"Untung saja tadi dosen pembimbingmu masih mau menunggumu datang!" seru seorang pria yang menggendong tas ransel di punggungnya. Dia berjalan berdampingan dengan Amber di sisinya.
Pria jangkung itu bernama Oliver. Dia sudah berteman dengan Amber sejak mereka duduk di sekolah menengah atas. Keduanya akrab sejak dulu. Namun pertemanan mereka sudah tidak murni. Oliver menodainya dengan perasaan suka yang Amber tidak ketahui hingga saat ini.
"Iya ... iya ... bukannya aku sudah mengucapkan terima kasih tadi! Kepada temanmu saja kau pamrih sekali!" Amber mendengus pelan.
"Hey! Bukannya seperti itu!" Oliver tak berdaya. Padahal ingin sekali dia bilang bahwa ia sangat mengkhawatirkannya. Tapi dia tahu itu tidak mungkin dia ucapkan.
"Memangnya kau buat alasan apa sampai dia mau menungguku lama sekali?" Bagaimanapun juga Amber sedikit penasaran.
"Aku hanya bilang jika kucing peliharaanmu sedang melahirkan! Itu mudah sekali , kan?!" Begitu percaya diri Oliver menjelaskan. Padahal ada kebohongan yang harus ia sembunyikan.
"Benarkah?" Amber mengernyit. Apakah ia terlihat seperti seorang gadis yang bisa dibodohi?! Amber tak percaya dengan alasan konyol itu.
"Kau tak percaya?!" Oliver maju, berjalan mundur di depan Amber lalu menjelaskan.
"Kau saja yang tidak tahu ! Dosen pembimbingmu itu adalah penyuka kucing. Bahkan dia memelihara selusin kucing di rumanya. Jadi aku berinisiatif mengatakan alasan itu padanya!"
"Darimana kau tahu?!" Amber masih menyelidiki mimik wajah lelaki itu. Ia menaikkan sudut alisnya sebelah.
"Aku mengikuti akun media sosialnya!" jawab lelaki yang masih berjalan mundur sekarang.
"Baiklah, aku percaya!" Amber melebarkan langkahnya kemudian menyalip Oliver.
"Hey, aku tidak berbohong!" hampir saja lelaki itu terjatuh karena terlalu cepat memutar tubuhnya. Ia tak sabar untuk menyusul Amber yang sudah berjalan lebih dulu. Sedangkan wanita itu masih tidak mempercayainya.
Lagipula ... memang Oliver tidak dapat mengatakan keadaan yang sebenarnya tadi. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa dia telah memohon dengan susah payah agar dosen itu mau menunggu Amber. Bahkan pria itu rela diperintahkan ini dan itu oleh dosen itu. Tak apa, tidak masalah. Demi Amber dia rela melakukan apapun.
"Iya, iya, aku percaya! Terima kasih karena kau sudah menolongku, ya!" Amber tersenyum sangat lebar namun jelas wanita itu tidak ikhlas.
Apartemen yang sekarang menjadi tempatnya berteduh dari hujan dan panas letaknya tidak begitu jauh dari kampus. Hanya membutuhkan waktu 30 menit berjalan kaki. Makanya Amber merasa beruntung bisa mendapatkan tempat yang strategis seperti itu.
Sebuah ide datang mengetuk pintu masuk ke dalam jaringan otaknya. Ia menyeringai ketika mengingat rumah barunya yang masih berantakan itu.
"Kau-!" Dia menoleh dengan seringai yang tak luntur di bibir.
Tiba-tiba Oliver merasakan firasat buruk. Sambil terus berjalan dia bergidik merasakan kengerian yang akan datang.
"Bantu aku membereskan barang-barang!" Makin lebar pula seringai itu sampai membuat orang merinding dibuatnya.
"Oke!" Tapi sudut bibir Oliver berkedut. Ia merasa wanita itu akan memanfaatkannya dengan baik nanti.
"Anak baik!" Sambil berjinjit Amber mengelus puncak kepala Oliver dengan senyum lebar bahkan sampai ia memejamkan matanya.
Oliver tertegun. Saat ini, di matanya, Amber nampak begitu cantik meskipun wanita itu jarang merias wajah. Cemerlang di wajah Amber begitu menyilaukan matanya. Seperti banyak bunga-bunga berkilau di sekeliling wajahnya sehingga membuat Amber nampak begitu menawan di mata Oliver.
Dia, sejak dulu sudah menyukai wanita itu. Dan dia tidak berharap wanita itu untuk mengetahuinya. Begini saja sudah cukup. Memandangnya, bertemu dan melihat senyum cerianya setiap hari sudah merupakan anugerah terindah baginya.
Dan lagi, sebuah drama masa lalu telah membuat Amber tak ingin berhubungan dengan lelaki mana pun. Ini terkait dengan kakak perempuan Amber, Terra. Makanya wanita itu memilih untuk hidup mandiri. Padahal jika mau, kakaknya itu akan memberikan apapun yang Amber inginkan.
Semakin Amber berusaha keras, semakin besar pula kesempatan bagi Oliver untuk selalu berada di sisinya. Meskipun statusnya hanya seorang teman. Mengaguminya lalu mengerahkan tenaga untuk membantunya sudah merupakan anugerah tersendiri untuk pria itu.
"Hey! Ada apa dengan matamu?" Amber melambaikan tangannya di depan Oliver. Sambil tersenyum penuh ironi, ternyata lamunannya harus berhenti.
"Tidak ada!" Cepat ia mengubah ekspresi di wajahnya. Cukup tenang seperti air mengalir di sungai.
"Dasar orang aneh!" Amber menggerutu sambil menyamakan langkah mereka.
Beberapa waktu mereka mengobrol tentang apa saja. Berbicara ini itu dengan gurauan di tengahnya. Membuat pemandangan mereka berdua yang akrab menjadi bahan iri hati semua orang. Jika tidak mengenal mereka, mungkin akan mengira jika mereka berdua adalah pasangan kekasih. Sayangnya, itu hanyalah sebuah mimpi bagi Oliver saja saat ini.
"Aku harus mendapatkan pekerjaan secepatnya!" keluh Amber sambil mengerucutkan bibir. Kesal sendiri belum mendapatkan pekerjaan.
"Apakah pikiranmu hanya uang saja?! Heh! Kau baru sehari menganggur, bukan sebulan!" Oliver berdecak sambil menggelengkan kepala. Wanita ini apakah tidak bisa bersantai sedikit, pikirnya.
"Sehari pun sangat berharga bagiku! Hey, kau tahu! Para pengusaha yang kaya raya itu sangat menghargai waktu mereka bahkan jika hanya sejam saja. Tidak! Mungkin untuk beberapa menit sekali pun!"
"Makanya jangan sampai menyia-nyiakan waktu kita yang berharga ini! Kau mengerti?!" Amber selesai menggurui dengan wajah bijaksana.
"Tapi Kak Terra kan bisa .... " Oliver menghentikan dirinya sendiri untuk membuka mulutnya lebih lama lagi. Ia melupakan sesuatu hal yang penitng.
Meskipun Amber tahu bahwa fasilitas apapun bisa dimilikinya. Wanita itu tidak suka berbagi jarak dengan Terra. Dan lagi Amber merasa masih bisa menghidupi dirinya sendiri. Uang jajan yang selalu dikirim Terra pun tak pernah disentuhnya. Mungkin sudah menggunung di dalam tabungannya saat ini.
Hal itu pula yang membuat Oliver semakin menyukainya. Amber adalah sosok wanita kuat dan tangguh menurutnya. Dan apapun itu yang Amber putuskan untuk hidupnya, ia akan selalu mendukungnya.
"Hey, lihat! Ada lowongan pekerjaan di sini!" seru Oliver setelah tak sengaja melihat info yang ditempel di pintu masuk sebuah kedai kopi.
Suara Oliver yang bersemangat pun mengubah muram di wajahnya. Amber segera menoleh dan ikut membaca kalimat lengkap pada dinding berbahan kaca itu. Wanita itu pun kini sudah mengembalikan semangatnya lagi. Jika sudah berurusan dengan uang, maka moodnya akan seketika membaik.
Sekarang mereka sudah setengah jalan untuk sampai ke apartemen baru Amber. Makin bersemangatlah dia mengetahui di tempat ini terdapat hal yang dia cari.
Amber merasa jika tempat ini sangat cocok dan strategis untuknya bekerja nanti. Ia bisa menghemat waktu untuk pergi ke kampus ataupun pulang ke rumah. Diperkirakan ia akan sampai di rumah 15 menit lagi dari kedai kopi ini. Oh sungguh! Ia harus bisa diterima di tempat ini! Matanya nyala penuh tekad.
"Ayo kita masuk dan bertanya!" Amber menarik tangannya. Oliver yang belum siap pun hampir terjepit pintu karena langkahnya yang terseok-seok. Tenaga Amber memang sungguh luar biasa. Ia sampai kualahan untuk mengimbangi tenaga wanita itu. Amber bersemangat sekali!
Baru saja Oliver bisa berdiri tegap di tempatnya, dan Amber juga sedang mengedarkan pandangan untuk menentukan kepada siapa dia bertanya. Segerombolan mahasiswi masuk dengan brutal. Ada sekitar sepuluh orang gadis. Ketika masuk, mereka langsung menyerukan nama seseorang dengan begitu histeris pula.
Namun Amber tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Yang ada malahan tubuhnya terdorong tanpa sengaja oleh gelombang yang baru saja datang. Tubuhnya hampir tersungkur ke lantai. Beruntung Oliver masih sempat menariknya hingga ia masuk ke dalam dekapan pria itu.
Amber memandangi gadis-gadis itu dengan marah. Tidak tahu jika saat ini Oliver sedang menatapnya.
selamat membaca teman-teman đ
"Lepas! Biarkan Kakak ini memberi perhitungan kepada para junior itu!" Dia menyingkir dari pelukan Oliver, kemudian menggulung lengan bajunya sampai ke atas, Amber tak sabar ingin memberi pelajaran kepada mereka semua yang tidak sopan. Oliver tersenyum pahit. Wanita itu memang tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. Sepertinya hanya dia sendiri yang merasakan jantungnya berdegub kencang. "Tunggu! Kita tidak bisa membuat masalah di sini!" Pada akhirnya Oliver harus menahan temannya yang sudah geram. Ia memberi penjelasan kepada wanita itu bahwa mereka memiliki tujuan di tempat ini. Jika mereka membuat kerusuhan, bisa jadi tidak ada kemungkinan untuk Amber dapat bekerja di sini. Mengingat hal itu, Amber benar-benar haus berbesar hati untuk melepaskan gadis-gadis itu. Sepertinya mereka masih di tahun awal kuliah. Masih terlalu belia untuk menerima beberapa pelajaran dari Amber yang sudah cukup dewasa. Amber berusaha mewajarkan hal ini karen
Ketika hari berubah malam, langit pun dihiasi rembulan. Hujan sudah reda, menyisahkan rintik-rintik kecil yang terjun melalui atap rumah. Amber dan Oliver tengah menikmati pemandangan itu dengan segelas kopi di samping mereka. Keduanya duduk bersisian sambil menatap keluar pintu kaca yang sengaja Amber buka. Pintu kaca itu menjadi akses ke balkon kecil yang menghadap ke area parkir apatemennya. "Akhirnya selesai juga!" Amber merentangkan tangannya ke atas meregangkan otot-ototnya. Beberapa menit yang lalu, dia dan Oliver baru saja selesai membereskan rumah yang semula masih berantakan itu. Sekarang mereka sedang bersantai, mengistirahatkan diri sambil menikmati kopi. "Memangnya kenapa kau tidak memakai jasa pindahan saja untuk membantumu membereskan barang-barang?" Oliver menyesap kopi di cangkirnya sambil melirik ketika bertanya. "Sudah! Tapi kau tahu, kan, kalau aku pindah rumah tengah malam?! Jadi tidak tega rasanya aku mempekerjakan mereka
"Kak!" Rainer menunggu beberapa lama namun Liam masih belum menjawab pertanyaannya. Jadi dia berseru untuk mengingatkan kakaknya lagi tentang dirinya. "Ya, maaf! Kau bertanya apa tadi?" Liam pura-pura lupa. "Jangan coba-coba kabur lagi dari pertanyaanku seperti biasanya! Kali ini tolong jawab aku!" imbuh Rainer dengan nada mengancam. Dia sangat ingin mengetahui perihal mimpinya itu. Mimpi yang selalu membuatnya resah dan gelisah selama beberapa tahun ini. Seperti sesuatu yang penting terlewatkan dalam hidupnya. Rainer ingin tahu, tapi tak ada satu orang pun yang mau mengobati rasa penasarannya ini. Semua orang di sekitarnya seperti dibungkam mulutnya. Dan dia tahu jika itu adalah perbuatan kakaknya. Bahkan orang tuanya sekali pun tidak mau memberitahunya barang satu kalimat pun. Satu saja petunjuk bisa ia dapatkan, maka akan mudah baginya untuk mengorek semua masa lalu yang terkubur itu. Rainer hanya ingat, 6 tahun yang lalu, dia bangun dari k
"Dia, kan! Dia, kan! Dia, kan, pria tampan itu!" Akhirnya mulut Amber bisa mengatakann sesuatu. Suaranya terdengar bersemangat dan agak kencang. Lalu orang-orang yang masih berada di sana untuk berteduh pun memandanginya dengan tatapan aneh. Ditatap seperti itu Amber merasa seperti akan ditelan oleh sebuah black hole besar. Kabur! Pikirnya begitu saja. Kakinya kemudian merespon dengan cepat, lalu membawa dirinya menjauh dari tempat itu. Di bawah guyuran air hujan, Amber mencari-cari sosok pria berpayung yang tadi sudah berjalan lebih dulu darinya. Wanita itu menggunakan tasnya sebagai payung, melindungi kepalanya agar tidak terlalu basah kuyup. Netranya berubah cerah tatkala ia melihat sosok hitam dengan payung transparan berada tak jauh dari dirinya. Amber melebarkan langkahnya dengan girang. Menghentakkan setiap genangan air hujan di trotoar jalan yang ia pijak. "Ahh ... akhirnya!" ucapnya begitu percaya diri bercampur perasaan lega
Rainer benci hujan. Dan terbukti hari ini kesialannya datang karena hujan. Dia bertemu dengan wanita aneh dan bahkan harus mengeluarkan banyak suara. Itu bukan dia yang seperti biasanya sekali! Karena Rainer yang biasanya akan menghemat setiap kata yang keluar dari mulutnya. Biasanya dia malas untuk berlama-lama berdialog dengan orang lain. Tapi karena wanita aneh itu, dia jadi menghabiskan banyak tenaga. Dan Amber yang biasanya sangat menyukai hujan pun menjadi kesal. Tidak pernah ketika turun hujan harinya menjadi buruk meskipun dia kebasahan. Amber selalu suka hujan kapan pun itu. Tapi di hari yang hujan ini dia merasa sungguh sial sebab sudah bertemu dengan pria tampan yang sombongnya setinggi langit. ceklek! Sambil menyerang Amber dengan tatapannya, tangan Rainer terus bekerja untuk membuka kunci pintu kedai kopi itu. Dia pun menutup pintu kaca itu segera setelah membukanya. Amber ditinggalkannya di luar dalam kondisi basah. Dia tak peduli ketika
Seorang pria tengah tertidur di kamarnya di sebuah apartemen sederhana. Peluhnya bercucuran berbentuk sebiji jagung di dahinya. Dia kembali gelisah setelah sebelumnya tenang. Alisnya berkerut dalam dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Seperti badai tengah mengamuk di dalam mimpinya. Dor! Suara tembakan itu lantas membuat matanya terbuka dengan cepat. Suaranya sangat jelas memekak di telinganya. Susah payah ia mendudukkan diri. Sambil terengah-engah pria itu menyeka dahinya yang basah. "Mimpi itu lagi!" katanya kesal sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. Pria itu bangkit dari tempat tidurnya menuju keluar kamar. Kemudian berbelok begitu ia melewati pintu kamar itu. Ia berjalan menuju dapur. Ada kulkas di sana. Ia ambil sebotol air minum setelah membukanya. Lalu ia tenggak isinya dengan tidak sabar. Beberapa tetes air pun mengaliri rahang dan jakunnya yang bergerak naik turun. Lalu berhenti, dan membasahi dadanya yang sedikit terbuka.
"Bisakah kau diam?! Apa matamu buta?! Kau tidak tahu jam berapa sekarang?!" teriak seorang wanita yang umurnya kisaran di atas tiga puluhan. Ia terlalu emosi sampai urat di lehernya terlihat. Wanita muda yang tadinya bersemangat pun menutup mulutnya rapat. Ia memang melupakan bahwa ini sudah dini hari. Barulah ia menyadarinya ketika melihat pada jam tangannya yang bulat. Segera wanita muda itu menatapnya dengan penuh permohonan maaf. Karena saat ia akan berbicara, tetangganya itu sudah menyemprotnya kembali. "Gara-gara kau, anakku jadi susah ditidurkan!" Setelah berteriak lagi, wanita itu masuk sambil membanting pintunya dengan keras. Brak! Dia tersentak seraya memejamkan matanya saat menikmati suara dentuman keras itu. Ketika membuka mata, dia mulai menyemangati dirinya lagi yang baru saja merasa begitu kaget. "Tapi aku basah sekarang!" tatapnya pada sweater yang ia kenakan sekarang. Dari ujung rambut sampai setengah badan, ia basah k
Amber pun selalu bingung dengan mimpinya ini. Mimpi yang tidak pernah terlihat jelas penampakannya. Hanya saja, ketika pistol itu mengeluarkan peluru, gambaran di mimpinya terasa jelas. Sayang, hanya sampai di situ saja apa yang ia harapkan. Selebihnya, ia selalu tak dapat mengetahui siapa saja orang yang berada di dalam mimpi yang rajin datang itu. "Apakah itu masa laluku?" gumamnya pensaran sambil mencoba mengingat sesuatu. Tapi setiap kali , usahanya selalu terblokir dan tidak membuahkan hasil. Ia selalu saja tak dapat mengingat apa pun mengenai mimpi itu. Amber minum sisa air pada botol air mineral yang berada di tasnya. Setelah cukup untuk menenangkan diri, dia pun kembali merehatkan dirinya. Tubuhnya benar-benar perlu diistirahatkan sekarang. Jika dipaksakan lagi, nanti dia bisa sakit. Lalu jika dia sakit, dia tidak bisa mencari pekerjaan, jika dia tidak bisa bekerja, maka dia tidak bisa menghasilkan uang. Tidak bisa seperti itu! Tubuhnya sangat berharg