Milova sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Osa. Matanya ikut berbinar ketika membayangkan akan kembali bertemu dengan Rama, lelaki yang ia yakini akan melindunginya. "Dimana Mas Rama?" Milova tidak sabar menanti penjelasan lelaki yang ada di hadapannya itu. Bagi Osa ini terdengar sangat menjijikan, di mana seorang mantan istri sangat menunggu kehadiran mantan suaminya. Dan pikiran Osa juga mulai menguliti masa lalu Milova, terpikir olehnya jika Milova adalah gadis melankolis dan bucin di masa lalu. Berbeda dengan Milova di masa sekarang, ia terlihat lebih cuek dan tak peduli dengan apapun yang terjadi. "Sebelumnya, aku ingin tahu sesuatu!" Osa memberi persyaratan. "dimana dan kapan kamu terakhir bertemu lelaki tidak bertanggung jawab itu?" Osa begitu sinis. "Apa urusannya dengan Osa? Milova tak habis pikir dengan sikap lelaki arogan itu. Ia yang terlihat begitu cuek dan kasar tapi begitu ingin tahu tentang urusan orang lain. Ya, memang Milova belum pernah meliha
Ternyata tergopoh-gopohnya Milova tak lain dengan tujuan untuk menyelinap ke ruang kerja Osa. Ia berharap ada sesuatu bukti yang dapat ia temukan atau mungkin informasi yang dapat mengarahkannya untuk mengetahui di mana keberadaan Rama. Ia memberanikan diri untuk menutup rapat ruang kerja Osa. Lalu mulai memeriksa meja kerja Osa. Berkas-berkas yang berserakan ikut ia kuliti, sambil tetap berhati-hati jikalau ada orang yang melihat atau mungkin Osa yang kembali ke sekolah. "Ah sial!'" celetuk Milova, kesal. Ia ikut membanting beberapa berkas yang sudah terletak di meja Osa sebelumnya. Beberapa detik ia terdiam sambil tetap melirik ke kiri dan kanan, memastikan ada sesuatu yang bisa ia curigai. Pandangannya teralih pada sebuah laci yang ada di lemari ruang tersebut. Ia tak tahu pasti fungsi laci tersebut, tapi menurutnya mungkin dokumen-dokumen penting Osa disimpan di sana. Bergegas ia membuka laci tersebut dan mendapati beberapa dokumen penting seperti surat izin sekolah dan
"Mau kemana?" hampir saja Milova berteriak mendengar pertanyaan dari lelaki kekar yang sudah terpatri di hadapannya. Wajar saja jika terkejut, bukan hanya karena Milova melakukan kesalahan, tapi karena Osa tiba-tiba saja muncul saat ia membuka pintu. Ia yang awalnya sudah ingin ke rumah sakit untuk menemui dokter, justru harus tertunda dan tentunya tidak mudah lolos dari seorang Osa. "Bukan urusanmu!" sahu Milova, cetus, sambil merapikan tali tasnya yang sedikit terjatuh dari bahu. Tapi bukan Osa namanya jika tidak bisa menemukan apa yang ia cari. Osa melangkahkan kakinya, mendekati Milova perlahan. Wajahnya terlihat serius dan mencurigai wanita itu. Kali ini, jas hitam yang dikenakannya kembali menjadikan Osa sebagai seorang kepala sekolah yang tampan. Bahkan tak hanya itu, ia juga terlihat lebih elegan dari biasanya. Tapi bukan itu yang membuat wajah Milova memerah. Ia sedang memikirkan jalan keluar untuk pergi dari incaran lelaki itu. Perlahan langkah Osa maju, dan Milo
"Oh mengenai hal tersebut, memang benar Pak Osa mendonorkan darahnya!" jelas dokter. Milova menyesal mendengarnya. Bagaimana bisa seorang penderita HIV seperti Osa dengan bebas mendonorkan darahnya kepada orang lain. Ini benar-benar di luar nalar. Masa iya tim medis tidak mendeteksi kejanggalan tersebut? Dan tidak mungkin juga Milova menjelaskan kepada dokter bahwa Osa adalah seorang pengidap HIV, tidak etis sekali rasanya. Lagi pula kejadiannya sudah berlalu, pikir Milova. "Ada yang bisa kami bantu lagi, Bu?" dokter bertanya, memecahkan lamunan Milova. "Hhmm, berapa kantong darah yang didonorkan Pak Osa kepada saya, Dok?" Milova kembali bertanya. Sebenarnya mengetahui lebih jauh justru akan membuat Milova semakin gelisah. Tapi saat ini, lebih baik ia mengetahui semuanya, toh semua juga sudah terlanjur terjadi. "Satu kantong, Bu." jawab dokter. Satu atau dua kantong ya sama saja, tetap saja darahnya telah mengalir di tubuh Milova. "tapi darah tersebut tidak didonorkan ke ib
Meski terkesan sangat tabu. Tapi rasanya menyenangkan melihat sikap Osa saat ini. Ya, memang terasa sangat aneh, tidak seperti sebelumnya, Osa yang jutek dan sombong, lantas apa yang terjadi dengan lelaki itu? "Sepakat?" Osa menjulurkan tangannya, meminta Milova menyetujui apa yang baru saja ia minta. Lelaki itu memintanya untuk berdamai dan mulai melaksanakan misi mereka dengan baik. Memang, selama ini sebisa mungkin Milova berusaha melakukan setiap perintah Osa meski tidak menyenangkan baginya. Tapi kali ini, Osa ingin agar Milova lebih nyaman dan tenang dalam menjalankan tugasnya. Tanpa paksaan seperti sebelumnya. Milova sendiri masih tercengang, ia belum percaya lelaki yang ada di hadapannya itu bisa sesantai ini. Osa yang arogan dan tak mau mengalah, apa benar telah berubah menjadi lelaki baik dan sopan? Ah, mustahil, pikir Milova. "Ada apa denganmu?" Milova tidak langsung menyambut uluran tangan Osa. Hingga lelaki itu kembali menarik ulur telapak tangannya. "Aku hanya i
"Ahhh ... !" suara teriakan terdengar keras dari balik pintu kamar Milova. Beberapa asisten rumah tangga tergopoh-gopoh, berlari menyambanginya. Ini bukan main-main, karena sebelumnya, Milova bukan tipe wanita yang mudah panik. Rumah mewah yang dihuninya geger karena suara pekikan itu. Rumah ini adalah rumah pemberian Osa, karena rencananya, setelah menikahi Milova, ia juga akan ikut tinggal di rumah megah itu. Rumah ini juga bentuk pencitraan yang diberikan Osa kepada Milova, untuk membuktikan bahwa Milova merupakan gadis kaya dan layak menjadi istri seorang Osa Mahendra, sang kepala sekolah yang kaya raya. "Ada apa, Bu?" Maya, seorang asisten rumah tangga yang masih single, ikut mengetuk pintu kamar Milova. Ia terlihat panik, apalagi ia tahu persis bagaimana karakter majikannya, yang tak melankolis. "Bu, ibu gak apa-apa, kan?" teriak Rumi sambil kembali mengetuk pintu kamar Milova dua kali. Tapi belum juga ada jawaban. Maya menyentuh pundak Rumi, mengisyaratkan padanya un
Yang membuat Milova terkejut bukan hanya rangkaian bunga mawar merah yang sangat cantik, tapi juga tersungkurnya lelaki itu di hadapannya jauh membuat jantung Milova berdegup kencang. Ada apa ini?, hatinya bergumam. Dengan sigap Osa menjatuhkan tubuhnya ke lantai, tepat di hadapan Milova. Tampak begitu romantis. Milova menyadarkan dirinya sendiri untuk tidak terpana. Apa ini lanjutan dari mimpi semalam?, pikirnya. Ya, ia yang bermimpi sesuatu yang mustahil terjadi, tentang Osa yang berubah baik padanya. Kini justru di hadapkan dengan kenyataan yang bertolak belakang dan seolah mendukung mimpi indahnya itu. "Ada apa ini?' celetuk Milova, raut wajahnya begitu cemas. Memang, kata orang bisa jadi sebuah mimpi itu akan jadi kenyataan. Bisa dikatakan, terkadang mimpi adalah harapan yang akan segera terwujud. Ah, mustahil, pikir Milova kembali. Kali ini Milova benar-benar bingung dengan apa yang dialaminya. Maya dan Rumi mengintip dari balik pintu dapur bersih. Mereka meras
"Ok? Sudah pas?" tanya Osa pada seorang fotografer yang tengah memotretnya dari berbagai arah. Kelihatannya ia membayar fotografer berkelas untuk mengabadikan moment tersebut. Terbaca dari gaya dan caranya bekerja, fotografer yang dibayar Osa tidak main-main. "Sip" sambung Osa setelah mengecek hasil jepretan lelaki brewok itu sambil mengacungkan ibu jarinya. Osa menatap sekeliling rumah, hanya sekadar mengecek kondisinya. Lalu mengarahkan pandangannya pada Milova yang masih memegang bunga mawar merah pemberiannya. "Kenapa masih berdiri di situ? Duduk!" perintahnya. Ia juga menarik salah satu kursi dari meja bundar tersebut dan mendudukinya. "Apa maksud semua ini?" tanya Milova yang masih mematung. Ia yang beberapa detik lalu masih diratukan oleh Osa, kini terasa tak lagi dipedulikan. Memang, Milova tak menjawab apa-apa saat Osa melamarnya, ia hanya mengangguk, itu pun dengan penuh keraguan. "Ini hanya bagian dari rencanaku, aku sengaja tidak memberitahumu agar semuanya te