"Lepas! Biarkan Kakak ini memberi perhitungan kepada para junior itu!" Dia menyingkir dari pelukan Oliver, kemudian menggulung lengan bajunya sampai ke atas, Amber tak sabar ingin memberi pelajaran kepada mereka semua yang tidak sopan.
Oliver tersenyum pahit. Wanita itu memang tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. Sepertinya hanya dia sendiri yang merasakan jantungnya berdegub kencang.
"Tunggu! Kita tidak bisa membuat masalah di sini!" Pada akhirnya Oliver harus menahan temannya yang sudah geram.
Ia memberi penjelasan kepada wanita itu bahwa mereka memiliki tujuan di tempat ini. Jika mereka membuat kerusuhan, bisa jadi tidak ada kemungkinan untuk Amber dapat bekerja di sini.
Mengingat hal itu, Amber benar-benar haus berbesar hati untuk melepaskan gadis-gadis itu. Sepertinya mereka masih di tahun awal kuliah. Masih terlalu belia untuk menerima beberapa pelajaran dari Amber yang sudah cukup dewasa. Amber berusaha mewajarkan hal ini karena mereka masih termasuk remaja yang labil.
Kakak senior ini benar-benar menabahkan hatinya untuk saat ini. Tapi lain kali, tidak ada lagi toleransi. Gadis-gadis labil itu harus menerima kuliah etika darinya. Berulang kali sudah ia menghela nafasnya panjang-panjang.
"Memangnya siapa sih yang mereka ributkan?!" Dia pun berdecak kesal sambil berusaha mencari tahu sosok yang sedang digilai para gadis itu.
Berusaha keras ia berjinjit, namun tetap saja ia tak dapat menangkap sosoknya dengan jelas.
Di belakangnya, Oliver tengah berbicara dengan seseorang berseragam yang merupakan supervisor kedai kopi itu. Pada papan namanya di dada terdapat nama John.
Tuan John mengungkapkan permintaan maafnya atas ketidak nyamanan yang ditimbulkan oleh gelombang riuh para gadis itu. Pasalnya ia sempat melihat Amber yang terdorong dan hampir jatuh.
"Hal seperti ini terjadi hampir setiap hari semenjak kami mempekerjakan karyawan baru. Wajahnya sangat tampan seperti seorang model. Banyak pelanggan wanita yang mengaguminya. Meskipun sering kali agak kacau begini, tapi kami harus mengakui bahwa semenjak dia bekerja di sini, omset kami meningkat pesat beberapa bulan belakangan ini" Tuan John tersenyum tak berdaya.
Amber semakin penasaran setelah menguping pembicaraan orang di belakangnya. Ia semakin ingin melihat wajah orang yang sedang dibicarakan itu.
"Sekali lagi kami mohon maaf atas ketidak nyamanannya!" Tuan John sedikit membungkuk sebagai tanda ketulusan hatinya.
"Kami mengerti, Tuan! Tenang saja!" Oliver bahkan sampai tidak enak hati. Ia pun ikut tersenyum seperti itu. Namun matanya sesekali masih mengawasi Amber yang entah sedang melakukan apa di depannya.
Ketika Amber masih berusaha keras untuk mencari tahu, tubuhnya yang bergerak ke kanan dan ke kiri seperti wiper mobil, kembali ia diterjang arus para gadis-gadis yang hendak keluar. Tapi kali ini ia bisa menstabilkan dirinya, tidak terhuyung seperti tadi.
Ia pun meniupkan udara dengan mulut seraya mengelus dadanya, merasa bangga. Dia tidak terjatuh sekarang.
"Aduh!" pekiknya setelah lututnya mencium lantai. Nyatanya Amber diterjang dua orang gadis ketika dia lengah. Keseimbangannya hilang, dia pun tersungur ke lantai. Tangannya masih sempat menopang. Namun terbanting secara tiba-tiba begitu, tetap saja terasa sakit tangan dan kakinya.
Oliver sudah khawatir, ia ingin membantu tapi Amber sudah bisa bangun sendiri. Wanita itu menepuk-nepuk tangannya yang terasa kotor setelah memukul lantai dengan keras begitu. Ia singkirkan debu yang menempel di sana.
Ketika dia bangun, matanya langsung dimanjakan dengan sosok rupawan yang ketampanannya tidak bisa dibandingkan dengan manusia biasa. Amber terpana, terpaku oleh sosok manusia yang menurutnnya tidak pantas untuk menjadi manusia. Dia lebih cocok disandingkan dengan para dewa. Tampan luar biasa!
Matanya sampai sayu memperhatikan seorang karyawan pria yang sedang melakukan tugasnya di dalam counter sana. Gerakannya gesit dan efisien, ditambah dengan sosoknya yang rupawan, pria itu seperti sebuah lukisan indah yang bergerak.
Meskipun Amber tidak memiliki niatan untuk menjalin hubungan dengan seorang pria, namun apa daya, dia tetaplah seorang wanita biasa yang akan tergiur melihat pria-pria tampan. Bahkan ia hampir saja meneteskan air liunya jika saja Oliver tidak memanggilnya.
"Ayo, kita pulang!" Sambil menggelengkan kepalanya Oliver menarik kerah belakang wanita itu ke arah pintu.
Untuk sifatnya yang satu ini ia sudah tidak heran lagi. Amber memang begini jika sudah melihat pria tampan. Meskipun tidak pernah tergoda, takutnya Amber akan membuat hal yang memalukan di depan banyak orang.
Karena biasanya wanita itu akan memandangi orang yang ia kagumi lama, bahkan sampai berjam-jam jika bisa. Lalu telinganya akan mendadak tuli. Sulit sekali memanggilnya jika sudah melamunkan pria tampan. Oliver tidak ingin Amber jadi bahan tertawaan. Makanya lebih baik langsung menariknya saja.
"Hey, tunggu! Tunggu dulu! Kenapa kau menarikku! Hey, Tunggu! Oliver!" pekik Amber yang terus saja ditarik sampai mereka keluar dari kedai kopi itu. Langkahnya jadi terseret dan terseok ketika ia harus berjalan mundur dengan paksaan. Meskipun begitu, Amber tetap berusaha melepaskan diri.
Pria yang Amber perhatikan tak lain adalah Rainer. Setelah sejak tadi acuh, ia akhirnya menoleh ke tempat Amber berada semula. Rainer memang merasa ada yang memperhatikannya dari tadi, tapi ia tak peduli karena ia pikir itu hanyalah salah satu dari para gadis tadi yang masih enggan pergi dari tempat ini.
Mendapati tak ada seorang pun, Rainer kemudian melanjutkan pekerjaannya dengan tenang dan damai. Sebelum badai datang lagi di sore dan malam hari. Ia harus mengumpulkan tenaganya untuk melayani gadis-gadis gila seperti tadi. Yang datang ke sana bukan untuk beli kopi, tapi tujuan utamanya adalah untuk melihat dirinya.
Kadang Rainer pun tidak mengerti, apa yang mereka sukai dari sosok dirinya yang ia anggap biasa-biasa saja ini.
"Sekarang kau sudah bisa melepaskan aku, kan?!" Sekuat tenaga Amber menahan tangan Oliver yang terus menariknya.
"Ah ...oke!" Saking asiknya dia sampai lupa. Oliver terlalu menikmati momen menindas temannya ini. Ia melepaskan Amber kemudian.
"Kenapa kau menarikku, sih?! Padahal aku belum puas melihatnya, kan!" Amber mengomel sambil merapikan kerah bajunya yang kusut.
"Apakah tidak cukup dengan hanya melihatku seorang?" Oliver berespresi memelas yang dibuat-buat. Terkesan bercanda, namun dalam hati dia serius.
Amber memegangi dagunya sambil berpura-pura berpikir. Ia melihat langit sambil mencari jawaban yang tepat. Lalu bayangan sosok pemuda tampan itu muncul lagi di permukaan awan. Memandang Oliver lagi sambil menganggukkan kepala.
"Kau memang tampan! Aku akui itu!" Menyangga dagu Oliver dengan satu telunjuknya dengan tatapan memindai dari atas ke bawah.
Sekuat tenaga, sebisa mungkin Oliver menyembunyikan derap jantungnya yang semakin kencang. Lalu dengan cepat menyingkirkan jari lentik itu dan membuang muka. Tidak sanggup dia terlalu lama berdekatan seperti ini.
"Sudah jelas! Aku memang tampan!" ucapnya acuh sambil berusaha menyembunyikan wajahnya yang merona.
"Tapi ketampananmu tidak bisa dibandingkan dengan ketampanannya!" Wanita itu bersorak sorai dengan gembira sambil berjalan.
Amber meninggalkan sosok Oliver yang sekarang muram. Harus ia akui jika ia cemburu. Tapi Oliver juga tahu bahwa rasa kagum Amber tidak akan bertahan lama. Jadi ia kembalikan lagi senyum di wajahnya seraya menyusul wanita itu.
"Kau dapat melihatnya dengan jelas seterusnya!" katanya sambil merangkul bahu Amber. Memberitahukan kabar gembira ini.
"Apa maksudmu?" Tapi kemudian tangannya di singkirkan oleh Amber yang bertanya. Wanita itu terlalu penasaran.
"Kau disuruh membawa berkas lamaran besok. Jika cocok, mungkin kau akan dapat langsung bekerja!" Oliver tahu ia tidak bisa menodai kabar gembira ini dengan senyum pahitnya. Bahkan tanpa sadar, Amber selalu menolaknya.
"Benarkah?" Mata wanita itu berbinar ketika memastikannya lagi. Oliver tak kuasa menjawab sehingga ia hanya mengangguk saja. Melihat Amber bahagia, hatinya pun ikut bahagia.
Selama perjalanan menuju ke rumah barunya, Amber terus bersorak senang. Sedangkan Oliver terus menggelengkan kepalanya.
"Hujan!" seru Amber sangat senang ketika mereka sampai di lobi apartemen.
"Ayo masuk! Jangan bermain hujan-hujanan! Kau bisa sakit nanti!" Oliver menariknya masuk dengan paksa. Dan dia juga sangat tahu jika wanita itu sangat menyukai hujan. Seringkali Amber sengaja membiarkan tubuhnya terguyur dan menjadi basah.
"Tunggu sebentar! Aku ingin menikmatinya!" Amber melepaskan tangannya dari Oliver. Lalu menengadahkan telapak tangannya, membiarkan dirinya merasakan air hujan yang jatuh. Dia tersenyum lebar.
"Ayo masuk!" Oliver berseru lagi.
"Iya, iya!" Seperti sedang mengucapkan selamat tinggal pada hujan, Amber tersenyum. Lalu menyusul Oliver yang sudah mulai menunggu di depan lift dengan wajah tidak sabar.
Di lain tempat,
Rainer yang masih berada di jam kerjanya pun menatap keluar jendela. Materialnya yang terbuat dari kaca, membuatnya dapat melihat keadaan di luar sana.
Tatapan matanya berubah sendu melihat rintik hujan yang datang. Mulutnya tidak dapat menyampaikan apapun. Tapi setiap kali hujan, hatinya terasa berdesir akan sesuatu.
sudah sampai bab 5 nih,, mohon dukungannya ya manteman semua 😉
Ketika hari berubah malam, langit pun dihiasi rembulan. Hujan sudah reda, menyisahkan rintik-rintik kecil yang terjun melalui atap rumah. Amber dan Oliver tengah menikmati pemandangan itu dengan segelas kopi di samping mereka. Keduanya duduk bersisian sambil menatap keluar pintu kaca yang sengaja Amber buka. Pintu kaca itu menjadi akses ke balkon kecil yang menghadap ke area parkir apatemennya. "Akhirnya selesai juga!" Amber merentangkan tangannya ke atas meregangkan otot-ototnya. Beberapa menit yang lalu, dia dan Oliver baru saja selesai membereskan rumah yang semula masih berantakan itu. Sekarang mereka sedang bersantai, mengistirahatkan diri sambil menikmati kopi. "Memangnya kenapa kau tidak memakai jasa pindahan saja untuk membantumu membereskan barang-barang?" Oliver menyesap kopi di cangkirnya sambil melirik ketika bertanya. "Sudah! Tapi kau tahu, kan, kalau aku pindah rumah tengah malam?! Jadi tidak tega rasanya aku mempekerjakan mereka
"Kak!" Rainer menunggu beberapa lama namun Liam masih belum menjawab pertanyaannya. Jadi dia berseru untuk mengingatkan kakaknya lagi tentang dirinya. "Ya, maaf! Kau bertanya apa tadi?" Liam pura-pura lupa. "Jangan coba-coba kabur lagi dari pertanyaanku seperti biasanya! Kali ini tolong jawab aku!" imbuh Rainer dengan nada mengancam. Dia sangat ingin mengetahui perihal mimpinya itu. Mimpi yang selalu membuatnya resah dan gelisah selama beberapa tahun ini. Seperti sesuatu yang penting terlewatkan dalam hidupnya. Rainer ingin tahu, tapi tak ada satu orang pun yang mau mengobati rasa penasarannya ini. Semua orang di sekitarnya seperti dibungkam mulutnya. Dan dia tahu jika itu adalah perbuatan kakaknya. Bahkan orang tuanya sekali pun tidak mau memberitahunya barang satu kalimat pun. Satu saja petunjuk bisa ia dapatkan, maka akan mudah baginya untuk mengorek semua masa lalu yang terkubur itu. Rainer hanya ingat, 6 tahun yang lalu, dia bangun dari k
"Dia, kan! Dia, kan! Dia, kan, pria tampan itu!" Akhirnya mulut Amber bisa mengatakann sesuatu. Suaranya terdengar bersemangat dan agak kencang. Lalu orang-orang yang masih berada di sana untuk berteduh pun memandanginya dengan tatapan aneh. Ditatap seperti itu Amber merasa seperti akan ditelan oleh sebuah black hole besar. Kabur! Pikirnya begitu saja. Kakinya kemudian merespon dengan cepat, lalu membawa dirinya menjauh dari tempat itu. Di bawah guyuran air hujan, Amber mencari-cari sosok pria berpayung yang tadi sudah berjalan lebih dulu darinya. Wanita itu menggunakan tasnya sebagai payung, melindungi kepalanya agar tidak terlalu basah kuyup. Netranya berubah cerah tatkala ia melihat sosok hitam dengan payung transparan berada tak jauh dari dirinya. Amber melebarkan langkahnya dengan girang. Menghentakkan setiap genangan air hujan di trotoar jalan yang ia pijak. "Ahh ... akhirnya!" ucapnya begitu percaya diri bercampur perasaan lega
Rainer benci hujan. Dan terbukti hari ini kesialannya datang karena hujan. Dia bertemu dengan wanita aneh dan bahkan harus mengeluarkan banyak suara. Itu bukan dia yang seperti biasanya sekali! Karena Rainer yang biasanya akan menghemat setiap kata yang keluar dari mulutnya. Biasanya dia malas untuk berlama-lama berdialog dengan orang lain. Tapi karena wanita aneh itu, dia jadi menghabiskan banyak tenaga. Dan Amber yang biasanya sangat menyukai hujan pun menjadi kesal. Tidak pernah ketika turun hujan harinya menjadi buruk meskipun dia kebasahan. Amber selalu suka hujan kapan pun itu. Tapi di hari yang hujan ini dia merasa sungguh sial sebab sudah bertemu dengan pria tampan yang sombongnya setinggi langit. ceklek! Sambil menyerang Amber dengan tatapannya, tangan Rainer terus bekerja untuk membuka kunci pintu kedai kopi itu. Dia pun menutup pintu kaca itu segera setelah membukanya. Amber ditinggalkannya di luar dalam kondisi basah. Dia tak peduli ketika
Seorang pria tengah tertidur di kamarnya di sebuah apartemen sederhana. Peluhnya bercucuran berbentuk sebiji jagung di dahinya. Dia kembali gelisah setelah sebelumnya tenang. Alisnya berkerut dalam dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Seperti badai tengah mengamuk di dalam mimpinya. Dor! Suara tembakan itu lantas membuat matanya terbuka dengan cepat. Suaranya sangat jelas memekak di telinganya. Susah payah ia mendudukkan diri. Sambil terengah-engah pria itu menyeka dahinya yang basah. "Mimpi itu lagi!" katanya kesal sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. Pria itu bangkit dari tempat tidurnya menuju keluar kamar. Kemudian berbelok begitu ia melewati pintu kamar itu. Ia berjalan menuju dapur. Ada kulkas di sana. Ia ambil sebotol air minum setelah membukanya. Lalu ia tenggak isinya dengan tidak sabar. Beberapa tetes air pun mengaliri rahang dan jakunnya yang bergerak naik turun. Lalu berhenti, dan membasahi dadanya yang sedikit terbuka.
"Bisakah kau diam?! Apa matamu buta?! Kau tidak tahu jam berapa sekarang?!" teriak seorang wanita yang umurnya kisaran di atas tiga puluhan. Ia terlalu emosi sampai urat di lehernya terlihat. Wanita muda yang tadinya bersemangat pun menutup mulutnya rapat. Ia memang melupakan bahwa ini sudah dini hari. Barulah ia menyadarinya ketika melihat pada jam tangannya yang bulat. Segera wanita muda itu menatapnya dengan penuh permohonan maaf. Karena saat ia akan berbicara, tetangganya itu sudah menyemprotnya kembali. "Gara-gara kau, anakku jadi susah ditidurkan!" Setelah berteriak lagi, wanita itu masuk sambil membanting pintunya dengan keras. Brak! Dia tersentak seraya memejamkan matanya saat menikmati suara dentuman keras itu. Ketika membuka mata, dia mulai menyemangati dirinya lagi yang baru saja merasa begitu kaget. "Tapi aku basah sekarang!" tatapnya pada sweater yang ia kenakan sekarang. Dari ujung rambut sampai setengah badan, ia basah k
Amber pun selalu bingung dengan mimpinya ini. Mimpi yang tidak pernah terlihat jelas penampakannya. Hanya saja, ketika pistol itu mengeluarkan peluru, gambaran di mimpinya terasa jelas. Sayang, hanya sampai di situ saja apa yang ia harapkan. Selebihnya, ia selalu tak dapat mengetahui siapa saja orang yang berada di dalam mimpi yang rajin datang itu. "Apakah itu masa laluku?" gumamnya pensaran sambil mencoba mengingat sesuatu. Tapi setiap kali , usahanya selalu terblokir dan tidak membuahkan hasil. Ia selalu saja tak dapat mengingat apa pun mengenai mimpi itu. Amber minum sisa air pada botol air mineral yang berada di tasnya. Setelah cukup untuk menenangkan diri, dia pun kembali merehatkan dirinya. Tubuhnya benar-benar perlu diistirahatkan sekarang. Jika dipaksakan lagi, nanti dia bisa sakit. Lalu jika dia sakit, dia tidak bisa mencari pekerjaan, jika dia tidak bisa bekerja, maka dia tidak bisa menghasilkan uang. Tidak bisa seperti itu! Tubuhnya sangat berharg
"Untung saja tadi dosen pembimbingmu masih mau menunggumu datang!" seru seorang pria yang menggendong tas ransel di punggungnya. Dia berjalan berdampingan dengan Amber di sisinya. Pria jangkung itu bernama Oliver. Dia sudah berteman dengan Amber sejak mereka duduk di sekolah menengah atas. Keduanya akrab sejak dulu. Namun pertemanan mereka sudah tidak murni. Oliver menodainya dengan perasaan suka yang Amber tidak ketahui hingga saat ini. "Iya ... iya ... bukannya aku sudah mengucapkan terima kasih tadi! Kepada temanmu saja kau pamrih sekali!" Amber mendengus pelan. "Hey! Bukannya seperti itu!" Oliver tak berdaya. Padahal ingin sekali dia bilang bahwa ia sangat mengkhawatirkannya. Tapi dia tahu itu tidak mungkin dia ucapkan. "Memangnya kau buat alasan apa sampai dia mau menungguku lama sekali?" Bagaimanapun juga Amber sedikit penasaran. "Aku hanya bilang jika kucing peliharaanmu sedang melahirkan! Itu mudah sekali , kan?!" Begitu percaya diri O