"Kak!" Rainer menunggu beberapa lama namun Liam masih belum menjawab pertanyaannya. Jadi dia berseru untuk mengingatkan kakaknya lagi tentang dirinya.
"Ya, maaf! Kau bertanya apa tadi?" Liam pura-pura lupa.
"Jangan coba-coba kabur lagi dari pertanyaanku seperti biasanya! Kali ini tolong jawab aku!" imbuh Rainer dengan nada mengancam.
Dia sangat ingin mengetahui perihal mimpinya itu. Mimpi yang selalu membuatnya resah dan gelisah selama beberapa tahun ini. Seperti sesuatu yang penting terlewatkan dalam hidupnya. Rainer ingin tahu, tapi tak ada satu orang pun yang mau mengobati rasa penasarannya ini.
Semua orang di sekitarnya seperti dibungkam mulutnya. Dan dia tahu jika itu adalah perbuatan kakaknya. Bahkan orang tuanya sekali pun tidak mau memberitahunya barang satu kalimat pun. Satu saja petunjuk bisa ia dapatkan, maka akan mudah baginya untuk mengorek semua masa lalu yang terkubur itu.
Rainer hanya ingat, 6 tahun yang lalu, dia bangun dari koma yang begitu lama. Hampir satu tahun kakaknya mengatakan bahwa dia hanya terbaring saja di tempat tidur rumah sakit. Dan semua orang mengatakan hal itu terjadi karena dirinya mengalami kecelakaan saat kembali ke rumah.
Saat itu Rainer percaya. Tapi seiring berjalannya waktu, ia merasa ada yang hilang di dalam memorinya. Namun dia tidak dapat mengetahui apa itu. Ditambah lagi mimpi suara tembakan yang terus berulang dengan adegan yang sama. Perasaannya pun kacau setiap kali mimpi itu terjadi. Jadi, bukankah hal wajar baginya jika ingin mengetahui hal yang tersimpan dalam itu?!
"Kak!" seru Rainer lagi tapi kali ini dengan nada memohon.
"Rainer!" Lelaki itu dapat mendengar kakaknya menarik nafas dalam-dalam. Dia sabar menungggu Liam mengatakan apapun padanya dalam diam.
"Ada hal yang baik untuk diingat dan ada juga yang belum tentu baik untuk dikenang. Bisa jadi dirimu sendiri yang ingin kau yang sekarang melupakan semua hal itu" Liam mengembuskan nafasnya sangat panjang setelah itu.
"Apa maksud Kakak?" serbu Rainer malah semakin penasaran.
"Maaf, Rainer! Kakak tidak berhak mengatakan apapun kepadamu. Biar waktu yang menjawab semua pertanyaan yang kau miliki sekarang."
"Jaga dirimu di sana! Sesekali kunjungilah kami. Ayah dan ibu merindukanmu!" Segera Liam menutup sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari adiknya lagi.
"Kakak!" Rainer masih berharap kakaknya itu tidak menutup teleponnya.
Bahkan setelah Liam mengucapkan kata-kata itu mungkin Rainer nanti tidak akan bisa tidur karena terlalu memikirkannya.
"Jika aku koma selama setahun, berarti semua hal yang aku lupakan berada pada setahun sebelumnya. Jadi apa yang sebenarnya terjadi 7 tahun lalu?!" gumamnya sendiri seraya menggenggam teleponnya erat.
Di sisi lain,
Di kediaman Finn, Liam masih tinggal bersama keluarga kecilnya di sana, beserta ayah dan ibunya.
Lelaki yang baru saja menyelesaaikan panggilannya itu pun terlihat frustasi. Dia meremas gawai di tangannya sambil menundukkan kepala. Satu tangannya lagi menjambak sejumput rambut yang bsia dicengkeramnya. Hatinya mendadak risau.
"Ada apa?" Sebuah telapak tangan hangat mengusap bahunya yang tegang. Telapak tangan lembut yang mampu mengusir setiap bebannya di sana.
Liam menoleh, istrinya datang menghampirinya. Wanita anggun itu bernama Lily, Feronica Lily Finn. Wanita lemah lembut yang selalu menjadi fondasi dari rapuhnya hati Liam.
Lily mendatangi ruang kerja suaminya. Beberapa percakapan sempat ia dengar, namun ia tak berniat mendekat. Lily lebih memilih menunggu suaminya itu menyelesiakan obrolan dengan adik iparnya itu. Ketika selesai, barulah ia berjalan mendekat. Apalagi tahu jika suasana hati Liam jarang sekali baik setiap selesai menghubungi Rainer.
"Dia menanyakan hal itu lagi?" Lily mengeluarkan suaranya yang semerdu harmonika. Dia berjongkok di depan suaminya yang muram.
"Tidak apa-apa! Tuhana tahu kapan waktu yang tepat bagi Rainer untuk mengetahui semuanya" Lily mengambil tangan Liam yang masih berada di kepalanya.
"Jangan terlalu mengkhawatirkan anak itu. Adikmu itu sudah dewasa, umurnya saja sudah masuk kepala tiga sekarang! Aku yakin dia akan bijak dalam mengambil sikap ketika sudah mengetahui semuanya nanti. Dan yang dia perlukan saat itu adalah dukungan dari kita yang tak putus. Kita harus terus berada di sisinya seperti dulu" tambahnya lagi sambil mengusap punggung tangan Liam. Suaranya yang begitu merdu sungguh menenangkan hati Liam. Ditambah lagi dengan kata-kata yang dia ucapkan, Liam merasa perasaannya lebih baik sekarang.
"Kau memang yang terbaik! Terima kasih, Sayang!" Liam mengecup puncak kepala Lily. Ia memejamkan mata dengan perasaan penuh syukur dan haru. Lily selalu tahu bagaimana cara menguatkannya.
"Ayo mandi! Aku tidak ingin Ivan mencium bau ayahnya yang belum mandi sampai malam begini! Kau bau!" Lily menutup hidungnya sambil terkekeh.
Nicholas Ivander Finn, itu adalah nama putra mereka. Sekarang sudah berumur delapan tahun. Parasnya yang tampan mewarisi genetik ayah dan ibunya. Semua orang biasanya memanggilnya Ivan.
"Aku bau saja kau mencintaiku, apalagi jika aku wangi!" Liam malah mencondongkan tubuhnya ke arah Lily dengan sengaja.
Lily memukul bahu suaminya pelan sambil menggiringnya ke arah luar. Supaya Liam cepat-cepat membersihkan diri dan mereka bisa makan malam bersama.
Hari berganti,
Sejak mentari mengawali pekerjaannya menyinari hari, tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Awan kelabu sebagai pertandanya pun tak muncul barang setitik pun. Sehingga ia merasa gembira karena dapat memberikan kehangatan untuk semua orang.
Amber bangun pagi-pagi sekali. Dia terlalu bersemangat untuk memulai haari ini. Sesuai informasi yang Oliver katakan kepadanya, hari ini dia akan melamar pekerjaan di kedai kopi yang kemarin mereka singgahi.
Dia baru saja mengeringkan rambutnya dengan pengering rambut. Sedikit memoles wajahnya agar tidak terlihat pucat di depan cermin. Lalu merapikan kemeja dan celana hitam yang ia kenakan saat ini.
Amber menyibak rambutnya dengan satu tangan dan bergaya congkak di depan kaca. Lalu dia berkata sambil meletakkan tangannya di pinggang, "Aku tahu kau memang cantik!"
Dia menganggukkan kepalanya beberapa kali, lalu tersenyum puas sampai matanya menyipit. Amber menatap pantulan dirinya di kaca dengan begitu percaya diri.
Pukul delapan pagi, Amber berangkat. Ia berharap bisa berhasil mendapatkan pekerjaan, sehingga dia bisa segera mengumpulkan pundi-pundi uang lagi.
Setengah jalan lagi dia sampai di kedai kopi itu. Tiba-tiba air yang begitu banyak mengguyur tubuhnya. Amber gunakan tas selempangnya untuk menutupi kepalanya. Jangan sampai dia terlalu basah. Tidak ingin riasannya juga luntur karena air hujan.
Sejenak berlari, akhirnya dia berteduh di sebuah halte bus. Ada beberapa orang juga di sana yang berteduh sama seperti dirinya. Membuat sepetak lahan berpayung itu menjadi terasa penuh. Dia menggeser tubuhnya sebisa mungkin agar tidak terkena air hujan. Pasalnya saat ini Amber berdiri di bagian paling luar halte. Dia terdorong oleh orang-orang.
Amber memeluk tubuhnya yang sudah setengah basah. Menghangatkan dirinya sendiri sambil menghadang air hujan yang siap menerpa tubuhnya lagi. Sambil mendengarkan keluhan orang-orang yang tak habis pikir karena mendadak hujan.
"Padahal tinggal sedikit lagi!", gumamnya lesu sambil memandangi jalanan yang basah.
Amber tidak menyalahkan hujan. Dia suka hujan. Jika bisa, sebenarnya saat ini dia ingin membiarkan dirinya basah disentuh oleh rintik hujan yang rimbun. Hatinya selalu damai setiap kali menikmati air hujan.
"Tapi sekarang waktunya tidak tepat!" Dia menunduk sambil merengut. Menyesali hal yang tidak bisa dia lakukan.
Dia harus melamar pekerjaan sekarang. Jadi tidak mungkin bukan, jika dirinya melamar pekerjaan dalam kondisi basah kuyup?!
Di tengah pikirannya yang galau, kerumunan orang di halte itu bergerak. Membuat Amber sedikit bergeser karena yang lainnya. Ketika menoleh, ternyata seorang pria berhoodie keluar dari tengah lalu maju ke depan. Sejajar dengan dirinya.
Rainer, laki-laki itu adalah Rainer. Merasa hujan akan lama berhenti, maka dia memutuskan untuk menggunakan payungnya supaya bisa sampai di kedai kopi dengan cepat. Dia tidak suka berlama-lama dengan air hujan.
Ketika Rainer sedang membuka payungnya yang transparan, Amber terus memperhatikannya. Menoleh dengan kaku seperti sudah mengingat sesuatu. Sampai Rainer siap dengan payungnya barulah Amber tersadar.
"Kau, kau, kan?!" Dia berusaha bertanya tapi sepertinya Rainer tidak mendengar.
Rainer sudah lebih dulu berjalan membelah hujan yang riuh ramai. Jadi hanya udara kosong yang berhasil Amber gapai dengan tangannya. Untuk beberapa saat Amber menjadi patung bernafas di tempatnya.
"Dia, kan! Dia, kan! Dia, kan, pria tampan itu!" Akhirnya mulut Amber bisa mengatakann sesuatu. Suaranya terdengar bersemangat dan agak kencang. Lalu orang-orang yang masih berada di sana untuk berteduh pun memandanginya dengan tatapan aneh. Ditatap seperti itu Amber merasa seperti akan ditelan oleh sebuah black hole besar. Kabur! Pikirnya begitu saja. Kakinya kemudian merespon dengan cepat, lalu membawa dirinya menjauh dari tempat itu. Di bawah guyuran air hujan, Amber mencari-cari sosok pria berpayung yang tadi sudah berjalan lebih dulu darinya. Wanita itu menggunakan tasnya sebagai payung, melindungi kepalanya agar tidak terlalu basah kuyup. Netranya berubah cerah tatkala ia melihat sosok hitam dengan payung transparan berada tak jauh dari dirinya. Amber melebarkan langkahnya dengan girang. Menghentakkan setiap genangan air hujan di trotoar jalan yang ia pijak. "Ahh ... akhirnya!" ucapnya begitu percaya diri bercampur perasaan lega
Rainer benci hujan. Dan terbukti hari ini kesialannya datang karena hujan. Dia bertemu dengan wanita aneh dan bahkan harus mengeluarkan banyak suara. Itu bukan dia yang seperti biasanya sekali! Karena Rainer yang biasanya akan menghemat setiap kata yang keluar dari mulutnya. Biasanya dia malas untuk berlama-lama berdialog dengan orang lain. Tapi karena wanita aneh itu, dia jadi menghabiskan banyak tenaga. Dan Amber yang biasanya sangat menyukai hujan pun menjadi kesal. Tidak pernah ketika turun hujan harinya menjadi buruk meskipun dia kebasahan. Amber selalu suka hujan kapan pun itu. Tapi di hari yang hujan ini dia merasa sungguh sial sebab sudah bertemu dengan pria tampan yang sombongnya setinggi langit. ceklek! Sambil menyerang Amber dengan tatapannya, tangan Rainer terus bekerja untuk membuka kunci pintu kedai kopi itu. Dia pun menutup pintu kaca itu segera setelah membukanya. Amber ditinggalkannya di luar dalam kondisi basah. Dia tak peduli ketika
Seorang pria tengah tertidur di kamarnya di sebuah apartemen sederhana. Peluhnya bercucuran berbentuk sebiji jagung di dahinya. Dia kembali gelisah setelah sebelumnya tenang. Alisnya berkerut dalam dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Seperti badai tengah mengamuk di dalam mimpinya. Dor! Suara tembakan itu lantas membuat matanya terbuka dengan cepat. Suaranya sangat jelas memekak di telinganya. Susah payah ia mendudukkan diri. Sambil terengah-engah pria itu menyeka dahinya yang basah. "Mimpi itu lagi!" katanya kesal sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. Pria itu bangkit dari tempat tidurnya menuju keluar kamar. Kemudian berbelok begitu ia melewati pintu kamar itu. Ia berjalan menuju dapur. Ada kulkas di sana. Ia ambil sebotol air minum setelah membukanya. Lalu ia tenggak isinya dengan tidak sabar. Beberapa tetes air pun mengaliri rahang dan jakunnya yang bergerak naik turun. Lalu berhenti, dan membasahi dadanya yang sedikit terbuka.
"Bisakah kau diam?! Apa matamu buta?! Kau tidak tahu jam berapa sekarang?!" teriak seorang wanita yang umurnya kisaran di atas tiga puluhan. Ia terlalu emosi sampai urat di lehernya terlihat. Wanita muda yang tadinya bersemangat pun menutup mulutnya rapat. Ia memang melupakan bahwa ini sudah dini hari. Barulah ia menyadarinya ketika melihat pada jam tangannya yang bulat. Segera wanita muda itu menatapnya dengan penuh permohonan maaf. Karena saat ia akan berbicara, tetangganya itu sudah menyemprotnya kembali. "Gara-gara kau, anakku jadi susah ditidurkan!" Setelah berteriak lagi, wanita itu masuk sambil membanting pintunya dengan keras. Brak! Dia tersentak seraya memejamkan matanya saat menikmati suara dentuman keras itu. Ketika membuka mata, dia mulai menyemangati dirinya lagi yang baru saja merasa begitu kaget. "Tapi aku basah sekarang!" tatapnya pada sweater yang ia kenakan sekarang. Dari ujung rambut sampai setengah badan, ia basah k
Amber pun selalu bingung dengan mimpinya ini. Mimpi yang tidak pernah terlihat jelas penampakannya. Hanya saja, ketika pistol itu mengeluarkan peluru, gambaran di mimpinya terasa jelas. Sayang, hanya sampai di situ saja apa yang ia harapkan. Selebihnya, ia selalu tak dapat mengetahui siapa saja orang yang berada di dalam mimpi yang rajin datang itu. "Apakah itu masa laluku?" gumamnya pensaran sambil mencoba mengingat sesuatu. Tapi setiap kali , usahanya selalu terblokir dan tidak membuahkan hasil. Ia selalu saja tak dapat mengingat apa pun mengenai mimpi itu. Amber minum sisa air pada botol air mineral yang berada di tasnya. Setelah cukup untuk menenangkan diri, dia pun kembali merehatkan dirinya. Tubuhnya benar-benar perlu diistirahatkan sekarang. Jika dipaksakan lagi, nanti dia bisa sakit. Lalu jika dia sakit, dia tidak bisa mencari pekerjaan, jika dia tidak bisa bekerja, maka dia tidak bisa menghasilkan uang. Tidak bisa seperti itu! Tubuhnya sangat berharg
"Untung saja tadi dosen pembimbingmu masih mau menunggumu datang!" seru seorang pria yang menggendong tas ransel di punggungnya. Dia berjalan berdampingan dengan Amber di sisinya. Pria jangkung itu bernama Oliver. Dia sudah berteman dengan Amber sejak mereka duduk di sekolah menengah atas. Keduanya akrab sejak dulu. Namun pertemanan mereka sudah tidak murni. Oliver menodainya dengan perasaan suka yang Amber tidak ketahui hingga saat ini. "Iya ... iya ... bukannya aku sudah mengucapkan terima kasih tadi! Kepada temanmu saja kau pamrih sekali!" Amber mendengus pelan. "Hey! Bukannya seperti itu!" Oliver tak berdaya. Padahal ingin sekali dia bilang bahwa ia sangat mengkhawatirkannya. Tapi dia tahu itu tidak mungkin dia ucapkan. "Memangnya kau buat alasan apa sampai dia mau menungguku lama sekali?" Bagaimanapun juga Amber sedikit penasaran. "Aku hanya bilang jika kucing peliharaanmu sedang melahirkan! Itu mudah sekali , kan?!" Begitu percaya diri O
"Lepas! Biarkan Kakak ini memberi perhitungan kepada para junior itu!" Dia menyingkir dari pelukan Oliver, kemudian menggulung lengan bajunya sampai ke atas, Amber tak sabar ingin memberi pelajaran kepada mereka semua yang tidak sopan. Oliver tersenyum pahit. Wanita itu memang tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. Sepertinya hanya dia sendiri yang merasakan jantungnya berdegub kencang. "Tunggu! Kita tidak bisa membuat masalah di sini!" Pada akhirnya Oliver harus menahan temannya yang sudah geram. Ia memberi penjelasan kepada wanita itu bahwa mereka memiliki tujuan di tempat ini. Jika mereka membuat kerusuhan, bisa jadi tidak ada kemungkinan untuk Amber dapat bekerja di sini. Mengingat hal itu, Amber benar-benar haus berbesar hati untuk melepaskan gadis-gadis itu. Sepertinya mereka masih di tahun awal kuliah. Masih terlalu belia untuk menerima beberapa pelajaran dari Amber yang sudah cukup dewasa. Amber berusaha mewajarkan hal ini karen
Ketika hari berubah malam, langit pun dihiasi rembulan. Hujan sudah reda, menyisahkan rintik-rintik kecil yang terjun melalui atap rumah. Amber dan Oliver tengah menikmati pemandangan itu dengan segelas kopi di samping mereka. Keduanya duduk bersisian sambil menatap keluar pintu kaca yang sengaja Amber buka. Pintu kaca itu menjadi akses ke balkon kecil yang menghadap ke area parkir apatemennya. "Akhirnya selesai juga!" Amber merentangkan tangannya ke atas meregangkan otot-ototnya. Beberapa menit yang lalu, dia dan Oliver baru saja selesai membereskan rumah yang semula masih berantakan itu. Sekarang mereka sedang bersantai, mengistirahatkan diri sambil menikmati kopi. "Memangnya kenapa kau tidak memakai jasa pindahan saja untuk membantumu membereskan barang-barang?" Oliver menyesap kopi di cangkirnya sambil melirik ketika bertanya. "Sudah! Tapi kau tahu, kan, kalau aku pindah rumah tengah malam?! Jadi tidak tega rasanya aku mempekerjakan mereka