Ketika hari berubah malam, langit pun dihiasi rembulan. Hujan sudah reda, menyisahkan rintik-rintik kecil yang terjun melalui atap rumah.
Amber dan Oliver tengah menikmati pemandangan itu dengan segelas kopi di samping mereka. Keduanya duduk bersisian sambil menatap keluar pintu kaca yang sengaja Amber buka. Pintu kaca itu menjadi akses ke balkon kecil yang menghadap ke area parkir apatemennya.
"Akhirnya selesai juga!" Amber merentangkan tangannya ke atas meregangkan otot-ototnya.
Beberapa menit yang lalu, dia dan Oliver baru saja selesai membereskan rumah yang semula masih berantakan itu. Sekarang mereka sedang bersantai, mengistirahatkan diri sambil menikmati kopi.
"Memangnya kenapa kau tidak memakai jasa pindahan saja untuk membantumu membereskan barang-barang?" Oliver menyesap kopi di cangkirnya sambil melirik ketika bertanya.
"Sudah! Tapi kau tahu, kan, kalau aku pindah rumah tengah malam?! Jadi tidak tega rasanya aku mempekerjakan mereka sampai pagi. Jadi, aku meminta mereka pulang setelah meletakkan beberapa barang yang besar di tempatnya" jelas Amber santai, lalu menyesap kopinya juga.
"Kau tidak tega dengan mereka, tapi kau tega kepadaku! Huh ... sungguh keterlaluan sekali!" Oliver pura-pura mendengus kesal.
"Hey! Aku tahu aku selalu bisa mengandalkanmu!" Wanita itu menyenggol bahu temannya dengan tenaga sampai tubuh Oliver sedikit bergoyang.
Benar! Memang ini yang Oliver inginkan. Dia akan selalu bisa diandalkan kapan pun Amber memerlukannya. Dia akan bersabar samapi nanti Amber akan melihatnya sebagai seorang pria, bukan lagi hanya sebagai seorang teman.
Setelah menghabiskan isi cangkir kopi itu, Oliver pamit pulang. Sudah malam, dia ingin membiarkan Amber beristirahat dan mempersiapkan diri untuk melamar pekerjaan besok.
Oliver melambaikan tangannya pada Amber sampai pintu apartemen itu tertutup. Ketika ia membalikkan badan, matanya menangkap sosok pria yang masuk ke pintu di sebelah apartemen Amber.
Dari sudur pandangnya, Oliver melihat sisi kiri tubuh laki-laki itu. Nampak familiar menurutnya. Dia mengingat untuk beberapa saat, tapi tak menemukan jawaban.
Jadi Oliver memutuskan untuk kembali ke tujuan utamanya. Dia berjalan ke arah tangga sambil menggelengkan kepala. Membiarkan hal yang tadi ia pikirkan buyar.
Benar saja, itu adalah Rainer yang baru saja pulang bekerja. Lelaki itu tinggal di sebelah kiri apartemen Amber. Saat masuk rumah, ia langsung duduk di tempat tidurnya. Melemparkan tasnya ke sembarang arah, lalu berniat mandi untuk menyegarkan diri.
Tapi kemudian ponselnya berdering.
Rainer kembali lagi setelah mencapai ambang pintu. Ia merogoh tasnya yang terlihat menyala dari luar. Karena di sanalah letak ponselnya berada.
Kakak!
Rainer mengernyit, menahan bingungnya sebelum mengangkat telepon dari kakaknya itu.
"Kakak!" Dia sudah meletakkan gawainya di dekat telinga.
"Bagaimana keadaanmu? Sudah sebulan ini kau tak memberi kabar?" tanya seorang pria dengan nada bersahabat yang tulus.
Dia adalah Fransisco Liam Finn. Kakak laki-laki Rainer yang selalu menyayanginya. Usia mereka terpaut 5 tahun. Jadi saat ini Liam sudah berumur 35 tahun. Dia merupakan lelaki berkeluarga dengan seorang istri dan satu orang putra.
"Adikmu ini seorang laki-laki, tapi Kakak bertanya seperti kepada adik perempuan!" sahut Rainer ketus sambil membanting bokongnya ke tempat tidur.
Terdengar gelak tawa renyah pada sambungan telepon itu. Liam puas tertawa. Dia memang tidak bisa menghentikan dirinya sendiri untuk terlalu memperhatikan adiknya itu. Kasih sayangnya sebagai kakak bisa dibilang terlalu berlebihan. Padahal adiknya itu sudah menginjak kepala tiga.
Apalagi setelah kejadian tujuh tahun yang lalu. Ia merasa harus lebih memperhatikan adiknya lagi. Liam tidak ingin kejadian seperti itu terulang kembali. Saat itu ia sebagai seorang kakak telah gagal melindungi adiknya sendiri. Dan kejadian itu juga merupakan suatu pukulan besar bagi keluarga mereka.
Membiarkan Rainer memilih jalannya sendiri tanpa bimbingan, membebaskannya memilih arah, ternyata adalah hal yang salah. Setelah kejadian itu, ia merasa harus meluruskan jalan adiknya. Ia tak akan membiarkan adiknya itu salah jalan lagi. Sebagai kakak, Liam merasa ini sudah merupakan tanggung jawabnya.
"Jika Kakak tidak menerima telepon dariku berarti aku baik-baik saja sekarang!" sambung Rainer dengan kekesalannya.
"Jadi kau baru akan menghubungiku saat kau memiliki masalah saja?!" ledek Liam begitu senang.
"Bagaimana kuliahmu?" tanyanya setelah berhenti tertawa. Lagipula tak ada sahutan lagi dari adiknya itu. Sepertinya Rainer benar-benar kesal.
"Baik!"
"Skripsimu?"
"Baik!"
"Pekerjaanmu?".
"Baik!"
"Tempat tinggalmu?"
"Baik!"
"Kenapa jawabanmu hanya itu-itu saja, heh?!" terdengar Liam menghela nafas.
"Karena aku tahu pertanyaan Kakak tidak akan hanya itu-itu saja!" timpal Rainer dan kembali menimbulkan gelak tawa dari mulut kakaknya.
"Cepat selesaikan kuliahmu lalu bantu aku mengurus perusahaan! Kau masih ingat janjimu, kan?" Mendengar pertanyaan itu wajah Rainer berubah serius. Dia menipiskan bibirnya.
"Ya, aku ingat!" jawabnya singkat.
Rainer telah berjanji kepada Liam untuk meneruskan kuliahnya. Tapi dengan syarat agar selama Rainer menjalani masa kuliahnya, ia dibiarkan hidup sesuai dengan keinginannya sendiri. Tanpa fasilitas mumpuni yang keluarganya bisa sediakan untuknya.
Liam dengan mudah menyetujui hal itu karena dia juga memiliki persyaratan, bahwa setelah kuliahnya selesai, Rainer harus kembali ke rumah dan mengurus perusahaan bersama dengan dirinya. Dengan begitu Liam akan mudah memantau adiknya itu.
Keduanya pun mencapai kesepakatan. Paling tidak, untuk beberapa tahun Rainer bisa menjalani hidup yang nyaman sesuai dengan keinginannya. Dan Liam pun akan dengan sabar menunggu.
Identitas Rainer memang tidak sesederhana itu. Dia bukanlah laki-laki biasa yang sedang menyelesaikan kuliahnya sambil bekerja paruh waktu.
Rainer merupakan putra kedua dari sebuah keluarga ternama di negara ini. Kakaknya yang merupakan pewaris pun terlalu sibuk dan kewalahan, sehingga ia sangat menginginkan Rainer untuk membantunya. Jangan sampai perusahaan mereka dihabisi oleh tikus-tikus got yang rakus.
"Aku menunggumu menepati janjimu!" ujar Liam dengan nada serius.
"Ya, aku tahu!" Dan Rainer tahu bahwa saat ini kakaknya itu benar-benar memegang ucapannya. Ia pun tak mungkin mengingkari ucapannya sendiri sebagai pria.
"Ini pertanyaan terakhirku!" Suara Liam sedikit bergetar karena keraguan. Ia akhirnya berani membuka suara setelah lama hening membentang di antara mereka.
Rainer diam menunggu.
Liam menghela nafas dengan kasar sebelum mengajukan pertanyaannya, "Apakah kau masih memimpikan hal itu?"
Untuk beberapa saat Rainer terdiam. Dari ekspresinya, ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.
"Kak!" Mendengar seruan Rainer, dada Liam terasa berdebar.
"Apakah mimpi itu berhubungan dengan masa laluku?" Rainer bertanya dengan suara yang begitu dalam.
"Kak!" Rainer menunggu beberapa lama namun Liam masih belum menjawab pertanyaannya. Jadi dia berseru untuk mengingatkan kakaknya lagi tentang dirinya. "Ya, maaf! Kau bertanya apa tadi?" Liam pura-pura lupa. "Jangan coba-coba kabur lagi dari pertanyaanku seperti biasanya! Kali ini tolong jawab aku!" imbuh Rainer dengan nada mengancam. Dia sangat ingin mengetahui perihal mimpinya itu. Mimpi yang selalu membuatnya resah dan gelisah selama beberapa tahun ini. Seperti sesuatu yang penting terlewatkan dalam hidupnya. Rainer ingin tahu, tapi tak ada satu orang pun yang mau mengobati rasa penasarannya ini. Semua orang di sekitarnya seperti dibungkam mulutnya. Dan dia tahu jika itu adalah perbuatan kakaknya. Bahkan orang tuanya sekali pun tidak mau memberitahunya barang satu kalimat pun. Satu saja petunjuk bisa ia dapatkan, maka akan mudah baginya untuk mengorek semua masa lalu yang terkubur itu. Rainer hanya ingat, 6 tahun yang lalu, dia bangun dari k
"Dia, kan! Dia, kan! Dia, kan, pria tampan itu!" Akhirnya mulut Amber bisa mengatakann sesuatu. Suaranya terdengar bersemangat dan agak kencang. Lalu orang-orang yang masih berada di sana untuk berteduh pun memandanginya dengan tatapan aneh. Ditatap seperti itu Amber merasa seperti akan ditelan oleh sebuah black hole besar. Kabur! Pikirnya begitu saja. Kakinya kemudian merespon dengan cepat, lalu membawa dirinya menjauh dari tempat itu. Di bawah guyuran air hujan, Amber mencari-cari sosok pria berpayung yang tadi sudah berjalan lebih dulu darinya. Wanita itu menggunakan tasnya sebagai payung, melindungi kepalanya agar tidak terlalu basah kuyup. Netranya berubah cerah tatkala ia melihat sosok hitam dengan payung transparan berada tak jauh dari dirinya. Amber melebarkan langkahnya dengan girang. Menghentakkan setiap genangan air hujan di trotoar jalan yang ia pijak. "Ahh ... akhirnya!" ucapnya begitu percaya diri bercampur perasaan lega
Rainer benci hujan. Dan terbukti hari ini kesialannya datang karena hujan. Dia bertemu dengan wanita aneh dan bahkan harus mengeluarkan banyak suara. Itu bukan dia yang seperti biasanya sekali! Karena Rainer yang biasanya akan menghemat setiap kata yang keluar dari mulutnya. Biasanya dia malas untuk berlama-lama berdialog dengan orang lain. Tapi karena wanita aneh itu, dia jadi menghabiskan banyak tenaga. Dan Amber yang biasanya sangat menyukai hujan pun menjadi kesal. Tidak pernah ketika turun hujan harinya menjadi buruk meskipun dia kebasahan. Amber selalu suka hujan kapan pun itu. Tapi di hari yang hujan ini dia merasa sungguh sial sebab sudah bertemu dengan pria tampan yang sombongnya setinggi langit. ceklek! Sambil menyerang Amber dengan tatapannya, tangan Rainer terus bekerja untuk membuka kunci pintu kedai kopi itu. Dia pun menutup pintu kaca itu segera setelah membukanya. Amber ditinggalkannya di luar dalam kondisi basah. Dia tak peduli ketika
Seorang pria tengah tertidur di kamarnya di sebuah apartemen sederhana. Peluhnya bercucuran berbentuk sebiji jagung di dahinya. Dia kembali gelisah setelah sebelumnya tenang. Alisnya berkerut dalam dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Seperti badai tengah mengamuk di dalam mimpinya. Dor! Suara tembakan itu lantas membuat matanya terbuka dengan cepat. Suaranya sangat jelas memekak di telinganya. Susah payah ia mendudukkan diri. Sambil terengah-engah pria itu menyeka dahinya yang basah. "Mimpi itu lagi!" katanya kesal sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. Pria itu bangkit dari tempat tidurnya menuju keluar kamar. Kemudian berbelok begitu ia melewati pintu kamar itu. Ia berjalan menuju dapur. Ada kulkas di sana. Ia ambil sebotol air minum setelah membukanya. Lalu ia tenggak isinya dengan tidak sabar. Beberapa tetes air pun mengaliri rahang dan jakunnya yang bergerak naik turun. Lalu berhenti, dan membasahi dadanya yang sedikit terbuka.
"Bisakah kau diam?! Apa matamu buta?! Kau tidak tahu jam berapa sekarang?!" teriak seorang wanita yang umurnya kisaran di atas tiga puluhan. Ia terlalu emosi sampai urat di lehernya terlihat. Wanita muda yang tadinya bersemangat pun menutup mulutnya rapat. Ia memang melupakan bahwa ini sudah dini hari. Barulah ia menyadarinya ketika melihat pada jam tangannya yang bulat. Segera wanita muda itu menatapnya dengan penuh permohonan maaf. Karena saat ia akan berbicara, tetangganya itu sudah menyemprotnya kembali. "Gara-gara kau, anakku jadi susah ditidurkan!" Setelah berteriak lagi, wanita itu masuk sambil membanting pintunya dengan keras. Brak! Dia tersentak seraya memejamkan matanya saat menikmati suara dentuman keras itu. Ketika membuka mata, dia mulai menyemangati dirinya lagi yang baru saja merasa begitu kaget. "Tapi aku basah sekarang!" tatapnya pada sweater yang ia kenakan sekarang. Dari ujung rambut sampai setengah badan, ia basah k
Amber pun selalu bingung dengan mimpinya ini. Mimpi yang tidak pernah terlihat jelas penampakannya. Hanya saja, ketika pistol itu mengeluarkan peluru, gambaran di mimpinya terasa jelas. Sayang, hanya sampai di situ saja apa yang ia harapkan. Selebihnya, ia selalu tak dapat mengetahui siapa saja orang yang berada di dalam mimpi yang rajin datang itu. "Apakah itu masa laluku?" gumamnya pensaran sambil mencoba mengingat sesuatu. Tapi setiap kali , usahanya selalu terblokir dan tidak membuahkan hasil. Ia selalu saja tak dapat mengingat apa pun mengenai mimpi itu. Amber minum sisa air pada botol air mineral yang berada di tasnya. Setelah cukup untuk menenangkan diri, dia pun kembali merehatkan dirinya. Tubuhnya benar-benar perlu diistirahatkan sekarang. Jika dipaksakan lagi, nanti dia bisa sakit. Lalu jika dia sakit, dia tidak bisa mencari pekerjaan, jika dia tidak bisa bekerja, maka dia tidak bisa menghasilkan uang. Tidak bisa seperti itu! Tubuhnya sangat berharg
"Untung saja tadi dosen pembimbingmu masih mau menunggumu datang!" seru seorang pria yang menggendong tas ransel di punggungnya. Dia berjalan berdampingan dengan Amber di sisinya. Pria jangkung itu bernama Oliver. Dia sudah berteman dengan Amber sejak mereka duduk di sekolah menengah atas. Keduanya akrab sejak dulu. Namun pertemanan mereka sudah tidak murni. Oliver menodainya dengan perasaan suka yang Amber tidak ketahui hingga saat ini. "Iya ... iya ... bukannya aku sudah mengucapkan terima kasih tadi! Kepada temanmu saja kau pamrih sekali!" Amber mendengus pelan. "Hey! Bukannya seperti itu!" Oliver tak berdaya. Padahal ingin sekali dia bilang bahwa ia sangat mengkhawatirkannya. Tapi dia tahu itu tidak mungkin dia ucapkan. "Memangnya kau buat alasan apa sampai dia mau menungguku lama sekali?" Bagaimanapun juga Amber sedikit penasaran. "Aku hanya bilang jika kucing peliharaanmu sedang melahirkan! Itu mudah sekali , kan?!" Begitu percaya diri O
"Lepas! Biarkan Kakak ini memberi perhitungan kepada para junior itu!" Dia menyingkir dari pelukan Oliver, kemudian menggulung lengan bajunya sampai ke atas, Amber tak sabar ingin memberi pelajaran kepada mereka semua yang tidak sopan. Oliver tersenyum pahit. Wanita itu memang tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. Sepertinya hanya dia sendiri yang merasakan jantungnya berdegub kencang. "Tunggu! Kita tidak bisa membuat masalah di sini!" Pada akhirnya Oliver harus menahan temannya yang sudah geram. Ia memberi penjelasan kepada wanita itu bahwa mereka memiliki tujuan di tempat ini. Jika mereka membuat kerusuhan, bisa jadi tidak ada kemungkinan untuk Amber dapat bekerja di sini. Mengingat hal itu, Amber benar-benar haus berbesar hati untuk melepaskan gadis-gadis itu. Sepertinya mereka masih di tahun awal kuliah. Masih terlalu belia untuk menerima beberapa pelajaran dari Amber yang sudah cukup dewasa. Amber berusaha mewajarkan hal ini karen