan panas sinar sang surya membuat pria yang masih ingin terlelap dalam buaian mimpi menjadi kesal. Kesal dengan perlindungan yang ternyata tidak mempan, dia pun terpaksa bangun. Saat matanya sudah terbiasa dengan cahaya terang kamar, pria ini menatap benda yang baru saja terpasang di dinding kamarnya tadi malam.“Cermin, apa harus membaca mantra seperti ratu jahat. Cermin-cermin di dinding siapakah yang paling cantik di dunia ini ....”Rafael tiba-tiba tertawa sendiri dengan pemikirannya. Dia pun menyibakkan selimut dan mendekati cermin tersebut. Berdiri di depan cermin lalu menyugar rambutnya yang berantakan.“Dilihat dari mana pun aku ini ganteng, lihat saja, sempurna,” ucap Rafael pada cermin di depannya. Bayangan yang menunjukkan dirinya terpantul dengan jelas. Sosok yang dikagumi kaum hawa, hanya saja dirinya sendiri yang m
Yuan menghentikan aktivitasnya setelah mendengar suara derap langkah kaki kuda. Dia mendongak untuk melihat siapa yang datang sepagi ini. Matanya tertuju pada panji-panji yang berkibar. Di bagian paling depan, dua pria berpakaian kontras hitam dan kehijauan. Yuan mengenali keduanya sebagai Jenderal Razen dan Xavier.“Siapa mereka?” Yui yang berada di samping Yuan ikut penasaran. Kereta kuda tersebut melaju dengan kecepatan sedang di kawal dengan pengawal yang mengenakan seragam senada dengan warna panji-panji mereka.“Bukankah itu lambang Pertanian Besar?” Yuan menunjuk salah satu panji yang dia kenal.Keduanya berlari menuju ke gerbang Kediaman Blackdragon. Mereka berdua berhenti dan bergabung dengan Rafael yang sudah berdiri di dekat gerbang. Mereka bertiga menyambut tamu yang datang terlalu pagi. Jenderal Razen dan Xavier turun dari kudanya kemudian memberi salam. Selanjutnya mereka yang berada di dalam kereta kuda turun kemudian memberi salam bersama dengan para pengikutnya. Pelay
Yui dan Yuan berdiri di luar dinding istana, hembusan angin lembut membelai rambut mereka. Jemari mereka dengan hati-hati menaburkan benih-benih ajaib dari dunia atas ke tanah yang dahulu gersang. Di bawah sentuhan mereka, dunia bawah yang dulunya kelam kini dipenuhi berbagai warna—hijau rumput yang merayap, kuning keemasan bunga-bunga liar, segala macam tanaman mulai mengular dari dalam tanah. Yui menoleh, alisnya berkerut melihat saudaranya. "Yuan, kau tidak apa-apa?" tanyanya, memperhatikan kembarannya yang tengah memainkan harpa keemasan—benda legendaris yang diperebutkan banyak makhluk.Yuan menggeleng pelan, jemarinya masih menari di atas senar harpa. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat, matanya tetap terfokus pada alat musik di tangannya.Kebangkitan Yuan beberapa waktu lalu sungguh menggemparkan seluruh kerajaan. Bukan hanya wujudnya yang telah berubah sempurna sebagai raja kegelapan, tetapi juga reaksi tidak biasa dari harpa ajaib tersebut. Harpa keemasan itu bersinar terang,
Cahaya keemasan menyusup di antara dedaunan saat Raja Arlen membimbing Yui menyusuri jalan setapak menuju area tidak jauh dari Pohon Kehidupan. Angin lembut menerbangkan helaian rambut Yui, sementara matanya menangkap sosok Rafael yang tengah berbincang serius dengan Moura di kejauhan, wajah keduanya tampak khidmat di bawah naungan cabang-cabang raksasa."Sebelah sini," ujar Raja Arlen sambil menunjuk dengan jemarinya yang panjang dan ramping. Jubah kerajaannya berdesir lembut menyapu rumput saat ia memimpin Yui menuju sebuah pondok mungil yang hampir tersembunyi di balik rimbunnya aneka bunga warna-warni. Aroma manis nektar merebak di udara, menggelitik indra penciuman.Pintu pondok terbuka dengan derit pelan. Seorang pria melangkah keluar, mengenakan tunik berwarna lumut khas kaum elf yang melekat sempurna di tubuhnya. Namun, tidak seperti para elf lainnya, telinga pria itu tidak meruncing dan wajahnya tidak memancarkan keanggunan abadi yang biasa dimiliki kaum elf."Yoru!" pekik Y
Yui mendarat dengan lincah setelah melompat dari punggung Fury, naga hitam milik Rafael. Rambut panjangnya melambai tertiup angin saat kakinya menyentuh tanah. Matanya berbinar melihat sosok yang telah menunggunya."Kakak!"Yui menghambur ke pelukan Yuasa, jemarinya mencengkeram erat jubah sang kakak sementara aroma khas dedaunan segar menguar dari tubuh Yuasa. Mata keduanya berkaca-kaca, pertemuan yang menggetarkan jiwa setelah sekian lama terpisah."Kau baik-baik saja, Yui? Bagaimana tubuhmu setelah bangkit kembali?" tanya Yuasa sambil meneliti setiap inci wajah adiknya. Jemarinya yang ramping menyentuh pipi Yui, memancarkan energi keemasan yang menelusuri setiap sel dalam tubuh sang adik. "Setelah semua ini selesai, biarkan kakak menyembuhkanmu."Dahi Yuasa berkerut dalam. Sensasi dingin menjalar dari tubuh Yui—sesuatu yang sangat janggal. Api Suzaku yang seharusnya berkobar hangat kini terasa beku seperti es abadi."Tentu, untuk saat ini kakak fokus saja dengan pernikahan. Urusan
Malam di Kota Naga. Bintang-bintang bertaburan seperti permata di langit malam Kota Naga. Rafael berdiri sendirian di balkon gedung tertinggi, kedua tangannya mencengkeram pagar besi yang dingin sementara matanya menelusuri konstelasi-konstelasi yang berkilauan. Hembusan angin malam meniup rambut gelapnya, mengirimkan sensasi dingin yang menusuk tulang, namun Rafael tak bergeming.Suara langkah kaki lembut terdengar di belakangnya. Rafael menoleh, alisnya terangkat saat mengenali sosok yang mendekat."Yuichi?"Sosok itu tersenyum. Wajahnya merupakan versi maskulin dari Yui, garis rahang yang sama, mata yang sama, tetapi dengan ketegasan yang hanya dimiliki seorang ayah."Sendirian?" tanya Yuichi, suaranya merdu membelah keheningan malam.Rafael mengangguk pelan, lalu menggerakkan tangannya ke arah kursi kosong di sampingnya. Yuichi melangkah maju dan duduk, jubah hitamnya melambai pelan tertiup angin."Malam ini indah meskipun tanpa bulan," ucap Rafael, matanya kembali menatap cakraw
Bunga putih mungil bertebaran di aula, mirip kepingan dandelion yang rapuh. Setiap tamu berjalan perlahan, meletakkan bunga kecil tanda penghormatan terakhir. Bunga-bunga itu mencerminkan ketangguhan luar biasa, seperti kehidupan yang bertahan di balik kerasnya dunia bawah, membisu namun tak terkalahkan. Mereka menyebutnya bunga bintang roh. Eirlys menatap Yuan yang terpejam, sosoknya tenang seakan tertidur lelap. Alunan harpa mengalir lembut memenuhi aula, melukiskan kesedihan yang mencekam setiap sudut ruang. Matanya menyipit saat menyadari bunga putih di dekat Yuan mulai membeku, embun es merangkak perlahan mengubah kelopak menjadi kristal dingin. Hawa sejuk mulai merambat, menusuk tulang."Mungkinkah?!"Dalam sekejap, Eirlys bangkit dari tempatnya. Langkahnya cepat mendekati peti kaca tempat Yuan dibaringkan. Jemarinya mendorong penutup tebal dengan tekad membara. Jantungnya berdebar dengan kencang, sebuah api harapan muncul. "Putri Eirlys, relakan Yang Mulia!" Xavier bergerak c
Senar harpa emas kaum elf bergetar lembut, berbeda dari instrumen biasa. Energi yang digunakan untuk menggerakkan senar ini sangat banyak. Eirlys membiarkan jemarinya terkulai di atas senar, tenaga terampas habis. Napasnya terengah-engah, seakan udara di sekitarnya menghisap oksigen dari paru-parunya."Eirlys!" Lixue melompat mendekati, gemetar mengambil harpa keemasan dari tangan sang adik. Dengan lembut, dia meletakkan instrumen berkilau itu di meja terdekat. "Istirahatlah sekarang." Lengannya melingkari pinggang Eirlys, memapah tubuh lemah itu menuju kursi panjang. Dengan hati-hati, dia mengangkat kaki adiknya dan membiarkan Eirlys setengah berbaring."Kak, bagaimana Yuan?" bisik Eirlys, kekhawatiran menembus kelelahan yang menyelimutinya.Lixue menggenggam tangan adiknya, mencoba menenangkan. "Dia akan baik-baik saja. Ingat, Tuan Xavier dan Tuan Ernest sedang menyiapkan ramuan untuknya." Dalam hati, dia berdoa agar takdir berkata lain. “Semoga Yuan bertahan, setidaknya biarkan Eir
Jalanan di depan Yuan terlihat asing. Jalan dengan bebatuan hitam, meskipun itu batu, tetapi tidak terasa seperti batu biasa. Dia mengamati orang-orang yang berjalan menuju ke satu arah yang sama, sebuah gerbang besar di ujung jalan, gerbang yang tidak terlihat jelas tulisan namanya. Yuan masih sangat jauh dari gerbang itu. “Akhirnya perjalanan terakhir,” gumam Yuan yang tahu di mana dia sekarang. Dunia orang mati. Kaki Yuan berhenti melangkah saat seorang wanita dengan jubah putih berdiri di hadapannya, muncul begitu saja hingga dia hampir jatuh tersungkur karena kaget. “Lenora!”“Pangeran Yuan, apa yang Anda lakukan di sini!” Suara Lenora terdengar penuh kekesalan dan amarah seakan dia sedang memarahi seorang anak nakal. “Hah?” Reaksi Yuan mendengar ucapan Lenora. Dia tidak tahu harus menjawab apa, tentu saja dia di sini karena nyawanya sudah terpisah dari tubuhnya. “Kuulangi, Pangeran, ah tidak, Yang Mulia Raja Yuan, kembalilah sekarang juga!” Lenora berkata dengan nada lebih
“Apa aliran air ini sudah dimantrai?” tanya pria yang menampilkan lengan hitamnya. Dia mengambil air dan menyiramkannya ke tangan hitamnya. “Mantra Genbu dari Putri Yui. Dengan adanya mantra ini tidak akan ada pencurian air untuk kepentingan pribadi yang ingin menjual air ini.” Penjaga itu kemudian terlihat menghela napas panjang sebelum kembali berbicara. “Sayangnya, kabar buruk terdengar di istana. Kabarnya Yang mulia saat ini dalam kondisi kritis.” Mendengar penuturan penjaga tersebut, pria yang sepanjang jalan selalu memberikan argumen tidak menyukai raja yang sekarang terlihat marah. “Apa katamu! Lalu kenapa mengundang kami jika dia sendiri dalam keadaan kritis, bukankah dia tidak akan bisa menyembuhkan kami!” suara pria itu terdengar begitu keras hingga mengundang perhatian orang-orang di sekitar. “Tuan tenang saja, di istana semua sudah dipersiapkan.” Penjaga gerbang berusaha menekan amarah pria itu, tetapi tidak berhasil. “Lebih baik kita pulang saja!” Pria dengan lengan
Dunia bawah lebih berwarna. Langit yang biru membawa semangat baru. Kepala desa dan para pemimpin wilayah lainnya menjalankan perintah yang diberikan Yuan, raja mereka untuk mendata dan membawa penduduk dengan tingkat kontaminasi 80 %. Mereka yang telah mengalami kontaminasi bertahun-tahun dipilah dan dibawa ke ibukota untuk bertemu langsung dengan sang raja. “Apa benar kontaminasi ini bisa hilang? Rasanya aku sudah pasrah dengan kondisi ini seumur hidupku.” Pria dengan tangan dan kaki yang sudah menghitam karena kontaminasi terlihat pesimis. Meskipun begitu, setelah menatap langit biru ada secercah harapan di hatinya. “Kalau sang raja bisa menghilangkan kontaminasi di dunia bawah, kurasa bisa juga menghilangkan kontaminasi di tubuhku.” Semua penduduk dengan tingkat kontaminasi parah sudah mulai berangkat menuju ibukota. Mereka menaruh harapan yang sangat besar kepada sang raja, harapan kesembuhan dari kontaminasi yang selama ini menyiksa diri mereka.“Kudengar sang raja masih belia