Seorang pria tengah tertidur di kamarnya di sebuah apartemen sederhana. Peluhnya bercucuran berbentuk sebiji jagung di dahinya. Dia kembali gelisah setelah sebelumnya tenang. Alisnya berkerut dalam dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Seperti badai tengah mengamuk di dalam mimpinya.
Dor!
Suara tembakan itu lantas membuat matanya terbuka dengan cepat. Suaranya sangat jelas memekak di telinganya. Susah payah ia mendudukkan diri. Sambil terengah-engah pria itu menyeka dahinya yang basah.
"Mimpi itu lagi!" katanya kesal sambil menyandarkan punggungnya ke dinding.
Pria itu bangkit dari tempat tidurnya menuju keluar kamar. Kemudian berbelok begitu ia melewati pintu kamar itu. Ia berjalan menuju dapur.
Ada kulkas di sana. Ia ambil sebotol air minum setelah membukanya. Lalu ia tenggak isinya dengan tidak sabar. Beberapa tetes air pun mengaliri rahang dan jakunnya yang bergerak naik turun. Lalu berhenti, dan membasahi dadanya yang sedikit terbuka.
Setelah mengosongkan isinya, ternyata dahaganya masih tak hilang juga. Begitu pun dengan gelisah yang tak mau pergi.
Pria itu lantas pergi ke kamar mandi, bermaksud untuk mencuci muka. Ia perhatikan wajahnya yang kini basah kuyup di depan cermin. Membiarkan wajahnya kering sendiri, pria itu terus menatap lekat-lekat pada pantulan dirinya sendiri di dalam cermin itu.
Kenapa dia terus memimpikan hal itu lagi?! Dan mengapa rasanya selalu gelisah seperti ini setiap kali terjadi?!
Dan lagi, setiap kali mimpi itu datang, wajah setiap orang terlihat samar di dalam mimpi itu. Ia tidak dapat melihat dengan jelas siapa-siapa saja yang berperan di dalam sana. Pria itu selalu penasaran dengan mereka yang selalu mengisi mimpi buruknya itu.
Kedua tangannya memegangi pinggiran wastafel sebagai sandaran tubuhnya. Ia memejamkan matanya dengan erat. Satu tarikan nafas ia lakukan begitu dalam, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Lalu ia keluarkan perlahan, sambil membuang gelisahnya yang tak kunjung berlalu.
Namanya Rainer. Benjamin Rainer Finn. Tapi ia tidak pernah menyebutkan nama panjangnya, terkecuali untuk urusan kuliah dan pekerjaannya saja. Itu pun kalau ditanya. Jika bisa, ia hanya akan menyebutkan nama panggilannya saja, Rainer. Saat ini berumur 30 tahun, kuliah semester akhir dan bekerja paruh waktu sebagai seorang barista di sebuah kedai kopi tak jauh dari tempat kuliahnya.
Ia nikmati kedamaian yang kini mulai terisi ulang di dalam dirinya. Menggantikan resah dan gelisah yang tak ia ketahui penyebabnya. Terus ia melakukan hal itu sampai hanya kedamaian saja yang mengalir di setiap alirah darahnya.
Dan kedamaian itu runyam oleh suara bising yang datangnya dari arah luar. Ia memisahkan kelopak matanya perlahan dengan wajah tidak suka. Perasaan tenang dan nyamannya kini terusik oleh suara teriakan-teriakan dari luar pintu.
Menyebalkan! Dia melirik ke sumber suara dengan tajam. Bukankah ini sudah larut malam?! Lalu siapa yang membuat kegaduhan di jam seperti sekarang ini?!
Rainer berjalan cepat sambil menahan kesal. Melirik jam dinding yang menunjukkan waktu masih dini hari. Makin kesal ia melihat hal itu. Tapi yang ia lakukan bukannya memarahi orang yang membuat kebisingan, tapi menyumpal telinganya dengan tisu sebanyak mungkin, hingga ia tidak dapat mendengar apapun dari luar.
Akhirnya ia bisa bernafas dengan lega. Ia bisa melanjutkan tidurnya yang baru hanya dua jam saja. Rainer menarik selimutnya sampai ke dada. Kemudian ia memejamkan mata bermaksud melanjutkan nyenyaknya yang tadi. Sambil berjalan ke alam mimpi, Rainer menerbitkan senyum puas di bibirnya.
Sedangkan di luar pintu,
"Ayo, ayo, Tuan!"
"Ya, ya, sebelah sini!"
"Awas hati-hati jangan sampai pecah, ya! Itu benda yang sangat berharga!"
"Ayo jangan sampai miring saat membawanya!"
Celoteh seorang wanita muda dengan suara yang begitu bersemangat. Suaranya nyaring seperti seorang pemandu sorak yang berdiri di pinggir lapangan. Atau ... lebih seperti seorang mandor yang sedang memaninkan telunjuk ajaibnya. Dia sedang memerintahkan beberapa orang yang tengah mengangkut barang-barangnya dengan suara kencang.
Sayangnya, ia tidak menyadari sudah jam berapa sekarang ini. Tidak takut kah dia dengan sambutan yang akan diberikan oleh penghuni lainnya ketika mendengarnya terus saja membuka mulut?!
Byur!
Seember air melayang di udara dari pintu apartemen di sebelahnya.
Hai,, aku pendatang baru di goodnovel ini,, selamat membaca ya teman-teman ☺️
"Bisakah kau diam?! Apa matamu buta?! Kau tidak tahu jam berapa sekarang?!" teriak seorang wanita yang umurnya kisaran di atas tiga puluhan. Ia terlalu emosi sampai urat di lehernya terlihat. Wanita muda yang tadinya bersemangat pun menutup mulutnya rapat. Ia memang melupakan bahwa ini sudah dini hari. Barulah ia menyadarinya ketika melihat pada jam tangannya yang bulat. Segera wanita muda itu menatapnya dengan penuh permohonan maaf. Karena saat ia akan berbicara, tetangganya itu sudah menyemprotnya kembali. "Gara-gara kau, anakku jadi susah ditidurkan!" Setelah berteriak lagi, wanita itu masuk sambil membanting pintunya dengan keras. Brak! Dia tersentak seraya memejamkan matanya saat menikmati suara dentuman keras itu. Ketika membuka mata, dia mulai menyemangati dirinya lagi yang baru saja merasa begitu kaget. "Tapi aku basah sekarang!" tatapnya pada sweater yang ia kenakan sekarang. Dari ujung rambut sampai setengah badan, ia basah k
Amber pun selalu bingung dengan mimpinya ini. Mimpi yang tidak pernah terlihat jelas penampakannya. Hanya saja, ketika pistol itu mengeluarkan peluru, gambaran di mimpinya terasa jelas. Sayang, hanya sampai di situ saja apa yang ia harapkan. Selebihnya, ia selalu tak dapat mengetahui siapa saja orang yang berada di dalam mimpi yang rajin datang itu. "Apakah itu masa laluku?" gumamnya pensaran sambil mencoba mengingat sesuatu. Tapi setiap kali , usahanya selalu terblokir dan tidak membuahkan hasil. Ia selalu saja tak dapat mengingat apa pun mengenai mimpi itu. Amber minum sisa air pada botol air mineral yang berada di tasnya. Setelah cukup untuk menenangkan diri, dia pun kembali merehatkan dirinya. Tubuhnya benar-benar perlu diistirahatkan sekarang. Jika dipaksakan lagi, nanti dia bisa sakit. Lalu jika dia sakit, dia tidak bisa mencari pekerjaan, jika dia tidak bisa bekerja, maka dia tidak bisa menghasilkan uang. Tidak bisa seperti itu! Tubuhnya sangat berharg
"Untung saja tadi dosen pembimbingmu masih mau menunggumu datang!" seru seorang pria yang menggendong tas ransel di punggungnya. Dia berjalan berdampingan dengan Amber di sisinya. Pria jangkung itu bernama Oliver. Dia sudah berteman dengan Amber sejak mereka duduk di sekolah menengah atas. Keduanya akrab sejak dulu. Namun pertemanan mereka sudah tidak murni. Oliver menodainya dengan perasaan suka yang Amber tidak ketahui hingga saat ini. "Iya ... iya ... bukannya aku sudah mengucapkan terima kasih tadi! Kepada temanmu saja kau pamrih sekali!" Amber mendengus pelan. "Hey! Bukannya seperti itu!" Oliver tak berdaya. Padahal ingin sekali dia bilang bahwa ia sangat mengkhawatirkannya. Tapi dia tahu itu tidak mungkin dia ucapkan. "Memangnya kau buat alasan apa sampai dia mau menungguku lama sekali?" Bagaimanapun juga Amber sedikit penasaran. "Aku hanya bilang jika kucing peliharaanmu sedang melahirkan! Itu mudah sekali , kan?!" Begitu percaya diri O
"Lepas! Biarkan Kakak ini memberi perhitungan kepada para junior itu!" Dia menyingkir dari pelukan Oliver, kemudian menggulung lengan bajunya sampai ke atas, Amber tak sabar ingin memberi pelajaran kepada mereka semua yang tidak sopan. Oliver tersenyum pahit. Wanita itu memang tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. Sepertinya hanya dia sendiri yang merasakan jantungnya berdegub kencang. "Tunggu! Kita tidak bisa membuat masalah di sini!" Pada akhirnya Oliver harus menahan temannya yang sudah geram. Ia memberi penjelasan kepada wanita itu bahwa mereka memiliki tujuan di tempat ini. Jika mereka membuat kerusuhan, bisa jadi tidak ada kemungkinan untuk Amber dapat bekerja di sini. Mengingat hal itu, Amber benar-benar haus berbesar hati untuk melepaskan gadis-gadis itu. Sepertinya mereka masih di tahun awal kuliah. Masih terlalu belia untuk menerima beberapa pelajaran dari Amber yang sudah cukup dewasa. Amber berusaha mewajarkan hal ini karen
Ketika hari berubah malam, langit pun dihiasi rembulan. Hujan sudah reda, menyisahkan rintik-rintik kecil yang terjun melalui atap rumah. Amber dan Oliver tengah menikmati pemandangan itu dengan segelas kopi di samping mereka. Keduanya duduk bersisian sambil menatap keluar pintu kaca yang sengaja Amber buka. Pintu kaca itu menjadi akses ke balkon kecil yang menghadap ke area parkir apatemennya. "Akhirnya selesai juga!" Amber merentangkan tangannya ke atas meregangkan otot-ototnya. Beberapa menit yang lalu, dia dan Oliver baru saja selesai membereskan rumah yang semula masih berantakan itu. Sekarang mereka sedang bersantai, mengistirahatkan diri sambil menikmati kopi. "Memangnya kenapa kau tidak memakai jasa pindahan saja untuk membantumu membereskan barang-barang?" Oliver menyesap kopi di cangkirnya sambil melirik ketika bertanya. "Sudah! Tapi kau tahu, kan, kalau aku pindah rumah tengah malam?! Jadi tidak tega rasanya aku mempekerjakan mereka
"Kak!" Rainer menunggu beberapa lama namun Liam masih belum menjawab pertanyaannya. Jadi dia berseru untuk mengingatkan kakaknya lagi tentang dirinya. "Ya, maaf! Kau bertanya apa tadi?" Liam pura-pura lupa. "Jangan coba-coba kabur lagi dari pertanyaanku seperti biasanya! Kali ini tolong jawab aku!" imbuh Rainer dengan nada mengancam. Dia sangat ingin mengetahui perihal mimpinya itu. Mimpi yang selalu membuatnya resah dan gelisah selama beberapa tahun ini. Seperti sesuatu yang penting terlewatkan dalam hidupnya. Rainer ingin tahu, tapi tak ada satu orang pun yang mau mengobati rasa penasarannya ini. Semua orang di sekitarnya seperti dibungkam mulutnya. Dan dia tahu jika itu adalah perbuatan kakaknya. Bahkan orang tuanya sekali pun tidak mau memberitahunya barang satu kalimat pun. Satu saja petunjuk bisa ia dapatkan, maka akan mudah baginya untuk mengorek semua masa lalu yang terkubur itu. Rainer hanya ingat, 6 tahun yang lalu, dia bangun dari k
"Dia, kan! Dia, kan! Dia, kan, pria tampan itu!" Akhirnya mulut Amber bisa mengatakann sesuatu. Suaranya terdengar bersemangat dan agak kencang. Lalu orang-orang yang masih berada di sana untuk berteduh pun memandanginya dengan tatapan aneh. Ditatap seperti itu Amber merasa seperti akan ditelan oleh sebuah black hole besar. Kabur! Pikirnya begitu saja. Kakinya kemudian merespon dengan cepat, lalu membawa dirinya menjauh dari tempat itu. Di bawah guyuran air hujan, Amber mencari-cari sosok pria berpayung yang tadi sudah berjalan lebih dulu darinya. Wanita itu menggunakan tasnya sebagai payung, melindungi kepalanya agar tidak terlalu basah kuyup. Netranya berubah cerah tatkala ia melihat sosok hitam dengan payung transparan berada tak jauh dari dirinya. Amber melebarkan langkahnya dengan girang. Menghentakkan setiap genangan air hujan di trotoar jalan yang ia pijak. "Ahh ... akhirnya!" ucapnya begitu percaya diri bercampur perasaan lega
Rainer benci hujan. Dan terbukti hari ini kesialannya datang karena hujan. Dia bertemu dengan wanita aneh dan bahkan harus mengeluarkan banyak suara. Itu bukan dia yang seperti biasanya sekali! Karena Rainer yang biasanya akan menghemat setiap kata yang keluar dari mulutnya. Biasanya dia malas untuk berlama-lama berdialog dengan orang lain. Tapi karena wanita aneh itu, dia jadi menghabiskan banyak tenaga. Dan Amber yang biasanya sangat menyukai hujan pun menjadi kesal. Tidak pernah ketika turun hujan harinya menjadi buruk meskipun dia kebasahan. Amber selalu suka hujan kapan pun itu. Tapi di hari yang hujan ini dia merasa sungguh sial sebab sudah bertemu dengan pria tampan yang sombongnya setinggi langit. ceklek! Sambil menyerang Amber dengan tatapannya, tangan Rainer terus bekerja untuk membuka kunci pintu kedai kopi itu. Dia pun menutup pintu kaca itu segera setelah membukanya. Amber ditinggalkannya di luar dalam kondisi basah. Dia tak peduli ketika